|

Muslimah Reformis

Hukum & HAM Revenge Porn: Pelanggaran Privasi Non-Konsensual

Ayu Alfiah Jonas

Revenge Porn: Pelanggaran Privasi Non-Konsensual

Kasus revenge porn kembali membuat media sosial ramai. Video Rebecca Klopper viral dan tak henti dibicarakan. Dalam diskursus yang terjadi di Twitter, Instagram, dan Tiktok, respons-opini warganet terbagi menjadi tujuh kubu: (1) menyalahkan Rebecca, (2) menyalahkan si penyebar video, (3) tidak peduli, (4) turut menonton dan mengunggah-ulang, (5) membela Rebecca, (6) membela si penyebar video, dan (7) merisak fisik laki-laki dalam video. Setiap opini memiliki latar belakang masing-masing. Kita tak bisa begitu saja menyalahkan konklusi yang diambil setiap orang sebab mereka memiliki perspektif yang berbeda satu sama lain.

Ada kemungkinan ketidaktahuan, ketakmengertian, atau bahkan kesalahpahaman, menjeramah warganet yang memilih berada di kubu ke-1, ke-3, ke-4, dan ke-6. Di kubu ke-2, ke-5, dan ke-7, warganet mungkin sudah memahami tentang apa itu dan bagaimana menyikapi revenge porn. Namun di kubu yang ke-7, bagaimanapun, perundungan yang terjadi tak dapat dibenarkan. Kemungkinan-kemungkinan inilah yang membentuk pilihan kubu warganet. Sebelum memilih akan berada di kubu yang mana, mari kita dedah-ulang apa itu revenge porn dan bagaimana kita mesti menyikapi kasus ini.

Apa Itu Revenge Porn?

Kehadiran media sosial yang sangat visual menyebabkan praktik mengambil foto dan video menjadi amat populer. Orang-orang berfoto dan merekam video dengan mencoba menampilkan sisi-sisi paling keren, cantik, atau menarik, termasuk menunjukkan aktivitas seksual. Foto atau video tersebut kemudian diunggah oleh orang tak bertanggungjawab. Unggahan inilah yang menimbulkan malapetaka.

Istilah revenge porn menunjuk pada disebarluaskannya konten-konten visual bernuansa seksual oleh seseorang untuk membalas dendam atau menghukum. Revenge porn adalah pornografi non-konsensual, juga dikenal sebagai pornografi balas dendam, yang mendistribusikan gambar seksual atau gambar intim individu tanpa persetujuan. Revenge porn memiliki efek yang menghancurkan. Korban dapat mengalami kecemasan yang parah dan depresi yang menempatkan korban dalam bahaya fisik. Korban juga terancam kehilangan pekerjaan dan kesulitan menemukan pekerjaan baru. Banyak korban yang terpaksa menjauh dari lingkungan sosial, pindah tempat tinggal, bahkan mengganti nama mereka untuk menghindari efek revenge porn.

Tindakan seseorang yang mengancam dan atau menyebarkan video seks termasuk dalam salah satu bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang mencakup pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infirngement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen secara daring (online recruitment). Revenge porn masuk dalam kategori malicious distribution dan infirngement of privacy.

Meski telah populer, istilah “revenge porn” perlu kita kritisi. Masalah dalam kasus ini adalah pelanggaran privasi dan consent (persetujuan). Tetapi, karena konsep balas dendam telah melekat dan selalu dikaitkan dengan distribusi gambar dan video non-konsensual, maka istilah “revenge porn” terus-menerus digunakan. Sayangnya, karena ada kata “porn” yang merujuk pada pengertian negatif, maka penggunaan istilah “revenge porn” sebenarnya telah menjadi penghambat kemajuan dan menjadi penghalang bagi bantuan orang lain untuk para korban yang sangat dibutuhkan.

