Counter Legal Draft Menawarkan Prinsip Islam Universal
Counter legal draft atas Kompilasi Hukum Islam adalah hasil penelitian dan kajian kritis atas KHI yang ditawarkan oleh Tim Pembaruan Hukum Islam bentukan Tim Pokja PUG Departemen Agama. Rumusannya mirip KHI, terdiri dari hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Namun, dalam tulisan ini yang dibahas hanyalah menyangkut hukum perkawinan.
CLD merupakan tawaran pembaruan hukum keluarga bagi masyarakat Muslim Indonesia, khususnya untuk amandemen KHI dan Undang-Undang Perkawinan. CLD adalah rumusan hukum Islam model baru disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana terbaca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia, mengadvokasikan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan, menyuarakan pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis.
Hukum perkawinan dalam rumusan CLD didasarkan pada prinsip-prinsip dasar perkawinan Islam sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang sempurna karena ajarannya diyakini sudah mencakup semua tuntunan yang diperlukan bagi kehidupan manusia di muka bumi, termasuk tuntunan mengenai kehidupan perkawinan. Semua ajaran itu dimaksudkan agar manusia selamat dan bahagia, baik secara duniawi maupun ukhrawi. Ajaran Islam dapat dipilah dalam dua kategori; ajaran dasar dan non-dasar. Yang pertama diyakini berasal dari Tuhan Sang Pencipta. Karena itu bersifat kekal, mutlak dan absolut, tidak berubah dan tidak dapat diubah dengan alasan apapun. Ajaran dasar tidak lain adalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Al-Qur`an dimaksud adalah firman Allah yang tertulis dalam teks Arab yang orisinal disampaikan oleh Rasulullah saw. Adapun terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa lain, termasuk dalam bahasa Indonesia bukan ajaran dasar karena merupakan hasil ijtihad manusia. Demikian pula tafsir dan segala bentuk implementasinya dalam kehidupan sosial. Sedangkan hadis Nabi yang tergolong dalam ajaran dasar hanyalah hadis-hadis yang diyakini datang dari Nabi. Ajaran non-dasar mengambil bentuk hasil ijtihad para ulama dari sejak masa Nabi sampai sekarang, termasuk terjemahan, interpretasi, penafsiran dan bentuk-bentuk implementasi dari ajaran dasar tadi. Karena itu, bersifat relatif, nisbi, dan bisa berubah atau diubah. Ajaran non-dasar banyak ditemukan dalam kitab-kitab keislaman sejak zaman klasik Islam, terutama dalam kitab tafsir, dan kitab fikih.
Fikih merupakan ajaran non-dasar yang paling banyak diimplementasikan dalam masyarakat Islam. Fikih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa pandangan fikih tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan di dalam dirinya. Walaupun tentu saja sikap apresiasi dan penghargaan kepada para fuqaha yang menghasilkan ijtihad tersebut tetap harus dipertahankan dan bahkan perlu diabadikan. Suatu hasil ijtihad biasanya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis masyarakat pada masa kehidupan para ulama pelaku ijtihad tersebut. Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi suatu ijtihad cocok untuk suatu masyarakat tertentu, namun belum pasti untuk masyarakat lainnya yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda. Artinya, kita dapat menerima suatu hasil ijtihad, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima hasil ijtihad lain yang berbeda tetapi justru sangat sesuai dengan kemaslahatan kita.
Ajaran Islam mempunyai dua aspek penting: aspek vertikal dan horinzontal. Aspek vertikal menjelaskan kewajiban manusia kepada Tuhan (hablun minallah), sementara aspek horisontal mengatur hubungan di antara sesama manusia (hablun min al-nas). Begitu pentingnya aspek horisontal ini sehingga Al-Qur`an dan Hadis Nabi padat dimuati ajaran-ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, misalnya ajaran persamaan manusia tanpa melihat gender, jenis kelamin, suku, ras, bahasa, status sosial, dan bahkan agamanya (Q.S al-Hujurat, 49:13). Namun, dalam beragama manusia lebih mengedepankan aspek vertikal daripada aspek horisontal sehingga dimensi humanisme yang merupakan refleksi aspek vertikal Islam kurang mendapat perhatian umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan perkawinan. Hasilnya, aturan perkawinan Islam terkesan maskulin, keras, kasar, dan tidak ramah terhadap perempuan.
Al-Qur`an membahas soal perkawinan secara rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali. Memahami hakikat perkawinan dalam Islam harus dilakukan dengan mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, lalu mencari benang merah yang menjadi intisari dari seluruh penjelasan ayat-ayat tersebut. Kajian mendalam terhadap keseluruhan ayat perkawinan tersebut menyimpulkan lima prinsip dasar perkawinan. Pertama, prinsip monogami. Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang); ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi; keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (pergaulan yang sopan dan santun), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaan; dan kelima, prinsip kebebasan memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan. Kelima prinsip dasar inilah yang menjadi tolok ukur dalam melakukan kajian kritis terhadap pasal-pasal KHI di samping keempat paradigma yang telah dipaparkan sebelumnya.
Al-Qur`an (al-Ahzab, 7; an-Nisa, 21 dan 154) selalu menggambarkan ikatan perkawinan dengan mitsaqan ghalidzan, yakni sebagai perjanjian suci dan serius di antara kedua pihak (laki-laki dan perempuan) yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, para pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian tersebut. Selanjutnya, Al-Qur`an juga menegaskan hubungan egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49; Fatir,11; an-Naba`, 78; an-Nisa`, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12; al-Baqarah, 187; dan an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam lebih merupakan suatu akad atau kontrak. Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan).
CLD Menawarkan Paradigma Baru Perkawinan
Berdasarkan ajaran Islam mengenai perkawinan sebagaimana dipaparkan sebelumnya CLD menawarkan paradigma baru tentang perkawinan sebagai berikut: Pertama, CLD menawarkan definisi perkawinan sebagai berikut: akad yang sangat serius (mitsaaqan ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh laki-laki dan perempuan guna membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, perkawinan didasarkan pada enam prinsip utama: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan (al-‘adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokrasi (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga bahagia (al-sa’adah) dan sejahtera (al-sakinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab. Keempat paradigma tersebut selanjutnya menjadi landasan pokok bagi rumusan pasal-pasal CLD mengenai soal wali, saksi, pencatatan, usia perkawinan, mahar, perkawinan beda agama, poligami, cerai dan rujuk, iddah, ihdad, pencarian nafkah, nusyuz, posisi dan kedudukan suami-isteri, serta hak dan kewajiban suami-isteri.
Faktor-faktor Pendorong Lahirnya CLD
Setidaknya ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI dan akhirnya melahirkan rumusan CLD.
Pertama, mendukung kebijakan pemerintah mengenai penghapusan kekerasan. Tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengumumkan suatu kebijakan nasional guna penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang dikenal dengan Zero Tolerance Policy dalam bentuk RAN PKTP (Rencana Aksi Nasional Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Kebijakan Zero Tolerance Policy ini intinya menegaskan komitmen pemerintah menghapuskan segala bentuk kekerasan, sekecil apapun. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan sekaligus merespon Deklarasi PBB 20 Desember 1994 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Salah satu poin penting dalam RAN-PKTP tersebut adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam aspek sosio-kultural atau sosial budaya melalui upaya revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengapa KHI? Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang diidentifikasi sebagai akar terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan atau dipandang menyumbang bagi timbulnya perilaku kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu institusi yang diharapkan melakukan perubahan itu adalah Departemen Agama. Sebagai respon terhadap komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan dan mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan sebagaimana termaktub dalam RAN PKTP tersebut Tim Pokja PUG Departemen Agama mengambil prakarsa melakukan kajian kritis terhadap KHI.
Kedua, sebagai respon terhadap sejumlah penelitian baik dalam bentuk tesis maupun disertasi yang menyimpulkan bahwa KHI dalam dirinya mengandung sejumlah persoalan, di antaranya sejumlah pasal yang ada berseberangan dengan produk-produk hukum nasional, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Tentang Hak-Hak Anak (2000); UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan Amandemen UUD 1945. Demikian juga KHI berseberangan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat tanpa membedakan laki dan perempuan dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
KHI juga bermasalah dengan sejumlah kebijakan internasional. Sejumlah instrumen penegakan dan perlindungan HAM yang sangat tegas mendorong penguatan hak asasi perempuan, seperti Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian di tingkat regional, negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) merumuskan Deklarasi Kairo (1990) yang berisi pembelaan terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Konvensi Hak Anak (1990) yang diratifikasi melalui Kepres Tahun 2000 mengenai Hak Anak yang isinya menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun; dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (1999). Keseluruhan konvensi tersebut menekankan pentingnya penghapusan diskriminasi atas dasar ras, kebangsaan, gender, status anak, dan agama.
