Madinah juga memiliki sejarah terjadinya peristiwa yang revolusioner, yakni dibuatnya piagam Madinah. Perjanjian tersebut mampu mengatur masyarakat—baik penduduk tetap maupun pendatang—yang terdiri dari berbagai etnis, suku, dan kepercayaan untuk bersatu dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak heran jika Robert N. Bellah, Guru Besar Sosiologi Universitas California menyebutnya sebagai peristiwa yang terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah kala itu.
Kebencian di antara manusia memang sering tidak bisa dihindari, tetapi Alquran menegaskan, “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” Hal ini, seperti yang disampaikan oleh Nurul H. Maarif dalam “Islam Mengasihi Bukan Membenci”, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang universal, tidak memandang kesukuan, jabatan, keluarga, agama dan sebagainya. Kita dituntut untuk senantiasa berbuat adil, sekalipun kepada yang tidak kita sukai.
Sebelum iblis diusir dari surga setelah menolak untuk bersujud kepada Adam, Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud kepada Adam ketika Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS [7]: 12)
Iblis pun diusir dan menjadi makhluk yang hina sebab dosa rasialnya, menganggap diri lebih baik dari Adam. Bukankah kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dengan warna kulit apa, rupa seperti apa, hingga orangtua yang beragama apa? Kualitas kemanusiaan kita tidak bisa diukur berdasarkan apa-apa yang tidak bisa kita pilih.
Kemuliaan akhlak, kecerdasan dan keluasan ilmu seseorang tidak bergantung pada jenis kelamin, warna kulit, garis keturunan, atau bahkan kepercayaan yang dianut. Kita hidup di dunia yang tidak hitam putih. Ada beragam warna dan perbedaan yang justru bisa menjadi harmoni dan penanda betapa Tuhan Mahaagung dan agama-Nya adalah agama yang damai dan penuh kasih.