Pendahuluan
Jauh sebelum itu, dunia internasional juga menyepakati sejumlah konvensi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, yakni Konvensi Anti Diskriminasi Dalam Pengupahan (1951), Konvensi Hak Politik Perempuan (1953), Konvensi Anti Diskriminasi Dalam Pendidikan (1960). Selanjutnya, Konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993 menyepakati suatu komitmen bahwa: “Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia” (Women`s Rights are Human Rights). Deklarasi ini menegaskan tiga hal penting: 1) Penegasan bahwa Hak Asasi Perempuan dan Anak Perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara menyeluruh; 2) Penegasan akan perlunya partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan: politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional, dan internasional; serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat sedunia; dan 3) Penegasan bahwa kekerasan berbasis gender dengan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia dan karenanya harus dihapuskan.
Upaya-upaya perlindungan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia dalam bidang hukum ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang baru, seperti UU No.7 Tahun 1984 tentang rativikasi Konvensi PBB mengenai CEDAW;[3] Ratifikasi Konvensi Hak Anak Tahun 1990, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap hak-hak asasi perempuan menuju terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat yang meliputi bidang sosial, ekonomi, dan politik, baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang amat tegas menekankan pada prinsip demokrasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Selain itu, pemerintah pun telah meratifikasi sejumlah Konvensi ILO yang isinya memuat secara eksplisit upaya perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan. Tidak hanya itu, pemerintah pun mensahkan satu undang-undang strategis berkaitan dengan pemajuan HAM perempuan, yakni UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (KDRT).[4] Lalu, jangan lupa bahwa UUD 1945 hasil amandemen terakhir juga sangat tegas mengatur perlunya perlindungan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi perempuan. Sayangnya, sosialisasi terhadap semua undang-undang ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Akibatnya, sampai sekarang dijumpai masih banyak tokoh masyarakat, bahkan juga penyelenggara negara yang belum tahu apa isi undang-undang tersebut, apalagi mengimplementasikannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat ironis !
Penting diketahui bahwa Konvensi CEDAW secara garis besar memuat enam hal penting. Pertama, memberikan definisi tentang apa itu diskriminasi, khususnya praktek diskriminasi terhadap perempuan dan menjelaskan kriteria-kriterianya sehingga negara-negara yang setuju diharapkan membuat segala kebijakan yang perlu untuk menghilangkan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, misalnya dengan melakukan upaya-upaya penyelarasan undang-undang nasionalnya dengan isi konvensi dimaksud. Kedua, memusatkan perhatian pada penghapusan diskriminasi dalam kehidupan politik dan soal-soal umum serta masalah kewarganegaraan. Pada bagian ini ditegaskan hak perempuan untuk mendapatkan, mengubah, atau mempertahankan kewarganegaraan mereka dengan indikasi bahwa mereka tidak dipaksa untuk mengubah kewarganegaraan dan juga tidak akan dijadikan orang yang tidak memiliki negara karena perkawinan dengan orang asing atau karena perubahan kewarganegaraan dari suami mereka. Kaum perempuan juga memiliki hak yang sama mengenai kewarganegaraan anak-anak mereka. Ketiga, memperhatikan penghapusan diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, perawatan kesehatan, kehidupan ekonomi dan sosial, dan terutama sekali untuk para perempuan di daerah pedesaan. Keempat, menegaskan tentang persamaan laki-laki dan perempuan di depan hukum dan dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Kelima, secara khusus membicarakan soal pendirian institusi CEDAW: the Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (Panitia Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan). Keenam, menyebutkan hal-hal yang berkenaan dengan ratifikasi dan nilai tambah konvensi itu, serta perincian-perincian dalam pelaksanaan dan sanksi administratifnya.
Konvensi ini pada hakikatnya menegaskan perlunya upaya-upaya konkret dari pemerintah untuk menjamin perlindungan HAM bagi para warganya, terutama kelompok perempuan yang selama ini tergolong sebagai kelompok rentan, yaitu kelompok yang sering terabaikan hak-haknya. Menarik bahwa Konvensi tersebut juga menegaskan perlunya pengakuan hak yang sama bagi perempuan dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Sebab, faktanya justru dalam kehidupan yang sifatnya privat inilah perempuan paling banyak mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Bahkan, tingkat kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT) diakui sangat tinggi di Indonesia[5], negara yang selama ini masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang religius. Oleh karena itu, kehadiran UU nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan solusi konkret bagi upaya memerangi pelanggaran HAM dalam wilayah domestik di rumah tangga. Wilayah yang selama ini dikatakan sebagai tempat yang paling aman bagi perempuan.
Isu-isu HAM Dalam Perkawinan
Konvensi CEDAW menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak asasi perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan, seperti termaktub dalam pasal 5 (b): “negara menjamin bahwa pendidikan keluarga mencakup pengertian yang tepat mengenai keibuan sebagai suatu fungsi sosial, dan pengakuan terhadap tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam mengasuh dan mengembangkan anak-anaknya. Bahwa kepentingan anak merupakan pertimbangan pertama dalam semua kasus.” Ketentuan ini menegaskan pentingnya pengakuan tugas keibuan sebagai fungsi sosial, dan sekaligus meluruskan pemahaman yang keliru di masyarakat bahwa tugas mengasuh dan merawat anak-anak menjadi kewajiban ibu semata. Tradisi dan juga pemahaman agama yang berkembang di masyarakat mengakui secara tegas adanya segregasi ruang antara ruang privat atau domestik dan ruang publik. Tugas-tugas domestik dalam rumah tangga dipandang sebagai kewajiban isteri, sebaliknya tugas-tugas di ruang publik menjadi monopoli suami. Akibatnya, kalau isteri bekerja di ruang publik dikatakan memikul beban ganda, Sebab, disamping harus menyelesaikan tugasnya di tempat kerja, dia juga tetap harus bisa mengerjakan tugasnya yang dipandang utama di dalam rumah tangga. Hal sebaliknya tidak berlaku bagi suami, pekerjaan domestik di rumah tangga tidak pernah dipikulkan pada pundak laki-laki. Karena itu, tidak ada istilah beban ganda bagi laki-laki. Akibat lanjutannya, isteri yang bekerja di luar rumah selalu dianggap sekedar membantu suami, meskipun sesungguhnya dialah yang menjadi penyangga utama kebutuhan finansial rumah tangga. Fatalnya lagi, karena dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama keluarga maka dia selalu dianggap berstatus layang atau tidak menikah sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti yang diperoleh rekan kerja mereka yang laki-laki, mendapatkan tunjangan untuk isteri dan anak-anak. Gaji yang diperoleh pekerja perempuan biasanya lebih kecil daripada gaji pekerja laki-laki, meskipun kualitas pekerjaannya sama. Penegasan Konvensi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan segregasi ruang privat dan ruang publik yang mengakibatkan beban kerja yang lebih berat bagi perempuan dan desakan untuk mengakui hak perempuan bekerja di ruang publik tanpa diskriminasi sedikit pun.
Menarik ditekankan di sini bahwa umumnya masyarakat memaknai pekerjaan merawat anak dan mengurus rumah tangga sebagai tugas kodrati perempuan. Apa yang disebut kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang sifatnya “pemberian Tuhan” yang tidak berubah dan tidak dapat diubah oleh siapa pun. Karena itu, hal-hal yang sifatnya kodrati dalam diri perempuan tidak banyak, yaitu hanya berkaitan dengan organ-organ reproduksi mereka yang spesifik, seperti haid, hamil, menyusui, dan melahirkan. Seluruh aktivitas tersebut berhubungan erat dengan fungsi reproduksi perempuan, khususnya payudara dan rahim, tidak dapat dilakukan oleh selain perempuan. Seluruh pekerjaan yang terkait langsung dengan fungsi payudara dan rahim itulah yang menjadi kodrat perempuan, di luar itu bukan kodrat.