Ketiga, sebagai respon terhadap usulan Direktorat Peradilan Agama tahun 2003 yang mengusulkan RUU Terapan Bidang Perkawinan menggantikan posisi Hukum Perkawinan dalam KHI. Selain mengusulkan perubahan status hukumnya, yaitu dari sekedar Inpres menjadi undang-undang, juga mengusulkan penambahan pasal-pasal baru mengenai sanksi bagi setiap pelanggaran, misalnya pelanggaran dalam hal pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya di institusi yang berwenang akan dikenakan sanksi dalam bentuk hukum penjara dan denda. Pasalnya, data yang tercatat di DEPAG, menunjukkan sekitar 48% perkawinan yang berlangsung di masyarakat tidak tercatatkan (unregistered). Hal ini sangat memprihatinkan, sebab tiadanya pencatatan jelas merugikan hak-hak isteri dan anak.
Keempat, sebagai respon terhadap tuntutan formalisasi syariat Islam di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Cianjur, Madura. Upaya formalisasi syariat Islam tersebut terkesan belum memiliki konsep yang jelas mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Demi menjawab kebutuhan tersebut salah satu alternatif adalah menawarkan penggunaan KHI baru yang lebih memperhatikan nilai-nilai Islam yang esensial, seperti keadilan, kemaslahatan, kesetaraan dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai dan kearifan budaya lokal.
Kelima, sebagai respon terhadap munculnya berbagai pembaruan hukum keluarga di negara-negara Islam, seperti Tunisia, Yordan, Syria, Iraq, dan Mesir. Negeri-negeri Muslim tersebut telah berulang kali memperbarui hukum keluarga mereka. Keenam, sebagai antisipasi terhadap hasil survey di empat wilayah: Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Temuan survey menunjukkan kenyataan bahwa mayoritas responden yang terdiri atas hakim agama, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan KHI. Alasan yang dikemukakan antara lain: (1) KHI sudah 15 tahun diberlakukan dan belum pernah dilakukan evaluasi kritis terhadapnya, (2) KHI perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti serta mengikat dan dapat dipakai sebagai kodifikasi hukum, dan (3) Materi-materi hukum yang terdapat dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat Indonesia yang semakin kompleks.
Selanjutnya, sebagai bahan masukan dalam upaya pembaruan KHI, terutama bidang perkawinan, para responden hampir secara aklamasi menyetujui hal-hal berikut. 1) Menjadikan aspek pencatatan perkawinan sebagai salah satu rukun perkawinan sehingga perkawinan tidak sah tanpa pencatatan 2) Batas minimal usia nikah bagi perempuan ditingkatkan menjadi 19 tahun sehingga sama dengan usia laki-laki; 3) Nusyuz dapat dikenakan bagi suami dan isteri; 4) Rujuk harus dengan seizin isteri; dan 5) Perlunya aturan yang lebih jelas mengenai hak dan status anak di luar perkawinan.
Di samping itu, materi hukum KHI perlu juga ditambah dan disempurnakan. Di antara materi hukum yang perlu ditambahkan adalah aturan pemberian nafkah pada masa iddah kepada isteri yang dicerai suaminya. Menurut ketentuan KHI, isteri dalam masa iddah berhak memperoleh nafkah dari suaminya. Tetapi, kenyataannya nafkah dimaksud tidak pernah diberikan kalau isteri tidak mengajukan gugatan. Ke depan, KHI harus menetapkan kewajiban suami untuk tetap memberikan nafkah kepada isteri selama masa iddah, baik isteri mengajukan tuntutan maupun tidak. Hakim tidak boleh menjatuhkan talak sebelum hak-hak isteri diselesaikan. Begitu juga dengan masalah khulu’. Apabila persyaratan perceraian telah dipenuhi, tidak diperlukan lagi khulu’. Khulu’ hanya berlaku jika isteri berkeinginan cerai tanpa alasan. Gugatan cerai isteri tanpa alasan harus disertai dengan kewajiban membayar iwadh kepada suami. Akan tetapi, jika gugatan cerai itu cukup beralasan, seperti KDRT, kewajiban membayar iwadh menjadi hilang sama sekali.
Tahapan Penyusunan CLD
CLD disusun melalui beberapa tahap sebagai berikut. Pertama, studi kepustakaan dengan mengumpulkan sejumlah hasil penelitian mengenai KHI, baik dalam bentuk tesis, disertasi dan laporan ilmiah lainnya. Kedua, melakukan survei lapangan di lima wilayah yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam, yakni Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NTB, dan Jawa Barat. Ketiga, melakukan kajian perbandingan terhadap hukum keluarga Islam yang dipakai di beberapa negara Islam, seperti Tunisia, Yordan, Irak, Syria, dan Mesir. Keempat, melakukan kajian kritis terhadap literatur fikih klasik menyangkut perkawinan, waris, dan wakaf. Kelima, merumuskan kesimpulan penelitian dalam bahasa hukum dengan mengambil format CLD. Pilihan format itu dimaksudkan agar hasil penelitian ini segera menarik perhatian publik. Keenam, melakukan lima kali lokakarya untuk verifikasi (uji sahih) terhadap draft awal, khususnya menyangkut argumentasi teologis, hukum, sosiologis dan politis terhadap draft awal tersebut. Lokakarya tersebut melibatkan sejumlah pakar agama, ahli hukum, sosiolog, politik dan pakar gender. Ketujuh, melakukan revisi draft berdasarkan input dan masukan dari beberapa lokakarya. Kedelapan, melaunching rumusan CLD secara resmi kepada publik untuk diketahui secara luas dengan maksud memberikan bekal dan pencerahan kepada publik agar mereka dapat mendorong dan mengkritisi perubahan KHI. Launching secara resmi dihadiri Menteri Agama dan para pejabat di lingkungan Departemen Agama dan instansi lain yang terkait, serta tokoh perempuan, praktisi hukum dan sejumlah ulama. Kesembilan, merevisi kembali hal-hal yang sulit diterima publik, seperti soal perjanjian perkawinan karena menimbulkan kesalahpahaman yang fatal di masyarakat, yakni selalu dimaknai sebagai nikah mut`ah atau perkawinan kontrak, padahal awalnya hanya dimaksudkan sebagai bagian dari isi perjanjian taklik talak yang sudah diakui dalam KHI. Akhirnya, tim memutuskan untuk menghilangkannya dari draft yang ada. Selanjutnya, Tim ini juga menyatakan bahwa CLD atas KHI tersebut telah menjadi milik publik, bukan lagi milik Tim Pokja PUG Departemen Agama.
Isu-Isu Krusial Dalam CLD
CLD melakukan reformasi terhadap sejumlah pasal dalam KHI yang dinilai tidak mengakomodasikan pandangan keislaman yang humanis, pluralis dan demokratis seperti tertera dalam teks-teks suci Al-Qur`an dan Sunnah Rasul serta berseberangan dengan peraturan perundang-undangan yang baru, baik di tingkat nasional di Indonesia, maupun di tingkat internasional. Dirumuskan ada 14 isu pokok dalam CLD hukum perkawinan yang harus berubah, yaitu definisi perkawinan, wali, saksi, batas minimal usia nikah bagi perempuan, mahar, pencatatan perkawinan, nusyuz, hak dan kewajiban suami-isteri, nafkah, poligami, perkawinan beda agama, iddah, ihdad, serta hak dan status anak di luar perkawinan. Sementara dalam hukum kewarisan terdapat 4 isu krusial, yaitu soal waris beda agama, jumlah bagian warisan anak perempuan, warisan untuk anak di luar perkawinan, dan soal ‘aul dan radd. Adapun dalam hukum perwakafan hanya ada dua isu menonjol, yakni tentang wakaf beda agama dan wakaf hak intelektual.
Definisi Perkawinan
CLD tentang hukum perkawinan dimulai dengan mengkritisi definisi perkawinan dalam KHI. Pasal 2 KHI menyebutkan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Secara kasat mata definisi tersebut tampak aneh karena membedakan antara perkawinan dan pernikahan. Akan tetapi, dibandingkan definisi dalam kitab-kitab fiqh tradisional, definisi KHI lebih progres daripada pandangan fikih sebagaimana akan dijelaskan nanti. Sementara itu, CLD menawarkan definisi sebagai berikut: “Perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.” CLD menekankan agar perkawinan dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab oleh laki-laki dan perempuan, serta didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan keduanya. Mengapa ungkapan ibadah dan perintah Tuhan dalam definisi perkawinan tersebut perlu diubah? Sebab, pengertian ibadah dan perintah Tuhan dalam konteks perkawinan di masyarakat telah mengalami distorsi makna, yakni dipahami secara sempit sebagai kewajiban agama dan dianggap berdosa jika tidak kawin. Akibatnya, tidak sedikit perempuan terpaksa menikah hanya agar tidak distigma berdosa atau sekedar lepas dari kewajiban pada Tuhan atau sekedar berbakti kepada orang tua, meskipun sesungguhnya dia tidak menghendaki perkawinan itu. Pemahaman tersebut menimbulkan akibat buruk bagi perempuan, di antaranya membuat perempuan sulit mengelak jika orang tua atau keluarga mengawinkan mereka. Konkretnya, pemahaman agama yang demikian membawa kepada banyaknya perkawinan terpaksa, trafficking (perdagangan perempuan dan anak perempuan) dengan modus operandi perkawinan, perkawinan poligami, perkawinan sirri dan sebagainya.
