Umumnya para pengamat, seperti Martin Van Bruinessen melihat sosok Gus Dur sebagai tokoh yang merintis pemikiran liberal, termasuk pemikiran soal feminisme di NU. Ia diakui banyak memberikan bimbingan dan perlindungan pada generasi muda NU yang haus akan pemikiran baru dan suka berpikir kritis, baik dalam masalah agama maupun bidang politik. Karena itu, tidak mengherankan kalau di tubuh NU, terutama di kalangan mudanya, terlihat suatu suasana diskusi yang lebih bebas dibandingkan dengan suasana yang sama pada ormas Islam lainnya, bahkan pada ormas yang non Islam (Martin Van Bruinessen, 1997).Pandangan Martin tidaklah keliru. Gus Dur sebagai lokomotif NU selama tiga periode (1984-1999) telah mengantarkan organisasi yang “tradisional” ini menjadi organisasi Islam yang besar dan dikenal luas. NU bukan hanya dikenal di tingkat nasional, melainkan juga di forum internasional. Bukan hanya itu, pemikiran Gus Dur yang progres dan liberal telah menginspirasi lahirnya tokoh-tokoh pemikir Islam progres dan liberal di tanah air. Gus Dur juga menginspirasi kelahiran para feminis Islam, baik laki maupun perempuan di lingkungan organisasi NU yang selama ini dikenal konservatif dalam pemikiran Islam.
Pemikiran Gus Dur terkait wacana feminisme bukan hanya diterima, melainkan juga diimplementasikan dalam bentuk beragam program feminisme, baik di lingkungan NU maupun organisasi perempuan NU, seperti IPPNU, Fatayat dan Muslimat. Program feminisme tersebut bertujuan membebaskan perempuan dari perilaku ketidakadilan gender menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera. Program dimaksud, antara lain berupa program pengarusutamaan gender (gender mainstreaming); penguatan hak dan kesehatan reproduksi (health and reproductive rights); reinterpretasi kitab kuning tentang posisi dan kedudukan perempuan; isu buruh migran dan perkawinan kontrak; kekerasan terhadap perempuan di rumah tangga (domestic violence); penguatan hak-hak seksual (sexuality rights); pendidikan demokrasi dan civil society; pendidikan multikultur dan pluralisme; pendidikan politik bagi pemilih perempuan (voter education); penyusunan fiqh tentang aborsi, fiqh tentang perdagangan perempuan dan anak (trafficking on women and children) dan seterusnya.
Memahami feminisme
Istilah feminis dan feminisme selain terasa asing juga masih mendapat penolakan yang kuat dari sebagian besar umat Islam, termasuk kalangan NU. Mengapa? Karena kedua istilah tersebut sudah terlanjur mendapat pemaknaan yang negatif atau dianggap tidak sesuai ajaran Islam. Feminisme dimaknai sebagai perlawanan perempuan terhadap kodrat, permusuhan terhadap laki-laki, pemberontakan perempuan terhadap kewajiban rumah tangga, bahkan dianggap sebagai penolakan terhadap syariah. Semua anggapan itu keliru dan karenanya harus diluruskan.
Feminisme adalah gerakan persamaan hak perempuan yang tumbuh di Eropa sekitar abad ke-18. Gerakan ini mendapat inspirasi dari gerakan persamaan hak asasi manusia yang diperjuangkan kelompok tertindas, yakni buruh, kaum miskin dan budak di Eropa yang selanjutnya melahirkan revolusi Perancis (1789) dan revolusi Industri pada abad ke-18. Kedua revolusi itu memang berdampak positif bagi upaya persamaan hak kelompok tertindas, tetapi hanya menyentuh kaum laki-laki, belum memperbaiki nasib kaum perempuan. Akhirnya, membentuk tata hubungan yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Barat yang mengalami kemajuan pesat di bidang industri. Kaum laki-laki banyak terserap di sektor industri, sementara perempuan hanya berkutat dalam sektor domestik (rumah tangga). Ketidakberdayaan dan ketertindasan kaum perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri yang sangat patriarkal inilah yang mendorong lahirnya gerakan feminisme.
