Menyongsong tanggal 8 Maret, Hari Perempuan Se-dunia (International Women’s Day) kelompok perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan Terhadap Perempuan memilih tema sentral, Akhiri Kekerasan Sekarang Juga! Mengapa tema ini penting? Sebab, kekerasan terhadap perempuan (KTP) terjadi setiap hari di berbagai belahan bumi. Korban dan pelakunya tidak mengenal suku bangsa, warna kulit, agama dan kepercayaan. Masyarakat perlu tahu, bahwa KTP merupakan pelanggaran HAM yang serius dan karenanya menuntut perhatian dan penanggulangan yang lebih seksama.Perjuangan panjang kaum feminis di seluruh belahan dunia untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan bagi semua manusia, termasuk perempuan akhirnya diapresiasi PBB. Tanggal 20 Desember 1993 Resolusi Sidang Umum PBB menyepakati perlunya mengakhiri semua bentuk kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat dunia sadar bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia. Hal itu, antara lain karena dampaknya yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi kaum perempuan sebagai korban.Resolusi PBB mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan (KTP) sebagai pelanggaran dan pengabaian hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar perempuan. Faktanya, KTP merupakan kejahatan yang sistemik dan meluas, terjadi kapan saja dan dimana saja. Selain itu, KTP memiliki banyak dimensi, mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan finansial. Bentuk nyata KTP sangat beragam, dimulai dengan pemaksaan hubungan seksual, termasuk pemaksaan yang dilakukan suami terhadap isteri (marital rape), pelecehan seksual, pemaksaan menggunakan alat-alat kontrasepsi KB, pemaksaan agar hamil dan punya anak, sunat atau khitan terhadap perempuan, dan semua bentuk perilaku terhadap perempuan yang tidak memberikan suasana kondusif untuk menjalani kehamilan dan persalinan.
Sejumlah penelitian mengungkapkan, betapa besar dampak perilaku kekerasan terhadap kesehatan perempuan. Pertama, KTP sangat mengguncang kesehatan fisik perempuan. Sejumlah kasus mengindikasikan secara jelas bahwa perempuan korban kekerasan sangat potensial mengalami berbagai bentuk PMS (penyakit menular seksual) mulai dari yang ringan sampai yang berat dan juga kemungkinan terkena HIV/AIDS.
Korban juga seringkali tak bisa menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran, penyakit kronis di sekitar panggul atas, pusing-pusing atau sakit kepala yang kronis, asthma, penyakit-penyakit pada organ reproduksi, penggunaan minuman keras (alkohol dan sejenisnya), sindroma sekitar anus, dan juga sangat mungkin korban bertingkah laku yang merugikan kesehatan, seperti merokok, dan melakukan hubungan sex yang tidak aman karena rasa benci dan putus asa.
Selain gangguan fisik, korban perkosaan juga rentan mengalami gangguan psikis atau kesehatan jiwa, seperti stress berat (gangguan jiwa), depresi, kegelisahan yang berkepanjangan, trauma, disfungsi seksual, gangguan pada selera makan (selera makan hilang dan seterusnya), gangguan kepribadian ganda, obesitas dan biulimia. Bahkan, dalam kondisi ekstrim korban dapat mengalami kematian karena HIV/AIDS dan bunuh diri. Lebih fatal lagi, korban dapat melakukan pembunuhan sebagai upaya balas dendam.
Lalu, apa yang harus kita lakukan. Pertama, semua orang, khususnya para pengambil keputusan, harus sepakat bahwa KTP adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan harus dihapuskan dari kehidupan manusia. Kedua, Semua orang harus berupaya untuk tidak membiarkan KTP terjadi. Perlu ada upaya-upaya preventif yang konkret dan sistemik, termasuk dalam pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal. Sejak kecil anak-anak (perempuan dan laki) hendaknya diajarkan tentang pentingnya menghargai sesama manusia, sebagai makhluk bermartabat, pentingnya memahami kesetaraan gender sehingga tidak muncul ketimpangan dan ketidakadilan gender di masyarakat. Pentingnya menghargai tubuh perempuan sebagai manusia utuh.
Ketiga, jika telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka hal utama yang harus dilakukan adalah menolong korban secepat mungkin agar terhindar dari segala kemungkinan yang membuat kondisinya lebih parah. Dan yang lebih penting lagi adalah melapor ke pihak berwajib, siapa pun pelakunya harus dilaporkan agar peristiwa kejahatan tersebut tidak berulang pada perempuan lain. Kita harus mendorong lahirnya suatu kebijakan publik atau undang-undang perlindungan perempuan yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender. Undang-undang yang akan menuntut pelaku dengan hukuman seberat-beratnya.
Keempat, perlu membangun fasilitas pelayanan untuk penguatan hak dan kesehatan reproduksi korban. Sebab, biasanya korban mengalami gangguan terkait organ-organ reproduksinya. Kelima, atau paling akhir, tapi tetap sangat penting adalah melakukan upaya-upaya reinterprestasi ajaran agama sehingga ajaran agama yang memihak dan ramah terhadap perempuan dapat tersosialisasi dengan luas di masyarakat. Dewasa ini di mana kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu sentral, adalah suatu keniscayaan untuk mempertimbangkan suara perempuan dalam interpretasi keagamaan.