|

Muslimah Reformis

Hak dan Kesehatan Reproduksi dalam Pandangan Islam

Islam diturunkan pada abad ke-7 melalui Nabi Muhammad saw dalam suatu konteks masyarakat Jahiliyah yang menganut keyakinan paganism, sangat diwarnai sistem patriarkal dan kental dengan nilai-nilai feodalisme. Tidak heran, jika pesan-pesan moral Islam lebih banyak tertuju pada upaya membangun keyakinan tawhid, suatu bentuk keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah dan dipuja, itulah Allah swt. Pada ujungnya, implementasi tawhid membawa kepada penghapusan paganism, mengakhiri penyembahan pada tuhan-tuhan palsu, serta mengeliminasi segala bentuk sistem patriarkal dan feodalisme. Dengan tawhid Nabi mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan atas dasar apa pun demi menegakkan masyarakat yang sejahtera, damai, dan harmoni.

Umat Islam harus yakin, misi utama Rasul adalah menegakkan tauhid dan membebaskan manusia dari semua penyakit sosial berupa kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan dan kezaliman. Itulah musuh Islam paling nyata. Misi Rasul menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Nabi telah melaksanakan misi kenabian itu dengan sukses. Fakta-fakta sejarah menuturkan, perjuangan Nabi tidak mudah, penuh dengan penderitaan, siksaan dan pengorbanan.

Tugas kenabian tidak berakhir dengan wafatnya Nabi, melainkan harus berlanjut. Tugas kenabian itu berada di pundak generasi kita sekarang dan generasi mendatang. demikian seterusnya sampai akhir zaman. Tugas kenabian itu dalam term Qur’an disebut amar makruf wa nahy munkar. Amar makruf adalah semua upaya transformasi diri dan masyarakat ke arah lebih baik dan beradab. Sedangkan, nahy munkar meliputi semua upaya dalam proses humanisasi, mengajak manusia menghargai sesama dan mengeliminasi semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan yang menghancurkan masa depan peradaban manusia.

Islam menempatkan manusia pada posisi sentral sebagai khalifah fil ardh. Tujuannya, memakmurkan kehidupan di bumi sehingga tercipta suatu tatanan masyarakat yang sejahtera, damai dan bahagia. Dalam posisi khalifah fl ardh, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan antara suku Arab dan bukan Arab, tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin dan seterusnya. Satu-satunya hal yang membedakan di antara manusia adalah prestasi taqwa.

Akan tetapi, pemahaman umum masyarakat tentang tagwa mengalami distorsi, karenanya perlu direvisi. Taqwa sering hanya dimaknai sebatas mengerjakan kewajiban ritual dan bersifat formalistik, seperti shalat, puasa, dan haji. Menurut saya, taqwa mencakup semua upaya konkret untuk memanusiakan manusia demi membangun peradaban manusia yang lebih baik. Taqwa bukan sekedar ritual formal, tetapi harus dibuktikan dalam bentuk aksi nyata amar makruf wa nahy munkar atau tugas-tugas prophetic demi membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan kebiadaban melalui institusi keluarga, masyarakat dan negara.

Dengan paradigma Islam seperti ini saya yakin Islam bukanlah hambatan bagi program kesehatan reproduksi di Indonesia, bahkan juga di negara-negara lain. Interpretasi Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap kaum perempuan, termasuk ramah terhadap kelompok remaja amatlah diperlukan dalam menyukseskan program ASRH.

Tiga hambatan
Dari perspektif agama, saya memprediksikan hambatan paling serius bagi program ASRH di Indonesia adalah interpretasi, islamic family law, dan budaya patriarki.

