Sebelum aku menemukan diriku sekarang, aku merupakan seorang perempuan yang punya masalah kepercayaan diri, utamanya kepercayaan diri dalam segi fisik. Pasalnya, di masa kecil aku pernah mendengar dengan jelas ejekan yang ditujukan padaku dan pelakunya adalah teman perempuanku sendiri. Aku masih sangat ingat kejadian itu, kala kami bermain bisbol di lapangan sekolah, ia meneriakiku dengan ejekan ‘tongos’. Wow, sebuah ejekan yang sangat lugas.
Tidak hanya itu, aku juga pernah dikomentari perihal fisik yang sama, namun pelakunya kali ini berbeda. Ia adalah seorang cowok yang kusukai kala SMP. Waktu itu kala pulang sekolah, aku dan teman-temanku termasuk dia, berada dalam satu kendaraan umum yang sama. Karena memang notabene penumpangnya adalah teman-temanku, mereka dengan gaya bercandaan khas anak SMP mencoba mencomblangkanku dengan cowok yang aku sukai. Naasnya, dia dengan tegas bilang, “Gak, aku gak suka sama Faiq, dia bimoli.”
Kamu tahu arti bimoli? Hahahahah, bukan merek minyak goreng yang seringkali dijual dengan harga promo di Indomaret atau Alfamart, bukan. Bimoli adalah sebuah sebuah singkatan dari bibir monyong lima senti. WKWKWKWKWKWK~
Di SMA, aku punyai seorang teman laki-laki yang dengannya hubunganku begitu akrab. Walau tidak kutanggapi dengan marah atau sedih, tapi kalimatnya berkenaan dengan fisikku berhasil membuatku sedikit overthinking. Ia pernah berujar padaku mengenai bentuk hidungku yang pesek hingga batang hidung antara kedua mataku seperti layaknya kertas; tipis alias pesek banget!
Sejak kejadian pertama yang kualami, aku menjadi seorang yang percaya bahwa aku adalah perempuan yang jelek. Kejadian kedua membuatku semakin percaya bahwa aku jelek, hingga aku berpikir bahwa sangat tidak mungkin ada laki-laki yang akan menyukaiku karena keadaan fisikku yang tidak cantik. Sementara itu, kejadian ketiga semakin memperjelas bahwa aku adalah perempuan yang jelek. Terpatri dalam benakku bahwa orang terdekatku aja ngangep aku jelek, gimana dengan orang lain?
Stigma ‘perempuan jelek’ yang kusematkan pada diriku kala itu, membuatku ingin sekali merubah atau setidaknya memperbaiki penampilanku. Pada ibuku aku meminta untuk gigiku dikawat supaya posisinya rata dan bagus. Ibuku bukan menuruti, ia malah memarahiku. Ujarnya, “Buat apa ngawat-ngawat gigi, bentuk begitu sudah bagus, kok mau menyusahkan diri dengan pake kawat. Banyakin bersyukur.”
Meskipun waktu itu aku masih bingung caranya mensyukuri suatu hal yang membuatku diejek orang, aku tetap mengucapkan alhamdulillah. Dan sejak saat itu, aku berhenti merengek minta gigiku dikawat.
Tidak hanya itu, sering ketika aku selesai mandi, aku menatap wajahku di cermin dengan durasi yang begitu lama. Kupandangi seluk beluk gurat wajahku. Aku selalu mengimajinasikan bentuk wajahku yang lain. Aku sering mengimpikan hidung yang mancung, mata yang bulat, bibir yang tipis, hingga gigi yang rata. Aku mengkontruksi wajahku dengan merekontruksi pantulan di cermin. Kuapit hidungku lalu kumajukan sedikit agar bentuknya tidak sepesek kertas. Lalu aku menemui sebuah bentuk yang menyeramkan, seperti burung elang. Aku kaget, “Hah itu siapa?” Aku buru-buru mengembalikan hidungku pada bentuk biasanya.
Aku benar-benar kaget menemui wajahku yang seperti itu. Tidak terpikirkan olehku bahwa jika hidungku mancung, akan muncul wajah yang menyeramkan. Padahal, wajah yang kuharapkan adalah wajah yang cantik, bukan sebaliknya. Sejak kejadian tersebut, aku ngga lagi pengen hidung yang mancung. Ntar kalau hidungku beneran dimancungin sama Tuhan, aku takut wajahku bakal menakutkan seperti wajah elang.
Dari kejadian itu aku belajar bahwa yang diungkapkan Tuhan dalam Alquran surat At-Tiin ayat 4 benar adanya. Dituliskan dalam ayat tersebut bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tidak hanya itu, dalam surat al-Qomar ayat 49 juga dituliskan bahwa Tuhan telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Kejadian-kejadian dan ayat-ayat yang kubaca membuatku merubah mindset-mindset jadul yang ada dalam pikiranku berkenaan dengan kecantikan. Aku tidak lagi dengan gampang beranggapan bahwa diriku jelek lalu nyalahin Tuhan dengan berujar, “Yaudah Tuhan udah nyipatin aku sedemikian rupa, mau gimana lagi, udah dari sononya jelek.” No! That’s a big NO!
Kuyakin, menjadi cantik itu bukan dengan nyalahin Tuhan. Cantik tidak diciptakan olehNya, melainkan oleh konstelasi sosial, dan aku berhak mendefinisikan cantik karena aku bagian dari konstelasi tersebut.
Menjadi cantik menurutku adalah dengan berpikir bahwa punya hidung pesek itu bukan sebuah beban, punya gigi yang gak rata itu bukan sebuah kesalahan, punya mata yang sipit itu bukan sebuah petaka, hingga punya warna kulit yang hitam itu bukan sebuah kerendahan diri-an. Semua bentuk fisik yang ada dalam diriku, kupercayai sebagai berkah, bukan sebagai masalah. Ia diciptakan dalam kesempurnaan dan udah tepat sesuai ukuran. Jadi aku tidak perlu memperbaiki keadaan fisik yang sudah tercipta untukku.
Dengan aku berpikiran demikian, tidak ada lagi standar-standar kecantikan yang harus aku ikuti. Aku cantik bukan karena bibirku merekah merah, bukan karena kulitku putih porselen, atau tinggiku jangkung semampai. Aku cantik karena aku perempuan.
Dan see what? Untuk sebuah pemoles bibir yang harganya lima puluh hingga ratusan ribu, aku tidak membelinya. Untuk sebotol lotion pemutih kulit seharga sepuluh hingga ratusan ribu, aku tidak membelinya. Untuk peninggi badan yang harganya tiga puluh hingga ratusan ribu, aku juga tidak membelinya.
cerita oleh Layliyatul Faiqiyah
editor: Wiwit Musaadah