Pada tataran normatif, umumnya ulama sepakat untuk menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah swt (QS. al-Hujurat, 13; an-Nisa`, 1; al-Isra`, 70). Sebagai hamba Allah, perempuan memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki (QS. Ali Imran, 3) . Perempuan diakui memiliki sejumlah hak dan kewajiban (QS. an-Nisa`, 32), di antaranya hak menikmati hasil usahanya (QS. an-Nisa`, 124; Ali Imran, 195), hak meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan taqwa, serta kewajiban untuk melakukan amar makruf nahi munkar (QS. at-Taubah, 71) menuju terciptanya masyarakat damai dan sejahtera baldatun thayyibah wa rabun ghafur. Akan tetapi, ironisnya, ketika pola relasi perempuan dan laki-laki itu ditarik ke dalam tataran operasional yang bersifat praktis muncul perdebatan yang panjang, sepanjang sejarah kemanusiaan itu sendiri.
Aneh sekali, karena pengakuan pada tataran normatif tidak berlanjut pada tataran empirik dan operasional. Pada normatifnya, disepakati bahwa perempuan diwajibkan menuntut ilmu, memperbayak amal shaleh, dan berlomba melakukan amar makruf nahi munkar, baik dalam kehidupan individual, maupun dalam kehidupan sosial, di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sampai di sini sama sekali tidak terlihat tanda-tanda yang merintangi langkah seorang perempuan.
Namun, ketika kemudian, daya-daya dan potensi kemampuan dalam diri perempuan berkembang sedemikian rupa sebagai konsekwensi dari upaya peningkatan ilmu dan aktivitas serta kepedulian mereka dalam beramal dan melakukan amar makruf nahi munkar yang pada gilirannya meberikan peluang untuk meraih kedudukan dan jabatan tinggi di masyarakat, seperti jabatan hakim, anggota parlemen, atau jabatan tertinggi sebagai kepala negara. Di sinilah baru muncul persoalan mengenai keabsahan kepemimpinan perempuan secara teologis. Selanjutnya, sejarah Islam mencatat munculnya perdebatan panas seputar bolehnya perempuan menjadi pemimpin.
Perbincangan mengenai kepemimpinan perempuan dalam wacana Islam melahirkan dua aliran besar: Pertama, aliran yang mengklaim bahwa Islam tidak mengakui hak perempuan menjadi pemimpin, baik dalam ranah domestik terlebih lagi dalam ranah publik. Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak perempuan sama seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam mengakui kepemimpinan perempuan, termasuk menjadi kepala negara.
Argumentasi Kelompok Penolak
Paling tidak ada empat bentuk argumentasi dikemukakan oleh aliran yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan. Pertama, argumentasi dari Al-Qur`an, yaitu: 1) Surah al-Ahzab, 33:33 yang menegaskan bahwa tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah di rumah; 2) al-Nisa’, 4:34 yang menyatakan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan dan berdasarkan ayat itu Rasyid Ridla menganalogikan kekuasaan tersebut seperti kekuasaan raja terhadap rakyatnya; dan 3) al-Baqarah, 2:228 yang mengedepankan kelebihan laki-laki atas perempuan.
Kedua, argumentasi dari hadis, di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang mengatakan: Lan yuflaha qaum wallauw amrahum imra’at (Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan). Perlu dicatat bahwa hadis ini amat populer dalam Kongres Umat Islam Indonesia, dan merupakan dalil pamungkas untuk menangkis pendapat yang membolehkan perempuan menjadi presiden. Hadis lain yang dijadikan landasan legitimatif adalah berbunyi: al-nisa`u naqishatun aqlin wa dinin (kaum perempuan itu lemah agama dan akalnya).
Ketiga, argumentasi berupa qiyas (analogi). Sebagian ulama menyatakan tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin mengambil analogi dari tidak bolehnya perempuan menjadi imam shalat atautidak bolehnya perempuan pergi sendirian tanpa ditemani muhrimnya.
Keempat, argumentasi berupa ijma` (konsensus). Ijma` itu diambil berdasarkan pengalaman empiris di dunia Islam sejak masa Rasul dan khulafa rasyidin serta generasi sesudahnya tidak pernah perempuan mendapat tempat dalam bidang kepemimpinan umat.