Konsep ibadah dalam Islam bermakna luas, mencakup semua aktivitas manusia yang diniatkan mendapatkan ridha Allah swt semata. Kalau perkawinan itu diniatkan untuk memperoleh ridha Allah pasti dihitung sebagai ibadah. Jangankan perkawinan, aktivitas makan minum sehari-hari pun masuk dalam kategori ibadah selama diniatkan untuk ridha Allah swt. Yang membedakan antara aktivitas ibadah dan bukan ibadah adalah niat atau komitmen pelakunya. Karena itu, banyak ayat dan hadis Nabi menganjurkan untuk meneguhkan niat dalam beraktivitas semata-mata mencari ridha Allah swt., tak terkecuali dalam perkawinan. Ringkasnya, perkawinan hanya bernilai ibadah jika dilakukan secara sadar, sukarela dan bertanggung jawab, bukan karena terpaksa atau dipaksa atau dilakukan sekedar memenuhi nafsu biologis.
Para ulama berbeda pendapat soal perkawinan itu ibadah yang wajib dilaksanakan. Sebagian kecil memandangnya sebagai ibadah, seperti pendapat mazhab Zahiri (mazhab yang memegang kuat makna tekstualis). Argumentasi teologisnya didasarkan pada Q.S. an-Nisa’, 4:3; yang di dalamnya terdapat perintah menikah (fankihu) sehingga perkawinan menjadi wajib. Sementara dalam kitab fikih Indonesia, anjuran menikah biasanya didasarkan pada Q.S. al-Zariyat, 49, al-Nahl, 72, dan al-Ruum, 21 dan hadis Nabi yang menganjurkan kepada pemuda untuk menikah. Namun, mayoritas ulama terkemuka, seperti Imam Syafi’i menegaskan perkawinan bukan ibadah, melainkan bahagian dari muamalah. Beliau berdalil kepada Q.S al-Nisa’, 4:25. Analisis Imam Syafi’i terhadap ayat ini menyimpulkan perkawinan bukanlah ibadah wajib, melainkan hanya anjuran (mandub). Beliau malah menganjurkan menjauhi perkawinan bagi mereka yang mampu menjaga diri dari perbuatan zina. Yang pasti, semua kitab fikih, baik klasik maupun kontemporer, menempatkan perkawinan pada bab mu’amalah (masalah hubungan antar sesama manusia), bukan dalam bab ibadah. Sebab, perkawinan dalam Islam lebih merupakan kontrak sosial dan itu terlihat jelas dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan) dalam akad nikah.
Selain itu, masyarakat memaknai perkawinan sebagai akad kepemilikan, menikahi berarti memiliki. Pemahaman ini membawa kepada relasi yang timpang dalam kehidupan suami-isteri. Ketimpangan ini terdengar dari ungkapan yang sudah baku di masyarakat, seperti suami menikah, isteri dinikahi; suami memberi nafkah, isteri dinafkahi; suami membayar mahar, isteri menerima mahar; suami menceraikan, isteri diceraikan; suami merujuk, isteri dirujuk; suami poligami, isteri dipoligami; suami kepala keluarga, isteri anggota keluarga dan seterusnya. Pendek kata, tidak tercermin hubungan kesetaraan suami-isteri dalam perkawinan. Tidak mengherankan jika banyak perempuan tidak memiliki posisi tawar dalam perkawinannya.
Rumusan definisi perkawinan dalam fikih secara eksplisit menempatkan perempuan hanya sebagai obyek seksual, sebagai barang milik yang berhak dinikmati (milk al-mut’ah, milk al-budh’). Akibat dari objektivikasi tersebut, kedudukan perempuan menjadi tersubordinasi, termasuk dalam persoalan hak seksualnya. Bahkan, pandangan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa sesungguhnya hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki, bukan hak perempuan. Oleh karena itu, suami boleh memaksa istri untuk melayani keinginan seksualnya. Sangat jelas bahwa yang diperhitungkan dari diri perempuan dalam perkawinan hanyalah aspek fisik dan seksualitasnya.
Hakikat pernikahan tertinggi secara indah digambarkan dalam Al-Quran surah al-A’raf, 7: 189, yaitu penyatuan kembali pada bentuk asal kemanusiaan yang paling hakiki, yakni nafsin wahidah (diri yang satu). Allah Swt. sengaja menggunakan istilah nafsin wahidah karena dengan istilah ini ingin ditunjukkan bahwa pernikahan pada hakikatnya adalah reunifikasi antara laki-laki dan perempuan pada tingkat praktik, setelah didahului reunifikasi pada tingkat hakikat, yaitu kesamaan asul-usul kejadian umat manusia dari diri yang satu. Sementara itu, ayat lainnya (al-Rum, 30: 21) menegaskan secara konkret hubungan antara kesatuan hakiki, min anfusikun, sebagai bentuk kesatuan pada level teoretis idealistis dengan kesatuan praktik (pernikahan) yang tenteram dan penuh kasih sayang. Ketenteraman dan kasih sayang ini tidak akan bisa dirajut manakala salah satunya menegasikan dan mensubordinasikan yang lain (pasangannya). Dalam perkawinan tidak boleh ada dominasi, baik oleh suami maupun isteri. Dominasi sesungguhnya selalu membawa kepada pengabaian hak dan eksistensi pasangan. Menghilangkan unsur dominasi dalam relasi suami-isteri akan menciptakan hubungan yang santun, beradab, berkeadilan, penuh kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
Kesimpulannya, CLD mempertegas perkawinan sebagai hak atas setiap manusia dewasa: laki-laki dan perempuan yang telah memenuhi persyaratan, bukan suatu kewajiban. Manusia berhak menikah atau tidak menikah. Hak menikah, berkeluarga dan berketurunan merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi (nonderogable). CLD juga mempertegas perkawinan sebagai transaksi sosial atau akad yang melibatkan dua pihak yang setara: laki-laki dan perempuan. Ini perlu dipertegas mengingat realitas di masyarakat menunjukkan bahwa yang melakukan akad atau transaksi sesungguhnya adalah dua laki-laki, yakni calon suami dan calon mertua laki-laki, bukan calon suami dan calon isteri. Hal ini boleh jadi membuat perempuan kurang berani bertanggung jawab dalam perkawinan karena sejak awal tidak dilibatkan secara penuh sebagai subyek hukum. Penegasan sebagai kontrak sosial ini perlu dalam rangka menghapus pemahaman keliru di masyarakat bahwa perkawinan itu berarti memiliki, sayangnya masyarakat umumnya mempersepsikan yang memiliki hanyalah suami, bukan isteri. Pemahaman yang benar adalah perkawinan mengikat keduanya pada aturan hukum yang disepakati bersama. Karena itu, keduanya saling memiliki satu sama lain.
Wali Bagi Perempuan Dalam Perkawinan
KHI pasal 19 menyebutkan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Sementara CLD merumuskan: “Wali nikah hanya diperlukan bagi perkawinan wanita di bawah usia 21 tahun.” CLD tidak menghapus wali, tetapi membatasi hanya bagi perempuan yang belum dewasa atau belum 21 tahun. Usia 21 tahun dinilai sebagai batas kematangan dan kedewasaan seseorang sehingga berhak mengambil keputusan penuh sebagai subyek hukum. Menghilangkan persyaratan wali bagi perempuan dalam perkawinan sesungguhnya bukanlah hal baru karena yang demikian itu sudah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah pada abad ke-9 masehi. Sejumlah ayat dan hadis secara eksplisit mengukuhkan eksistensi perempuan sebagai manusia utuh sama dengan saudara mereka yang laki-laki. Tidak ada perbedaan esensial bagi keduanya dalam pelaksanaan ajaran agama.
