|

Muslimah Reformis

Apa yang anda cari, Ibu Musdah Mulia?

Gaya bicara perempuan berdarah Bugis itu penuh tenaga. Namun, ketika sebuah pertanyaan–yang menjadi judul di atas–diajukan kepadanya, sosok yang dalam dua dasawarsa belakangan menjadi salah satu target umpatan dan agitasi kelompok muslim konservatif itu berangsur meredakan suara.Setelah itu, dia mengajukan wajah dan menurunkan tempo. Lalu meletakkan jeda pendek tiap usai kalimat. Dengan gestur demikian, perempuan kelahiran 1958 tersebut seperti melipatgandakan muatan kesungguhan dalam pernyataannya.

Dia bilang bahwa dia tak mencari apa pun. Laku istikamahnya pada jalur aktivisme dan pemikiran keagamaan semata bagian dari rasa syukur personal sebagai manusia.

“Untuk apa saya diberi hidup kalau tidak melakukan sesuatu?” katanya di kantor Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), di Jakarta Pusat, Senin (13/5), “ini adalah bagian dari kewajiban saya sebagai manusia yang diberi kehidupan.”

ICRP lembaga nirlaba independen yang aktif mengupayakan dialog antar umat agama. Di antara pendirinya adalah mantan Presiden Indonesia sekaligus eks Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Abdurrahman Wahid; cendekiawan muslim nan masyhur sebagai pembela Ahmadiyah, Djohan Effendi; dan perempuan dalam cerita ini, Siti Musdah Mulia.

Tokoh-tokoh barusan bisa dibilang para pendekar kemanusiaan yang kenyang cercaan. Namun, saking banyaknya caci maki–serta ditembakkan selama bertahun-tahun–mereka mungkin jadi kebal. Bak tanah di pegunungan gundul. Setelah kena hujan terus-menerus, tanah itu tak lagi becus menyerap air.

Melewati kondisi sedemikian niscaya tak mudah. Setidaknya bila meminjam pengakuan Musdah Mulia. Dia butuh waktu cukup lama untuk belajar menaklukkan sumpah serapah. Walau kelak dia menemukan panasea: tak melayani semua omongan negatif ke arahnya. Itu supaya waktu dan energi tak habis.

Taktis saja tak cukup. Musdah Mulia harus pula menangkal kecut. Nyalinya memang baru muncul utuh pada 2004 setelah meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam. Produk dimaksud adalah hasil kajian Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama beranggotakan para pakar di bidangnya yang kala itu dia pimpin.

CLD dituntaskan dalam dua tahun. Format ulang atas peraturan berbingkai hukum agama tersebut memakai sudut pandang demokrasi, keberagaman, hak asasi manusia, dan gender. Setelah dirilis, cakar polemik atas CLD ikut menancap di benak Musdah. Meski begitu, gagasannya kemudian kerap menjadi rujukan kaum feminis muslim progresif Indonesia.

Karena mengandung revisi atas peraturan keluarga Indonesia–hukum keluarga, hukum perkawinan–para penentang CLD banyak berasal dari kelompok muslim yang menjunjung agenda pelaksanaan syariat. Di tengah gelombang penentangan, Musdah Mulia keki karena pejabat tertinggi Kementerian Agama saat itu menolak bertanggung jawab.

“Di Indonesia,” ujarnya, “setiap kali ada pembaruan, ada semacam ketidaknyamanan bagi kelompok-kelompok yang senang dengan status quo. Buat saya hal tersebut biasa saja. Tapi, menghadapi kelompok itu dengan bijak, saya harap itu dilakukan oleh Departemen Agama. Terutama oleh menterinya. Tapi kok tidak dilakukan”.

Macam-macam tanggapan negatif menyambar Musdah Mulia tanpa ampun. Ada yang datang langsung disampaikan ke kantor Kementerian Agama. Atau lewat media massa. “Dulu ada majalah Sabili. Juga kelompok seperti HTI, Majelis Mujahidin, dan FPI. Mereka menganggap saya melakukan perubahan terhadap hukum Islam,” katanya.