Saya yakin, Islam datang untuk menjadikan laki dan perempuan dapat mengembangkan diri dan potensinya sedemikian rupa agar dapat mengemban amanah sebagai khalifah. Itulah sebabnya, Islam mewajibkan setiap Muslim menekuni pendidikan, melatih diri dengan sejumlah keterampilan, serta memiliki kualitas kesehatan yang prima, termasuk kesehatan reproduksi. Islam amat peduli pada kespro perempuan. Buktinya, untuk alasan kespro, perempuan boleh meninggalkan kewajiban keagamaan, seperti shalat, puasa, dan thawaf. Hal itu karena Islam amat menghargai tugas-tugas reproduksi perempuan dan memandangnya sebagai tugas kemanusiaan yang amat mulia. Adalah menjadi tugas kita bersama agar kaum perempuan dapat menjalankan fungsi fungsi reproduksinya dengan aman, nyaman dan bertanggungjawab.

Masalahnya, interpretasi yang digunakan secara luas oleh masyarakat belum kondusif bagi upaya penegakan hak dan kesehatan reproduksi perempuan, dan belum memihak pada kepentingan jangka panjang remaja. Berbagai interpretasi keliru tersebut antara lain:

Pertama, interpretasi tentang perkawinan dianggap kewajiban yang harus dilakukan setiap Muslim, terutama bagi perempuan. Seorang Muslim belum menikah dianggap belum memenuhi ketentuan agama dan karenanya belum dianggap Muslim sempurna. Orang tua dianggap memiliki hak memaksa anak untuk menikah, meski dengan orang yang tidak disukainya. Interpretasi keliru ini berimplikasi terhadap maraknya perkawinan paksa, perkawinan muda usia, perkawinan tak tercatatkan, dan poligami. Semua bentuk perkawinan tersebut umumnya berakhir dengan perceraian, kekerasan, dan kehancuran, terutama bagi remaja perempuan yang pada akhirnya membawa mereka kepada narkoba, obat terlarang, HIV/Aids, prostitusi, migrant worker, dan aborsi. Kondisi buruk tersebut menyumbang kepada meningkatnya kemiskinan, pengangguran, tingginya angka kehamilan tak dinginkan, kematian ibu melahirkan, putus sekolah dan illiterasi.

Kedua, interpretasi tentang larangan pendidikan seks bagi remaja. Akibatnya, remaja terpaksa mengakses informasi keliru dan menyesatkan terkait seksualitas melalui cara-cara yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab, seperti video dan berbagai bacaan yang sarat dengan unsur-unsur porno, horor dan cabul. Akibat lebih lanjut adalah remaja terjebak dalam aktivitas seksual yang tidak bertanggung jawab dan membawa kepada kehancuran masa depan mereka.

Islamic Family Law masih menganut paradigma nilai-nilai patriakal dan bias gender. Tidak heran jika sejumlah pasal di dalam Islamic Family law mengandung pasal-pasal yang bias gender sebagai berikut: memposisikan perempuan sebagai obyek seks, sedang laki-laki sebagai subyek; membolehkan perkawinan anak, perkawinan paksa, dan kewenangan mutlak pada wali yang selalu berjenis kelamin laki-laki; mewajibkan perempuan melakukan tugas-tugas domestik sehingga harus berperan ganda dan akibatnya perempuan bekerja lebih lama dengan beban yang lebih berat; memposisikan perempuan sebagai subordinat, laki-laki sebagai kepala keluarga yang berhak mengambil keputusan, terutama terkait kespro. Akibatnya, tingginya AKI, aborsi, dan kehamilan yang membawa kepada kematian.

Budaya patriarki yang melanggengkan relasi gender yang timpang juga menjadi kendala serius dalam program ASRH. Relasi gender yang timpang membuat remaja perempuan tidak punya pilihan kecuali harus tunduk pada atasan, pacar dan kerabat laki-laki yang berujung pada berbagai kasus kekerasan berbasis gender.

Peran ulama dalam FPRH
Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Karena itu, seluruh program pembangunan di negeri ini selalu mempertimbangkan kultur masyarakat Muslim. Itulah pentingnya merangkul para ulama dalam menyukseskan program pembangunan, tak terkecuali family planning and reproductive health program (FPRH).