Fikih mensyaratkan wali dalam perkawinan hanya diperlukan bagi perempuan. Mereka yang berhak sebagai wali hanyalah para laki-laki, yaitu: ayah, ayahnya ayah (kakek), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah saja, anak saudara laki-laki (keponakan laki-laki dari saudara laki-laki), saudara laki-laki ayah (paman laki-laki dari pihak ayah) dan seterusnya. Dalam kaitan dengan wali ini tidak ada celah sama sekali bagi perempuan. Artinya, laki-laki dan perempuan, meskipun sama-sama makhluk Tuhan dan sama-sama manusia, namun berbeda derajatnya dalam hal perwalian. Keduanya sangat berbeda dalam hal penilaian dan penghargaan. Laki-laki superordinat, sedang perempuan subordinat.
Buku-buku fikih Indonesia umumnya memuat pandangan mensyaratkan wali dalam perkawinan. Pandangan tersebut disandarkan pada sejumlah hadis Nabi, seperti: Laa nikaha illa bi waliyyin wa syahiday adlin, wa maa kaana min nikahin ghairi zaalik fahuwa batil (Tidaklah sah suatu perkawinan tanpa wali dan dua saksi yang adil. Dan perkawinan mana pun yang tidak demikian adalah batal). Ditemukan sejumlah hadis Nabi yang semakna dan diriwayatkan dari banyak jalur oleh sahabat yang berbeda. Hal itu mengindikasikan bahwa hadis ini diriwayatkan secara maknawi, bukan lafzy.
Ulama berbeda pendapat tentang status wali nikah, apakah wali merupakan syarat sah nikah atau bukan? Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat wali merupakan syarat sah nikah. Nikah tanpa wali berarti batal (tidak sah). Sebaliknya, menurut Imam Abu Hanifah, Zafar, al-Sya’bi dan al-Zuhri jika perempuan mengawinkan dirinya tanpa persetujuan walinya, sedang suaminya masih dalam kepantasan (layak atau sekufu’), maka perkawinannya tetap dipandang sah. Berbeda dengan Imam Dawud al-Zahiry, dia membedakan status gadis dan janda. Perempuan yang masih gadis wajib disertai wali, kalau sudah janda tidak disyaratkan wali.
Perbedaan pendapat ulama muncul karena perbedaan tafsir terhadap hadis nabi: la nikaha illa bi waliyyin… (tidak ada perkawinan tanpa wali). Sebagian menafsirkan kata tidak dalam hadis itu dengan tidak sah, sedangkan sebagian lainnya menafsirkan sebagai tidak sempurna, bukan tidak sah. Jadi, lagi-lagi soal tafsir atau interpretasi. Bagi ulama yang melihat wali sebagai salah satu syarat sah nikah, berpendapat wali adalah syarat sah nikah (annaha min syurut al-shihhat la min syurut al-tamam), dan bukan hanya syarat kelengkapan perkawinan.
Sedang Abu Hanifah berpendapat syarat wali hanyalah kelengkapan, bukan syarat sah perkawinan (fa-ka-annaha ‘indahu min syurut al-tamam la min syurut al-shihhat). Pandangan fikih menjelaskan perlunya wali dalam perkawinan adalah menjaga hubungan anak dengan orang tua, dan karena orang tua biasanya lebih tahu tentang bakal jodoh anaknya. Sebab anak perempuan Islam yang belum menikah tidak patut bergaul bebas. CLD mengkompromikan kedua pandangan berbeda tersebut dengan menawarkan solusi bahwa perempuan yang berusia di bawah 21 tahun masih memerlukan persetujuan wali dalam perkawinan demi kemaslahatan, sementara jika sudah berusia 21 tahun perempuan dipandang dewasa dan mandiri, mampu mengambil keputusan hukum bagi dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan wali dalam perkawinan. Wali atau orang tua tetap bisa memberikan pandangan, pertimbangan dan saran berkaitan dengan perkawinan orang yang dalam perwaliannya, tetapi mereka tidak berhak memaksakan atau menolak perkawinan.
Saksi Dalam Perkawinan
KHI pasal 25 menyebutkan: “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.” Persyaratan tersebut terlihat diskriminatif: diskriminatif terhadap non-Muslim, diskriminatif terhadap perempuan, diskriminatif terhadap kelompok penyandang cacat tuna rungu dan tuli. Karena itu, CLD pasal 11 menawarkan: (1) Posisi perempuan dan laki-laki dalam persaksian adalah sama; (2) Perkawinan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang perempuan atau dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan satu perempuan.; (3) Yang dapat menjadi saksi perkawinan adalah seseorang yang memenuhi persyaratan berikut: berumur minimal 21 tahun; berakal sehat; cakap atau matang (rasyiid atau rasyiidah) ditunjuk berdasarkan kesepakatan pihak calon suami dan pihak calon istri.
Perkawinan mensyaratkan perlunya saksi sebagai bukti perkawinan itu benar-benar terjadi. Saksi adalah orang yang bisa dipercaya dan menyaksikan secara langsung seluruh prosesi perkawinan. Dalam masyarakat modern, saksi semata belumlah memadai, melainkan diperlukan lebih dari itu, yakni pencatatan resmi dari lembaga yang berwenang, seperti KUA. Mengapa dalam KHI perempuan tidak boleh jadi saksi perkawinan? Padahal, mereka inilah paling banyak berperan mempersiapkan seluruh kelengkapan prosesi perkawinan. Mereka pun hadir di tengah-tengah perhelatan perkawinan bersama saudara mereka yang laki-laki. Ini jelas mengandung unsur diskriminasi bukan hanya dari perspektif keadilan gender, melainkan juga dari perspektif HAM secara umum. Selain perempuan, kelompok non-Muslim, orang buta dan orang tuli juga tidak boleh bertindak sebagai saksi perkawinan? Mengacu kepada Al-Qur`an yang mengecam perilaku diskriminatif ketentuan KHI sangat tidak relevan. Bahkan, dalam konteks persaksian ini, yang dituntut Al-Qur`an justru bukanlah saksi ketika terjadi akad nikah, melainkan saksi pada saat perceraian (thalaq) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Thalaq, 2.
Batas Minimal Usia Dalam Perkawinan
KHI pasal 15 merumuskan: (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No 1 Tahun 1974. Sementara CLD pasal 7 menawarkan: (1) Calon suami atau istri harus berusia minimal 19 tahun; (2) Calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri dengan persyaratan berikut: berakal sehat; berumur 21 tahun; cakap/matang (rasyiid/rasyiidah); dan (3) Bagi calon suami atau istri yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana pada ayat (2), maka yang berhak mengawinkannya adalah wali nasab atau wali hakim. Batas minimal usia nikah dalam KHI: 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul jelas tidak mengatur soal batas usia minimal dalam perkawinan. Umat Islam umumnya menyepakati kondisi baligh bagi perempuan adalah setelah haidh dan laki-laki dengan mimpi basah. Tidak heran jika dalam masyarakat ditemukan banyak kasus perkawinan “dibawah umur” dan ini jelas merupakan child abuse (pelecehan dan eksploitasi anak), pelanggaran hak anak.
Rasul sendiri baru menikah usia 25 tahun, dan semestinya usia ini dijadikan acuan sekaligus meneladani Rasul. Penetapan batas usia lebih rendah bagi perempuan dalam KHI pada susbstansinya mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Mengapa perlu ada batas minimal usia yang berbeda? Menetapkan batas usia perempuan 16 tahun bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1 ayat 2 dari UU tersebut menjelaskan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. Bertentangan pula dengan isi Konvensi Internasional mengenai Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1990. Konvensi tersebut menegaskan batas usia anak 18 tahun. Demikian pula dengan UU Perlindungan Anak tahun 2003. Artinya, melegalkan perkawinan bagi perempuan umur 16 tahun berarti pemerintah melegitimasi perkawinan anak-anak dan ini berarti eksploitasi anak.
Hasil penelitian PSW UIN Jakarta (2000) mengungkapkan temuan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah berkisar 19,9 tahun dan usia laki-laki 23,4 tahun. Yang penting dicatat bahwa kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama dan budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis dan sosial. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan menimbulkan berbagai risiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, dan risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik. Kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggungjawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan.
Mahar Dalam Perkawinan
KHI pasal 30 menetapkan: “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.” Sementara CLD pasal 16 menawarkan: (1) Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat.; (2) Jumlah, bentuk, dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan kemampuan pemberi.
Buku-buku fikih menyebutkan mahar itu sebagai syarat dalam perkawinan karena itu, hukumnya wajib. Pandangan ini dilandaskan pada Q.S. an-Nisa, 4:4: wa atu an-nisa’a sadukatihinna nihlatan. Ayat itu tidak menyebutkan mahar, melainkan sadukatihinna yang biasa diartikan “sedekah”. Pemberian mahar juga disandarkan pada tradisi Rasul memberikan pemberian atau maskawin kepada isterinya yang baru dinikahi. Praktek Rasul itu diabadikan dalam beberapa hadis.
