|

Muslimah Reformis

Islam dan Kesetaraan Manusia

Oleh: Yaqut Al-Amnah 
Perjumpaan manusia dengan sesuatu yang liyan  tak jarang menimbulkan konflik dan efek yang negatif. Kesombongan, kehendak untuk mendominasi, hingga upaya untuk menyakiti orang lain merupakan kegagalan manusia dalam melihat “orang lain”. Hal ini juga  menjadi akar dari berbagai tidak kekerasan, diskriminasi atau juga penindasan.Iblis telah merasa lebih terhormat dari makhluk Tuhan yang lain, yakni Adam. Manusia. Ia diusir dari surga, menjadi makhluk yang hina dan simbol berbagai keburukan dan kemunkaran. Rasisme memiliki sejarah yang panjang, bahkan sejak awal mula diciptakannya manusia.Pada zaman Jahiliyah, di mana masyarakat terbagi atas suku-suku, satu suku merasa lebih unggul dan superior dari suku lainnya. Konflik pun terus menerus terjadi. Konstruksi keunggulan lain yang tumbuh di masyarakat hingga sekarang adalah keutamaan jenis kelamin. Laki-laki dianggap lebih tangguh, lebih kuat, superior dan lebih bisa mengendalikan banyak hal ketimbang perempuan.Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw datang dengan semangat pembaharuan yang luar biasa. Di antara misi pembaharuannya adalah mewujudkan prinsip kesetaraan manusia yang terdapat dalam ajaran tauhid. Secara sederhana, tauhid bisa diartikan dengan mengesakan Allah. Menghambakan diri hanya kepada-Nya, menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.Ajaran tauhid, tidak hanya membawa manusia untuk meyakini keberadaan Allah dan mengesakan-Nya. Lebih dari itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Musdah Mulia dalam “Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender”, tauhid juga menumbuhkan kesadaran manusia. Ketika hanya Allah yang patut disembah dan menjadi satu-satunya tempat berlindung, maka tidak ada lagi yang perlu dipertuhankan, entah itu berhala, kekuatan suku, kebesaran golongan, pemimpin hingga ego kita sendiri.Tauhid mengajarkan kita bahwa semua manusia di hadapan Tuhan adalah setara. Selain takwa, tidak ada perbedaan yang membuat manusia lebih mulia dari yang lainnya di hadapan Tuhan. Melalui prinsip itulah Islam membebaskan manusia dari segala bentuk diskriminasi, penindasan dan ketidakadilan.
Di Mekkah, Nabi memberikan landasan tauhid yang kuat bagi umatnya. Selama 13 tahun, ayat-ayat Alquran yang turun banyak berisi tentang keimanan dan ketakwaan. Berbeda dengan di Yastrib atau yang kemudian dikenal dengan Madinah, ayat-ayat Alquran yang turun selama 10 tahun di sini banyak mengatur perihal hubungan antar manusia, antar agama, ajaran untuk peduli terhadap sesama hingga turunnya perintah zakat. Rasulullah bersama para sahabat pun mulai membangun Madinah sebagai bumi kemanusiaan.

Madinah juga memiliki sejarah terjadinya peristiwa yang revolusioner, yakni dibuatnya piagam Madinah. Perjanjian tersebut mampu mengatur masyarakat—baik penduduk tetap maupun pendatang—yang terdiri dari berbagai etnis,  suku, dan kepercayaan untuk bersatu dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak heran jika Robert N. Bellah, Guru Besar Sosiologi Universitas California  menyebutnya sebagai peristiwa yang terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah kala itu.

Kebencian di antara manusia memang sering tidak bisa dihindari, tetapi Alquran menegaskan, “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” Hal ini, seperti yang disampaikan oleh Nurul H. Maarif dalam “Islam Mengasihi Bukan Membenci”, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang universal, tidak memandang kesukuan, jabatan, keluarga, agama dan sebagainya. Kita dituntut untuk senantiasa berbuat adil, sekalipun kepada yang tidak kita sukai.

Sebelum iblis diusir dari surga setelah menolak untuk bersujud kepada Adam, Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud kepada Adam ketika Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS [7]: 12)

Iblis pun diusir dan menjadi makhluk yang hina sebab dosa rasialnya, menganggap diri lebih baik dari Adam. Bukankah kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dengan warna kulit apa, rupa seperti apa, hingga orangtua yang beragama apa? Kualitas kemanusiaan kita tidak bisa diukur berdasarkan apa-apa yang tidak bisa kita pilih.

Kemuliaan akhlak, kecerdasan dan keluasan ilmu seseorang tidak bergantung pada jenis kelamin, warna kulit, garis keturunan, atau bahkan kepercayaan yang dianut. Kita hidup di dunia yang tidak hitam putih. Ada beragam warna dan perbedaan yang justru bisa menjadi harmoni dan penanda betapa Tuhan Mahaagung dan agama-Nya adalah agama yang damai dan penuh kasih.