Saat ini, belum ada solusi untuk menghilangkan praktik penyebutan “revenge porn”. Maka, pengesahan secara hukum yakni membuat undang-undang diperlukan untuk mengganti dan berhenti merujuk istilah “revenge porn” baik dalam bahasa sehari-hari, bahasa akademik, maupun dalam bahasan hukum. Sebaiknya, kasus revenge porn lebih konsisten dirujuk sebagai “pelanggaran privasi non-konsensual” untuk lebih mencerminkan tujuan penyelesaikan kasus sehingga reformasi hukum pun dapat dimulai.

Meski terkesan panjang, istilah “pelanggaran privasi non-konsensual” tidak hanya membatasi bahasa (agar tidak bermakna negartif seperti revenge porn), tapi juga membatasi secara simbolis, dan memiliki dampak positif di dunia nyata. Istilah revenge porn akan menjadi masalah saat diberitakan oleh media. Orang awam akan menarik kesimpulan sembarang bahwa apa yang terjadi adalah sang korban (subjek dalam video) merupakan bintang porno atau orang yang terlibat dalam produksi pornografi.

Selain itu, revenge porn juga menyiratkan dan menunjuk pada gagasan yang diperoleh seseorang untuk membalas dendam mereka melalui pornografi. Kadang-kadang ini mungkin terjadi, tetapi kadang-kadang juga tidak. Di tangan orang yang salah, istilah ini bisa dijadikan sebagai slogan untuk mendapatkan perhatian media dan hukum. Karena itu, fokus yang perlu ditekankan bukan pada konsep balas dendamnya, tapi konsentrasi pada persetujuan dan privasi. Ini akan bermanfaat secara simbolis dan praktis. Usulan perubahan istilah revenge porn menjadi pelanggaran privasi non-konsensual layak mendapat lebih banyak perhatian, masukan, dan didiskusikan secara kontinu oleh pembuat undang-undang, cendekiawan, aktivis, dan korban.

Bahaya yang Mengintai

KBGO telah menerima banyak perhatian masyarakat selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan seksual di komunitas virtual dan game, hingga cyber-bullying, trolling, dan pelanggaran privasi non-konsensual. Dalam Catahu Komnas Perempuan 2023, sepanjang tahun 2022, data pengaduan Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) di Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus siber di ranah personal ada sebanyak 821 kasus. Kasus didominasi oleh kekerasan seksual dan kasus terbanyak dilakukan oleh mantan pacar yakni sebanyak 549 kasus dan pacar sebanyak 230 kasus. Sementara, kasus siber di ranah publik terbanyak dilakukan oleh “teman media sosial” sebanyak 383 kasus.

Data siber yang dilaporkan lembaga layanan terbanyak adalah di LSM dan WCC sebanyak 103 kasus. Data ini memang menurun sebanyak 67 kasus bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, angka kasus siber yang dilaporkan dari lembaga layanan secara keseluruhan mengalami peningkatan sebanyak 112 kasus, di mana sebagian besar pelaku kasus siber adalah orang tak dikenal dan pacar atau mantan pacar. Untuk kekerasan di ranah publik, kasus yang tertinggi adalah kasus siber dengan jumlah 869 kasus. Dari 9.806 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan, jenis kekerasan di ranah siber terhadap perempuan tercatat berjumlah 79 kasus.

Korban, baik perempuan maupun laki-laki, yang mengalami viktimisasi seksual seringkali merasa malu. Keterlibatan rasa malu dalam kasus kekerasan seksual membuat penyintas kekerasan seksual memercayai bahwa apa yang telah terjadi adalah kesalahannya sendiri. Korban dilecehkan secara seksual, terlalu malu untuk melapor polisi, dan takut kehidupan pribadi atau masa lalu seksual akan dipublikasikan. Penyintas kekerasan seksual memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melapor ke polisi saat pelakunya adalah orang yang dikenal. Bisa karena malu, atau karena merasa tidak akan dipercaya. Beberapa penyintas kekerasan seksual bahkan merasa kehilangan harga dirinya.