Aktivitas membersihkan rumah, memasak, mencuci, menjaga dan merawat anak bagi perempuan merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad sehingga membentuk tradisi atau kebiasaan yang sulit berubah sehingga dipandang sebagai kodrat perempuan. Berbagai contoh aktivitas tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat kodrati karena pekerjaan itu tidak membutuhkan payudara atau rahim perempuan. Pekerjaan-pekerjaan itu bisa dilakukan dengan baik, atau mungkin lebih baik oleh laki-laki tergantung pembiasaan saja. Pekerjaan memasak, misalnya selalu dipandang sebagai kewajiban kodrati isteri ternyata dapat dilakukan secara lebih berkualitas dan profesional oleh para laki-laki, khususnya oleh mereka yang berprofesi sebagai koki di restoran atau di tempat-tempat publik lainnya. Pertanyaannya, mengapa pekerjaan domestik itu bisa dilakukan dengan baik oleh laki-laki? Karena ketika di ruang publik pekerjaan memasak dsb. dihargai dan dinilai dengan uang, tidak demikian halnya jika dilakukan di ruang domestik dalam rumah tangga.
Labih lanjut hak-hak perempuan dalam perkawinan disebutkan pada pasal 11 ayat 2: bahwa untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau karena menjadi ibu dan untuk menjamin haknya yang efektif u[i]ntuk bekerja, maka negara melarang pengenaan sanksi, pemecatan dengan alasan kehamilan atau cuti karena melahirkan dan atas dasar status perkawinan (2.a). Sebaliknya, perempuan yang mengambil cuti melahirkan tetap menerima upah atau dengan tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula, senioritas, dan tunjangan sosial (2.b). Bahkan, negara harus menyediakan perlindungan khusus bagi perempuan selama hamil dalam jenis pekerjaan yang terbukti merugikan mereka (2.d). Ketentuan dalam pasal tadi menegaskan perlindungan terhadap hak-hak perempuan pekerja untuk tidak mengalami diskriminasi karena alasan perkawinan dan karena fungsi-fungsi reproduksi mereka. Ketentuan ini sangat relevan mengingat dalam realitas sosiologis di masyarakat sering dijumpai perusahaan yang hanya mau mempekerjakan perempuan belum menikah dan memecatnya begitu ketahuan mereka telah menikah. Atau perusahaan dan lembaga yang tidak memberikan hak cuti kepada perempuan pekerjanya berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka, seperti cuti haid, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Perlu diingat bahwa tugas-tugas reproduksi berupa hamil, melahirkan dan menyusui merupakan tugas kemanusiaan yang harus dihormati. Karena itu, harus ada penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan yang mau menjalani tugas-tugas kemanusiaan yang luhur tersebut. Kepada mereka, negara dan masyarakat harus menjamin tidak ada perlakuan diskriminasi menyangkut upah, tunjangan sosil, dan bahkan promosi untuk kenaikan pangkat dan jabatan. Sudah waktunya setiap perusahaan, baik milik negara maupun swasta, tidak lagi hanya mengejar keuntungan yang bersifat material, melainkan juga memikirkan aspek sosial dan kemanusiaan bagi para pekerjanya demi kelangsungan perusahaan dan bangunan peradaban kemanusiaan itu sendiri. Bahkan, pada beberapa negara maju, cuti dengan alasan reproduksi tadi bukan hanya diberikan kepada isteri, melainkan juga kepada para suami dengan harapan mereka dapat menggunakan waktu cuti tersebut untuk membantu dan mendampingi isteri mereka pada saat-saat yang kritis. Sebab dipercaya bahwa suasana keluarga yang harmonis mempengaruhi secara positif kualitas kerja seseorang.
Konvensi CEDAW secara lebih detail dan terperinci menjelaskan hak-hak perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan pada pasal 16 sebagai berikut. Pertama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk memasuki perkawinan. Menikah dan berkeluarga merupakan hak yang paling asasi dalam diri manusia: laki-laki dan perempuan. Tidak seorang pun bisa bisa dihalangi atau dipaksa dalam perkawinan. Menikah adalah sebuah hak yang didasarkan pada pilihan bebas, bukan kewajiban. Penegasan ini perlu karena di masyarakat masih banyak dijumpai praktek pemaksaan dalam perkawinan. Di sejumlah daerah, terutama di lingkungan pedesaan masih ditemukan perkawinan paksa yang dilakukan para orang tua terhadap anak-anak perempuan. Bahkan, perkawinan paksa kini menjadi salah satu bentuk modus operandi dari kegiatan trafficking in women and children (perdagangan perempuan dan anak perempuan) yang akhir-akhir ini semakin marak. Tidak sedikit orang tua yang menjual anak-anak gadis mereka kepada orang asing demi uang atau bahkan demi alasan agama, misalnya untuk mendapatkan berkah atau keturunan Arab seperti terjadi di daerah Gunung Putri, Jawa Barat. Ironisnya, perkawinan paksa itu banyak dilakukan dengan menggunakan jasa pemuka agama setempat.
Persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan dijamin sepenuhnya dalam Islam. Prinsip persamaan ini berakar dari ajaran tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Tauhid mengajarkan keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun yang setara dengan Allah. Keyakinan itu meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah swt (Q.S. al-Dzariyat, 51:56). Sebagai hamba Allah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya berpotensi untuk menjadi hamba ideal yang dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqun) seperti dinayatakan secara tegas dalam Q.S. al-Hujurat, 49:13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguh-nya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Tugas ketauhidan yang sama ini melahirkan kewajiban yang sama pula. Perintah salat, zakat, puasa, dan haji sebagai rukun Islam ditujukan kepada laki-laki dan perempuan, tanpa ada perbedaan. Demikian juga larangan syirik, membunuh, berzina, mencuri, mengkonsumsi minuman keras dan narkoba, demikian pula semua hal yang bersifat keji dan mungkar juga terlarang bagi keduanya tanpa kecuali. Oleh karena laki-laki dan perempuan mengemban tugas yang sama, Allah juga memberikan peluang yang sama kepada kedua jenis makhluk ini untuk mendapatkan pahala, ampunan dan surga yang sama (Q.S. al-Ahzab, 33:35; Ali Imran, 3:195; al-Nahl, 16:9; Ghafir, 40:40).
Sebagai khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Satu hal yang paling penting untuk menuju ke sana adalah adanya kesadaran untuk menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang keji (amar ma’rûf nahi munkar). Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam ridha Allah.