Argumentasi Kelompok Pendukung
Sebagaimana kelompok yang menolak kepemimpinan perempuan, kelompok pendukung juga menyampaikan pandangannya yang mengacu kepada ajaran Islam yang jelas. Bahkan, secara doktrinal juga memiliki landasan legitimatif dari Al-Qur`an dan hadis. Pertama, argumentasi dari Al-Qur`an, yaitu:
1) an-Nisa`, 4:1 yang menjelaskan bahwa asal penciptaan semua manusia, laki-laki dan perempuan, adalah sama, sehingga tidak boleh ada diskriminasi;
2) al-Taubah, 9:71 tentang kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan;
3) al-Nisa’, 4:34 yang menyatakan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan jika memenuhi persyaratan yang disebutkan, dan kalau tidak, berarti perempuan dapat menggantikan posisi itu;
4) al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan posisi semua manusia, laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah dan yang membedakan di antara mereka hanyalah kualitas taqwanya;
5) al-Isra`, 17:70 yang mengakui perempuan memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki dan perempuan juga diakui memiliki sejumlah hak dan kewajiban;
6) Ali Imran, 195 yang mengakui hak perempuan untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan taqwa;
7) at-Taubah, 71 yang menyerukan kepada laki-laki dan perempuan kewajiban untuk melakukan amar makruf nahi munkar (upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi kebaikan semua manusia).
Kedua, argumentasi dari hadis, di antaranya hadis Nabi saw. yang berbunyi: man lam yahtam bi amr al-muslimin fa laysa minhum (barangsiapa yang tidak peduli dengan kepentingan umat Islam, berarti ia tidak termasuk golongan mereka). Yang dimaksud dengan amr al-muslimin di sini adalah mencakup seluruh kepentingan atau urusan umat Islam, termasuk masalah kepemimpinan umat.
Ketiga, argumentasi berupa qiyas (analogi). Sebagian ulama yang menyatakan bolehnya perempuan menjadi pemimpin mengambil analogi dari kisah kepemimpinan Ratu Saba` yang dipaparkan secara panjang lebar dengan mengedepankan kisah kesuksesan dan kejayaannya.
Keempat, hal lain yang dijadikan argumentasi bagi kelompok kedua ini adalah soal bai`at. Al-Qur’an menguraikan kisah permintaan para perempuan di zaman Nabi saw. untuk malakukan bai’at (janji setia) kepada Nabi dan kemudian Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya untuk menerima bai`at mereka (al-Mumtahanah, 60:12). Bai’at para perempuan pada masa-masa awal Islam dijadikan sebagai bukti kebebasan untuk menentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Fakta sejarah menunjukkan tatkala delegasi Anshar membaiat Nabi saw. pada baiat ‘Aqabah kedua di dalamnya tercatat beberapa perempuan. Mereka bersumpah di dalam baiat itu untuk membela dan melindungi Islam. Ini menunjukkan adanya kontribusi perempuan dalam kegiatan politik.
Bahkan, Rasulullah saw. membolehkan perempuan mewakili kaum Muslim berbicara mewakili mereka dan memberikan jaminan atas nama mereka. Hal itu terlihat dalam kasus Ummu Hani. Rasulullah saw. telah menerima permohonan perlindungan Ummu Hani terhadap seorang kafir pada hari penaklukan kota Makkah. Rasulullah saw. berkata kepadanya: “Kami melindungi orang yang dilindungi Ummu Hani.” (Qasim Ja`far, 1998).
Jika kita membandingkan argumentasi teologis dari kedua aliran tersebut mengenai kepemimpinan perempuan, pada akhirnya akan membawa kita pada kesimpulan bahwa perbedaan di antara mereka hanyalah terletak pada soal penafsiran atau interpretasi. Perlu dipahami bahwa ayat-ayat Al-Qur`an -seperti halnya ayat-ayat pada kitab suci lainnya- lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip yang bersifat umum. Satu asumsi dasar perlu diperhatikan, yaitu sebagai suatu teks, Al-Qur’an tidak mempunyai satu penafsiran tunggal dan standar yang dapat diterima oleh semua pihak.