Mahar umumnya dipahami sebagai pemberian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada waktu akad nikah. Bentuk mahar sangat beragam, bisa berupa uang tunai, perhiasan emas, seperangkat alat salat, kitab suci Al-Qur`an, bisa pula berupa rumah, sawah dan kebun. Pada umumnya di Indonesia mahar diberikan dalam bentuk perhiasan emas sehingga dikenal istilah mas kawin. Tradisi ini berbeda dengan praktek masyarakat Arab di Timur Tengah yang biasa memberikan mahar dalam nilai yang besar, seperti rumah beserta isinya.
Islam menjadikan mahar sebagai simbol penghormatan terhadap perempuan yang diangkat martabatnya sederajat dengan laki-laki. Akan tetapi, di masyarakat mahar mengalami distorsi makna, lebih banyak dimaknai sebagai harga tubuh perempuan (price of the body) atau pembayaran harga vagina. Karenanya, jika seorang laki-laki telah memberikan mahar, dia lalu mengklaim berhak memiliki tubuh perempuan tersebut dan berhak menyetubuhinya kapan saja sesuai keinginannya. Pemaknaan seperti itu bukan tanpa dasar, melainkan mengacu kepada pandangan fikih klasik. Buktinya, definisi nikah dalam fikih klasik selalu diartikan dengan “akd li at-tamlik” (akad yang membolehkan kepemilikan atas tubuh perempuan). Untuk lebih jelasnya lihat pengertian nikah di awal tulisan ini. Selain itu, persoalan mahar selalu dikaitkan dengan dukhul (bersenggama), misalnya jika kedua mempelai bercerai sebelum dukhul maka suami hanya berhak memberikan setengah dari mahar yang telah ditetapkannya, dan sebaliknya jika telah dukhul suami wajib melunasi seluruhnya.
Meskipun istilah mahar itu sendiri tidak dijumpai dalam Al-Qur`an, namun ditemukan beberapa kata yang menunjuk kepada pengertian mahar, yakni ujrah (Q.S. An-Nisa`, 4:25), shadaq (Q.S. An-Nisa`, 4:4), dan faridhah (Q.S. Al-Baqarah, 2: 236- 237). Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa mahar merupakan pemberian dari seorang suami kepada isterinya ketika akad nikah berlangsung sebagai lambang kecintaan dan kasih sayang, juga simbol tanggung jawab serta ketulusan hati untuk melaksanakan amanah perkawinan sesuai aturan agama. Lalu bagaimana pemberian mahar yang dipraktekkan Rasul? Sejumlah hadis menukilkan sebagai berikut: “Dari Abdullah ibn Umar ibn Rabi`ah dari ayahnya berkata: Bahwa Rasulullah saw. mengizinkan seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa sepasang sandal” (HR. Turmuzi). “Dari Sahal ibn Sa`id ra. Ia berkata: Nabi saw pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan mahar sebuah cincin besi” (HR. Hakim). Bahkan ada hadis: “Dari `Uqbah ibn Amir ia berkata: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: sebaik-baik mahar adalah yang termudah” (HR. Abu Dawud). Ketika Rasul menikahi Shafiyyah, beliau tidak memberikan mahar dalam bentuk material, sebagaimana lazimnya tradisi Arab, melainkan pemberian kemerdekaan dari status budak. Peristiwa bersejarah tersebut diabadikan dalam hadis Bukhari-Muslim: “Dari Anas ra, dari Rasulullah saw.: bahwasanya beliau telah memerdekakan Shafiyyah dan beliau menjadikan kemerdekaannya itu sebagai mahar” (HR.Bukhari-Muslim).
Berbagai hadis tadi menyimpulkan bahwa tidak ada aturan baku mengenai mahar, baik dari segi bentuk maupun jumlahnya. Yang penting mahar itu jangan memberatkan. Mahar adalah lambang penghormatan, simbol kasih sayang, cinta, ketulusan dan tanggung jawab. Dengan demikian substansi makna mahar bukanlah terletak pada bentuk atau harga ataupun nilai pemberian itu semata, melainkan terletak pada niat atau motivasi dari orang yang memberikan serta bagaimana ia kelak mewujudkan niat itu dalam bentuk perilaku dalam kehidupan berkeluarga. Jika demikian, pemberian mahar bukan hanya monopoli laki-laki, perempuan pun boleh memberikan. Bukankah saling memberi itu lebih indah?
Pencatatan Perkawinan
KHI pasal 5 menetapkan: “Agar tejamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.” Jadi, pencatatan hanya untuk tertib administrasi, bukan syarat sahnya perkawinan. Karena itu, CLD pasal 6 menawarkan: “Perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut: calon suami; calon istri; ijab dan kabul; saksi; dan pencatatan.” Selanjutnya, pasal 12 menegaskan: (1) Setiap perkawinan harus dicatatkan. (2) Pemerintah wajib mencatatkan setiap perkawinan yang dilakukan oleh warga negara.
Dibandingkan dengan pandangan fikih tradisional tentang pencatatan, KHI sesungguhnya telah lebih progres. Pencatatan perkawinan dalam KHI diatur dalam pasal 5, 6, dan 7 KHI. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan betapa pentingnya pencatatan perkawinan, hanya belum ditegaskan sebagai syarat sah perkawinan. Akibatnya, masyarakat umumnya tetap memahami seperti dalam fikih bahwa sahnya perkawinan adalah jika sudah dilakukan berdasarkan hukum agama meskipun tidak dicatatkan. Pencatatan dianggap bukan merupakan syarat sahnya perkawinan. Tidak mengherankan jika dijumpai banyak kasus perkawinan yang tidak tercatatkan (kawin sirri atau kawin di bawah tangan).
CLD menjadikan pencatatan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan. Landasan teologisnya berqiyas atau beranalog kepada ayat al-Baqarah, 2:282 yang memerintahkan pencatatan dalam transaksi hutang-piutang. Perkawinan sejatinya merupakan transaksi penting, bahkan jauh lebih penting dari transaksi lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau transaksi hutang harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan lebih krusial untuk dicatatkan? Landasan lainnya adalah hadis Nabi: … jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri” (Lihat Kitab an-Nikah, Sunan at-Tirmizi, hadis no. 1008; Kitab an-Nikah Sunan an-Nasai no. 3316-3317; Kitab an-Nikah Sunan Ibn Majah, hadis no. 1886). Selain itu, terdapat sejumlah hadis yang menghimbau agar mengumumkan perkawinan (Lihat as-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan at-Tirmidzi no. 1009; Sunan Ibn Majah no. 1885; dan Musnad Ahmad no. 15545) dan hadis-hadis yang menghendaki hadirnya saksi dalam akad nikah demi sahnya sebuah perkawinan. Ada juga atsar Umar ibn Khattab yang tidak mengakui sahnya perkawinan jika hanya dihadiri satu orang saksi. Bukankah pencatatan lebih kuat daripada sekedar persaksian? Apalagi pencatatan yang dikelola oleh lembaga resmi negara.
Perkawinan yang tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anaknya. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah dianggap bukan istri yang sah karena tidak memiliki Akta Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selain itu, istri juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian atau suami meninggal dunia. Selain berdampak hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak sosial bagi perempuan, yakni sulit bersosialisasi di masyarakat karena mereka dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan “kumpul kebo” (tinggal serumah tanpa menikah).
Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, dan dalam akta kelahirannya akan dicantumkan “anak luar nikah”. Anak pun hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (ps. 42 dan 43 UUP). Tentu saja pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Selain itu,, ketidakjelasan status anak di muka hukum akan mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya.
Menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah, pemerintah dalam hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan yang merugikan dengan menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan ketenteraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr pemerintah mempunyai dua fungsi utama, yaitu fi harasah al-din (menjaga agama) dan fi siyasah al-dunya` (mengatur urusan dunia). Dalam pelaksanaan kedua fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya, sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan kemudharatan. Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al-syar’iyah. Siyasah al-syar’iyah adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka menunjang keberlakuan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama sebelumnya.
Nusyuz Dalam Perkawinan
KHI pasal 84 ayat 1 merumuskan: “Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.” CLD menawarkan bahwa nusyuz bukan hanya dapat terjadi pada isteri, melainkan juga pada suami sesuai penjelasan Al-Qur’an. Pasal 53 CLD menyebutkan: : (1) Suami atau istri dapat dianggap nusyuz apabila tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar hak sebagaimana diatur dalam pasal 50 dan 51. (2) Penyelesaian nusyuz dilakukan secara damai dengan musyawarah keluarga. (3) Apabila tidak tercapai penyelesaian damai, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan atau gugatan penyelesaian kepada Pengadilan. (4) Apabila terjadi kekerasan atau penganiyaan akibat nusyuz, maka pihak yang dirugikan dapat melaporkan kepada kepolisian sebagai tindak pidana.