Kedua, hak dan kebebasan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memilih pasangan hidup dengan persetujuan penuh. Sebagai manusia yang bermartabat, perempuan memiliki hak sebagaimana saudara mereka yang laki-laki untuk menentukan sendiri pilihan jodohnya, orang tua selayaknya memberikan petunjuk dan pertimbangan. Ketentuan ini amat signifikan dilaksanakan mengingat praktek yang ada di masyarakat selalu menempatkan perempuan sebagai makhluk setengah laki-laki dan dihargai separuh dari harga laki-laki. Masyarakat sejak dulu melihat perempuan sebagai pribadi yang tidak dewasa dan tidak mandiri. Karena perempuan tidak dapat mengambil keputusan sendiri maka persetujuan perkawinan harus datang dari para wali, yaitu ayah, saudara laki-laki, dan paman yang semuanya adalah laki-laki. Ironisnya lagi, pandangan streotipe tadi mendapat pembenaran dari pemahaman agama, seperti Islam yang sebagian besar pemeluknya menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah akal dan lemah agamanya (naqish fi al-aql wa naqish fi al-din) karena berpijak pada teks hadis misoginis.[6]
Al-Qur`an menyebut perkawinan sebagai kontrak atau perjanjian yang serius (mitsaqan ghaliza).[7] Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Itulah sebabnya mengapa bahasan tentang perkawinan dalam kitab-kitab fikh tidak dimasukkan dalam bahasan ibadah, melainkan dalam bahasan muamalat (transasksi sosial). Sebagai sebuah kontrak sosial seharusnya yang melakukan ijab-qabul adalah calon suami dan calon isteri sehingga keduanya secara psykologis merasa terlibat dalam perjanjian tersebut dan menimbulkan rasa tanggung jawab bersama dalam kehidupan perkawinan. Namun, prakteknya, kontrak dalam wujud ijab-qabul tersebut dilakukan antara dua lelaki, yaitu calon suami dan ayah atau wali calon isteri. Jadi, kontrak antara dua lelaki, bukan antara lelaki dan perempuan dalam posisi setara, yakni calon suami dan calon isteri yang bersepakat secara sukarela untuk membentuk keluarga demi mengharapkan keridhaan Allah.
Mengapa ini tidak terjadi? padahal agama mensyaratkan demikian. Faktor penyebabnya terutama muncul dari anggapan bahwa perempuan itu bukanlah manusia yang merdeka, dewasa, dan mandiri seperti laki-laki. Anggapan bias gender ini dikonstruksikan secara sadar dan sitemik dalam masyarakat dan dilegitimasi oleh interpretasi agama. Sedihnya, bahwa anggapan demikian bukan hanya ada dalam benak laki-laki, melainkan diyakini pula oleh perempuan itu sendiri.
Menarik dicatat bahwa perkawinan dalam Al-Qur`an dibahas secara intens, baik dengan menggunakan kosa kata “nikah” yang berarti “berhimpun” maupun kata “zauwj” yang bermakna pasangan. Kata nikah dalam berbagai bentuk disebutkan sebanyak 23 kali, sedang kata yang kedua ditemukan terulang sebanyak 81 kali. Kajian terhadap sejumlah ayat yang membahas soal perkawinan, baik yang menggunakan kosa kata nikah maupun zawj atau tidak menggunakan kedua istilah tersebut menyimpulkan lima prinsip dasar perkawinan Islam.[8] Pertama, prinsip monogami.[9] Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang)[10]; ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi[11]; keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (pergaulan yang sopan dan santun)[12]; dan kelima prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan syari`ah.[13]
Ketiga, hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki selama perkawinan dan perceraian. Ketentuan ini sangat signifikan untuk disosialisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pasalnya, masyarakat memahami sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri hanyalah ibu rumah tangga. Perbedaan posisi yang dilegalkan dalam undang-undang tersebut membawa potensi dominasi dan diskriminasi, bahkan eksploitasi dalam kehidupan perkawinan. Posisi kepala keluarga umumnya dipahami sebagai penentu kebijakan, pemilik kedaulatan dan pemberi komando. Sebaliknya, posisi ibu rumah tangga dipahami sebagai pengelola tugas-tugas domestik dalam rumah tangga, penanggungjawab urusan logistik, pelaksanan tugas-tugas pengasuhan dan pendidikan anak, serta penjaga rumah.
Sebagian besar masyarakat juga meyakini bahwa kewajiban istri berbakti kepada suami adalah tanpa batas sehingga muncul ungkapan “kewajiban istri adalah melayani suami sejak mata suami terbit sampai mata suami terbenam.” Ketentuan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya membenarkan anggapan streotipe bahwa tempat perempuan yang layak adalah sebatas kasur, sumur, dan dapur. Tugas istri menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, sebaliknya suami bebas dari kewajiban demikian. Istri keluar rumah dipandang tidak terhormat karena telah melalaikan kewajibannya.
Figur ibu ideal dalam pandangan masyarakat adalah isteri yang sabar, pasrah, bijaksana, tidak kritis, dan trampil mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti memasak dan menjahit. Ia tidak bekerja di luar rumah, punya anak banyak dan selalu berada di rumah mengasuh anak-anak dan melayani suami. Ketentuan Konvensi menyadarkan masyarakat bahwa tugas-tugas domestik bukan monopoli kaum perempuan, melainkan menjadi tanggung jawab bersama suami-isteri serta anggota keluarga lainnya, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, Konvensi ini juga mengingatkan bahwa perempuan juga punya hak dalam perceraian dan berhak dimintai persetujuannya ketika suami akan merujuknya kembali, pasca perceraian.
Keempat, hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua tanpa memandang status perkawinannya, dan dalam hal yang berhubungan dengan anak semuanya harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Hukum Perkawinan yang berlaku menganut asumsi bahwa anak sepenuhnya milik suami. Namun, jika seorang anak diketahui lahir di luar perkawinan maka anak tadi bernasab hanya kepada ibunya, bukan kepada ayahnya dan karena itu menjadi tanggung jawab ibunya. Anak tidak berhak mendapatkan nafkah, tunjangan dan warisan dari ayahnya. Ketentuan Konvensi mengarahkan agar anak yang lahir di luar perkawinan mendapatkan hak yang sama dengan anak yang lahir di dalam perkawinan. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap anak akibat perbedaan status perkawinan orang tuanya. Logika yang mendasarinya sederhana saja, bahwa anak tersebut tidak bersalah, yang salah dan wajib dihukum adalah kedua orang tuanya, yaitu ayah dan ibu tanpa perbedaan. Anak bukan hanya berhak mendapatkan pemeliharaan, nafkah, dan warisan dari ibunya, melainkan juga dari ayah biologisnya. Dalam kaitan ini, negara berkewajiban menfasilitasi kepentingan anak untuk mengidentifikasi ayah biologis tersebut. Selanjutnya, perlindungan anak dilakukan berdasarkan prinsip kepentingan terbaik untuk anak.
Kelima, hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perwalian, perwakilan, dan adopsi anak. Masyarakat penganut budaya patriarkal yang kuat, seperti Indonesia meletakkan hak perwalian, perwakilan dan adopsi anak hanya pada laki-laki, yaitu para suami atau ayah. Ketentuan ini dinilai diskriminatif dan melanggar HAM. Mengapa hanya laki-laki yang mendapatkan hak demikian? Sementara fakta sosiologis di masyarakat menjelaskan secara nyata bahwa kemampuan perempuan memikul tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak tidak kalah kuatnya dengan laki-laki. Bahkan, dalam beberapa aspek, kemampuan perempuan justru lebih unggul dan tidak diragukan. Ketentuan Konvensi mensyaratkan perlunya perempuan diberikan hak dan tanggung jawab yang setara dengan laki-laki dalam hal-hal tersebut.
Keenam, hak pribadi yang sama bagi suami-istri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan. Tradisi yang berkembang lama di masyarakat mensyaratkan bahwa setiap perempuan yang menikah selayaknya menempelkan nama suami atau marga suami di belakang nama mereka. Akibatnya, tidak sedikit dari perempuan menikah itu yang kemudian kehilangan nama asli mereka dalam pergaulan sosial. Sebab, yang selalu disebut dan dipanggil hanyalah nama suami atau nama marga mereka. Nama asli mereka menjadi tidak dikenal, bukan hanya itu juga identitas mereka menjadi kabur. Repotnya, jika suami mereka berganti, nama sandaran mereka pun berganti mengikuti nama suami. Bagi sebagian perempuan yang menikah bukan hanya kehilangan nama asli, melainkan juga harus kehilangan profesi dan pekerjaan karena suami mereka melarang bekerja di luar rumah. Karena itu, ketentuan Konvensi secara tegas mengembalikan hak-hak perempuan untuk memilih secara bebas hal-hal yang berkaitan dengan nama, profesi dan pekerjaan.
