Tri Indah Annisa
Terlahir menjadi perempuan terkadang membuat hidup dalam keterbatasan dan berada dalam aturan serta tekanan. Banyak perempuan di luar sana ternyata kurang beruntung. Perempuan merasa tidak mendapatkan keadilan peran khususnya dalam melakukan banyak aktivitas seperti layaknya seorang laki-laki. Baik itu diranah publik maupun diranah terkecil dilingkungan keluarganya sendiri.
Budaya patriarki yang sudah lumrah di lingkungan masyarakat sudah mendarah daging dan sangat menyusahkan peran dan keberadaan perempuan. Perempuan hanya dianggap makhluk kelas dua setelah laki laki. Sepertinya menjadi perempuan selalu terbayang akan belenggu ketidakadilan sejak dilahirkan sampai menikah atau bahkan sampai dia meninggal.
Menjadi perempuan bagi sebagian perempuan teryata sangat sulit, dikarenakan selalu merasa disusahkan dengan sistem patriarki dan terjebak oleh kontruksi sosial yang merugikan. Khususnya perempuan yang sudah menikah. Banyak dari perempuan di luar sana masih merasakan ketidakadilan dalam rumah tangganya yang dilakukan orang terdekatnya. Ketidakadilan bersumber dari lingkungan keluarga bahkan teman hidupnya yaitu suaminya sendiri.
Adapun salah satu kepahitan yang dialami menjadi perempuan yaitu masih adanya beban ganda (double burden) dalam relasi pernikahan yang membuat mereka tidak bahagia dan terganggu kesehatan mentalnya. Akibatnya banyak perempuan yang tak bedaya dan merasa insecure sehingga merasa tak layak untuk bahagia. Perempuan hidup hanya sekedar hidup untuk menuntaskan masa baktinya menjadi seorang perempuan. Mereka menjalankan aktivitasnya menjadi seorang istri dan ibu yang sudah tersistem oleh budaya dan sosial.
Budaya patriaki membuat perempuan hanya bertugas di rumah serta mengurus urusan rumah tangga yang sifatnya domestik, kebutuhan suami dan anak-anaknya. Jika perempuan kritis dan berontak untuk menyuarakan keadilan gender atas perannya, alih alih mereka mendapat golden tiket menjadi pendosa. Dianggap durhaka dan masuk neraka karena dianggap menodai legitimasi keagamaan, pembangkang, dan menjadi istri yang keluar dari fitrahnya.
Padahal itu tidak bersifat kodrati yang salah. Ini merupakan hak manusia untuk berdaya dan bahagia. Menyuarakan pendapat sebagai sifat kritis melihat kaca mata kehidupan yang tidak ramah gender dianggap sebagai bentuk pembangkangan perempuan. Acap kali dilabeli mencendarai kordati sebagai perempuan. Padahal perempuan dan laki-laki dihadapan tuhan adalah sama. Sama sama hamba tuhan yang memiliki tugas yang sama menjadi khalifatul ardi yang bermanfaat untuk sesamanya. Tetapi, kontruksi sosial yang tidak ramah geder seakan menyalahkan perempuan yang tidak tunduk dan patuh kepada laki-laki atau suaminya dianggap berdosa. Semua perkataan dan perbuatan yang diperintahkan suami dianggap sebagai cerminan sifat tuhan.
Narasi diatas disebut penafsiran yang keliru dan tidak ramah gender yang sangat merugikan untuk kaum perempuan. Perempuan harus menyadari dan kritis atas tafsir yang sifatnya relatif yang memiliki nilai kesalahan. Jangan di anggap sebagai absolut yang merugikan kaum perempuan.
Akibat tafsir yang tidak ramah gender tersebutlah yang mengakibatkan berbagai tindak diskriminatif, marjinalisasi, kesenjangan, serta berbagai bentuk yang mengacu pada ketidakadilan gender kepada perempuan. Maka secara tidak langsung berbagai indikator tersebut melahirkan sebuah dikotomi antara kaum laki-laki dan kaum wanita. Dimana kedua kaum ini menganggap bahwa antara suami dan istri pasti terdapat perbedaan dalam beberapa hal tertentu. Akibatnya memunculkan sebuah pola relasi patriarki dimana dalam hal ini pihak laki-laki lebih diuntungkan daripada pihak perempuan.
Padahal perempuan dalam pernikahan yang harapkan adalah sebuah pernikahan yang sehat dan bahagia. Bukan sebaliknya sebuah pernikahan sebagai ajang penyerahan diri kepada suaminya untuk mendapatkan ketidakadilan peran yang diterimanya.
Tulisan ini memiliki tujuan diantaranya pertama, untuk mengajak dan memberikan wawasan luas akan keadilan untuk perempuan sebagai sarana meningkatkan derajat kedudukan dan nilai perempuan sesungguhnya baik di mata agama maupun di sosial. Kedua, sebagai bekal mempersiapkan pernikahan bagi calon pasangan yang ingin menikah ataupun yang sedang mencari pasangan. Ketiga, mengurangi bias gender atau ketidakadilan gender dalam rumah tangga atau sosial. Keempat, membekali diri sehingga pernikahannya menjadi pernikahan ramah untuk perempuan, ataupun pernikahan yang ramah untuk ditinggali semua penghuninya.
Perempuan itu harus kritis, berdaya, merdeka dan berhak bahagia.