Nusyuz berarti membangkang atau tidak taat pada perintah. Pada umumnya masyarakat memahami nusyuz sebagai pembangkangan isteri terhadap suami, dan tidak sebaliknya. Nusyuz menyebabkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Konsep nusyuz tidak dilekatkan pada suami, dan ini jelas merupakan standar ganda. Sebab, sebagai manusia biasa laki-laki pun berpeluang untuk melakukan nusyuz, bahkan secara tegas Al-Qur`an (Q.S an-Nisa, 4:128) menyebutkan nusyuz pada laki-laki. Artinya, nusyuz dalam Al-Qur`an berlaku bagi keduanya (suami atau isteri). Ayat nusyuz (Q.S an-Nisa, 4:34) diturunkan dalam konteks masyarakat Arab ketika itu yang terbiasa melakukan kekerasan terhadap perempuan (isteri). Pemukulan adalah bentuk kekerasan yang paling sering muncul. Ayat tadi turun dalam konteks melarang pemukulan terhadap isteri dan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Hak dan Kewajiban Suami-Istri
KHI pasal 79 menyebutkan: (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Secara kasat mata kandungan isi ketiga ayat dalam pasal 79 tampak tidak konsisten. Dalam ayat kedua dinyatakan kedudukan suami istri seimbang, tetapi bagaimana mungkin dikatakan seimbang sementara pada ayat sebelumnya kedudukan suami sudah dipatok sebagai kepala keluarga.
Sementara CLD pasal 49 menawarkan: (1) Kedudukan, hak, dan kewajiban suami istri adalah setara, baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat. (2) Suami istri memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan kehidupan keluarga sakinah yang didasarkan pada mawaddah, rahmah, dan mashlahah.
Selanjutnya, KHI pasal 80 menyebutkan kewajiban suami: (1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Berikutnya pasal 83 menyebutkan kewajiban isteri: (1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Sementara CLD pasal 51 menawarkan kewajiban suami-isteri sebagai berikut: (1) saling mencintai, menghormati, menghargai, melindungi, dan menerima segala perbedaan yang ada; (2) saling mendukung dan memberikan segala keperluan hidup keluarga sesuai dengan kemampuan masing-masing; (3) keduanya mengelola urusan kehidupan keluarga berdasarkan kesepakatan bersama; (4) saling memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri; dan (5) mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak mereka; Kewajiban tersebut berlaku bagi kedua belah pihak setelah akad Perkawinan dilangsungkan.
Penggunaan kata “kepala” dalam menjelaskan kedudukan suami mengandung konotasi kekuasaan dan sangat terkesan otoriter sehingga tidak salah kalau muncul pandangan yang memposisikan suami identik dengan penguasa di dalam kehidupan keluarga. Implikasi pemahaman seperti ini di masyarakat, antara lain suami dapat berkuasa secara otoriter di rumah tangga sehingga mewajibkan istri melakukan seluruh tugas domestik dan juga melayani seluruh keperluan dan kebutuhan suami lahir dan batin. Pemahaman itu jelas bertentangan dengan pesan moral Islam dalam Al-Qur`an, seperti al-Baqarah, 2:187. Allah swt. menegaskan kesetaraan kedudukan suami-isteri (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna (istri merupakan pelindung bagi suami dan sebaliknya, suami pelindung bagi istri).
Menyatakan posisi suami sebagai kepala keluarga berarti pengingkaran atas realitas masyarakat, karena pasal ini hanya mengakomodir satu pola bentuk keluarga yang terdiri dari ayah (suami), ibu (isteri) dan anak-anak. Realitas di masyarakat menunjukkan keragaman bentuk keluarga atau rumah tangga. Ada banyak keluarga yang hanya terdiri dari satu orang tua, yakni ibu atau isteri disertai beberapa anak, sehingga ibu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Atau, keluarga yang terdiri dari sejumlah anak yang ditinggalkan orang tua (ayah dan ibu) dan anak tertua perempuan berperan sebagai kepala keluarga atau rumah tangga. Dengan demikian banyak dijumpai perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga, walaupun secara de jure belum diakui tetapi secara de facto perempuan telah menjalankan perannya sebagai kepala keluarga.. Akibat perang atau musibah tsunami, seperti di Aceh atau migrasi ke luar negeri sebagai TKI telah memaksa perempuan berperan sebagai kepala keluarga. Selain itu, perkembangan wacana hak-hak asasi manusia secara internasional dan nasional perlu dijadikan sebagai sandaran hukum dalam melihat kedudukan suami-isteri. Sejak dari DUHAM, HAM Kairo, CEDAW, Amandemen UUD 1945 pasal 28, GBHN 1999-2004, hingga UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 51 (hak dan tanggungjawab yang sama dalam perkawinan) memperlihatkan adanya semangat untuk mewujudkan kehidupan yang egaliter dan demokratis dalam setiap lingkup kehidupan, termasuk kehidupan keluarga.
Pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri. Dan, para pemimpin ini akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Sebuah hadist mengatakan: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan ditanya tentang kepemimpinannya; seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya; dan akan ditanya kepemimpinannnya; seorang pembantu adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya; dan akan ditanya kepemimpinannnya; semua kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya kepemimpinannya” (H.R. Bukhari Muslim). Hadist ini memperlihatkan dan memberi peluang kepada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi pemimpin. Dengan demikian, ketentuan jenis kelamin bukan syarat menjadi pemimpin. Kepemimpinan lebih banyak berkaitan dengan soal kemampuan, kepercayaan diri (self confident), kemandirian, kedewasaan, keberanian, rasa tanggungjawab, dan rasa takwa kepada Allah.
Penanggungjawab Nafkah Dalam Perkawinan
KHI pasal 80 (ayat 4 dan 6) menegaskan: (4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan c. biaya pendidikan bagi anak. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. CLD menyodorkan alternatif bahwa pencarian nafkah merupakan tanggung jawab bersama suami-isteri. Namun, perlu diingat bahwa tugas-tugas reproduksi (hamil, melahirkan, menyusui, dan merawat anak) dinilai jauh lebih berharga daripada tugas mencari nafkah sehingga para isteri yang memilih melakukan tugas-tugas reproduksi tersebut dibebaskan dari kewajiban mencari nafkah, bahkan perlu mendapatkan apresiasi, seperti dukungan moral suami, makanan lebih bergizi, perawatan medis dan sebagainya sesuai kemampuan suami dan kemaslahatan bersama. CLD pasal 52 merumuskan sebagai berikut: (1) Hamil, melahirkan, dan menyusui bagi istri lebih bernilai daripada pekerjaan pencarian nafkah. (2) Akibat dari ayat (1) pasal ini, istri berhak memperoleh imbalan yang seimbang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. (3) Apabila kesepakatan tidak tercapai, maka masing-masing pihak dapat mengajukan permohonan penyelesaian ke Pengadilan.
Tidak ada perbedaan antara suami dan isteri dalam hal saling membantu mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan yang dinilai layak bagi suami juga layak untuk isteri. Demikian pula sebaliknya. Perempuan tidak diposisiskan hanya pada pekerjaan domestik di rumah tangga. Pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab bersama. Isteri juga boleh aktif pada peran-peran publik. Tidak ada halangan bagi isteri berkarier di luar rumah. Khadijah dan Fatimah, isteri dan putri Rasul telah mencontohkan bagaimana isteri bekerja memenuhi kebutuhan keluarga.
Larangan Poligami
KHI pasal 55 menyebutkan: (1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. (2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. Sementara CLD Pasal 3 merumuskan secara tegas larangan poligami: (1) Asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). (2) Perkawinan yang dilakukan di luar asas sebagaimana pada ayat (1) dinyatakan batal secara hukum.
Ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat Arab jahiliyah. Poligami pada masa itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu Islam datang melakukan reformasi radikal menyangkut dua hal: Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal bahwa poligami hanya bagi suami yang bisa menjamin keadilan untuk para isteri. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah, sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu, “it was too modern to succed” komentarnya.
Spirit yang terkandung dalam reformasi itu adalah komitmen kuat menghapuskan poligami karena tidak sesuai dengan keadilan yang merupakan inti ajaran Islam. Spirit inilah yang harus dipedomani dalam melakukan pembaruan hukum Islam soal poligami. Pembatasan ketat Islam terhadap poligami seharusnya dibaca sebagai suatu cita-cita luhur menghapuskan poligami secara gradual dalam kehidupan masyarakat. Layaknya khamer (minuman memabukkan) dan perbudakan, keduanya tidak dilarang sekaligus melainkan bertahap sehingga terbangun kesiapan masyarakat secara mental dan sosial untuk menerimanya. Sebab, tradisi minum khamer begitu juga perbudakan sudah demikian berakar dalam tradisi masyarakat Arab. Semua ayat Al-Qur`an menggunakan ungkapan sesuai dengan keadaan masa turunnya, tetapi pesan moral Al-Qur`an tidaklah dibatasi oleh waktu yang bersifat historis itu. Pesan moral keagamaan dibalik ayat-ayat poligami, perbudakan, dan larangan minuman keras adalah menyadarkan manusia akan martabat kemanusiaannya, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling bermartabat. Manusia harus menghormati dirinya dan juga sesamanya tanpa perbedaan apa pun, jangan menganiaya diri sendiri melalui minuman keras dan jangan pula menganiaya orang lain melalui poligami dan perbudakan.