Sebelum CLD, Musdah belum pernah dikenai situasi yang begitu tekun menguji keberaniannya. Paling kalau ada hal mengganjal, dia mengadu ke Gus Dur, figur yang telah lama dia kenal sejak berkiprah bertahun-tahun sebagai pengurus Fatayat dan Muslimat NU.

Kepada Gus Dur, Musdah Mulia pernah mengeluhkan tentang kesalahpahaman banyak orang mengenai pemikirannya. Atau aksi oknum-oknum tertentu yang acap kali memotong-motong pernyataannya dan menafsirkannya sembarangan.

Namun, Gus Dur malah menanggapinya dengan rileks. “Pokoknya kamu lakukan apa aja yang kamu anggap baik, karena pada akhirnya yang waras yang menang,” kata Musdah Mulia menirukan perkataan kiai yang hobi nonton film itu. “Saya dari dulu diperlakukan begitu dan enggak pusing. Enggak perlu risau. Itu semua jadi iklan gratis buat kamu”.

Demi kesetaraan, demi kemanusiaan

Meski lebih dulu mengenal Abdurrahman Wahid–yang dirujuk sebagai pionir gerakan feminisme di NU–Musdah Mulia justru menajamkan fokus pada prinsip kesetaraan setelah menempuh S2 bidang Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah pada awal dekade 1990-an.

Di sana, dia sempat mengikuti kuliah dari Harun Nasution, sosok yang melakukan perombakan menyeluruh dan mendasar terhadap kurikulum IAIN (Institut Agama Islam Negeri)–nama silam UIN. Musdah Mulia satu-satunya perempuan yang pernah diangkat sebagai asisten sang profesor selama hidupnya.

“Beliau mengeluarkan gagasan mengenai pentingnya mengajarkan agama secara kritis dan rasional. Tetapi pandangannya tidak mudah ditangkap banyak orang. Karena bagi banyak orang, agama itu dogmatis. Akhirnya pemahaman seperti itu berbenturan dengan nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai konstitusional kita. Apa-apa, kafir. Apa-apa, sesat. Apa-apa, haram,” ujarnya.

Begitulah. Picu tanpa mesiu takkan menghasilkan letusan. Dan amunisi Musdah Mulia dalam menginterpretasikan agama yang akomodatif terhadap hak asasi manusia adalah konsep tauhid: dasar akidah Islam teragung dan hakikat Islam paling luhur.

Menurutnya, pemahaman tauhid secara benar menuntun seseorang untuk meyakini bahwa cuma satu Tuhan yang patut disembah. Untuk yang selain-Nya, posisi semua makhluk semata setara. Sama-sama ciptaan. Dalam konteks tersebut, klaim bahwa satu makhluk lebih superior dari makhluk lain jelas tak masuk hitungan.

Prinsip ketauhidan, karenanya, jadi “gagasan paling dahsyat yang pernah disampaikan Rasulullah pada abad ketujuh,” kata Musdah. Dan gagasan itu paling banyak menyalakan perlawanan di kalangan masyarakat jahiliyah.

“Orang-orang jahiliyah sebenarnya sudah tahu siapa Allah. Buktinya, bapaknya Nabi (Muhammad) bernama Abdullah. Tapi, untuk sampai kepada-Nya (di masa jahiliyah), ada banyak hierarki. Nabi lalu datang dan mengatakan setiap orang bisa langsung kepada Allah. Tanpa harus melalui pemimpin-pemimpin agama. Tentu saja banyak yang marah. Sebab kesetaraan menghilangkan kerja para calo agama,” dia bilang.