Ketujuh, hak yang sama bagi suami-istri mengenai kepemilikan, perolehan, manajemen, administrasi, dan pembagian harta kekayaan. Sudah menjadi semacam ketentuan yang tidak tertulis di masyarakat bahwa harta kekayaan dalam perkawinan adalah milik suami karena dialah yang dianggap sebagai pencari nafkah dan sekaligus juga sebagai kepala keluarga. Suami lah yang berhak mengelola dan memanfaatkan harta kekayaan yang diperoleh selama menikah. Tidak heran jika kepemilikan harta menjadi hak suami sepenuhnya. Bahkan, tidak sedikit dijumpai hak legalitas usaha yang dimiliki atau dikelola isteri dibuat atas nama suami, bukan nama isteri yang justru menjadi pemilik dari usaha tersebut. Sejumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga menjelaskan betapa tingginya kekerasan yang bersifat ekonomi yang dialami perempuan. Karena tidak memiliki akses dalam kegiatan ekonomi, sebagian isteri hanya diberikan uang sekedarnya demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga, padahal suami memiliki pendapatan yang cukup bahkan berlebih. Meskipun dalam hukum perkawinan telah ada aturan tentang pembagian harta gono-gini, namun itu hanya bisa dinikmati isteri jika bercerai dari suami dan itupun tidak otomatis melainkan harus diputuskan melalui sidang pengadilan yang panjang dan melelahkan. Selama dalam perkawinan, tidak banyak isteri yang punya akses dalam pemanfaatan dan penggunaan harta kekayaan bersama tersebut.
Selain hak-hak yang dijelaskan tadi, ketentuan Konvensi juga mengatur secara rinci hak-hak khusus perempuan berkenaan dengan fungsi-fungsi reproduksinya, seperti terbaca dalam pasal 11 ayat 1 (f): hak-hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan kesehatan dan keamanan dalam kondisi kerja, termasuk perlindungan fungsi reproduksi. Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di tingkat internasional pertama kali digelar di Kairo, yakni pada Konferensi Kependudukan se-Dunia di Kairo tahun 1994. Konferensi ini melahirkan kesepakatan yang disebut Dokumen Kairo yang menyatakan: “Hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi tertentu yang telah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen hak asasi internasional dan dokumen kesepakatan PBB terkait lainnya. Hak-hak ini berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya, dan hak untuk memperoleh informasi tentang hal itu, serta hak untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi dan seksual. Mereka juga berhak untuk mengambil keputusan tentang reproduksinya yang bebas dari pembedaan, pemaksaan atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan untuk meningkatkan saling menghormati secara setara dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan akan pendidikan dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka akan mampu mengatasi masalah seksual secara positif dan bertanggung jawab”.
Perlu diketahui bahwa konferensi itu merupakan respons terhadap menguatnya pelanggaran terhadap hak-hak reproduksi perempuan, terutama di negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Hak-hak reproduksi dimaksud, antara lain hak untuk mengambil keputusan dalam reproduksi, seperti hamil dan melahirkan; dan hak untuk hidup, yaitu setiap perempuan mempunyai hak untuk dibebaskan dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak untuk memilih bentuk keluarga, dan hak untuk membangun dan merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan keluarga.
Berbicara tentang hak-hak reproduksi berarti berbicara tentang suatu spektrum yang luas, mencakup pembicaraan tentang relasi laki-laki dan perempuan; baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Namun, secara spesifik pembicaraan tentang hak-hak reproduksi mengarah kepada masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan dan pengasuhan anak. Termasuk juga di dalamnya perbincangan tentang aborsi, penyakit menular seksual dan HIV/Aids, keluarga berencana (KB) berikut alat-alat kontrasepsi dengan seluruh problemanya, serta masalah perilaku seksual.
Dokumen Kairo juga menyinggung secara intens persoalan kesehatan reproduksi yang didefinisikan sebagai berikut: “Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri.“[14] Dengan demikian, kesehatan reproduksi mencakup pengertian bahwa setiap individu dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan; setiap individu memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi, termasuk pula segala cara pengaturan fertilitas yang tidak bertentangan dengan undang-undang; dan setiap individu berhak untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan kaum perempuan menjalani kehamilan dan melahirkan anak secara aman.
Menarik diperhatikan bahwa Dokumen Kairo tersebut menekankan masalah reproduksi bukan hanya menjadi masalah perempuan, melainkan juga menjadi masalah kaum laki-laki. Karena itu, kaum laki-laki sangat dituntut keterlibatannya secara aktif dan bertanggung jawab menjaga terwujudnya kesehatan reproduksi perempuan. Ditekankan pula bahwa kesehatan reproduksi perempuan tidak hanya terbatas pada persoalan kesehatan sewaktu hamil dan melahirkan anak saja, melainkan mencakup kesehatan perempuan sejak masih anak-anak. Artinya, keadaan sehat yang memungkinkan seorang perempuan dapat menjalani masa kehamilan dan kelahiran secara aman hendaknya telah dipersiapkan sejak perempuan masih anak-anak, antara lain dengan memberikan makanan yang bergizi sehingga tulang pinggulnya tumbuh sempurna agar kelak dapat melakukan fungsi-fungsi reproduksinya dengan mudah, aman dan nyaman.
Pelayanan kesehatan reproduksi juga mencakup kesehatan seksual yang tujuannya adalah meningkatkan kualitas kehidupan dan hubungan antar pribadi. Kehidupan seksual yang sehat hanya dapat dibangun di atas tiga prinsip utama. Pertama, kemampuan untuk menikmati dan mengendalikan perilaku seksual dan reproduksi sesuai dengan nilai-nilai sosial dan pribadi. Kedua, bebas dari rasa takut, malu, perasaan bersalah, pemahaman yang keliru (false beliefs) dan faktor psikologis lainnya yang dapat menghambat kemampuan seksual dan mengganggu hubungan seksual. Ketiga, bebas dari kelainan-kelainan organik, penyakit, dan defisiensi yang dapat mempengaruhi fungsi seksual dan reproduksi. Dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan reproduksi sangat terkait dengan perilaku reproduksi, dan selanjutnya perilaku reproduksi sangat dipengaruhi oleh perilaku seksual.
Kesehatan reproduksi hanya dapat diwujudkan apabila setiap individu dapat mengakses informasi secara mudah dan memperoleh pelayanan yang memadai. Untuk itu, menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat membangun fasilitas dan sarana umum dimana setiap warga, khususnya perempuan dapat memperoleh informasi dan pelayanan yang memadai sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi reproduksinya secara sehat, aman, dan terjangkau.
Penjelasan di atas meneguhkan pengertian bahwa pengertian sehat dalam konteks reproduksi tidak hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat fisikal, tetapi juga meliputi aspek mental dan spritual. Jika ini dikaitkan dengan reproduksi perempuan, hal itu berarti suatu keadaan fisik, mental, dan spritual perempuan yang sehat, tidak berpenyakit, bebas dari segala hal yang dapat mengganggu sistem reproduksinya. Kondisi sehat tersebut sangat diperlukan agar proses reproduksi tetap terjaga dan terjamin untuk kepentingan yang lebih luas, yakni menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan manusia.