Berbeda dengan banyak “isme” lainnya, feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritisnya dari suatu rumusan teori tunggal. Oleh karena itu, tidak ada definisi yang baku tentang feminisme, melainkan selalu disesuaikan dengan realitas kultural dan kenyataan sejarah yang kongkrit. Walaupun demikian, gerakan feminisme selalu mendefinisikan dirinya sebagai gerakan menentang perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan, yang pada intinya menolak setiap bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan apa pun alasannya. Dengan ungkapan lain, feminisme adalah upaya perubahan yang mengarah kepada terwujudnya sistem dan pranata sosial yang secara gender lebih adil dan egaliter.
Memang betul feminisme merupakan salah satu produk kebudayaan Barat sehingga tidak heran jika ada sebagian orang memandang femisme identik dengan westernisasi. Namun, Gus Dur mengingatkan agar kita tidak terjebak pada pelabelan barat atau timur. Gus Dur mengajak kita berpikir kritis dan terbuka. Setiap ide dan gagasan dari mana pun datangnya, baik timur maupun barat, harus direspon secara proporsional. Artinya harus dibaca secara kritis dan terbuka untuk selanjutnya mengambil segi-segi positif dan konstruktif, sebaliknya membuang segi-segi negatif dan destruktif. Tentu saja sebagai umat Islam, kita tetap menggunakan perspektif Islam yang universal, yakni ajaran yang bertumpu pada prinsip keadilan, kemaslahatan, pluralis dan humanis. Ide dan gagasan feminisme yang ingin melepaskan perempuan dari belenggu penindasan harkat kemanusiaannya sangat kompatibel dengan ajaran Islam yang intinya adalah membangun keadilan bagi semua manusia.
Substansi dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan tatanan masyarakat yang adil secara gender, masyarakat yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Jika demikian bukankah Nabi Muhammad saw diutus dengan misi pembebasan? Pertama, membebaskan manusia dari belenggu thagut dan khurafat dengan memperkenalkan konsep tauhid (monoteisme murni). Melalui konsep tauhid, Nabi mengajarkan manusia agar terbebas dari mempertuhankan tuhan-tuhan palsu dalam bentuk kekuasaan, pangkat, kemuliaan suku, harta, ideologi, patung, dan lain-lain untuk selanjutnya mengajak manusia menyembah Tuhan sejati, Tuhan pencipta manusia dan alam semesta. Dialah Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt.
Kedua, melalui konsep tauhid, Nabi membebaskan manusia dari perbudakan, mengajarkan bahwa semua manusia pada hakikatnya bersaudara karena berasal dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan Hawa. Perbedaan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, gender, jenis kelamin, orientasi seksual adalah dimaksudkan agar manusia saling memahami satu sama lain (mutual understanding) sehingga terwujud masyarakat yang damai dan harmonis. Perbedaan itu merupakan sunatullah, bukan dimaksudkan untuk mendiskriminasi apalagi mengeksploitasi mereka yang berbeda.
Ketiga, melalui konsep tauhid, Nabi membebaskan kaum mustadh’afin, yakni kaum budak, perempuan, anak-anak dan orang-orang miskin serta dari kungkungan perilaku jahiliyah yang biadab, perilaku yang sarat dengan nuansa diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Nabi mengajarkan bahwa tugas utama manusia: perempuan dan laki-laki adalah sama yaitu menjadi khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di dunia). Laki dan perempuan harus berlomba-lomba berbuat terbaik (fastabiqul khairat) dengan melaksanakan amal shaleh yang kelak mengantarkannya menjadi orang shaleh, baik secara individual maupun sosial.
Cikal bakal wacana feminisme di NU
Sebetulnya cikal bakal isu-isu feminisme sudah lama terdengar di lingkungan NU meski belum menggunakan istilah feminisme, emansipai atau kesetaraan gender. Hal itu, misalnya dapat dirunut dari upaya KH Bisri Syamsuri (kakek Gus Dur dari pihak ibu) mendirikan Pesantren Putri di Denanyar, pesantren yang dikhususkan bagi kaum perempuan pada akhir tahun 1920-an. Mulanya upaya itu mendapat tantangan keras dari tokoh-tokoh NU, termasuk dari pendiri NU sendiri, KH Hasyim Asy’ari (1871-1947). Berkat kegigihan dan kesungguhan Kyai Bisri, pesantren putri tersebut dapat berdiri dan selanjutnya berkembang dengan pesat. Bahkan, kini menjadi model dari sejumlah pesantren putri di tanah air.