Problemnya, mengupayakan kesetaraan tak pernah mudah. Sebab, ujar Musdah, tiap orang merasa nyaman untuk berbeda dari yang lain. Dari sisi individual, atau sosial. Pandangan yang senantiasa hadir di tengah masyarakat.

Semacam dosa warisan Iblis.

“Godaan Iblis yang paling dahsyat itu adalah godaan rasial,” ujarnya, “menganggap diri sebagai berbeda dari yang lain. Satu-satunya dosa Iblis kan karena dia rasialis. Merasa lebih baik dari Adam. Makanya ketika Tuhan minta dia bersujud kepada Adam, Iblis menolak karena merasa diciptakan dari api lebih baik daripada diciptakan dari tanah”.

Dalam kasus pribadi Musdah, pelajaran akan kesetaraan bermula dari keluarga induknya di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ibunya, Buaidah Achmad, merupakan perempuan pertama di kampungnya–sebuah desa bernama Jalang, terletak di perbatasan Sengkang dan Bone–yang belajar di pesantren hingga selesai.

Sang ibu bisa begitu karena dorongan dari ibunya–nenek Musdah Mulia–yang waktu kecil dilarang bersekolah. Sebagai pelampiasan, sang nenek mengirim kedua anak gadisnya ke pesantren. Sayangnya, satu tak selesai karena sakit cacar.

“Saya mengapresiasi betul sikap nenek saya yang mau menyekolahkan anak-anak perempuannya meski harus di-bully habis-habisan sama orang sekampung. Nenek saya melihat harus ada perubahan. Orang harus punya pengetahuan,” kata Musdah.

Musdah–sebuah nama yang berarti pemberi–juga terdidik di pesantren. Dia berhasrat meneruskan sekolah ke pendidikan tinggi. Namun, saat itu dia hanya diizinkan untuk ambil kuliah di Jurusan Bahasa Arab. Sebab, kata kakeknya, bahasa Arab adalah “bahasa surga”.

Meski begitu, keterbatasan tersebut justru menjadi berkat terselubung. Pengetahuan tentang bahasa Arab kelak mengantarnya untuk lebih dalam memahami Alquran dan kajian-kajian Islam.

“Saya bisa membaca kitab-kitab keislaman otoritatif, yang semuanya menjelaskan bahwa ujung dari semua kepentingan dalam beragama adalah menjaga kemaslahatan manusia. Beragama untuk kemanusiaan. Itu amazing,” ujarnya.

Desakan intoleransi dan perjumpaan dengan imam gay

Tapi angin perubahan berembus tak tentu waktu. Keadaan masyarakat beberapa tahun belakangan menggelisahkannya. Lahan persemaian siap ditanami pihak-pihak mengatasnamakan agama nan tak tenggang rasa. Jika masyarakat Indonesia yang majemuk dan heterogen bereaksi, dapat terjadi benturan.

“Ini satu pertarungan penting buat pemerintah,” katanya, “kemampuan manajerialnya ditantang. Kalau pemerintah membiarkan kelompok-kelompok ini menguasai ruang demokrasi, enggak ada masa depan buat demokrasi”.

Musdah mengatakan negara sebenarnya memiliki kekuatan untuk bersikap. Namun, bukan berarti keberadaan kelompok-kelompok tertentu dihapuskan. Yang penting, ada kejelasan aturan. Berekspresi boleh, tapi tak disertai kekerasan. Pemerintah pun mesti lebih melumrahkan pandangan keagamaan moderat.

Kini, bagi Musdah, pembicaraan mengenai pendirian negara Islam merupakan anakronisme. Masanya sudah lewat puluhan tahun silam. Dan dia sedikit mengalami masa itu. Ayahnya, Mustamin Abdul Fattah, adalah orang nomor dua dalam gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Abdul Kahar Muzakkar.

Musdah memang tak pernah mendengar langsung penuturan ayahnya mengenai ide-ide yang melatarbelakangi DI/TII. Dia cuma mendengar dari pamannya, yang juga anggota gerakan itu.

