|

Muslimah Reformis

Hei, Aku Suami…

“Kamu tau siapa aku saat ini? Bisa gak kamu hargai dan dengerin aku? Bisa gak kamu nurut? Kamu paham gak apa arti kewajiban dan hak? Hei, aku ini suami kamu! Pikirin itu baik-baik.”

Seketika perkataan itu terdengar lantang dari mulut laki-laki yang kini menjadi ‘suami’ di dalam hidupku. Tanpa banyak menjawab, aku cuma bisa diam dan menangis, mengingat akan ada tambahan kata lainnya yang pasti akan dia ucapkan, isinya hanya penekanan hak suami dan kewajiban istri. Dia tak ingat sedikit pun, istri juga punya hak dan suami pasti punya kewajiban terhadap istrinya.

“Hah, sungguh egois sekali dia. Ini yang membuat aku menyesal menikah, andai saat itu aku tidak memberikan kesempatan ke rumah. Ahhh.” ocehanku dalam hati. Proses pernikahan kami cukup singkat, meskipun kami berada di lingkungan yang sama selama ini, ya kami sama-sama kuliah di universitas yang sama, jurusan yang sama, Angkatan yang sama walau kelas berbeda. Tapi, dia adalah laki-laki yang berani secara langsung meminta izin kepada ayahku menjadikan aku istrinya, padahal kami sama-sama masih semester enam.

Aku hanya bisa berlari ke kamar, membaringkan tubuhku dan sedikit mengingat kenapa aku bisa menikah, serta berandai-andai waktu bisa aku ulang mungkin aku tidak ingin menikah.

Saat itu aku memang sedang terluka dan dalam proses menata kembali hatiku  karena tujuh tahun kisahku dengan pria yang aku harap menjadi pilihan terakhirku ternyata hanya angan semata. Tau kan istilah bertahan demi jagain jodoh orang? Dan tujuh tahun itu bukan hal yang sebentar untukku pribadi mengukir kisah percintaan yang menghasilkan mimpi serta harapan di masa depan.

“Ayah tau, cita-citamu tinggi, keinginanmu besar, dan ayah juga pengen punya anak biarpun dia perempuan tapi dia bisa besar dan hebat. Dengan menikah kamu tidak akan kehilangan mimpimu, justru kamu bisa menemukan mimpi baru dengan teman hidupmu, kamu bisa menjalani semua hal yang ingin kamu gapai dengan kekuatan yang besar karena akan selalu ada dukungan suami bersamamu. Kami orang tuamu tidak akan pernah meninggalkanmu. Asal kalian siap dan berjanji akan melewatinya bersama.” Itu adalah pesan ayahku kepada kami sebelum tanggal pernikahan itu diatur. “Baik pak, saya mengerti. Saya tidak bisa berjanji tapi berusaha untuk bisa menjadi sosok tersebut untuk anak bapak.” jawaban dari pria yang akan menikahiku, “Unch, so sweet bukan? Bismillah aku siap menikah kalau gitu.”

Tapi, komitmen itu nampaknya sirna saat dia mulai menginginkan perannya sebagai seorang suami. “Apa karena kita tidak cukup mengenal dengan baik dan lama? Aku atau dia salah? pikirku, karena sehari setelah menikah, dia mengutarakan keinginannya agar aku diam saja di rumah mengurus skripsiku yang belum selesai dan berhenti bekerja dengan alasan dia malu, dia yang baru mencari kerja sedang aku sudah berkerja walaupun hanya honorer sekolah swasta saat itu.

“Kamu itu perempuan, tau apa tentang pekerjaan? Meskipun cuma guru honorer tapi kamu bisa aja lalai akan pekerjaanmu di rumah. Bisa gak jadi istri yang nurut? Ok, kamu sekolah tinggi, tapi itu berguna untuk anak kita nanti jadi gak perlu kamu cape-cape kerja. Aku hanya ingin bertanggung jawab padamu. Dijadikan ‘Ratu’ kok gak mau? Kenapa? karena pekerjaanku yang masih gak jelas? Jangan malu-maluin aku! Makanya jangan keseringan maen medsos hapus medsosnya biar gak ke brainwash jadi istri pembangkang.” kata-kata yang dia ucapkan saat itu yang membuat aku bereaksi menolak pemikirannya.