Gagasan berikutnya, muncul dari KH Wahid Hasyim (1914-1953). Beliau selaku Menteri Agama RI mengeluarkan satu kebijakan publik yang amat liberal untuk ukuran masa itu (1955), yakni membolehkan perempuan studi pada Fakultas Syariah. Konsekuensi logis dari kebijakan itu adalah kesempatan bagi perempuan menjadi hakim agama, suatu posisi yang dalam kitab fiqih klasik hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dewasa ini, perempuan yang berprofesi sebagai hakim agama dijumpai di semua kantor Pengadilan Agama di seluruh pelosok nusantara, meskipun diakui jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibanding hakim agama laki-laki. Dalam konteks ini, perempuan Indonesia lebih maju dan lebih berdaya dibandingkan perempuan di Arab Saudi atau di Malaysia. Kedua negara Islam tersebut sampai sekarang masih mengharamkan perempuan menjadi hakim agama.
Berikutnya, Konferensi Besar Syuriah NU tahun 1957 menyepakati suatu keputusan yang melegitimasi bolehnya perempuan memasuki lembaga legislatif, baik di DPR Pusat maupun DPR Daerah. Tentu saja untuk ukuran masa itu, keputusan ini dirasakan sangat progresif, bahkan liberal. Apalagi di lingkungan dunia Islam ketika itu sama sekali tidak memberikan ruang kepada perempuan berkiprah di bidang politik. Menyusul kemudian, Keputusan Muktamar NU tahun 1962 di Salatiga yang memperkenankan perempuan duduk di lembaga eksekutif sebagai Kepala Desa.
Pengakuan NU akan kebolehan perempuan berkiprah di ruang publik, baik di lembaga yudikatif, maupun legislatif dan eksekutif bukan hanya ada di tingkat wacana, melainkan juga berlaku di tingkat aksi. Buktinya, pada tahun 1960-an dijumpai wakil perempuan NU di berbagai lembaga yang disebutkan tadi. Selain itu, keterlibatan kaum perempuan di tubuh organisasi NU tingkat pusat juga semakin konkret. Hal itu ditunjukkan dengan masuknya sejumlah tokoh Muslimat NU, seperti Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Choiriyah Hasyim dalam kepengurusan Syuriah PBNU tahun 60-an.
Sangat disayangkan bahwa pada generasi sesudah ketiga tokoh perempuan yang disebutkan di atas, tidak lagi ditemukan dalam catatan sejarah mengenai keterlibatan perempuan dalam kepengurusan PBNU. Tidak jelas apa alasannya sehingga partisipasi perempuan dalam kepengurusan PBNU bukannya semakin meningkat, malah sebaliknya semakin menurun. Kalaupun ada pengurus perempuan, mereka hanya ditempatkan pada posisi a`wan (anggota biasa) sebagaimana dalam kepengurusan PBNU sekarang.
Berikut ini akan dikemukakan rumusan Program Umum NU Masa Khidmah 1989-1994 hasil Muktamar NU Ke-28 yang berbicara soal perempuan: Peranan perempuan dalam pembangunan masyarakat (terutama masyarakat pedesaan) cukup besar. Untuk meningkatkan keberhasilan yang selama ini sudah dicapai. masih diperlukan penyempurnaan di kalangan Muslimat, Fatayat, dan IPPNU, baik dari segi organisasi maupun kualitas kegiatannya, melalui upaya-upaya: konsolidasi organisasi dan meningkatkan usaha sosial yang selama ini telah ditempuh, seperti rukun kematian, penyantunan yatim piatu, pemberian bea-siswa (anak asuh), pelayanan kepada orang jompo, mempererat silaturahim, serta meningkatkan usaha-usaha di bidang kesehatan, terutama yang langsung menyangkut kebutuhan ibu dan anak, seperti BKIA, klinik KB, pembinaan balita dsb.
Meskipun keputusan itu dimaksudkan untuk meningkatkan status perempuan di dalam NU, namun tetap harus dikritisi bahwa lima butir kegiatan yang direkomendasikan NU agar diimplementasikan oleh segenap organisasi perempuan NU masih bias gender. Artinya, masih sangat terfokus pada kegiatan-kegiatan yang terkait kepentingan praktis untuk kesejahteraan perempuan (women welfare concern), belum sampai menyentuh pada kepentingan strategis perempuan. Belum sampai merekomendasikan perubahan struktur yang timpang yang menyebabkan timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat.
