Lebih lanjut, para ulama juga menambahkan bahwa kalaupun seorang suami terpaksa memukul isterinya, ada beberapa ketentuan yang digariskan dan harus diperhatikan oleh suami. Ketentuan dimaksud adalah 1) terlarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan sejenisnya, 2) dilarang memukul pada bagian wajah, 3) dilarang memukul hanya pada bagian tertentu, dan 4) dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera, apalagi sampai cacat.
Dengan memperhatikan larangan-larangan tersebut, muncul pertanyaan kritis. Masih bisakah suami memukul sambil menghindari keempat larangan tadi? Jadi, sebetulnya para ulama lebih menghendaki tidak dilakukannya pemukulan.
Yang patut digarisbawahi, bahwa semua ulama, baik yang memahami ayat tersebut secara tekstual maupun secara metaforis, sepakat bahwa sikap suami yang tidak memukul dan terlebih lagi mau memberi maaf adalah tindakan terpuji.
Pandangan ini sejalan dengan makna QS Al-Baqarah [2]:237, yakni:“Memberi maaf adalah tindakan beradab, hanya laki-laki yang tidak beradab berani memukul isterinya”, demikian penegasan Abduh.
Abduh juga menambahkan, sesungguhnya para suami dituntut untuk senantiasa berlaku lemah lembut, kasih sayang, dan sopan santun terhadap isteri dalam segala situasi (Abduh, 1925: 75).
Pandangan Abduh sejalan dengan bunyi hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kalsum binti As-Siddieq: “suami dilarang memukul isteri” (HR. Al-Baihaqi). Secara lebih tegas lagi, Nabi Saw. menjelaskan dalam salah satu sabdanya: “yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang paling baik sikapnya terhadap keluarga” (H.R. Ibnu Majah).Jika seorang suami atau isteri berbuat kesalahan, memberi maaf kepadanya jauh lebih baik daripada memukulnya.
Bukankah terhadap orang lain sekali pun kita dihimbau untuk memaafkan kesalahan mereka? Sampai-sampai dalam kasus qisas pun memberi maaf adalah tindakan yang paling mulia (QS Al-Baqarah [2]:178).
Apatah lagi terhadap isteri yang telah bersedia hidup mendapingi suami. Dalam banyak ayat, misalnya QS Al-Baqarah [2]:229, Al-Qur’an menghimbau manusia untuk hidup saling mengasihi di antara sesama. Bahkan, bukan hanya terhadap sesama manusia mereka dituntut untuk berbelas kasih, melainkan juga terhadap binatang.
Selain dari Al-Qur’an dan hadis, dijumpai pula pernyataan sahabat dan tabiin yang menjelaskan keutamaan perilaku terpuji terhadap isteri. Dikisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Hasan Bashri (ulama sufi dari kelompok tabi’in) untuk meminta pandangannya. Katanya: “ada dua orang yang melamar putriku siapa yang aku terima? Hasan Bashri menjawab: “Terimalah yang paling baik agamanya karena jika ia senang kepada isterinya, pasti ia akan menghormatinya, dan kalaupun membencinya, ia pasti tidak akan menganiayanya” (Abdul Aziz Abdus Sattar: 1972: 75).
Jawaban sufi tersebut memberi pedoman bagi para orang tua agar dalam memilih jodoh buat puteri-puteri mereka hendaknya memilih laki-laki yang beragama. Sebab, suami yang betul-betul beragama tidak akan mungkin memukul dan menyengsarakan isteri.
Artinya, kalau ada suami mengaku beragama, tetapi memukul dan menganiaya isteri berarti ada dua kemungkinan; pertama keberagamaannya diragukan, dan kedua, dia keliru memahami ajaran agamanya.
Kisah lain yang lebih transparan menggambarkan bagaimana seharusnya sikap suami terhadap isteri adalah berkenaan dengan pernyataan Umar ibn Khattab. Suatu hari datang seorang suami mengeluh kepadanya sambil berkata: “Wahai Umar, cintaku kepada isteriku telah memudar dan karenanya aku berniat untuk menceraikannya.”