Perkawinan memberikan hak kepada laki-laki dan perempuan untuk sama-sama mewujudkan kesehatan reproduksi. Berkaitan dengan ini Wahbah Al-Zuhaili, pakar hukum Islam asal Syria menyatakan: “Akad nikah sebagaimana akad yang lain adalah perjanjian dua pihak dengan hak dan kewajiban yang sama, sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan (tawazun) kesepadanan (takafu) dan kesamaan (musawah).” Al-Zuhaili mendasarkan pandangannya pada ayat Al-Qur’an: “Walahunna mitslullazi ‘alaihinna bil ma’ruf” (Perempuan mempunyai hak atas laki-laki sebagaimana laki-laki mempunyai hak atas perempuan)[15] Perjanjian perkawinan yang dilakukan tanpa merealisasikan prinsip-prinsip ini akan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Al-Qur’an dengan jelas mengemukakan “Hunna libasun lakum wa antum libasun lahun” (Mereka kaum perempuan adalah pakaian kamu dan kamu pun kaum laki-laki adalah pakaian mereka)[16] Karena itu, perkawinan hendaknya dibangun atas dasar prinsip kesetaraan. Pandangan Al-Zuhaili menunjukkan ide dasar Islam tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam relasi seksual. Hak yang dimiliki perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya adalah setara dengan hak laki-laki atasnya. Ini berarti pula bahwa relasi seksual harus dilakukan berdasarkan prinsip persamaan atau kesetaraan. Hak suami untuk relasi seksual menjadi kewajiban atas isteri. Demikian pula sebaliknya. Dengan begitu tidak ada lagi kekuasaan mutlak satu atas yang lain.
Lebih jauh lagi, dalam pembahasan tentang relasi seksual, pandangan fiqh Mazhab Hanafiyah, misalnya lebih transparan. Dikatakan bahwa perempuan berhak menuntut hubungan intim kepada suaminya, dan apabila isteri menghendaki maka suami wajib mengabulkannya, demikian pula sebaliknya. Mazhab Malikiyah juga menyetujui pendapat ini. Mazhab ini menyatakan bahwa suami wajib mengabulkan tuntutan seks isterinya selama tidak ada halangan. Hubungan seksual harus dilakukan secara sehat, aman, nyaman dan bertanggung jawab. Ini berarti relasi seksual, dan kesediaan kedua pihak untuk saling menerima dan memberi hendaknya dilakukan secara tulus, bukan paksaan. Pandangan Islami tersebut sangat berbeda dengan pemahaman yang umum di masyarakat, yaitu bahwa kenikmatan seksual adalah milik laki-laki. Artinya, suami mempunyai hak monopoli seksual atas isterinya, sedangkan para istri harus menuruti keinginan suami. Seorang isteri berkewajiban memenuhi tuntutan seksual suami, tetapi tidak sebaliknya. Menjadi tugas para muballigh dan muballighat untuk meluruskan pandangan yang bias ini.
Mewujudkan Perkawinan Yang Demokratis: Mungkinkah?
Setiap kali pembicaraan mengenai demokrasi pikiran kita selalu terfokus kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu terbayanglah dalam benak kita suatu impian tentang aktivitas anggota parlemen yang kritis memperjuangkan kepentingan rakyat, kesungguhan para eksekutif mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, keseriusan institusi yudikatif untuk membangun keadilan bagi semua pihak, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat untuk memajukan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Bayangan demokrasi yang sedemikian itu tentulah tidak sepenuhnya keliru, yakni demokrasi selalu dikaitkan dengan ranah publik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jarang sekali atau mungkin tidak pernah kita membayangkan demokrasi dalam ranah privat dalam kehidupan keluarga atau lebih khusus lagi dalam kehidupan perkawinan.
Pertanyaan muncul, seperti apa wujud demokrasi dalam kehidupan perkawinan? Namun sebelum menjawab pertanyaan tadi, sejumlah pertanyaan penting patut diketengahkan, yaitu: bagaimana mungkin dapat mewujudkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tentu lebih rumit dan kompleks sementara dalam kehidupan keluarga demokrasi tidak pernah diajarkan, apalagi dipraktekkan? Bagaimana mungkin para anggota legislatif dapat merumuskan perundang-undangan yang demokratis di lembaga yang bergengsi itu, kalau di rumah tangga mereka tidak pernah mengenal nilai-nilai demokrasi? Bagaimana mungkin para pejabat pemerintah bisa diharapkan melahirkan kebijakan yang demokratis kalau dalam kehidupan keluarganya tidak pernah dididik secara demokratis? Bagaimana mungkin para hakim mampu melahirkan keputusan yang demokratis jika sepanjang hidupnya di keluarga tidak pernah mengalami suasana demokrasi.
Inti demokrasi adalah penghormatan kepada manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan bermartabat. Penghormatan tersebut pada gilirannya membawa kepada dua prinsip dasar, yaitu prinsip persamaan dan prinsip kebebasan manusia. Meskipun istilah demokrasi belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab di abad ke-7 Masehi, namun prinsip-prinsip penghormatan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas. Ajaran demokrasi dalam Islam bersumber dari ajaran dasar mengenai tauhid. Tauhid mengajarkan kepada manusia bahwa hanya ada satu pencipta, yaitu Tuhan. Selain Tuhan yang ada hanyalah makhluk. Karena itu, hanya Tuhan yang mutlak disembah, dipuji dan diagungkan serta hanya kepada-Nya jualah tempat menggantungkan seluruh harapan dan kebutuhan. Di antara makhluk ciptaan Tuhan manusialah makhluk yang paling sempurna (Q.S. al-Isra’, 17:70) dan karena itu makhluk lain patut memberikan penghormatan kepadanya sebagai wujud pengabdian kepada Sang Pencipta.
Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah menjaga kelangsungan hidupnya. Nyawa manusia tidak boleh dihilangkan (QS. 27:33; 5:32) sehingga pembunuhan dianggap perbuatan keji dan pelakunya harus diqishash (dibalas dengan pembunuhan serupa). Demikian juga fisik dan psikisnya tidak boleh disakiti oleh siapa pun dan untuk alasan apa pun (QS. al-Maidah, 5:45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan tanpa pembedaan. Nabi saw. menjelaskan secara tegas ketika haji wada’: “Sesungguhnya darahmu (life), hartamu (property), dan kehormatanmu (dignity) adalah suci, seperti sucinya hari ini (haji wada’) di bulan ini, dan negerimu ini sampai engkau bertemu Tuhanmu di hari akhir nanti (HR. Bukhari).”
Kehidupan perkawinan yang demokratis ditandai oleh adanya pemenuhan hak kedua belah pihak: suami dan isteri. Hak-hak suami terpenuhi demikian pula dengan hak-hak isteri. Lalu keduanya pun melaksanakan tanggungjawabnya masing-masing secara optimal dengan penuh kesadaran. Indikasi lainnya adalah tidak ada dominasi dan diskriminasi, apalagi kekerasan dan eksploitasi dalam kehidupan perkawinan. Dominasi, baik oleh suami maupun isteri sangat tidak menguntungkan bagi bangunan demokrasi dalam keluarga karena setiap dominasi selalu cenderung membawa kepada pengabaian dan pengebirian hak-hak pasangan. Indikasi lain berikutnya adalah tidak adanya segregasi ruang di antara suami-isteri. Keduanya saling membantu dan saling melengkapi, baik dalam pekerjaan domestik maupun dalam pekerjaan di ruang publik. Namun, tugas-tugas reproduksi hendaknya dinilai lebih berharga daripada tugas-tugas pencarian nafkah di ruang publik. Konsekuensinya, tugas-tugas reproduksi yang dijalankan isteri dinilai lebih tinggi daripada tugas-tugas produksi yang dilakukan suami di luar rumah. Karena itu, definisi tentang kerja yang sangat bernuansa kapitalis itu perlu diubah. Kerja tidak selamanya berorintasi uang atau materi, melainkan juga mencakup semua upaya menjaga kelangsungan hidup manusia.