What? Pembangkang? Konsep dari mana? Aku perempuan, tapi aku berhak mendapatkan pendidikan. Aku berhak melakukan aktivitas yang memang menurutku itu bermanfaat bukan untuk diriku secara financial tetapi juga untuk orang lain. Apa di matamu perempuan hanya cocok jadi ibu rumah tangga? Apa menurutmu seorang ‘Ratu’ tidak bekerja? Dia juga bekerja untuk rakyat nya bukan hanya keluarganya.” dengan sangat emosi aku berucap seperti itu padanya.

Satu minggu setelah perdebatan tersebut, kami tidak bertemu karena masing-masing mendapatkan pekerjaan sampingan ke luar kota yang berbeda. Sampai di hari ke tujuh, kami memutuskan pulang ke rumah agar bisa berangkat bareng. Sayangnya aku benar-benar merasa tidak enak badan saat itu, mual, muntah, demam sampai diare yang akhirnya memutuskan untuk tidak ikut project tersebut. Singkat cerita kami pun ke dokter dan hasilnya, aku hamil.

“Alhamdulillah aku bisa menghamili kamu ternyata, tuh nurut sama suami udah gak usah so’-so’an jadi perempuan berdikari, repot udah punya anak nantinya!” katanya. Jujur perasaanku saat itu kaget dan tidak bisa menerima kenyataan. Aku harus mengandung anak dari laki-laki yang sok ‘suami’ karena mungkin rasa kesal yang teramat sehingga aku bener-bener lelah mental.

“Aku gugurin aja anak ini, sampai detik ini kamu masih aja tidak bisa menghargai aku sebagai perempuan.” Aku teriak sejadi-jadinya, nangis, bahkan aku memukuli perutku saat itu. “Janji kamu mana?

Pernikahan bukan tentang kamu, tapi tentang kita. Pernikahan bukan tentang ‘Suami’ tapi juga ‘Istri’. Istri harus taat pada suami yang menuntun bukan menuntut. Bagaimana bisa pernikahan itu sehat, kalau ucapan dan tindakan suami membuat istri kehilangan akal waras! Kita bisa jalani semuanya asal bersama. Aku gak suka kamu yang menekan aku dengan kata-kata ‘Hei, Aku Suami’ ya aku tau……………” dan aku tidak bisa mengingat kembali kelanjutannya karena saat aku buka mata, suamiku sedang menangis dan meminta maaf berulang-ulang sedang aku hanya bisa terbaring lemas dengan infusan di tangan kananku.

Setelah kejadian itu kami berdua sama-sama introsfeksi, mulai berbicara secara baik-baik sampai akhirnya kami sepakat harus berubah, bukan karena aku sedang mengandung, tapi karena kami sedang membangun sebuah keluarga, istri dan suami adalah fondasi utamanya.

Ada pepatah: “di balik kesuksesan suami, ada istri hebat di belakangnya” Sosok istri yang mampu mendukung dan membantu suami dari segi apa pun. Kalau istrinya sukses? Suami cuma bilang “Hei, Aku Suami, Ya Suaminya”.  Karena itu, penting mengedukasi masyarakat tentang prinsip kesetaraan suami-isteri dalam keluarga. Kesetaraan maknanya bahwa kedua suami-isteri menyadari hak dan tanggung jawab masing-masing sehingga keduanya saling menghargai dan saling melengkapi secara tulus. Inilah pesan hakiki Islam yang sering diabaikan pemeluknya.

 

bersambung….

 

Cerita Oleh: Eka Chandra Oktaviani
Editor: Wiwit Musaadah