Korban kekerasan seksual biasanya mengalami berbagai masalah kesehatan mental, seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), depresi, kecemasan, menyalahkan diri sendiri, penyalahgunaan zat terlarang, dan penyangkalan atau penghindaran. Penyintas kekerasan seksual sering menekan ingatan mereka tentang peristiwa tersebut demi menghindari trauma dan kecemasan. Sebesar 90% penyintas menggunakan mekanisme pertahanan untuk menanggapi hal-hal menyakitkan yang muncul dari serangan revenge porn. Meskipun penghindaran dan penyangkalan adalah mekanisme koping yang umum, namun, semakin lama penyintas kekerasan seksual terlibat dalam perilaku ini, maka akan semakin besar pula kemungkinan penyintas terlibat dalam menyalahkan diri sendiri dan mengalami lebih banyak gangguan efek kesehatan mental.

Masalah kesehatan mental penyintas yang muncul setelah kekerasan seksual terjadi juga berasal dari penanganan oleh penegak hukum dan praktisi medis, serta perlakuan sosial dari masyarakat. Penegakan hukum dan pejabat sering melarang penyintas kekerasan seksual membuat laporan resmi karena secara grafis akan menggambarkan proses hukum yang melelahkan. Sistem sosial di masyarakat pun sering memperlakukan kasus kekerasan seksual dengan tidak serius sehingga merugikan para penyintas.

Penyintas, baik perempuan maupun laki-laki, sedang dalam proses yang sulit untuk dapat keluar dari cengkeraman kuat kasus revenge porn. Bahaya gangguan kesehatan mental mengintai mereka dari berbagai arah. Kasus revenge porn yang kian marak berpotensi membuat para penyintas menjadi semakin stres. Kemungkinan paling buruk, penyintas memutuskan untuk bunuh diri. Kita mesti memasang kuda-kuda sekuat mungkin untuk menjadi support system. Ada ketika penyintas tengah berduka dan mau menjadi pendengar yang baik ketika penyintas ingin bercerita.

Bagaimana Sikap Muslimah Reformis?

Bila menjadi korban, kita mesti langsung membuat laporan ke kepolisian atas dugaan tindak pidana atas dasar hukum yang berlaku, di antaranya adalah Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 UU Pornografi, serta UU ITE Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 1 angka 8 UU 19/2016. Jangan ragu untuk melapor dan meminta bantuan dari lembaga hukum dan orang-orang terdekat. Bila masih diterpa stigma, yakinkanlah bahwa fokus yang perlu diselesaikan adalah persetujuan, privasi, dan penyebarannya.

Saat video non-konsensual tersebar, maka pihak yang dapat dikenakan hukuman berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi adalah orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan. Jika ada pihak yang merekam video tanpa sepengetahuan kita, maka kita tidak dapat dihukum, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Sebab, posisi kita adalah sebagai orang yang dirugikan akibat direkam dan disebarkan video privasinya.

Bila menyaksikan orang lain menjadi korban, kita wajib memastikan bahwa video yang beredar berhenti di kita. Artinya, kita tak lagi mengunggah-ulang atau menyebarkan dan menunjukkannya ke orang lain. Bila memungkinkan, hapuslah video-video yang telah beredar di platform atau perangkat tertentu. Berilah pengertian pada orang-orang yang telah menyebarkan bahwa apa yang tengah terjadi adalah pelanggaran privasi non-konsensual. Paling utama, kita tak perlu menyalahkan korban. Alih-alih menyalahkan korban, salurkan saja energi yang ada untuk mengedukasi orang-orang di sekitar, baik jauh maupun dekat, dengan pengetahuan yang ekstensif tentang KBGO.

Sumber Tulisan

  1. A Breach of Trust: Fighting Nonconsensual Pornography(2017) oleh Ari Ezra Waldman
  2. Economies of Reputation: The Case of Revenge Porn(2017) oleh Ganaele Langlois dan Andrea Slane
  3. Privacy And Consent: The Trouble With the Label of “Revenge Porn”(2017) oleh Melinda Sebastian
  4. Revenge Porn(2021) oleh Kristi Poerwandari
  5. Revenge Porn and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge Porn on Female Survivors (2016) oleh Samantha Bates