Selain karena buku ini lengkap mebahas banyak isu, yang lebih penting adalah karena buku ini mengambil sudut pandang perempuan. Subandri mengatakan, hal dasar dan sangat penting yang ditekankan dalam buku ini adalah perempuan adalah manusia. Ini konsep dasar yang harus dipahami dalam memperjuangkan isu gender. Bukan sebagai gender kelas dua, tetapi sebagai manusia, sama seperti laki-laki.
Serupa dengan itu, Aseanty Pahlevi, mengatakan Muslimah Reformis sangat dekat dengan dengan kehidupan kesehariannya yaitu sebagai perempuan dan jurnalis. “Buku ini bisa dijadikan pedoman dalam jurnalisme. Hal mendasar yang menarik, dikatakan agama seharusnnya bisa menjadikan kita mengenali hakekat diri. Lalu di bab 8, ada hak asasi perempuan.”
Aseanty menyoroti media yang sering pencitraan dan menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi. “Dalam advertising, perempuan dijadikan objek ekploitasi. Media juga memperkuat stigma yang ada di masyarakat. Bukannya meluruskan, malah stigma tersebut dituangkan dalam karya jurnalistik.” Menurut Kak Levi, setelah membaca buku ini, kita bisa membuat argumentasi baru terhadap berbagai stigma yang disematkan pada diri perempuan.
Kak Levi berpesan, jika membaca buku yang tebalnya lebih dari 800 halaman ini, kita bisa mengakali satu persatu isu yang dibahas dengan membandingkannya dengan kehidupan sehari-hari. Karena memang bahasa yang dipakai dalam buku ini sangat ringan dan mudah dipahami.
Prof Musdah Mulia sendiri sangat mengapresiasi kegiatan ini apalagi karena diskusi kali ini menghadirkan pembicara yang relatif muda dan para peserta dari kalangan muda. “Dalam banyak forum, saya mengharapkan kalangan muda berbicara dalam isu-isu keagamaan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Ternyata mereka juga hebat, tidak kalah dari kalangan tua. Saya selalu ingin melihat, bagaimana mereka merespon. Kali ini di Pontianak, meskipun pesertanya dari seluruh Indonesia.
Buku ini disasar terutama pada pembaca perempuan. “Kenapa harus perempuan? Perubahan harus dimulai dari perempuan. Karena kalau perempuan tidak berubah, perubahan semaca apapun itu tidak banyak manfaatnya,” kata Musadah Mulia. Menurut dia, pada banyak kebudayaan, perempuan itu dianggap sebagai ibu. Ibulah yang membawa rahim dan proses kehidupan manusia. Kalau perempuan tidak cerdas, visioner, tidak banyak yang bisa kita harapkan. Musdah Mulia mencontontohkan Sarinah Sarinah, seorang perempuan yang mengasuh Bung Karno dan berperan penting dalam kehidupan Bung Karno,”
Prof. Musdah Mulia menyampaikan apresiasi pada dua organisasi dari kelompok muda yaitu SAKA dan SADAP. Dikatakan kelompok muda ini memberikan warna dalam pembangunan demokrasi di wilayah Kalimantan Barat. “Penting sekali masyarakat sipil bersinergi, tidak berjalan sendiri-sendiri. Karena kita capek menghadapi Indonesia ini dengan penduduk 270 juta penduduk. Kalau bekerja sendiri-sendiri kita kehabisan energi nanti. Sehingga isu-isu yang kita lakukan, seperti membangun dialog lintas iman, bisa disinergikan dengan kelompok-kelompok lain yang juga memiliki visi dan misi yang serupa. Apalagi setelah reformasi, tantangan yang kita hadapi semakin pelik.”
Sumber: bujangadau.net