|

Muslimah Reformis

Enlightenment Session Bersama Musdah Mulia: Perempuan dalam Kubangan Terorisme

Nurcholish Madjid Society menyelenggarakan diskusi online yang disiarkan langsung melalui aplikasi Instagram bersama Musdah Mulia pada Kamis, (06/08/20). Ini merupakan Enlightenment Session kedua yang diselenggarakan dalam rangka menyambut haul Nurcholish Madjid.

Pada diskusi kali ini, Musdah Mulia yang merupakan seorang akademisi sekaligus aktivis perempuan mengulas tentang bagaimana keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme. Menurutnya, bergabungnya perempuan dalam jaringan terorisme bukanlah hal yang baru. Selama ini, pandangan patriarki yang menjerat perempuan seperti makhluk yang lemah, tidak tegaan, tidak tegas hingga sensitif telah menjadi satu pandangan yang umum di masyarakat. Oleh sebab itu, ketika ada perempuan yang bergabung dengan kelompok teroris dianggap sebagai sesuatu yang tak biasa atau bahkan aneh.

Kasus-kasus terorisme yang melibatkan perempuan membuktikan bahwa pandangan patriarki yang menganggap bahwa perempuan hanya memiliki sifat-sifat feminin adalah pandangan yang keliru. Perempuan bisa menjadi sangat maskulin, bisa sangat sadis dan kejam. Dalam sejarah, ada Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, yang dengan berani membelah perut dan memakan hati paman Rasulullah, Hamzah. Dalam kasus terorisme, pembunuh Rajiv Gandhi di India pun adalah seorang perempuan.

Lebih jauh, penulis buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini juga menuturkan bahwa Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), bahkan mengubah strategi dalam menjalankan misinya dengan lebih banyak merekrut anggota perempuan. Hal ini dilakukan karena perempuan dianggap lebih mudah didoktrin dan cenderung bersikap patuh. Perempuan tidak hanya bisa menjadi agen, kurir, pendamping, tetapi juga menjadi aktor teror itu sendiri.

Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan perempuan terlibat dalam gerakan terorisme. Di antara faktor-faktor tersebut adalah faktor religius di mana ayat-ayat agama dijadikan sebagai dasar pembenar tindak terorisme, faktor ideologis, faktor psikologis perempuan hingga faktor politik.

Perempuan-perempuan yang memiliki masalah psikologis seperti yang dialami buruh migran juga dapat terjerat dalam kelompok terorisme. Mereka yang punya pengalaman buruk diperlakukan oleh orang lain atau bangsa lain akan lebih mudah tergoda ketika diiming-imingi pahala dan surga.

Untuk menghadapi itu semua, dalam diskusi yang berlangsung sekitar satu jam tersebut Musdah juga menerangkan bahwa banyak hal yang harus kita lakukan untuk mengatasi terorisme khususnya yang melibatkan perempuan atau bahkan anak-anak di dalamnya. Perempuan harus memiliki kematangan emosional, spiritual dan intelektual agar tidak mudah  didoktrin terbawa arus.

Selain itu, negara juga perlu mengatasi terorisme dengan cara-cara yang tidak biasa. Tidak boleh membiarkan sikap-sikap intoleran tumbuh dan berkembang. Perilaku intoleran harus kita waspadai bersama dan tidak boleh dibiarkan meski sekecil apapun. Pendidikan agama kita pun harus diperbarui, jangan hanya mengajarkan doktrin-doktrin,  tetapi harus mampu menguatkan literasi dan menumbuhkan sikap kritis kepada setiap peserta didiknya.

Kondisi yang bangsa kita hadapi seperti kemerosotan ekonomi, kesenjangan sosial, penegakan hukum yang lemah dan sebagainya, perlu kita waspadai bersama karena kondisi seperti ini kerap dijadikan alasan untuk menyalahkan negara, menganggap sistemnya bertentangan dengan agama dan tidak islami, sehingga memicu tindakan-tindakan intoleran di masyarakat.

“Kita harus mampu membedakan antara membela Islam dengan membela Islamis, harus bisa membedakan kepentingan Islam dan kepentingan Islamis,” tegasnya. Tindakan terorisme sering dianggap sebagai tindakan jihad. Hal itu menurut Musdah merupakan pendapat yang sangat dangkal. Jihad itu menghidupkan, bukan mematikan. Jihad berkorelasi mengembangkan peradaban, membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi manusia, bukan sebaliknya. Tidak ada jihad yang menghancurkan, merusak walau sekecil apapun.

Yaqut Al-Amnah