Tanpa pikir panjang, Umar langsung menjawab: “sungguh jelek niatmu. Apakah menurutmu rumah tangga hanya membutuhkan cinta? Di mana rasa takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula perasaan malumu kepada-Nya? Bukankah kalian sebagai suami-isteri telah bergaul secara intim, dan ketahuilah bahwa kalian telah memateri perjanjian yang kuat?”
Pernyataan di atas diucapkan oleh seorang khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras, namun terhadap derita perempuan ia tetap memiliki empati yang sangat dalam. Bagi Umar, ikatan suami-isteri dalam rumah tangga bukan semata-mata dilandasi cinta belaka, melainkan jauh lebih bermakna daripada itu, yakni komitmen yang sangat kokoh (mitsaqan galiza), seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.
Komitmen itu harus diaplikasikan dalam wujud rasa takwa dan malu kepada Allah, Sang Pencipta. Suami yang memiliki rasa takwa dan malu kepada Allah tidak akanmelakukan perbuatan kasar dan tercela terhadap isterinya. Demikian sebaliknya. Bahkan, jika suami mendapati isterinya mempunyai kekurangan-kekurangan, Al-Qur’an masih meminta suami tetap bersabar. Sebab, boleh jadi, di balik kekurangan itu tersimpan hikmah yang besar (QS Al-Nisa’ [4]:19).
Menarik untuk dikemukakan di sini pendapat Ibnu Hazm, seorang ahli hukum Islam abad pertengahan, yang mengatakan bahwa sesungguhnya bukanlah kewajiban isteri melayani suami dalam bentuk menyediakan makanan, minuman, mengatur dan menata rumah tangga, apalagi membantu mencari nafkah. Justru suamilah berkewajiban menyediakan kebutuhan sandang, pangan, dan papan bagi isteri.
Bahkan, isteri tidaklah berkewajiban menyusui dan merawat anak-anaknya (QS Al-Thalaq [65]:6, dan Al-Baqarah [2]:233), sehingga terbuka peluang baginya menuntut pada suami untuk dicarikan ibu susuan yang bertugas menyusui dan merawat anak-anak tersebut. Hanya saja, sebagian besar kaum ibu tidak tega berbuat seperti itu manakala ia sendiri tidak berhalangan untuk melakukannya.
Karena itu, berlaku kasar terhadap isteri, seperti memukul atau menampar dan sebagainya jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam berulangkali menegaskan betapa tingginya derajat seorang perempuan, terutama mereka yang berstatus sebagai ibu sehingga seorang anak diwajibkan untuk mengabdi dan berlaku sopan santun kepadanya (QS Al-Ahqaf [46]:15-17). Demikian pula dalam hadis dinyatakan bahwa ibu adalah manusia yang paling berhak menerima kebaktian dari seorang anak. Bahkan, ibu lebih berhak tiga kali daripada ayah (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Kesimpulannya, kekerasan terhadap perempuan, apa pun bentuknya dan siapapun pelakunya, merupakan perbuatan biadab yang bertentangan dengan jiwa Islam. Islam, sebagaimana akar katanya, salima berarti damai dan sejahtera yang pada intinya mengajarkan perilaku arif bijaksana, lemah lembut, sopan santun, penuh kasih saying, bukan hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada sesama makhluk.
Al-Qur’an adalah suatu teks yang harus dibaca secara kontekstual, yaitu dengan memahami konteks budaya dan masyarakat di mana Al-Qur’an diturunkan. Membaca Al-Qur’an secara kontekstual akan menunjukkan kepada kita bahwa Al-Qur’an membawa pesan-pesan moral yang bersifat universal seperti keadilan, kesetaraan, kemashlahatan, kejujuran, kebersihan dan kedamaian, serta penghormatan terhadap kemanusiaan, cinta kasih, dan kebebasan. Pesan-pesan hakiki dan luhur inilah sesungguhnya benang merah yang menjadi penghubung eksistensi umat manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kurun waktu ke kurun berikutnya. Inilah ajaran yang disampaikan oleh Adam a.s., diteruskan oleh para Rasul dan Nabi selanjutnya sampai kepada Muhammad Saw., dengan perwujudan kontekstual yang berbeda-beda. Benang merah inilah yang sesungguhnya harus dipahami ketika membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam semua bidang kehidupan.