Demikian pula hasil Muktamar NU berikutnya, (Muktamar NU Ke-29) tentang Program Pokok Pengembangan NU 1994-1999 sektor perempuan: Melalui Badan Otonom Perempuan (Muslimat dan Fatayat) NU ikut serta mengembangkan dan mendorong peningkatan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan beragama dengan pembekalan pengetahuan dan peningkatan keterampilan. Di samping itu juga ikut serta dalam program-program sosial kemasyarakatan seperti bidang kesehatan, pendidikan, dan budaya secara umum.
Rumusan hasil Muktamar tersebut pun secara substansial tidak berbeda dengan hasil keputusan sebelumnya, masih menekankan pada kepentingan kesejahteraan perempuan (women welfare concern). Demikian pula hasil keputusan Muktamar NU berikutnya. Fenomena ini, antara lain mengindikasikan bahwa para pengambil keputusan di lingkungan PBNU belum sepenuhnya mampu membedakan antara kepentingan perempuan dan isu gender (gender issues) yang menjadi konsen kaum feminis.
Pembicaraan serius mengenai pemberdayaan perempuan di lingkungan NU tampak jelas dalam hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Lombok tahun 1997. Munas tersebut melahirkan suatu keputusan atau maklumat tentang “Kedudukan Perempuan Dalam Islam” (Makanat Al-Mar’ah fi Al-Islam). Pokok-pokok pikiran dalam maklumat tersebut dapat disimpulkan dalam 5 point: Pertama, Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh dan karenanya patut dihormati. Kedua, Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa. Ketiga, Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena perbedaan kodrati. Keempat, Islam mengakui peran publik perempuan di samping peran domestiknya. Kelima, Islam menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki. Akan tetapi, dalam realitasnya, ajaran tersebut mengalami distorsi akibat pengaruh kondisi sosial dan budaya.
Meskipun masih terasa ada bias nilai-nilai patriarkhi dalam maklumat tersebut, misalnya pernyataan bahwa peran domestik perempuan yang hal itu merupakan kesejatian kodrat perempuan, seperti sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka dan seterusnya. Artinya, kodrat perempuan masih dipahami bias gender. Kodrat dimaknai sebatas peran domestik. Sejatinya, peran domestik itu bukanlah kodrat, melainkan konstruksi budaya yang dapat diubah. Namun, paling tidak maklumat itu telah menegaskan pengakuan bolehnya perempuan berkiprah di dunia publik yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum laki-laki.
Selain itu, ada nada miring menyoroti maklumat tersebut, misalnya bahwa maklumat itu dilahirkan dalam rangka melegitimasi kemungkinan tampilnya sosok perempuan, yaitu putri Presiden Soeharto (Mbak Tutut) sebagai pemimpin politik di negara ini.
Namun, ada analisis lain yang lebih rasional mengenai keputusan NU tersebut. Perlu diketahui bahwa hasil keputusan Munas Alim Ulama ketika itu mengenai isu Masail Diniyyah Maudlu`iyyah mencakup empat tema pokok: 1) Nasbul Imam dan Demokrasi; 2) Hak Asasi Manusia Dalam Islam; 3) Kedudukan Perempuan Dalam Islam; dan 4) Reksadana. Artinya, Munas NU tersebut memang secara intens membahas isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dua isu yang sedang menjadi tema pokok dalam setiap diskursus ilmiah, baik dalam forum nasional, maupun internasional. Kedua isu itu amat terkait dengan tema kesetaraan gender yang menjadi perhatian global saat itu.
Hal utama dan terpenting bahwa di akhir maklumat tersebut terbaca komitmen NU yang kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU menyatakan komitmennya ikut memprakarsai transformasi kultur kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya. Bagi kalangan perempuan, khususnya bagi organisasi perempuan NU, seperti IPPNU, Fatayat dan Muslimat, maklumat ini merupakan dokumen historis yang amat strategis dan menjadi dasar legitimasi bagi upaya-upaya advokasi pemberdayaan perempuan yang sebelumnya masih sangat kontroversial.
