Menurut Siti, hambatan utama penegakan demokrasi adalah lemahnya kultur demokrasi. Artinya, demokrasi Indonesia berjalan nyaris tanpa penegakan nilai-nilai demokrasi itu sendiri yang intinya adalah nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan dan keadaban.
Siti menyebut sejumlah indikasi seperti masih adanya hambatan kebebasan sipil, khususnya terkait kebebasan beragama, ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang masih tajam, pelayanan publik belum menjangkau seluruh rakyat, kerusakan dan pencemaran lingkungan, minimnya perlindungan terhadap buruh, kaum perempuan dan anak serta belum optimalnya fungsi institusi demokrasi.
“Jadi demokrasi belum mampu menjawab problem bangsa secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah,” katanya, seraya menambahkan hal ini disebabkan karena kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi Barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat.
Menurut Siti, seringkali relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial (etnisitas), relijiusitas, dan bahkan hal-hal bersifat takhayul dan mitos.
Survei ICRP, katanya, mengafirmasi keresahan umum di kalangan masyarakat tentang meningkatnya trend intoleransi sosial. Sejumlah kasus intoleransi dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian hukum yang tegas.
“Peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat terkait isu agama dan suku dalam pilkada, isu LGBT, dan sejumlah persoalan terkait hambatan menjalankan ibadah ramai dibicarakan,” katanya.
Sementara pemerintah juga belum menunjukkan upaya-upaya konkret mengikis semua bentuk intoleransi yang sangat menodai wajah demokrasi kita, kata Siti.
Masyarakat pun, tambahnya, gagal dalam melindungi dan menegakkan semangat toleransi dan pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat. Modal sosial dan tingkat dukungan terhadap toleransi, khususnya terkait kebebasan beragama kita relatif rendah.
Siti mengungkapkan, masyarakat diliputi pandangan abu-abu terhadap perlindungan kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan. Pada level personal, masyarakat enggan hidup bertetangga dengan mereka yang berbeda agama.
Fatalnya, kecenderungan ini terlihat pada semua kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Bahkan, dalam hubungannya dengan afiliasi terhadap partai politik, pendukung partai nasionalis dan partai Islam juga tidak menunjukkan perbedaan berarti. Artinya, ideologi partai khususnya nasional, gagal beresonansi dengan pemilihnya.
Walau negara tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab melindungi prinsip-prinsip negara demokrasi ideal, termasuk dalam monopoli kekerasan, menurut Siti persepsi masyarakat tentang pluralisme juga penting.
“Indonesia terlalu penting untuk diserahkan kepada penjahat demokrasi. Indonesia juga terlalu berharga dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan politisi,” kata Siti.
Masyarakat perlu segera mengambil sikap. Ketika isu intoleransi dan diskriminasi masih diabaikan, masyarakat dituntut lebih banyak berkontribusi menegakkan nilai-nilai demokrasi. Masyarakat pun harus lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi.
“Jangan sampai kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi berhasil menggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran. Selama ini, masyarakat yang mendukung toleransi lebih mengambil sikap diam, terciptalah silent majority dan sikap ini merupakan bencana dalam kehidupan demokrasi,” pungkasnya.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati. Menurut Handojo, toleransi masih jadi soal keramat karena masih banyaknya pihak yang menghalangi sesamanya untuk beribadah.
Karena itu, tambahnya, negara harus tegas menegakkan hukum ketika praktek-praktek intoleransi terjadi. Pancasila dan Konstitusi adalah acuan utama. Para penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil, meski bertentangan dengan keinginan dan kepentingan mayoritas.
Bagi Handojo, demokrasi harus berujung pada kesejahteraan, kemashlahatan dan kedamaian seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali. Untuk mewujudkannya, diperlukan upaya-upaya penguatan di akar rumput, salah satunya melalui pendidikan politik secara massif seperti yang dilakukan Vox Point.
Narasumber lain seminar itu adalah Muhammad Sabri, Direktur Pengkajian BPIP dan Frederikus Fios, Direktur Pancasila Vox Point Indonesia.
Muhammad Sabri mengungkapkan pentingnya refleksi mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila. Minimnya pemahaman terhadap Pancasila sebagai common platform berbangsa dan bernegara, membuat warga amat mudah dipecah belah, katanya.
Sementara Frederikus Fios menegaskan pendidikan Pancasila perlu diarahkan pada refleksi kritis kaum muda, sehingga mendorong pada pengambilan sikap yang tepat dan terwujud dalam tindakan yang Pancasilais.
Alexander AN
Sumber: https://katoliknews.com/2020/10/01/hari-kesaktian-pancasila-ketua-icrp-sebut-demokrasi-indonesia-masih-minus-toleransi/