Muhammad Rasulullah hidup dan tumbuh dalam tradisi poligami, tetapi justru memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah dan perkawinan monogami mereka penuh kebahagiaan berlangsung selama 28 tahun sampai Khadijah wafat. Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam. Padahal, Rasul sangat pantas berpoligami karena semua persyaratan dimilikinya: mampu berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; simpatik dan rupawan; tokoh masyarakat yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; dan terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata isteri teman tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa. Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat sehingga tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai “amul azmi” (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung jawab besar mengembangkan dakwah ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi beberapa perempuan untuk alasan tersebut. Perspektif historis inilah yang seringkali luput dalam kajian poligami.
Dibandingkan Fikih tradisional, KHI lebih progres karena menyebutkan poligami hany bisa dengan izin pengadilan. Namun, alasan pengadilan memberikan izin kepada suami berpoligami adalah: 1) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; 2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Semua alasan membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif suami, dan sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan perempuan. Misalnya, bagaimana jika suami tidak mampu menjalankan kewajibannya?, suami mendapat cacat atau penyakit?, atau suami mandul? Lagi pula alasan yang disebutkan itu menyalahi tuntunan Allah swt. dalam Q.S. an-Nisa, 4:19 yang maknanya: “…Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
An-Nisa 4:3, ayat yang selalu dijadikan landasan teologis poligami jika ditelusuri asbab nuzulnya jelas tidak berbicara dalam konteks perkawinan, melainkan dalam konteks perlindungan terhadap anak yatim. Karena itu perlu sekali menggunakan tafsir tematik (tafsir al-ma’udhuiy) dalam merumuskan hukum. Hukum poligami tidak bisa diambil hanya dari satu ayat tadi, yang itupun lebih terkesan melarang ketimbang membolehkan, melainkan harus dirumuskan dari semua ayat yang bicara tentang isu perkawinan sebagaimana telah disinggung dalam pembicaraan tentang prinsip Islam mengenai perkawinan dalam tulisan ini.
Perkawinan Beda Agama
KHI pasal 40 menegaskan larangan perkawinan beda agama. Sementara pasal 54 CLD menawarkan: (1) Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan. (2) Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masing-masing. (3) Sebelum perkawinan dilangsungkan, pemerintah berkewajiban memberi penjelasan kepada kedua calon suami atau istri mengenai perkawinan orang Islam dengan bukan Islam sehingga masing-masing menyadari segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perkawinan tersebut. Selanjutnya ada penjelasan pada Pasal 55: (1) Dalam perkawinan orang Islam dan bukan Islam, anak berhak untuk memilih dan memeluk suatu agama secara bebas; (2) Dalam hal anak belum bisa menentukan pilihan agamanya, maka agama anak untuk sementara ditentukan oleh kesepakatan kedua orang tuanya.
Larangan KHI menikah beda agama merepresentasikan secara utuh pandangan fikih tradisional, seperti dalam buku Fiqih Perempuan, melarang perkawinan beda agama karena alasan kepemimpinan. Laki-laki berhak memimpin isterinya, dan isteri wajib taat kepadanya. Tidak sepatutnya orang kafir atau musyrik memegang perwalian atau kekuasaan atas orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan buku Ilmu Fiqih Islam Lengkap melarang perkawinan beda agama dengan alasan tidak sekufu karena semua non-Islam dianggap musyrik atau mempersekutukan Tuhan. Sementara, CLD membolehkan perkawinan beda agama selama itu dilakukan untuk tujuan perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam definisi yang telah disinggung di bagian awal tulisan ini. Perkawinan beda agama tetap dilarang jika digunakan sebagai upaya konversi agama (Kristenisasi, Islamisasi, dan semacamnya) atau modus operandi ttrafficking (perdagangan perempuan) dan maksud-maksud jahat terselubung lainnya. Oleh karena itu, perkawinan beda agama hanya bisa dilakukan berdasarkan izin pengadilan, dan pengadilan harus melakukan penelusuran lebih jauh sebelum memberikan izin tersebut. Pandangan CLD mengacu kepada sejumlah pandangan ulama yang jarang dirujuk dalam kitab-kitab fikih Indonesia. Kajian terhadap ini menyimpulkan bahwa perbedaan pandangan ulama berpangkal dari perbedaan tafsir terhadap tiga istilah, yaitu tiga ayat Al-Qur’an yang banyak dirujuk dalam perkawinan beda agama, yaitu al-Maidah, 5; al-Baqarah, 221; dan al-Mumtahanah, 10.
Al-Qur`an menyebut kelompok non-Muslim dengan tiga macam peristilahan. Pertama, kelompok ahl-kitab. Terdapat beragam tafsir mengenai ahl-kitab, mulai dari yang sangat ketat sampai yang sangat longgar. Umumnya, dimaknai dengan umat yang mengakui kitab-kitab wahyu yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya. Masuk dalam kelompok ahl al-kitab, Nashrani (Kristen) dan Yahudi.[23] Laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan ahl al-kitab, seperti tertera jelas dalam Al-Qur`an, al-Ma`idah, 5: “Dan dihalalkan mengawini perempuan yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminah dan ahl al-kitab sebelum kamu. Sejarah Islam mengisahkan para sahabat Nabi menikahi perempuan ahl al-kitab, seperti Utsman ibn ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Hudzaifah bin al-Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Tidak ditemukan ayat al-Qur`an melarang perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki ahl al-Kitab. Hal itu berdasarkan kaidah ushul fikih, ‘adam al-dalil huwa al-dalil (tiadanya dalil mengindikasikan bolehnya sesuatu) Artinya, perempuan Muslimah boleh kawin dengan laki-laki ahl al-Kitab.
Kedua, kelompok musyrikin. Musyrik berarti mengingkari keberadaan Tuhan, tidak percaya pada Nabi dan hari akhirat. Menurut Ahmad bin Hanbal, musyrik dalam konteks masyarakat Arab adalah mereka yang menyembah patung. Dengan demikian, setiap orang yang percaya kepada Allah dan tidak menyekutukannya, apapun agama yang mereka anut tidak bisa dikategorikan sebagai musyrik. Artinya, kemusyrikan seseorang tidak terkait dengan agama yang diakuinya. Boleh jadi, seseorang secara formal mengaku beragama Islam, tapi dihatinya masih menyimpan rasa ingkar dan syirik terhadap Allah sehingga ia dapat digolongkan sebagai musyrik. Sebuah kaidah menyatakan “man lan yakun lahu washf lam yusytaq ‘anhu ism”. Tambahan pula, perilaku syirik lebih bersifat pribadi karena menyangkut soal keyakinan, tidak bisa diidentifikasi secara obyektif. Laki-laki mukmin tidak boleh mengawini perempuan musyrikah dan sebaliknya perempuan mukminah tidak boleh kawin dengan laki-laki musyrik. Alasannya, menurut Al-Qur`an, karena mereka akan menjerumuskan ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya (QS, al-Baqarah, 221). Kalau itu alasannya, maka bukan hanya kelompok musyrik yang haram dikawini melainkan semua orang yang berkeinginan atau berpotensi menjerumuskan kita ke neraka, seperti para koruptor, teroris, perampok, dan pelaku kekerasan atau kejahatan lainnya.
Ketiga, kelompok kafir. Umumnya, kafir diartikan orang di luar Islam. Kafir biasanya dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, kafir dzimmi, kafir harbi, kafir musta`min, dan kafir mu’ahad. Kebanyakan mufasir klasik mengharamkan perkawinan Muslim dengan orang kafir berdalil pada ayat al-Mumtahanah,10 (“…dan janganlah kamu tetap berpegangan pada tali (perkawinan) dengan orang-orang kafir itu”). Namun, sejumlah ulama menjelaskan bahwa ayat tersebut sebagaimana ayat al-Baqarah, 221 telah dinasakh oleh al-Ma`idah, 5. Ringkasnya, pandangan ulama mengenai perkawinan Muslim dan non-Muslim terpola kepada tiga katagori: pandangan yang membolehkan, tidak membolehkan sama sekali, dan membolehkan dengan syarat, yakni jika non-Muslim itu dari ahl kitab dan perempuan.