Gus Dur sebagai feminis pertama dalam NU
Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa wacana feminisme di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan pandangan Islam, lebih banyak disuarakan oleh kalangan aktifis NU, baik perempuan maupun laki-laki. Gambaran mengenai gerakan feminisme di Indonesia belumlah lengkap tanpa menyibak bagaimana isu-isu feminisme diperbincangkan di lingkungan NU. Memang agak aneh mengingat NU selama ini dikenal sebagai suatu gerakan Islam tradisional yang pada umumnya dianggap lebih terkebelakang dan cenderung mapan, khususnya dalam pandangan dan pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran Islam.
Sebetulnya, Gus Dur sendiri memprediksikan bahwa dalam dekade terakhir ini telah terjadi proses identifikasi diri yang luar biasa di tubuh NU. Di dalam tubuh NU muncul gagasan reformasi dan transformasi yang apresiatif terhadap upaya-upaya membangun masyarakat Indonesia modern di masa depan; muncul gagasan apresiasi terhadap demokrasi, hak asasi, pluralisme, dan unsur-unsur masyarakat sipil modern lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas NU ternyata merupakan suatu komunitas dengan vitalitas yang cukup terbuka untuk menyerap dan berhubungan dengan perubahan sosial dalam bentuknya yang rasional, tanpa harus kehilangan pesan-pesan moralnya (Abdurrhaman Wahid, 1997).
Kondisi yang demikian itu lalu dinilai bertolak belakang dengan profil NU yang selama ini dikenal sebagai suatu gerakan Islam tradisional dengan ciri-ciri keterbelakangan dan cenderung mapan dalam pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran Islam. Stereotipe yang demikian boleh jadi disebabkan karena keteguhan warga NU dalam memegang hukum Islam bernuansa ortodoks yang membawa mereka pada penolakan terhadap modernitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan. Kalangan NU dipersepsikan sebagai komunitas agama yang memiliki pandangan keagamaan yang berorientasi legal-formal dan eskatologis, ditambah lagi dengan kultur kemasyarakatannya yang tradisional. Dengan ungkapan lain, warga NU sering diberikan stigma sebagai kelompok tradisional penghambat kemajuan.
Oleh karena itu, banyak kalangan menjadi heran melihat perkembangan progres dan liberal dalam pemikiran keislaman terjadi di tubuh NU. Meskipun juga harus diakui bahwa perubahan yang drastis dan revolusioner itu baru menyentuh kalangan terbatas, belum sampai mewarnai seluruh komunitas NU. Sudah lama diakui bahwa pemikiran liberal dalam NU, sebagaimana diusung oleh Gus Dur tidak mencerminkan pendirian NU secara menyeluruh.
Tidak sedikit pihak menyayangkan bahwa pikiran-pikiran progres dan liberal Gus Dur hanya bersifat individual, belum menjadi keputusan NU secara organisasi. Sebagian besar kalangan NU, terutama di lingkungan kyai yang menekuni bidang pendidikan melalui pesantren, masih kuat berpegang pada nilai-nilai Islam tradisional seperti terbaca dalam kitab-kitab fiqih klasik, khususnya kitab-kitab fiqih mazhab Syafii yang banyak menjadi acuan di pesantren NU.
Meskipun demikian, tetap saja harus diakui bahwa Gus Dur secara personal melahirkan begitu banyak pemikiran dan inisiatif baru terkait upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender serta perbaikan status dan posisi perempuan. Misalnya, pandangan Gus Dur yang amat fundamental menolak perilaku kekerasan terhadap perempuan, termasuk poligami, membela nasib buruh perempuan dan menolak UU Pornografi.
Selain itu, ketika menjadi presiden ke-4 negeri ini, beliau dengan tegas melahirkan instruksi tentang Pengarusutamaan Gender (kebijakan PUG) dan mengubah nomenklatur Kementerian Urusan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan misi yang amat kuat untuk membangun kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui perogram pemerintah di seluruh aspeknya. Karena itu, tidak salah jika Gus Dur disebut sebagai pionir feminis, khususnya di lingkungan organisasi NU, tempat dia tumbuh dan dibesarkan. Wallahu a’lam.
Oleh: Musdah Mulia.