|

Muslimah Reformis

Endometriosis, Perempuan, dan Bias Gender

Masih banyak orang yang belum mengetahui apa itu endometriosis. Salah satu penyakit yang paling mudah diderita oleh perempuan. Karena endometriosis berhubungan dengan kesehatan reproduksi perempuan, khususnya perempuan yang masih mengalami fase menstruasi.  Penyakit ini sering kali diabaikan karena minimnya pengetahuan dan juga adanya bias gender dalam bidang kesehatan. Sehingga banyak perempuan penderita endometriosis tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Apa itu endometriosis?

Dalam buku Penanganan Endometriosis : Panduan Klinis dan Algoritme, Teuku Zulkifli Jacoeb  dan Wachyu Hadisaputra menjelaskan  endometriosis merupakan sebutan jaringan (selsel kelenjar dan stroma) tidak normal mirip–endometrium (endometrium–like tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan memicu reaksi peradangan menahun. Keluhan yang paling banyak dialami oleh wanita penderita endometriosis antara lain adalah timbulnya rasa nyeri, seperti dysmenorrhea, dyspareunia, dysuria, nyeri panggul kronis, dan dyschezia. Selain itu, endometriosis juga menimbulkan rasa lelah sampai infertilitas. (Kennedy, et al 20053 dalam jurnal Dr. Tono Djuwantono, dr., Sp.OG(K), M.Kes berjudul Manjemen Endometriosis untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Wanita Penderita Endometriosis )

Hasil penelitian yang ada hingga saat ini belum ada pengobatan yang membuat endometriosis pulih sepenuhnya. Pengobatan yang ada saat ini hanyalah mengurangi dampak yang ditimbulkan khususnya pada rasa sakit luar biasa di perut dan mencegah pembesaran jaringan endometriosis. Sehingga bisa dikatakan, perempuan yang mengidap endometriosis maka sepanjang hidupnya ia harus menahan rasa sakit bertahun-tahun selama masih mengalami menstruasi. Perempuan yang mengidap endometriosis cenderung mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini dikarenakan rasa sakit yang ditimbulkan sebelum ataupun saat menstruasi mengganggu aktivitas perempuan.

Pada sedikit kasus, perempuan penderita endometriosis tidak mengalami gejala apa pun. Sehingga begitu melakukan tes kesehatan reproduksi, perempuan merasa kaget karena jaringan endometrium sudah sangat besar. Dampak lainnya juga bisa membuat perempuan sulit dalam perencanaan kehamilan dan bisa menjadi infertilitas jika kondisi tersebut dibiarkan tanpa melakukan pengobatan. Memang sudah sewajarnya pemeriksaan kesehatan reproduksi dilakukan secara berkala, khususnya yang sudah aktif secara seksual. Agar mengetahui perkembangan kesehatan reproduksi dan meminimalisir gangguan kesehatan yang tidak diinginkan.

Perempuan dan stigma dalam mengakses pelayanan medis

Perempuan yang pertama kali mengunjungi pelayanan medis terkait kesehatan reproduksi atau yang rutin sekalipun, masih terus mendapat perlakuan yang tidak mengenakan. Terlebih jika perempuan yang datang ke bagian ginekologi berstatus belum menikah. Bahkan dari saat pendaftaran di bagian adminstrasi, ruang tunggu pasien, hingga dokter yang menangani. Apakah akses kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan yang sudah menikah saja? Bukankah pencegahan lebih baik daripada mengobati?

Karena hal inilah masih banyak perempuan yang ragu untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. Perempuan menjadi merasa tidak nyaman dan hal ini juga bisa memicu trauma pada sebagian perempuan. Sehingga kerap kali perempuan penderita endometriosis terlambat mendapatkan diagnosa yang tepat. Hal ini juga pastinya berhubungan dengan penanganan endometriosis yang menjadi kurang optimal. Lalu siapa yang dirugikan lagi? Jawabannya sudah pasti lagi-lagi perempuan itu sendiri.