Saya melihat peran ulama dalam FPRH cukup optimal. Sejak tahun 80-an ulama dari NU dan Muhammadiyah telah memberikan kontribusi penting bagi kesuksesan FPRH. Bahkan, melalui berbagai institusi layanan yang mereka miliki, seperti RS, klinik bersalin, sekolah perawat dan lembaga konseling keluarga, ulama melakukan kampanye dan advokasi dengan menggunakan pendekatan agama. Ke depan, peran ulanma harus lebih dioptimalkan.

Ulama dan kaum intelektual Muslim tidak boleh terpaku pada cara-cara lama dan juga interpretasi lama yang sudah tidak relevan. Mengapa? Kehidupan masyarakat, terutama remaja mengalami dinamika yang luar biasa akibat pengaruh globalisasi serta kemajuan sains dan teknologi, khususnya teknologi informatika. Banyak hal baru terjadi dalam masyarakat yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Semua itu mempengaruhi relasi manusia, terutama remaja dan seringkali membawa dampak buruk bagi kehidupan dan kesehatan mereka, khususnya terkait dengan kespro.

Data-data yang ada menunjukkan betapa banyak remaja terjebak dalam penyakit sosial berupa sex bebas, pornografi, narkoba, HIV/Aids, keberutalan dan kebiadaban. Bahkan, kekerasan seksual sudah menjadi endemi dalam masyarakat.

Menghadapi realitas remaja dengan segala problematikanya, ulama dan kita semua tidak bisa tinggal diam, apalagi menyalahkan mereka. Menstigma dan memberi label mereka dengan sebutan sampah, pendosa atau pelaku perbuatan haram bukanlah sebuah solusi. Stigma dan stereotip serta labelling apa pun terhadap remaja tidak menyelesaikan masalah, malah akan lebih memperburuk situasi.

Menghadapi realitas tersebut, ulama tidak punya pilihan, melainkan harus berani membuat terobosan baru, melakukan tugas-tugas kenabian sesuai konteks masyarakat kini. Ulama perlu berijtihad mencari jalan keluar dan merespon problem sosial kontemporer yang riil terjadi di depan mata. Di lain pihak, tidak berarti ulama harus mengabaikan hukum Islam, kita tidak ingin mengubah hukum Tuhan yang sudah pasti. Hukum haram akan haram selamanya, tidak ada kompromi.

Persoalannya, bagaimana menerapkan hukum Islam secara lebih efektif dengan mengedepankan prinsip kemashalahatan bagi manusia. Umat Islam harus yakin, esensi hukum Islam adalah sepenuhnya untuk kemashlahatan manusia, bukan kemashlahatan Tuhan. Sebab, Dia Maha Sempurna. Karena itu, hukum Islam mengandung kaidah hukum yang fleksibel, antara lain: Pertama, kesukaran mendatangkan kemudahan (al masyagqah tajlib al-taisir). Kedua, Kemudaratan harus ditinggalkan (al-dhararu yuzalu). Syariat Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu keadaan tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian, dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudaratan pada sebahagian manusia. Dalam keadaan demikian, syariat Islam memberikan kelapangan untuk menolak kesukaran yang dihadapi. Ketiga, apabila terdapat kontroversi dalam satu masalah, antara kerusakan dan kemashlahatan, maka menolak kerusakan harus lebih diprioritaskan (dar’ al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih). Salah satu prinsip perumusan hukum dalam Qur’an adalah bahwa sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi halal karena adanya faktor kedaruratan. Adanya keadaan darurat menunjukkan, Qur’an memberikan kebijaksanaan di balik kepastian hukum yang telah ditetapkannya dengan maksud sepenuhnya demi kemashlahatan manusia.

Pertanyaannya, adakah kerberanian ulama melakukan ijtihad merumuskan hukum baru yang lebih kondusif bagi kemashalahatan masyarakat? Fakta historis menujukkan, keberanian melakukan ijtihad, merumuskan hukum baru yang sepintas terlihat menyalahi teks agama sudah dicontohkan secara jelas oleh Umar ra. Dia adalah sahabat Nabi dan khalifah ketiga yang sangat terkenal karena sikapnya yang berani, tegas dan adil, serta memiliki pandangan keislaman yang jauh ke depan.