Perkawinan yang demokratis menjamin kesetaraan kedua pasangan: suami-isteri. Keduanya bukah hanya setara sebagai subyek di hadapan hukum, melainkan juga setara dalam kemanusiaannya. Perkawinan yang demokratis lebih memungkinkan keduanya saling menghormati, saling berbagi tugas dan kewajiban, saling menghargai dan saling menerima secara ikhlas kelemahan dan kekurangan masing-masing. Perkawinan yang demokratis lebih mengarahkan setiap pasangan untuk memberikan kebebasan yang bertanggungjawab kepada pasangan masing-masing. Setiap manusia memiliki kebebasan yang fundamental yang tidak boleh direnggut oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Kesadaran bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dasar akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya menghargai dan memuliakan hak-hak asasi pasangan hidup masing-masing, dan dari sinilah perkawinan yang demokratis dimulai.
Apresiasi Islam Terhadap HAM dan Demokrasi
Islam adalah agama yang paling depan menyuarakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan kampanye akan persamaan manusia. Imam al-Ghazali (w. 1111 M), ulama besar abad ke-12 mencoba merumuskan tujuan dasar syariat Islam atau yang disebutnya dengan maqashid al-syari’ah pada lima hal pokok. Pertama, memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs). Sebab, bagaimana mungkin manusia dapat beribadah kepada Tuhan dan beramal saleh kepada sesama manusia dan sesama makhluk kalau dia sendiri tidak memiliki kehidupan atau kehidupannya terganggu. Kedua, memelihara kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql), salah satu perbedaan mendasar antara manusia dan binatang adalah kemampuan manusia mengekspresikan pendapat dan pikirannya. Oleh karena itu, kebebasan beropini dan berpendapat dijamin dalam Islam. Ketiga, memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din). Beragama menyangkut masalah yang sangat personal dalam diri manusia. Karena itu, manusia berhak mendapatkan kebebasan untuk menentukan sendiri secara bertanggungjawab agama mana yang akan dipeluknya dan dengan cara bagaimana dia mewujudkan keyakinan keagamaannya itu berdasarkan ketentuan umum yang diyakini dalam agama masing-masing. Keempat, menjamin hak-hak reproduksi (hifz an-nasl) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Kelima, menjamin hak properti (hifz al-maal), yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, serta hak memperoleh jaminan perlindungan dan kesejahteraan. Kelima hak dasar itulah yang kemudian dikenal dengan al-kulliyah al-khamsah. Seluruh keberagamaan manusia dibangun untuk melindungi kelima hak dasar tersebut. Oleh karena itu, jika ditemukan ajaran agama yang bertentangan dengan upaya pemeliharaan lima hak dasar tadi, maka ajaran tersebut perlu direvisi dan diinterpretasi karena bertentangan dengan tujuan dasar syariat Islam untuk kemaslahatan manusia.
Konsep al-kulliyah al-khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan statemen berikut: “Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri”.[17] Pernyataan yang tidak kurang tegasnya dilontarkan pula oleh Ibnu Rusyd: bahwa kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[18] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[19]
Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah ini, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama dalam Islam dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik. Contoh kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua adalah ayat-ayat yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-ayat yang berisi ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial. Fatalnya umat Islam lebih banyak terjebak pada ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal.
Teori Ibnu Muqaffa tersebut selanjutnya dielaborasi oleh Harun Nasution, pakar Islam Indonesia dengan penjelasannya sebagai berikut.[20] Ajaran Islam dapat dipilah dalam dua kategori; ajaran dasar dan non-dasar. Yang pertama diyakini berasal dari Tuhan Sang Pencipta. Karena itu, bersifat kekal, mutlak dan absolut, tidak berubah dan tidak dapat diubah dengan alasan apapun. Ajaran dasar tidak lain adalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Al-Qur`an dimaksud adalah firman Allah yang tertulis dalam teks Arab yang orisinal disampaikan oleh Rasulullah saw. yang kini dikenal dengan nama Mushaf Usmani. Adapaun terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa lain, termasuk dalam bahasa Indonesia tidak lagi dapat dikategorikan sebagai ajaran dasar, demikian pula dengan tafsir dan segala bentuk implementasinya dalam kehidupan sosial. Sedangkan hadis Nabi yang tergolong dalam ajaran dasar hanyalah hadis-hadis yang diyakini datang dari Nabi. Adapun yang kedua, ajaran non-dasar mengambil bentuk hasil ijtihad para ulama dari sejak masa Nabi sampai sekarang. Hasil ijtihad itu berwujud terjemahan, interpretasi, penafsiran dan bentuk-bentuk implementasi dari ajaran dasar tadi. Karena ajaran non-dasar tidak lain merupakan hasil ijtihad manusia maka jenis ajaran kedua ini tidak bersifat mutlak dan absolut, melainkan bersifat relatif, nisbi, dan bisa berubah atau diubah. Ajaran non-dasar dalam bentuk hasil ijtihad itu ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keislaman lainnya sejak zaman klasik Islam sampai sekarang.
Fiqh merupakan bentuk ajaran non-dasar yang paling banyak diimplementasikan dalam komunitas masyarakat Islam. Fiqh adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena itu tentu saja sifatnya tidak absolut dan tidak pasti (tidak qath’i). Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa pandangan fiqh tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan di dalam dirinya. Walaupun tentu saja sikap apresiasi dan penghargaan kepada para fuqaha yang menghasilkan ijtihad tersebut tetap harus dipertahankan dan bahkan perlu dibadikan. Suatu hasil ijtihad biasanya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis masyara-kat di sekitarnya atau pada masa kehidupan para ulama tersebut. Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi suatu ijtihad cocok untuk suatu masyarakat tertentu, namun belum pasti untuk masyarakat lainnya yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda. Artinya, kita dapat menerima suatu hasil ijtihad, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima hasil ijtihad lain yang berbeda tetapi justru sangat sesuai dengan kemaslahatan kita.
Berkaitan dengan perkawinan, kitab fiqh yang banyak dijadikan rujukan adalah `Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq az-Zaujain. Kitab ini dikarang oleh Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama dari Banten kemudian menikah dengan perempuan Arab dan menetap di Mekkah. Pandangan dalam kitab ini sangat bias jender dan bias nilai-nilai patriarki. Beberapa culikan dari isi kitab tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. “Kewajiban istri terhadap suami adalah taat kepadanya, tidak durhaka, tidak keluar dari rumah sebelum mendapat izin dari suami, tidak melakukan puasa sunat tanpa izin suami, dan tidak pula menolak permintaan suami untuk berhubungan seksual kendati sedang berada di punggung unta.”