Untuk pemeriksaan apakah seorang perempuan mengidap endometriosis, biasanya akan dilakukan ultrasonografi atau kerap disingkat USG. USG sendiri dalam bidang ginekologi ada dua jenis yaitu USG Abdominal dan USG Transvaginal. Mengutip dalam laman halodoc.com, USG abdominal atau yang biasa disebut juga USG perut adalah pemeriksaan yang dilakukan di bagian luar perut dengan cara mengoleskan gel ke seluruh area perut. Sedangkan SG transvaginal adalah metode pemeriksaan internal yang dilakukan dengan cara memasukkan transduser sepanjang 2–3 inchi ke dalam Miss V. Melalui tes USG ini, bisa diperoleh gambaran yang lebih rinci seputar organ reproduksi wanita yang meliputi Miss V, rahim, saluran telur, indung telur, hingga leher rahim.

Biasanya pasien perempuan yang ingin mengetahui apakah ia menderita endometriosis atau tidak, kebanyakan dokter akan bertanya mengenai status aktivitas seksual pasien perempuannya. Apakah perempuan itu sudah pernah berhubungan seksual atau belum. Jika belum pilihannya adalah USG perut, jika sudah maka USG Transvaginal adalah pilihan terbaik. Akan tetapi, kita hidup di lingkungan yang belum ramah akan keterbukaan informasi mengenai seksualitas. Sehingga banyak perempuan memilih berbohong menjawab pertanyaan dokter terkait aktivitas seksualnya karena takut akan judgment yang mereka dapat.

Ketika informasi yang diberikan pasien tidak transparan saat mengakses layanan medis, ini berdampak pada hasil pemeriksaan dan pengobatan yang kurang maksimal. Jika pengobatan tidak maksimal, maka perempuan penderita endometriosis akan terus menderita selama dia masih melewati fase menstruasi. Belum lagi penggunaan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang masih terjadi kendala bagi sebagian besar perempuan. Setiap pasien yang ingin berobat, harus melalui Fasilitas Kesehatan (Faskes) tingkat 1 dulu. Biasanya pada Faskes 1 peralatan medis tidak lengkap seperti di rumah sakit. Jika dibutuhkan tindakan lebih lanjut namun terkendala peralatan di Faskes 1, maka akan direkomendasikan ke faskes lanjutan. Namun malangnya, terkadang sebagian dokter di Faskes 1 seakan mempersulit memberikan surat rekomendasi untuk faskes lanjutan.

Biasanya di Faskes 1 ada dokter umum yang berjaga. Namun, tidak semua dokter umum mengerti dan mampu memahami gejala klinis dari pasien endometriosis. Saya ambil contoh kasus saya sendiri. Saya sudah melakukan pemeriksaan di salah satu rumah sakit di Kota Tangerang dengan biaya pribadi. Hasil diagnosis saya positif endometriosis dengan kista kecil di kanan dan kiri. Dokter memberikan pilihan untuk terapi dengan obat hormonal agar rasa sakit bisa menghilang berangsur-angsur. Namun di bulan berikutnya, ketika rasa sakit itu muncul dan saya cek kembali ke klinik dekat tempat tinggal. Dokter yang berjaga mewajarkan rasa sakit tersebut, padahal saya hampir tidak beraktifitas seharian karena menahan sakit di perut. Dokter tersebut pun hanya meresepkan obat anti inflamasi (paracetamol).

Bulan berikutnya lagi, saya masih penasaran  tindakan apa yang akan dilakukan dokter ketika saya mengeluhkan keadaan yang sama. Jawabannya masih sama, meminum obat anti inflamasi namun dengan dosis yang double dari biasanya. Padahal saya sudah menjelaskan secara detail apa yang saya alami ketika menstruasi ini datang. Saya liat gesture dokter nya yang seperti sedang berpikir, namun terkesan kebingungan mau mendiagnosa apa. Saya memang sengaja tidak memberitahukan hasil pengecekan dari rumah sakit karena ingin mengetahui bagaimana dokter mendiagnosa pasiennya. Saya pikir dokter ini akan menyuruh saya untuk mengecek lebih lanjut ke rumah sakit agar mengetahui penyebab pasti sakit yang diderita, ternyata tidak.

Bisa dibayangkan jika ada pasien perempuan yang mengeluhkan rasa sakit saat menstruasi ke dokter umum? Apakah dia harus meminum obat yang sama untuk setiap bulannya? Apakah dia harus menderita setiap bulannya dengan rasa sakit yang luar biasa? Tidak semua pasien teredukasi dengan sendirinya. Justru kerena mereka tidak mengerti dengan rasa sakit yang diderita, sehingga mereka memeriksakan diri ke dokter.