Di masa pemerintahanya, Umar ra. melahirkan sejumlah hukum yang dinilai kontroversial karena bertentangan dengan bunyi teks agama, seperti tidak menghukum pencuri pada masa paceklik; tidak membagikan harta rampasan perang kepada perajurit yang berhak mendapatkannya; tidak memberi bantuan kepada muallaf (orang baru masuk Islam). Alasannya, semata demi kemashlahatan masyarakat. Pencuri tidak dihukum karena motivasi mereka adalah kemiskinan dan kelaparan; perajurit tidak diberikan harta rampasan perang karena mereka sudah hidup berkecukupan, dan harta tersebut lebih manfaat jika dikelola oleh negara dan keuntungannya dinikmati oleh masyarakat luas; Muallaf tidak diberi santunan karena jumlah mereka sudah banyak dan tidak lagi dalam kondisi marjinal. Jadi, meski secara tekstual tindakan Umar ra terlihat menyalahi Qur’an, namun dilihat dari aspek magashid al-shari ‘ah tidak bertentangan dengan esensi Qur’an, yakni menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti keadilan, persamaan, dan kemashlahatan. Tindakan Umar ra. merupakan upaya pemahaman terhadap hikmah tertentu yang terkandung di balik teks suci.

Mengacu pada ijtihad Umar ra, dan menghubungkannya dengan isu yang kita bahas, maka ulama seharusnya berani merumuskan interpretasi baru yang lebih mendukung upaya penyediaan layanan kespro bagi remaja, termasuk remaja bermasalah sekalipun, yang sudah aktif melakukan aktivitas seksual di luar nikah. Penyediaan layanan itu tidak berarti kita mengakui dan menyetujui perilaku mereka yang dalam Islam disebut haram dan dosa. Pelayanan itu disediakan dengan pertimbangan lebih banyak manfaat daripada mudharatnya, sesuai kaidah hukum yang saya sebutkan tadi.

Menyediakan layanan kespro yang holistik dan bertanggungjawab bagi remaja pasti lebih bermanfaat ketimbang membiarkan mereka tanpa layanan sama sekali. Tentu saja harus dipikirkan secara matang bagaimana konkretnya bentuk layanan tersebut sehingga penyalahgunaannya dapat diminimalisir sedemikian rupa. Demikian pula, tetap mendorong pemerintah dan masyarakat menyediakan pendidikan berkualitas dan terjangkau dan juga menfasilitasi remaja dengan aktivitas sosial yang berguna bagi masa depan mereka. Saya yakin, sikap merangkul remaja dengan penuh perhatian dan kasih sayang, termasuk remaja yang bermasalah sekalipun, akan lebih baik dari pada menghakimi dan menghukum mereka.

Kelompok tua harus selalu membangun sikap positif dan konstruktif terhadap kaum muda. Sebab, boleh jadi kondisi buruk yang mereka alami merupakan konsekuensi logis dari kesalahan orang tua, ulama, masyarakat, dan negara yang tidak bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi mereka yang paling mendasar, khususnya hak hak kespro dan hak seksualitas yang merupakan bagian integral dari hak asasi manusia.

Islam harus mampu memberi solusi terhadap berbagai problem sosial kemanusiaan, termasuk problem remaja. Jika tidak, agama akan ditinggalkan dan kelak hanya akan menjadi fosil yang tak berguna. Ulama harus bertindak seperti saintis yang selalu berpikir dan berupaya menciptakan produk inovatif teknologi terbaru demi kebaikan dan kenyamanan manusia. Sebab, produk lama selalu akan ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan tuntutan dinamika kehidupan modern manusia yang selalu cepat berubah. Demikian pula dengan ulama, harus terus-menerus berijtihad melahirkan interpretasi baru yang lebih kompatibel dengan prinsip HAM dan demokrasi, interpretasi yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lebih ramah terhadap kelompok remaja serta lebih responsif terhadap kebutuhan mereka yang selalu cepat berubah. Hanya dengan cara itu Islam akan menjadi rahmatan lil alamin.