“Waktu gerombolan tertangkap, mereka semua diiming-imingi jabatan. Itu kalau mau menyatu dengan republik. Bapak saya memilih untuk tidak bergabung. Waktu itu dia lari ke Malaysia. Setelah Orba berakhir, baru pulang,” ujarnya.

Dogma = intoleransi. Untuk meredamnya, pemeluk agama kudu mendudukkan akal dalam status mulia. Dengan nalar, otokritik bisa berjalan. Itu bikin manusia beragama jadi mewawas diri.

Kasus simpelnya, Musdah sering membatalkan salat berjemaah jika imamnya dia anggap tak kompeten. Bila bacaan sang imam “ngaco,” katanya, “saya memilih keluar dan salat sendiri. Kalau dia mau salah, ya salah saja. Saya sudah enggak ada kaitan lagi dengan dia karena saya bukan lagi makmumnya”.

Taklid buta sering membuat hal-hal baik terenggut. Seperti kasus para transgender di kampungnya, yang dulu biasa membangunkan sahur Ramadan sambil menari dan menepuk rebana.

Waktu Musdah masih bocah, orang-orang kampungnya melihat hal demikian biasa saja. Namun, zaman terbukti mengangkut perubahan. Dia kaget waktu akhirnya bertemu lagi dengan para transgender itu kala menjadi staf ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia di era Presiden Gus Dur. Hidup mereka ternyata dipersusah. Sering dipukuli orang tua masing-masing. Diminta untuk kembali normal.

“Resistensi besar sebenarnya muncul belakangan setelah aktivitas kelompok wahabi dan salafi menguat. Dulu kayaknya enggak,” ujarnya.

Suatu kunjungan ke Cape Town, kota tua Afrika Selatan, memberikan pengalaman lain. Kesempatan yang dia dapat karena diundang The Inner Circle, satu kelompok Tarekat Naqsabandiyah. Grup itu menyilakan para gay untuk bergabung. Pemimpinnya Muhsin Hendricks. Seorang homoseksual. Jemaahnya 2000-an.

Beberapa kali Musdah diminta datang. Juga pada 2011, tahun Muhsin menikahi pasangannya. Hanya dua anggota nonkelompok yang diundang. Musdah, yang diminta memberikan nasihat perkawinan, dan Amina Wadud–cendekiawan muslim Amerika Serikat–yang diminta menjadi saksi.

“Waktu memberikan nasihat perkawinan, saya gelagapan. Karena biasa pakai the bride and the groom. Sementara kata Imam Muhsin, ‘there are no brides and grooms, we are couple‘” kata Musdah mengenangkan.

Kelompok gay dan transgender termasuk dalam radar pembelaan Musdah selain kaum perempuan. Baginya, itu langkah wajar. Dasarnya tadi: kesetaraan. Mereka juga punya hak asasi yang mesti diperjuangkan.

Menurutnya, sensitivitas tinggi masyarakat terhadap golongan LGBT berpijak pada kisah Luth Alaihissalam yang terpacak dalam kitab suci. Menurut Musdah, ada empat kata kunci ketika Tuhan menjelaskan tentang cerita salah satu nabi-Nya itu: Al Fahisyah, Al Sayyiah, Al Khabaits, dan Al Munkarat. Kata-kata itu tak spesifik mewakili aktivitas LGBT, tapi juga heteroseksual.

“Saya menemukan kenyataan bahwa semua cerita yang menjelaskan tentang azab Tuhan terhadap pengikut Nabi Luth berkaitan dengan kejahatan seksual luar biasa yang berkaitan dengan pemerkosaan atau paedofilia. Enggak ada hubungannya dengan gay dan sebagainya, hal yang kita sebut sekarang dengan orientasi seksual,” ujar penerima Penghargaan Yap Thiam Hiem 2008 itu.

 

Sumber: Beritagar.id