|

Muslimah Reformis

5 Cara Mewujudkan Keluarga Sakinah Ala Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Setiap orang yang telah menikah pasti menginginkan pernikahannya menjadi keluarga yang sakinah yaitu damai dan tentram. Tidak heran jika di hari pernikahan tiba, semua orang memberikan ucapan yang hampir sama yaitu “Semoga pernikahannya Sakinah, Mawadah dan Rahmah”. Ini menandakan bahwa betapa pentingnya kedamaian dan ketentaraman dalam kehidupan keluarga.

Sebab seperti yang disampaikan oleh Ibu Nyai Nur Rofiah dalam Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam)  bahwa keluarga sakinah merupakan salah satu tujuan dari setiap pasangan suami-istri. Karena keluarga sakinah akan menciptakan ketenangan jiwa setiap pasangan, sekalipun dalam kondisi yang sulit.

Dalam kehidupan rumah tangga ujian dan rintangan pasti selalu ada, dan rintangan tersebut bisa saja menghancurkan kehangatan dan keharmonisan suami-istri. Dengan begitu menurut Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku “Perempuan (bukan) Makhluk Domestik” keduanya harus saling bekerjasama dalam mewujudkan sakinah atau bisa dimaknai juga kedamaian, ketentraman dan ketenangan dalam pernikahan.

Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 21 menyebutkan bahwa sakinah itu berupa fi’il mudhari’ atau kata kerja aktif untuk waktu sekarang (al-hal) dan kata datang (al-mustaqbal). Itu artinya bahwa sakinah tidak bisa diwujudkan dalam satu waktu, tetapi harus diusahakan agar dirasakan di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Modal sakinah, kata ayat tersebut, adalah rasa suka cinta (mawadah) dan kasih sayang (rahmah) yang harus dikelola dan diupayakan oleh suami-istri. Sebab dengan pengolaan aktif terhadap dua modal ini dapat menumbuhkan kehangatan dan kebahagiaan bersama.

Dr. Faqihuddin Abdul Kodir juga menyebutkan bahwa melalui konsepsi sakinah dengan modal mawadah dan rahmah, Islam telah memberikan lima pilar agar pernikahan bisa mencapai sakinah.

Pertama, komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah Allah yang mesti kita jaga dalam keadaan apapun (mitsaqon ghalizhan, QS. An-Nisa:21). Istri telah menerima perjanjian yang kokoh dari laki-laki yang menikahinya yang kemudian mereka wujudkan dengan adanya akad nikah.

Meskipun secara praktik, yang melakukan aqad adalah laki-laki calon pengantin dengan laki-laki wali (baik wali nasab atau wali hakim) calon pengantin perempuan, tetapi subjek yang mengikatkan diri pada kesepakatan rumah tangga adalah pengantin laki-laki dan perempuan. Mereka berdualah yang berjanji, bersepakat, dan berkomitmen untuk berumah tangga dan mewujudkan ketentaraman (sakinah) dan memadu cinta kasih (mawadah wa Rahmah).

Dengan begitu, karena janji ini bersifat resiprokal atau kesalingan, maka ikatan tersebut harus diingat, dijaga dan dipelihara bersama. Tidak bisa hanya istri saja yang berusaha melayani suami dan menjaga diri demi kekokohan rumah tangga, sementara suaminya tidak.  Begitupun sebaliknya, tidak bisa hanya suami saja yang berusaha menjaga ikatan ini. Keduanya harus sama-sama menjaga, sebab ini lah yang disebut dengan mitsaqon ghalizhan,

Kedua, relasi pernikahan antara suami dan istri adalah prinsip berpasangan dan berkesalingan. Dalam relasi ini, al-Qur’an menggunakan kata “zawj” hal ini tergambar dalam QS. Al-baqarah:187, Ar-rum:21 yang artinya istri adalah pasangan suami, dan suami pasangan istri.

Dengan semangat al-Qur’an dan perspektif mubadalah kata “zawj” juga bisa diterapkan dalam memaknai kata “garwo” untuk istri.

Dalam bahasa Jawa, kata ini merupakan singkatan dari “sigare jiwo”  atau separuh jiwa bagi suami. Tetapi jika kita maknai istilah ini dengan perspektif kesalingan, akan berarti suami juga merupakan separuh jiwa istri yang hanya akan lengkap jika keduanya menyatu dan bekerja sama.

Ketiga, mu’asyaroh bil ma’ruf atau saling memperlakukan dengan baik. Menurut Kiai Faqih sikap berbuat baik pada pasangan adalah etika yang paling fundamental dalam relasi suami-istri. Ia juga bisa menjadi salah satu pilar yang bisa menjaga dan menghidupkan segala kebaikan yang menjadi tujuan bersama sehingga bisa dirasakan dan dinikmati oleh keduanya.

Keempat, pernikahan akan mencapai sakinah jika keduanya saling bermusyawarah atau saling bertukar pendapat dalam memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga.

Dengan begitu dalam kehidupan rumah tangga suami atau istri tidak boleh menjadi pribadi yang otoriter dan memaksakan kehendak. Segala sesuatu, terutama yang terkait dengan pasangan dan keluarga, tidak boleh langsung diputuskan sendiri tanpa melibatkan dan meminta pandangan pasangan.

Musyawarah dan berbagi pendapat adalah salah satu pilar berumah tangga yang ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 233 menyebutkan bahwa urusan menyapih anak harus diputuskan atas kerelaan dua belah pihak, suami/ayah dan istri/ibu, dan setelah berembuk bersama antara keduanya.

Di sisi lain, Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bermusyawarah, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Seperti halnya dalam QS. Ali Imran ayat 159 yang artinya “Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Meskipun ayat ini berbicara terhadap Nabi Muhammad Saw., tetapi sebagai panutan dan teladan bagi seluruh umat, maka bermusyawarah menjadi bagian dari ajaran kenabian yang patut kita contoh dan teladani.

Kemudian pilar yang kelima supaya pernikahan mencapai sakinah adalah saling merasa nyaman dan memberi kenyamanan pada pasangan. Dalam bahasa al-Qur’an hal ini disebut dengan taradhin min-huma, yaitu adanya kerelaan dan penerimaan dari kedua belah pihak.

Kerelaan adalah penerimaan paling puncak dan kenyamanan yang paripurna. Sehingga dalam kehidupan rumah tangga, hal ini harus terus dijadikan pilar penyangga segala aspek, perilaku, ucapan, sikap dan tindakan, agar pernikahan tersebut tidak hanya kokoh, tetapi juga melahirkan rasa cinta kasih dan kebahagiaan.

Dengan lima pilar ini, jika dipraktikkan dengan sungguh-sungguh oleh suami dan istri, maka akan mendatangkan kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman diantara keduanya. Inilah yang disebut dengan keluarga yang sakinah. Yaitu keluarga yang bisa memberikan kedamaian bagi setiap anggota keluarganya. []