Selanjutnya, disebutkan berulang kali dalam kitab tersebut bahwa “Seorang istri yang keluar rumah tanpa izin suami, akan dikutuk oleh sejumlah malaikat, di antaranya malaikat pembawa rahmat, malaikat penjaga langit, malaikat bumi sampai ia kembali lagi ke rumah.” Ditemukan pula penjelasan dalam kitab itu tentang kemurkaan para malaikat terhadap istri yang tidak taat dan patuh pada suami. Pandangan lain yang dijumpai dalam kitab tersebut adalah: “Istri tidak boleh mengambil harta milik suami tanpa izin karena dosanya lebih berat dari mencuri milik orang lain. Mencuri milik suami sendiri akan mendapat siksaan setara dengan 70 pencuri, sedangkan mencuri milik orang lain hanya diancam dengan siksaan setara satu pencuri.” Logikanya, kalau mau mencuri, lebih baik mencuri milik orang lain daripada milik suami, sebab lebih ringan hukumannya. Pernyataan tersebut membenarkan pandangan streotip istri sebagai individu yang tidak memiliki harta sendiri dan selalu bergantung pada harta suaminya. Kesimpulannya, perempuan dalam kitab-kitab fiqh selalu digambarkan sebagai objek seksual, diposisikan sebagai makhluk inferior, dan kedudukannya dalam keluarga sebagai subordinat.
Menarik dicatat bahwa para penulis kitab fiqh, terutama para imam mazhab yang besar, tidak ada yang menyebutkan apalagi mewajibkan agar pandangan fiqhnya dijadikan rujukan atau acuan dalam pengambilan hukum. Bahkan, hampir semua penulis kitab fiqh dengan rendah hati menyatakan jika pendapat yang ditulis dalam kitab-kitab fiqh itu benar, pendapat itu diakui datang dari Allah, tetapi jika salah, pendapat itu datang dari dirinya sendiri sebagai manusia. Bahkan, seringkali ditemukan pada akhir setiap pokok bahasan dalam kitab-kitab fiqh, para penulisnya mencantumkan kalimat: wallahu a`lam (hanya Allah yang Maha Tahu), jika pendapatku ini benar ambillah, tetapi jika salah tinggalkan. Artinya, para penulis kitab fiqh itu sendiri tetap memberikan ruang bagi kemungkinan adanya koreksi dan revisi terhadap pandangannya. Lalu, mengapa generasi sesudahnya cenderung menjadikan pandangan dalam kitab fiqh itu sebagai sesuatu yang final dan tidak dapat diubah, bahkan mensakralkannya sebagai wahyu yang datang dari Tuhan.
Fakta sejarah membuktikan betapa pemikiran dan pandangan para ulama fikih, termasuk para imam mujtahid yang besar, amat dipengaruhi faktor lingkungan sosial budaya dan sosial historis sebagaimana dapat kita lihat dalam karya-karya fikih mereka. Bukti yang paling transparan adalah Imam Syafii dimana pandangan fikihnya terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) yang keduanya berbeda, bahkan sering berbenturan satu sama lain. Pendapat lama dikemukakan ketika beliau bermukim di Bagdad, sedangkan pendapat barunya dikemukakan setelah beliau pindah ke Mesir. Seperti halnya pendapat yang lama, pendapat barunya itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis dan sosio-politis lingkungan di mana beliau hidup. Penjelasan tentang qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafii tersebut secara rinci dapat dilihat dalam kitab fikih Mahalli.
Pengaruh kondisi sosio-kultural lebih jauh dapat dilihat dari pandangan para imam mujtahid yang lain. Pandangan hukum Islam Imam Abu Hanifah yang lebih didasarkan pada penalaran akal, misalnya amat dipengaruhi oleh budaya kota Kufah dan Bagdad yang sangat metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Berbeda dengan Imam Malik ibn Anas yang berada di Madinah dan Imam Ahmad ibn Hanbal yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana ditambah lagi ketersediaan banyak hadis membuat pandangan hukumnya lebih banyak didasarkan pada hadis daripada penalaran akal.
Pengaruh sosial budaya bukan hanya terlihat dalam produk hukum Islam berupa kitab-kitab fikih seperti telah dijelaskan, melainkan juga terbaca secara jelas dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di negara-negara Islam. Tunisia, misalnya pada tahun 1959 mengeluarkan undang-undang tentang perkawinan dan pewarisan yang dalam pasal 18 dari UU itu menyatakan poligami dilarang dan pelakunya dapat dikenakan hukuman penjara selama setahun atau denda sebesar 240.000 frank. Tentu saja aturan itu mendapat kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk dari negara Islam lainnya. Sebab, tidak sedikit umat Islam yang menganut pandangan bahwa poligami merupakan ajaran Islam, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kewajiban dan karenanya menentang poligami berarti keluar dari hukum Islam. Akan tetapi, Tunisia punya alasan sendiri. Bagi pemerintah Tunisia, Al-Qur`an pada hakikatnya melarang poligami. Sebab, poligami hanya diperbolehkan jika suami mampu berlaku adil, termasuk dalam soal cinta, sementara dalam kenyataannya yang juga didukung oleh bunyi ayat bahwa keadilan dimaksud tidak akan pernah terwujud.[21] Meskipun ada hadis yang menyatakan bahwa keadilan dalam poligami tidaklah termasuk dalam soal cinta, namun para ulama Tunisia tidak mengakui kebenaran hadis tersebut.[22]
Contoh lain, dapat dilihat di India ketika negeri itu belum terpecah menjadi India dan Pakistan. Pada tahun 1937 India memberlakukan suatu undang-undang yang disebut The Muslim Personal Law yang di dalamnya mengatur secara rinci persoalan perkawinan, perceraian, warisan, dan wakaf bagi orang-orang Islam. Mengenai perceraian UU itu menjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan dengan Mazhab Hanafi karena mayoritas umat Islam India menganut Mazhab Hanafi. Dalam pandangan Hanafi, perempuan sangat dipersulit untuk dapat menggugat cerai sehingga dengan UU tersebut perempuan tidak punya hak untuk meminta cerai apapun alasannya. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh bagi perempuan untuk keluar dari ikatan perkawinannya adalah dengan menyatakan diri keluar dari Islam sehingga dengan itu perkawinannya bubar dengan sendirinya karena fasakh. Akibatnya, dalam kurun waktu yang tidak lama jumlah perempuan yang menyatakan diri keluar dari Islam semakin banyak dan kondisi ini menimbulkan kekhawatiran. Akhirnya pada tahun 1939 pemerintah menggagas perlunya memberlakukan undang-undang baru yang disebut The Dissolution of Marriages Act yang antara lain mengatur bahwa untuk prosedur perceraian tidak lagi menggunakan mazhab Hanafi, melainkan memakai pandangan mazhab Maliki yang relatif lebih longgar karena memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menggugat cerai ke pengadilan.
Contoh-contoh tersebut dikemukakan untuk menggugah kesadaran para pemuka agama dan para pakar hukum Islam untuk tidak melihat hukum Islam semata-mata pada aspek tekstualnya, melainkan melihatnya dengan pendekatan yang lebih luas, misalnya dengan pendekatan sejarah sosial. Kenyataan sejarah perjalanan hukum Islam menjelaskan dengan sangat gamblang betapa faktor-faktor sosio-historis dan sosio-politik telah mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai produk-produk hukum Islam, baik dalam bentuk kitab-kitab fikih maupun dalam bentuk peraturan perundang-undangan di negeri Islam. Pendekatan inilah hendaknya yang dipakai dalam memahami isu HAM dan demokrasi dalam perkawinan. Sebagai penutup ada baiknya dikemukakan di sini pernyataan Abdul Wahab Khallaf dalam kitab `Ushul Fikihnya bahwa teks-teks ayat hukum tidak bisa dipahami secara tepat dan benar, kecuali oleh orang yang benar-benar menyelami tujuan hukum (maqasid al-syariat) dan mengetahui kasus-kasus yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat hukum tersebut.[23] Demikianlah semoga pernyataan ulama besar itu dapat memberi pencerahan kepada kita semua, khususnya dalam upaya-upaya perlindungan dan pemajuan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang perkawinan.