Iddah (Masa Transisi) Dalam Perkawinan
KHI Pasal 153 menyebutkan: “Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.” Ketentuan KHI tentang iddah ternyata tidak berlaku bagi isteri yang belum “dicampuri” atau qobla al dukhul. Artinya, pengaturan soal iddah dalam KHI tampaknya berkaitan dengan aktivitas seksual dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti kehamilan. Buku-buku fikih Indonesia umumnya menyebutkan perlunya iddah bagi perempuan untuk menentukan hamil atau tidaknya perempuan itu setelah ditinggal mati atau ditalak suaminya.
Iddah sejatinya mengandung makna yang dalam, berkaitan selain dengan seksualitas dan kehamilan, juga mempertimbangkan soal psykologis, tenggang rasa, solidaritas pada anak dan keluarga pasangan. Bahkan, iddah merupakan masa transisi di mana salah satu pasangan (iddah karena cerai mati) atau kedua pasangan (iddah karena cerai hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk mengambil keputusan selanjutnya. Apakah akan kembali rujuk dan membina hubungan baru yang lebih menjamin kebahagiaan bersama ataukah memutuskan untuk hidup menyendiri atau menjadi single parent buat anak-anak mereka,? Ataukah memutuskan untuk menikah dengan orang lain untuk mencoba kehidupan rumah tangga yang baru lagi?
Oleh karena itu, CLD Pasal 88 menyodorkan revisi: “(1) Bagi suami dan istri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama berlaku masa transisi atau ‘iddah. (2) Selama dalam masa transisi, mantan suami atau mantan istri dibolehkan rujuk. CLD menegaskan iddah berlaku bagi keduanya, bukan hanya isteri, melainkan juga suami.
Suami pun harus punya masa iddah, adapun lamanya disesuaikan dengan tradisi setempat atau berdasarkan kesepakatan, sedangkan masa iddah isteri mengikuti ketentuan lama dalam KHI. Secara eksplisit memang tidak ditemukan teks keislaman, baik dalam Al-Qur`an maupun hadist yang secara harfiyah menyinggung iddah suami. Namun, pesan moral agama yang terkandung dalam ajaran tentang iddah berlaku bagi suami dan isteri. Pesan moral tersebut mengharuskan keduanya memiliki empati, tenggang rasa dan solidaritas terhadap keluarga, utamanya terhadap anak. Karena itu, jika salah satu pasangan meninggal maka pasangan yang ditinggalkan (isteri atau suami) harus beriddah. Demikian pula jika keduanya (suami-isteri) bercerai maka masing-masing suami-isteri tersebut seharusnya beriddah menjalani masa transisi untuk sementara waktu.
Ihdad (Masa Berkabung) Dalam Perkawinan
KHI Pasal 170 merumuskan: (1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. (2) Suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. KHI sesungguhnya telah mengatur perlunya masa berkabung (ihdad) bukan hanya bagi isteri, melainkan juga suami. Gagasan KHI ini sangat progres, jauh melampaui ketentuan kitab fikih. Hanya saja, ketentuan itu belum dilaksanakan secara konkret di masyarakat. Sebab, masyarakat masih mengacu kepada ketentuan fikih yang hanya menyebutkan ihdad bagi isteri, bukan suami.
Revisi CLD Pasal 112: “Suami atau istri yang pasangannya meninggal dunia wajib melaksanakan masa berkabung selama masa transisi.” CLD selain mempertegas masa berkabung bagi suami, juga menghilangkan stereotipe isteri berkabung agar terhindar dari fitnah. Mengapa soal fitnah hanya dikaitkan dengan istri, padahal itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada diri suami. Ketentuan ini mengukuhkan kesan negatif terhadap perempuan, bahwa perempuan itu rapuh, mudah tergoda, dan gampang terjerumus dalam penyimpangan seksual dan karenanya mereka harus dikekang di rumah.
CLD menyodorkan pandangan Islam yang humanis dan egaliter. Islam mengajarkan semua manusia, laki-laki dan perempuan adalah ciptaan Tuhan. Yang membedakan di antara mereka hanyalah kualitas takwanya. Keduanya berkewajiban menjaga diri agak tidak timbul fitnah. Keduanya wajib menjaga pandangan mata dan organ-organ seksualnya agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Keduanya, laki-laki dan perempuan harus menjadi penyangga moral di masyarakat demi terbentuknya masyarakat yang bermoral (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur). Sejumlah ayat Al-Qur`an menjelaskan hal itu secara sangat jelas, bahkan ada indikasi penegasan untuk menjaga organ-organ seksual lebih ditujukan kepada pihak laki-laki (Q.S. al Mukminun, 23:5, al-Nur, 24:30-31, al-Ahzab, 33:35, al-Ma`arij, 70:29). Ihdad secara psikologis sangat dianjurkan bukan hanya bagi isteri, melainkan juga suami, paling tidak hal itu sebagai ungkapan kesedihan dan sebagai bentuk solidaritas terhadap pasangan dan keluarganya.
Hak dan Status Anak Di Luar Perkawinan
KHI Pasal 100 menyatakan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Sungguh tidak adil memaksakan anak yang lahir di luar perkawinan hanya bernasab pada ibu dan keluarga ibu, padahal anak tersebut memiliki ayah biologis yang harus bertanggungjawab. Karena itu, CLD Pasal 47 menawarkan: (1) Status anak yang lahir dari perkawinan hamil dinisbatkan kepada ibu yang melahirkan dan laki-laki yang menghamilinya. (2) Apabila ada keragu-raguan mengenai status anak, maka status anak ditentukan oleh Pengadilan Agama. Substansi revisi yang ditawarkan CLD adalah memungkinkan anak menelusuri siapa ayah biologisnya dan selanjutnya mengangkat status anak di luar perkawinan sama posisinya dengan anak dalam perkawinan. Islam mengajarkan anak tidak mewarisi dosa kedua orang tuanya (al-Fathir,18). Anak tersebut berhak bernasab pada kedua orang tuanya, berhak mendapatkan dari keduanya biaya pengasuhan, biaya pendidikan dan sebagainya, bahkan juga berhak mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya. Pemerintah berkewajiban menfasilitasi pengidentifikasian ayah biologis mereka. Ada banyak ayat dan hadis Nabi berisi ajaran agar memandang dan memperlakukan manusia bukan berdasarkan status perkawinan orang tuanya, melainkan berdasarkan prestasi takwanya (al-Hujurat, 13)
Kesimpulan
Hukum Islam, termasuk hukum perkawinan berkembang dan mengalami pembaruan sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan dinamika masyarakat Islam di berbagai wilayah. Pembaruan hukum perkawinan Islam, termasuk di Indonesia mengambil bentuk, antara lain meramu beberapa hasil ijtihad dan kemudian melahirkan ijtihad baru (talfiq), membuat kebijakan administratif (siyasah asy-syar’iyyah), merumuskan aturan tambahan (takhayyur), dan melakukan upaya reinterpretasi terhadap pandangan fikih yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi kekinian.
Pembaruan hukum perkawinan dalam bentuk CLD menawarkan suatu bentuk hukum perkawinan ideal, yaitu hukum perkawinan yang adil, pluralis dan demokratis berbasiskan ajaran Islam yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal. Tujuannya tidak lain adalah membangun perkawinan bahagia penuh cinta kasih (mawaddah wa rahmah) yang ditandai dengan perilaku suami-isteri yang santun (muasyarah bil ma`ruf), saling menghargai, saling memahami, dan saling melengkapi menuju kebahagian abadi di dunia dan di akhirat kelak.
CLD menperjuangkan agar tidak ada lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi perkawinan terpaksa, tidak ada lagi perkawinan anak-anak, tidak ada lagi perkawinan sirri (perkawinan “bawah tangan”), tidak ada lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika dicatatkan (registered marriage).
Sebagai sebuah tawaran yang dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian, tentu CLD tidak mengklaim dirinya sebagai rumusan final yang harus diterima secara absolut oleh semua pihak, melainkan hendaknya dilihat sebagai sebuah ijtihad mempromosikan ajaran Islam yang hakiki mengenai perkawinan;, ajaran yang mengedepankan cinta kasih dan penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perlu dilihat sebagai upaya mencari solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Terakhir, CLD bertujuan memberdayakan perempuan dan mewujudkan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak asasi perempuan sebagai manusia seutuhnya, seperti tertuang dalam konstitusi dan perundang-undangan serta konvensi CEDAW. Melalui CLD inilah komunitas Islam Indonesia dapat mempromosikan ajaran Islam yang ramah terhadap perempuan dan sekaligus rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh. Wa Allah a’lam bi as-shawab.