|

Muslimah Reformis

Belajar Toleransi dari Short Course di Amerika

Atssania Zahroh

Ketika sedang menjalani short course (studi singkat) Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) di Amerika Serikat, tiba-tiba saya mendapatkan pertanyaan dari Bapak saya. Mengutip pertanyaan dari seorang kenalan Bapak, yaitu “Mengapa anaknya memilih Amerika sebagai tujuan short course?” Dari pertanyaan ini, Bapak merasa perlu mendapatkan jawaban secara langsung dari saya.

Pertanyaan tersebut saya kira wajar. Sebab, Amerika Serikat bukanlah negara yang dikenal dengan sumber keilmuan Islam yang berlimpah. Menjadi lebih wajar lagi, sebab kenalan Bapak tersebut, bahkan orang di seluruh dunia tahu bahwa Amerika Serikat adalah pendukung utama Israel yang sekarang justru menggempur Palestina.

Namun, pengalaman short course selama tiga bulan terakhir yang saya rasakan agaknya memberikan informasi yang perlu dipertimbangkan. Di Amerika, bersama enam orang lainnya, yaitu Mimi, Mela, Bangun, Labib, Aziz, dan Faqih, saya belajar arti toleransi.

Hakikat Toleransi

Menurut KBBI, toleransi adalah sikap atau sifat toleran. Dua kelompok disebut saling bertoleran jika keduanya memiliki rasa menenggang, menghargai dan membiarkan pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri.

Belajar toleransi saat di Amerika ini benar-benar saya peroleh di dalam keseharian. Saat kegiatan kampus, teman-teman non-Muslim menyilakan saya meninggalkan acara sebentar untuk shalat. Potret lainnya yaitu suatu hari saat Community Prayer yang bertema Jewish holiday of Sukkot, seluruh mahasiswa baik Yahudi, Kristen ataupun Islam tetap mengikuti sampai akhir acara. Meskipun saya dan teman-teman Muslim tidak mengamalkan, tapi kami memperhatikan dan mengetahui ritual yang mereka lakukan.

Melihat wajah hubungan antarumat beragama yang sedemikian toleran, membuat saya ingin belajar lebih jauh lagi tentang bidang tersebut. Terutama setidaknya untuk merespon konflik Israel-Palestina yang salah satu akarnya adalah kesalahpahaman dalam memahami hubungan antarumat beragama.

Sikap toleran yang sudah diupayakan tidak lantas membuat media kehabisan narasi propaganda. Sebagaimana diberitakan dalam New York Times (19 Oktober 2023), Presiden Amerika Joe Biden menyatakan dukungan penuh terhadap Israel: “[USA] stays with Israel.” Demikian sebab, selain karena Palestina-lah yang memulai menyerang, Amerika dan Israel memang memiliki rekam jejak kerjasama dalam bidang politik dan militer yang baik.

Sikap politik seperti ini pada akhirnya akan membuat Palestina semakin menderita. Serangan demi serangan dahsyat tambah digencarkan oleh Israel. Ribuan korban dari warga sipil berjatuhan. Pilu yang mereka rasakan tidak berhenti di situ sebab berbagai fasilitas seperti pengolahan bahan makanan dan penyimpanan air bersih telah hancur.

Dari penyerangan ini kita tahu, tentara Israel yang seharusnya melawan tentara Palestina atau Hamas, malah menyerang orang-orang yang bisa jadi bukan bagian dari Hamas, seperti kejadian serangan di dalam rumah sakit. Balasan serangan tersebut membuat hati siapapun yang tahu seperti teriris bahkan merasa tidak masuk akal.

Bagaimana posisi kita atas konflik yang terjadi? Tentu bagi umat Islam, pilihan paling rasional adalah stand with Palestine. Namun saya juga ingin mengatakan tidak seluruh penduduk Amerika setuju terhadap Israel dan berlaku kejahatan kemanusiaan pada warga Palestina. Sangat mungkin jika sikap pemerintah Amerika tidak sepenuhnya disepakati oleh warganya.

Belajar Toleransi di Hartford

Di Hartford International University for Religion and Peace (HIU), semua civitas akademika termasuk di dalamnya saya yang berkesempatan short course melakukan doa bersama untuk korban Palestina. Tepat di tanggal 17 Oktober 2023, di white building saya melihat perwakilan dari seluruh agama yang ada yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi, memanjatkan doa, menyatakan solidaritas, dan menjunjung tinggi nilai penghormatan antarumat beragama.

Generalisasi sementara orang bahwa Yahudi adalah Israel juga perlu dipahami dengan baik. Sebab, tidak semua warga Amerika adalah Yahudi Zionis; sebagaimana tidak semua orang Palestina adalah Hamas. Ini dibuktikan dengan adanya solidaritas civitas akademika HIU yang terdiri dari berbeda-beda agama terhadap mahasiswa asal Mesir, Libanon, dan Tunisia. Ini menunjukkan generalisasi tersebut tidak bisa diterima begitu saja.

Saya ingat salah satu ayat yang disampaikan oleh satu teman dari Tunisia di malam doa bersama waktu itu; lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā (Al-Baqarah 286). Makna ayat tersebut, “Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar kemampuan hamba-Nya” tampak pada saat semua yang hadir berdoa dengan khidmat, saling menguatkan, InsyaAllah yakin bahwa Allah adalah Maha Pelindung bagi hamba-Nya yang lemah dan tertindas.

Nilai Toleransi yang Saya Dapat Selama Short Course di Amerika

Dalam program tiga bulan yang bertajuk “Short Course of Being Global Ulama” ini, ada sekian nilai toleransi yang saya dapatkan.

Pertama, kesadaran sebagai minoritas. Di satu kesempatan, saya dan beberapa teman diajak oleh Profesor Colleen Keyes – pembimbing salah satu di antara kami – mengunjungi Masjid Berlin untuk menghadiri kajian. Masjid ini merupakan satu di antara sedikit masjid yang ada di Hartford. Ketika akses ke rumah ibadah terbatas, sementara dalam masjid tersebut hadir beberapa orang sesama Muslim, kesadaran akan posisi kami sebagai minoritas semakin terasa.

Kedua, solidaritas antariman. Di Hartford, kami juga diajak ke lembaga sosial yang bernama Hands on Hartford. Dengan hanya menjadi volunteer, setiap orang, apapun agamanya, dipersilakan makan gratis di dalamnya. Namun, bagi yang tidak bersedia, diperbolehkan untuk makan dengan hanya membayar sesuai yang mereka mampu. Tampak di sini toleransi dan solidaritas antarumat beragama yang begitu kuat di kalangan warga Amerika.

Ketiga, empati terhadap rakyat Palestina. Ketika mengunjungi Harvard University, saya menyaksikan aksi mahasiswa yang menyerukan penghentian kejahatan genosida yang menimpa warga Palestina. Dari sini, saya mulai memahami bahwa tidak semua warga Amerika membela Israel sebagaimana yang dipersepsikan publik. Tidak sedikit dari mereka ternyata juga menaruh simpati terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Dari pengalaman-pengalaman di atas akan saya sampaikan pada kenalan Bapak yang kepo, termasuk kepada teman-teman saya, bahwa Amerika bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Terutama beragamnya respon warga Amerika terhadap konflik Israel-Palestina benar-benar menjadi pelajaran bagi saya pribadi; tidak dengan mudah melakukan generalisasi terhadap satu hal.