Penutup
Islam diyakini sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil`alamin), dan menjanjikan pembebasan bagi kaum mustadh`afin (kaum yang diperlemah), termasuk kaum perempuan. Karena itu, ajaran-ajarannya sarat dengan nilai-nilai persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikhaa`), dan kebebasan (al-hurriyyah). Sayangnya, ajaran dari langit yang memuat nilai-nilai luhur dan ideal tersebut tatkala dibawa ke bumi dan berinteraksi dengan budaya manusia mengalami banyak distorsi, seperti terbaca dalam kitab-kitab fiqh yang membahas soal perkawinan. Islam pada dasarnya mempunyai dua aspek ajaran yakni, aspek vertikal dan aspek horinzontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan atau disebut juga hablun minallah, sementara aspek horinsotal merupakan ajaran yang mengatur hubungan di antara sesama manusia atau hablun min al-nas. Begitu pentingnya aspek horisontal ini sehingga dalam ajaran dasar Islam sangat ditekankan ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, misalnya ajaran tentang penghargaan kepada manusia tanpa melihat, suku, ras, bahasa, status sosial, dan bahkan agamanya; ajaran tentang persamaan manusia (Q.S al-Hujurat, 49:13); dan ajaran tentang pengakuan terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia.
Ada kecenderungan dalam beragama manusia lebih mengedepankan aspek vertikal daripada aspek horisontal. Akibatnya, aspek horisontal sering tertutupi oleh aspek vertikal, sehingga dimensi humanisme yang merupakan refleksi aspek vertikal Islam kurang mendapat perhatian umat Islam dalam kehidupan nyata sehari-hari, terutama dalam kehidupan perkawinan. Hasilnya, wajah Islam selalu nampak keras, kasar, sangar, tidak ramah, khususnya terhadap perempuan. Sisi humanis Islam sering hilang dalam pergaulan sehari-hari dan inilah yang antara lain menimbulkan potensi konflik di antara umat Islam dan umat agama lain, bahkan di antara sesama umat Islam itu sendiri. Dalam realitas sosiologis, agama lebih banyak difungsikan sebagai alat untuk “membela dan memuaskan Tuhan” ketimbang “membela dan melayani sesama manusia”. Akibatnya, keberagamaan manusia tidak banyak membawa efek positif bagi manusia dan kemanusiaan. Dengan ungkapan lain, agama tidak berhasil memanusiakan manusia, padahal inilah intisari agama, yaitu membuat manusia menjadi lebih manusiawi: menghargai sesama manusia dan mengakui hak-haknya yang paling asasi, terutama dalam kehidupan perkawinan dan keluarga.
Jakarta, 10 November 2005
[1] Uraian yang luas mengenai ajaran tauhid dan implikasinya bagi prinsip persamaan manusia, penegakan HAM dan demokrasi dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, 2005, h. 3-35.
[2]Konsep ini kemudian dalam isu-isu perempuan dikenal dengan konsep kesetaraan dan keadilan gender, yaitu pengakuan bahwa gender laki-laki dan gender perempuan adalah sama nilai kemanusiaannya. Sebab, gender merupakan hasil konstruksi masyarakat, bukan pemberian Tuhan. Persamaan dimaksud tidak menafikan perbedaan biologis di antara keduanya. Akan tetapi, perbedaan fisik di antara laki-laki dan perempuan tidak boleh menjadi alasan untuk membedakan, apalagi mendiskriminasikan salah satunya. Karena itu, dalam perkawinan suami-isteri hendaknya saling mencintai, saling menghormati, saling membantu, dan saling melengkapi. Tidak ada dominasi dari salah satu pihak, suami atau isteri.
[3]Konsekwensi logis dari peratifikasian konvensi tersebut adalah bahwa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB dituntut melakukan harmonisasi isi Konvensi CEDAW dengan undang-undang nasionalnya, terutama Undang-Undang Perkawinan sehingga isi konvensi dapat diimplementasikan secara luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Artinya, sejumlah materi undang-undang perkawinan kita perlu direvisi dan disempurnakan agar dapat mengakomodasikan isi konvensi tersebut dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintahan yang demokratis yang melindungi hak-hak asasi seluruh warga negara.
[4] Berkaitan dengan undang-undang ini, Indonesia terlambat sepuluh tahun dibandingkan dengan Malaysia yang sejak tahun 1994 telah memiliki peraturan serupa dengan nama Akta Keganasan Rumah Tangga. Perjuangan kelompok perempuan untuk pengesahan undang-undang ini berlangsung cukup lama, kurang lebih 6 tahun. Sebab, banyak pihak, terutama mereka yang tidak memiliki wawasan tentang kesetaraan gender dan HAM, menilai isi undang-undang tersebut bertentangan dengan tradisi dan ajaran agama. Akibatnya, sejumlah pasal, antara lain menyangkut marital rape (perkosaan dalam perkawinan) dihilangkan dari draft UU tsb. Bagi pihak yang tidak setuju, menolak adanya marital rape, sebab tugas isteri adalah melayani suami sepenuhnya, suka atau tidak suka. Sebaliknya bagi pihak pengusung, hal itu bertentangan dengan HAM dan juga ajaran agama yang mengutuk pemaksaan dan menekankan sikap santun dan manusiawi dalam semua aspek kehidupan.
[5] Pada tahun 2001, pemerintah melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan melaporkan secara resmi angka kekerasan dalam rumah tangga mencapai 24 juta kasus. Artinya, sekitar 5,8 % persen dari populasi penduduk mengalami tindakan kekerasan di wilayah privat, rumah tangga. Lihat laporan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Tahun 2001.
[6] Hadis seperti ini dalam kajian feminisme disebut hadis misoginis. Membaca hadis-hadis demikian tidak bisa hanya berkutat pada aspek tekstualnya semata, melainkan harus menguak aspek kontekstualnya, terutama sisi historis berupa asbab wurud dan tradisi yang berkembang di masa itu. Kajian yang luas terhadap hadis tersebut dapat dilihat pada Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas: Kajian Hadis-Hadis Misoginis, PSW IAIN Sinan Kalijaga, Yogyakarta, h.33-49.
[7] An-Nisa`, 4:21 dan Al-Baqarah, 2:231
[8] Mulia, Siti Musdah, Poligami Dalam Pandangan Islam, LKAJ dan Solidaritas Perempuan, Jakarta, 2000, h. 9.
[9] An-Nisa`, 4:3 dan 129.
[10] Ar-Ruum, 30:21
[11] Al-Baqarah, 2:187
[12] An-Nisa`, 4: 19; at-Taubah, 9:24 ; al-Haj, 22:13
[13] Tidak melanggar syariah maksudnya tidak memilih kelompok orang-orang yang diharamkan untuk dikawini, baik karena alasan hubungan darah, hubungan perkawinan, dan hubungan persusuan, seperti orang tua dan garis keturunannya ke atas, anak dan garis keturunannya ke bawah; saudara kandung, saudara tiri yang seibu atau seayah, paman, keponakan, ibu susu, saudara sesusuan, mertua, menantu dan seterusnya.
[14] Dokumen Kairo, 1994.
[15] Wahbah Al-Zuhaili , Al-Fiqh wa Adillatuhu, IX/6599.
[16] Q.S. al-Baqarah, 187.
[17] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.Th. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fikih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).
[18] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.
[19] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.Th. h 72.
[20] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Mizan, Bandung, 1989. h. 32-35.
[21] An-Nisa, 4:129.
[22] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, The Indian Law Institute, New Delhi, 1972, hal. 99-108.
[23] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Dar al-Ma’arif, Kairo, t.th. hal. 98.