Di samping itu, ketika seseorang mencari rujukan pada teks-teks agama, sebenarnya ia tengah melakukan penafsiran atas teks-teks tersebut. Tafsir atau penafsiran harus dibedakan dari agama. Agama bersifat mutlak dan berada di dataran yang abstrak, sedang penafsiran terhadap agama itu bersifat “relatif”. Di sinilah letak pentingnya manusia, atau, dalam konteks pembahasan kita, kaum muslim. Mereka dituntut untuk berupaya terus-menerus menafsirkan ajaran agamanya agar senantiasa relevan dengan situasi masyarakat yang dinamis dan senantiasa berubah.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah bahwa Islam selain menekankan pada aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan), Islam juga memberi penekanan yang kuat pada aspek muamalat (hubungan antar manusia). Akan tetapi, justru pada aspek yang kedua itulah dalam banyak masyarakat muslim, perempuan kerap diperlakukan tidak adil. Atas nama agama, hak-hak ekonomi dan politik mereka dipasung. Penyebabnya, seperti dikatakan di atas, adalah soal penafsiran yang tidak mengindahkan semangat moral Al-Qur’an dan bias-bias patriarkisme yang sering tidak disadari, yang terlanjur mengakar dalam sebagian besar masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam.
Perlunya Reinterpretasi Ajaran Islam
Fakta historis memaparkan bahwa sejak periode klasik berlalu, kegiatan penafsiran teks-teks suci agama Islam nyaris selalu berada dalam dominasi kaum laki-laki. Konsekuensinya, pengalaman perempuan telah diabaikan dalam banyak hasil penafsiran, khususnya berkaitan dengan refleksi teologis mengenai relasi gender.
Peminggiran pengalaman perempuan dalam penafsiran teologi dilakukan, antara lain dengan cara melarang perempuan aktif di dunia publik. Pelarangan itu bermakna menghalangi perempuan untuk terlibat dan mengikutsertakan aspirasi dan pengalaman mereka ke dalam perumusan berbagai interpretasi dan bangunan tradisi agama.
Pada umumnya, kesadaran akan adanya bias nilai-nilai patriarkal dan bias jender dalam penafsiran Kitab Suci terlebih dahulu dirasakan dan disadari oleh kaum perempuan dari kalangan Kristen dan Yahudi. Mereka telah terlebih dahulu merasakan kesadaran perlunya penafsiran feminis, yaitu penafsiran yang lebih memperhatikan pengalaman dan aspirasi perempuan. Penafsiran feminis berusaha melepaskan kaum perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi dan peminggiran yang seringkali menggunakan legitimasi ajaran agama.
Kaum perempuan Muslim baru menyadari adanya diskriminasi tersebut setelah berkenalan dengan ide-ide Barat, khususnya yang dikembangkan oleh kelompok perempuan mereka. Data-data historis mengungkapkan secara jelas bahwa Ide-ide pembaharuan baru muncul di dunia Islam pada periode modern (mulai 1800 M), yakni setelah dunia Islam berinteraksi dengan dunia Barat (Eropa). Karena itu, diskursus tentang demokrasi, misalnya meskipun secara substansial sudah dibahas, bahkan sudah diimplementasikan secara konkret pada masa-masa awal Islam, namun isu ini baru menjadi wacana intelektual yang serius di kalangan intelektual Muslim di pertengahan pertama abad ke-20. Hal itu terjadi setelah dunia Islam berinteraksi dengan dunia Barat.
Kesadaran perempuan Muslim akan perlunya gagasan emansipasi timbul dari pergeseran-pergeseran yang terjadi akibat berubahnya peta sosial dan politik dunia. Barat dan segala yang berbau Barat telah menjadi model yang memberi arah baru pada peradaban dunia. Dunia Timur yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat Muslim berupaya keluar dari kungkungan keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan agar mereka terlepas dari cengkeraman kolonialisme dan kapitalisme.