Apa hubungan endometriosis dengan bias gender?

Perempuan yang mengalami rasa sakit saat mentruasi merupakan hal yang wajar dikarenakan adanya kontraksi otot dinding rahim. Namun jika rasa sakit sudah diambang batas toleransi dan mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, maka itu sudah tidak bisa dikatakan wajar. Bahkan para ahli ginekologi menyarankan untuk segera melakukan pemeriksaan ke dokter jika pernah mengalami rasa sakit hebat saat menstruasi agar dapat penanganan yang tepat dan cepat.

Sayangnya karena pengetahuan yang minim dan juga ketimpangan yang dialami perempuan, menyebabkan perempuan tidak bisa menjangkau akses fasilitas kesehatan yang memadai. Jika perempuan merasa sakit saat menstruasi dan memeriksakan ke dokter, sering juga tidak ditangani dengan serius. Alih-alih merekomendasikan pasien perempuan untuk pemeriksaan lebih lanjut, sering kali dokter tidak memberi penjelasan secara rinci. Sehingga pengobatan hanya sampai di tahap pemberian obat anti inflamasi untuk meredakan rasa sakit yang timbul. Terkadang obat-obatan ini tidak bekerja dengan maksimal.

Banyak juga yang mewajarkan rasa sakit yang diderita perempuan saat menstruasi karena perubahan hormon. Berpikir bahwa dengan sendirinya rasa sakit akan hilang seiring berjalannya waktu dan hormon kembali normal. Padahal perubahan hormon merupakan salah satu pemicu terjadinya endometriosis. Bahkan beberapa perempuan terpaksa harus bergonta-ganti dokter untuk melakukan pengecekan agar mendapatkan hasil diagnosa yang memuaskan. Hal ini juga pastinya menguras waktu, tenaga dan juga materi yang tidak sedikit. Meskipun tidak semua dokter seperti itu, tapi kenyataannya  masih banyak dokter yang tidak menganggap serius apa yang dikeluhkan perempuan saat mentruasi.

Tidak hanya itu, untuk pasien perempuan yang berstatus menikah dan memiliki endometriosis seringnya diberi saran untuk melakukan program anak secepatnya dibandingkan terapi hormonal. Karena dengan hamil, siklus menstruasi berhenti sementara dan rasa sakit hilang sementara. Pada beberapa kasus, biasanya endometriosis bisa menghilang setelah melahirkan. Namun persoalannya tidak semua perempuan ingin punya anak, dan tidak semua perempuan juga ingin punya anak dalam waktu cepat. Pastinya setiap perempuan dengan pasangannya sudah merencanakan sendiri bagaimana mereka membangun keluarga, termasuk persoalan anak. Lagi-lagi perempuan selalu diberikan pilihannya yang sulit.

Berbeda dengan laki-laki, setiap mengalami sakit umumnya lebih ditangani serius. Hanya karena rasa sakit yang dialami perempuan merupakan hasil dari pengalaman menstruasi, bukan berarti tidak perlu ditangani dengan serius. Padahal laki-laki tidak akan pernah mengalami rasa sakit saat menstruasi karena memang perbedaan fisik yang dimiliki. Justru karena hanya perempuan yang mengalami, bukankah harusnya tenaga kesehatan bisa lebih aware lagi terhadap kesehatan reproduksi perempuan? Karena perempuan akan terus mengalami menstruasi hingga nanti memasuki fase menopause.

Mengapa masih begitu banyak orang yang mewajarkan rasa sakit luar biasa saat menstruasi? Bukankah setiap manusia mempunya batas toleransi berbeda-beda terhadap rasa sakit? Dan bukankah itu sangat tidak wajar jika menstruasi sudah mengganggu aktivitas seperti tidak bisa beranjak dari kasur? Menormalisasi rasa sakit luar biasa, terlebih menderita endometriosis bisa dikategorikan salah satu bentuk bias gender. Karena setiap orang berhak untuk hidup dengan sehat tanpa rasa sakit. Dan sebagai seorang perempuan penderita endometriosis pun berhak untuk memilih mengurangi atau menghilangkan penderitaan “rasa sakit” selama menstruasi. Bukan malah menyuruh perempuan diam tidak berbuat apa-apa seakan-akan itu adalah takdir yang tak bisa diubah.