Seorang antipluralis sangat berbahaya. Dia tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sepaham dengannya, juga tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda apalagi bertentangan dengannya. Akibat lebih lanjut, kalau seorang antipluralis memegang kekuasaan, dia akan memaksakan pikiran dan pendiriannya kepada orang lain.
Pernyataan di atas merupakan kutipan atas pandangan almarhum Djohan Effendi yang disampaikan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dalam “Djohan Effendi Memorial Lecture” bertema Kemanusian Meneguhkan Kebangsaan yang diselenggarakan Indonesian Conference on Religions for Peace (ICRP) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu (10/1/2018) di Auditorium Widya Graha LIPI, Jakarta Selatan.
Pesan-pesan Djohan Effendi yang dipilih Musdah Mulia Rabu sore ini sangat relevan dengan situasi terkini masyarakat yang semakin tidak toleran dan para elit yang mempolitisasi agama dengan mengorbankan warga dan kelompok-kelompok rentan.
Sehingga dalam kuliah mengenang 40 hari meninggalnya Djohan Effendi ini, intelektual Muslim sekaligus Ketua Umum ICRP itu meneruskan kecemasan Nabi Muhammad yang mengingatkan praktik beragama umatnya, “Aku khawatir akan datang suatu zaman kekacauan, ketika Islam tinggal nama, Alquran tinggal aksara, mesjid-mesjid mereka penuh sesak tapi kosong dari petunjuk, ulama-ulama mereka adalah sejahat-jahat manusia di bawah kolong langit, dari mereka muncul fitnah dan kepada mereka pula fitnah itu kembali.”
Kendati sinyalemen Rasul tersebut ditujukan kepada umat Islam, sambung Musdah di hadapan 300 lebih audiens yang terdiri dari jaringan lintas-iman, para sahabat dan keluarga Djohan Effendi, tetapi menurut tokoh pencetus gerakan pluralisme yang pernah menjabat Menteri Sekertariat Negara di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa umat-umat beragama lain pun mengalami gejala yang tidak jauh berbeda.
Konsistensi dan keteguhan Djohan Effendi dalam menghidupkan toleransi dan dialog lintasagama dan kepercayaan di Indonesia melekat kuat dalam ingatan para aktivis dan pemerhati isu kebebasan beragama yang mengenalnya baik secara langsung maupun lewat karya-karyanya. Sebab, cara Djohan yang sangat kritis terhadap formalisme beragama ini dibungkus dengan sosoknya yang mendamaikan dan sabar dalam mendengar serta menghargai bahkan setiap pendapat yang disampaikan generasi yang sangat muda sekalipun.
“Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat rendah hati, tidak banyak bicara, lebih suka mendengar. Beliau bukanlah tokoh selebriti yang suka berada di depan, melainkan lebih suka menyembunyikan diri di belakang layar. Di sisi lain, beliau sangat terbuka dan sangat perhatian serta dapat mudah akrab dengan siapapun, khususnya kalangan bawah,” kenang Musdah.
Sementara dalam sambutan pembuka, selaku ketua panitia acara Johannes Hariyanto, Sj menegaskan warisan berpikir Djohan yang memandang keberagaman bukanlah sebuah ancaman, melainkan kekuatan. Bagi rohaniawan yang akrab disapa Romo Hary ini, Djohan dikenal banyak kalangan sebagai orang yang membangun jembatan antarsemua manusia yang beragam.
“Djohan Effendi adalah keluarga, sahabat, dan guru bagi setiap masyarakat yang merindukan dan mencita-citakan perdamaian di tengah kemajemukan bangsa,” ujar Romo Hary.
Pada acara yang disertai peluncuran perpustakaan buku-buku pribadi Djohan Effendi dan peluncuran buku suntingan Ahmad Nurcholish dan Frangky Tampubolon berjudul “Djohan Effendi: Cerita para Sahabat,” Romo Hary kembali menirukan kelantangan Djohan yang mengatakan, “Saya menentang semua bentuk diskriminasi dan ketidakadilan kapanpun, di manapun, dalam hal apapun. Dalam hal ini, tidak ada kata kompromi.”
Selain Musdah Mulia dan Romo Hary, pada kesempatan yang sama disampaikan pula testimoni-testimoni dari para sahabat lainnya tentang sosok dan pemikiran-pemikiran inspiratif Djohan Effendi –beberapa tertuang dalam buku Djohan Effendi: Cerita para Sahabat– yang menurut mereka saat ini semakin penting dalam merekatkan kembali relasi anak bangsa yang terus terbelah oleh politisasi SARA.
Penyunting: Thowik