Tak dapat dipungkiri bahwa pengalaman empirik di Barat menunjukkan konsep emansipasi (persamaan hak antara laki-laki dan perempuan) telah menimbulkan setidaknya dua ekses penting di dalam masyarakat. Pertama, mengancam dominasi laki-laki yang selama ini sudah begitu kuat dan bahkan telah berurat berakar di masyarakat; dan kedua, menimbulkan efek-efek dekadensi moral masyarakat. Oleh karena itu, di dunia Islam timbul resistensi yang demikian hebat, khususnya di kalangan ulama, terhadap gagasan emansipasi Barat. Celakanya, resistensi para ulama ini di berbagai negara, misalnya di Afghanistan, diikuti dengan upaya-upaya sistimatis untuk mengembalikan perempuan Islam ke dalam kungkungan tradisi yang justru selama ini secara efektif membawa kepada keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang pada ujungnya juga membawa kepada dampak negatif, seperti dekadensi moral. Bukankah, Rasul sangat sering menghimbau agar umat Islam harus selalu mampu menyelamatkan diri dari kemiskinan dan kebodohan karena keduanya sangat berpotensi menggiring manusia kepada situasi buruk, berupa kehancuran akhlak.[1]
Perempuan Muslim tidak selamanya harus mengadopsi konsep-konsep Barat, khususnya yang berkenaan dengan ide emansipasi. Ajaran Islam, baik yang tercantum dalam Al-Qur`an dan hadis, maupun yang termuat dalam kitab-kitab klasik sangat kaya akan prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan kesetaraan manusia. Ajaran Islam sangat kaya akan pesan-pesan moral mengenai pentingnya pemuliaan terhadap martabat dan harkat manusia yang kesemuanya itu pada esensinya sangat akomodatif terhadap ide dan gagasan emansipasi. Karena itu, yang diperlukan sekarang adalah bagaimana mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam yang mendukung gagasan emansipasi, tanpa harus menimbulkan kekhawatiran akan adanya ancaman terhadap dominasi laki-laki dan kekhawatiran akan timbulnya dekadensi moral masyarakat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah melakukan dekonstruksi teologi terhadap ajaran agama yang berbicara soal relasi laki-laki dan perempuan.
Umat Islam hendaknya menyadari bahwa Al-Qur`an adalah suatu teks yang harus dibaca secara kontekstual, yaitu dengan memahami konteks historis dan politis di mana Al-Qur`an diturunkan. Membaca Al-Qur’an secara kontekstual akan membawa kepada penghayatan terhadap pesan-pesan moral yang bersifat universal seperti keadilan, kesamaan hak, penghormatan terhadap kemanusiaan, cinta kasih, dan kebebasan. Pesan-pesan hakiki inilah sesungguhnya benang merah yang menjadi penghubung eksistensi umat manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kurun waktu ke kurun berikutnya.
Demikianlah ajaran suci dari Allah swt. yang pertama kali disampaikan oleh Nabi Adam as., diteruskan oleh para rasul dan nabi selanjutnya sampai kepada Nabi Muhammad saw., dengan perwujudan kontekstual yang berbeda-beda. Benang merah inilah yang sesungguhnya harus dipahami ketika membaca dan menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik.
Akhirnya, sebagai konklusi menarik dikemukakan pandangan An-Na`im (1995) bahwa berkaitan dengan validitas sebuah interpretasi, tidak ada yang berhak mengklaim suatu interpretasi sebagai sesuatu yang final, universal, dan abadi kecuali Al-Qur`an. Oleh karena itu, setiap generasi memiliki hak untuk membuat interpretasi baru yang selaras dengan tuntutan zaman dan selaras dengan kesadaran obyektif masyarakatnya. Karena itu, dewasa ini di mana kesadaran akan keadilan dan kesetaraan jender menjadi isu sentral, adalah suatu keniscayaan untuk mengakomodasikan pengalaman dan aspirasi perempuan dalam suatu interpretasi keagamaan.
Kesimpulan
Uraian sebelumnya menegaskan adanya kesetaraan dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama, tidak hanya dalam urusan privat, tetapi juga dalam urusan publik. Atau dengan perkataan lain, bahwa perempuan, sebagaimana halnya kaum laki-laki, dapat menjadi pemimpin apabila telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemimpin. Di antara syarat tersebut adalah memiliki kualitas iman, kualitas akhlak, kualitas intelektual, memiliki kapabilitas dan kompetensi serta kematangan emosi dan spiritual. Syarat-syarat ini dapat dipenuhi oleh perempuan dan laki-laki.
Ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi tidak ada satu pun yang secara tegas menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dan juga tidak ada yang secara gamblang melarang perempuan menjadi pemimpin. Kalaupun ada hadis yang menggambarkan keadaan suatu kaum yang tidak berjaya karena pemimpinnya perempuan, hal itu dipandang bersifat kasustik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin dalam semua aspek kehidupan.
[1] Hadis Nabi: Kada al-fakru an yakuna kufran (kemiskinan sangat cenderung menggiring manusia ke arah kekufuran). Hadis tersebut sangat relevan sampai sekarang. Mengapa? Sebab, dalam realitas di masyarakat banyak orang terpaksa menjadi pencuri, pelacur dan pemabuk karena kemiskinan mereka.
Oleh: Musdah Mulia.