Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengadakan Jalsah Salanah Indonesia 2023 dan dihadiri oleh pendiri Yayasan Mulia Raya dan Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof. Musdah Mulia.
Jalsah Salanah berasal dari bahasa Urdu yang berarti pertemuan tahunan. Biasanya, Jalsah Salanah digelar setiap tanggal 27, 28, 29 Desember. Jemaat Ahmadiyah di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Afrika dan lainnya telah lebih dulu melaksanakan pada akhir tahun 2022. Di Indonesia Jalsah Salanah baru dilaksanakan pada bulan Januari, walau pada saat Jalsah di luar negeri berlangsung, jemaat di Indonesia juga turut menyimak.
Dalam kesempatannya Musdah juga merefleksikan Kegiatan Jalsah Salanah ini dengan beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia. Dia juga bercerita tentang Masjid Ahmadiyah di Kuningan diserang dan dibakar langsung pada tahun 2000 lalu.
“Saya mendapatkan kabar jam 1 malam masjid Ahmadiyah di Kuningan diserang dan dibakar, kami langsung pergi jam 5 subuh. Dan seumur-umur hidup saya saya baru menyaksikan Alquran itu dibakar, lembaran-lembaran Al-Quran itu harus bertebaran di sepanjang sudut-sudut masjid.”
Beliau menyayangkan bahwa dizaman itu perkembangan digital belum secanggih sekarang, semua yang terjadi belum bisa didokumentasikan secara mudah.
“Sayangnya dulu itu belum seperti sekarang ya apa-apa bisa viral gitu kan,” lanjutnya.
Musdah juga melihat perkembangan Ahmadiyah dari tahun ke tahun itu semakin terbuka, fleksibel dan membaur dengan masyarakat. Atas izin tuhan juga akan semakin cepat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Musdah menilai, Jalsah Salanah merupakan satu upaya bersama yang mengedepankan inklusivitas dan kolaborasi dalam mengatasi masalah kebangsaan. Beberapa kesetaraan yang harus dicanangkan oleh masyarakat kepada umat Ahmadiyah diantaranya:
1. Berupaya melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui institusi pendidikan. Pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya dimulai dari pendidikan dalam keluarga. Di mulai dari keluarga masing-masing jangan berharap akan mengubah dunia mengubah orang lain kalau diri sendiri tidak mampu mengubah keluarga kita sendiri.
2. Mereformasi semua kebijakan publik yang mengandung unsur-unsur diskriminatif. Di Indonesia masih memiliki perundang-undangan yang masih mengandung unsur-unsur diskriminatif, karena itu jangan pernah bosan mengingatkan pemerintah di tingkat pusat sampai daerah agar supaya menghapus semua peraturan/perundang-undangan yang mengatur unsur-unsur diskriminatif kepada kelompok manapun.
3. Melakukan upaya-upaya reinterpretasi. Ada banyak interpretasi keagamaan, interpelasi keislaman yang tidak relevan dengan masa sekarang, tentu dengan sangat sangat apresiatif kepada para ulama-ulama terdahulu mereka sudah melakukan tugasnya dengan baik. Tetapi tentu saja interpretasi keagamaan yang mereka lahirkan Pada masa itu di abad ke-9 & ke-10 yang tidak relevan dengan dunia yang sudah mengalami banyak sekali kemajuan kemajuan karena kemajuan sains dan teknologi apalagi kemajuan dunia digital dan kemajuan dinamika zaman. “Karena itu kita perlu menawarkan interpretasi baru yang lebih manis yang lebih relevan dengan kondisi zaman kita sekarang tentu saja yang lebih mengedepankan nilai-nilai substansi keislaman atau keagamaan yang mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan yang menghargai menghargai kesetaraan keadilan dan seterusnya,” tuturnya.
Terakhir Musdah mengingatkan bahwa Ahmadiyah harus mengedepankan kelompok perempuan. Kalangan Ahmadiyah harus menyadari bahwa kelompok perempuan bukan hanya sekedar pemanis mereka harus dijadikan subjek dalam semua bidang pembinaan umat dalam semua bidang pembangunan mereka bukan sekedar pemanis bukan sekedar untuk rame-rame kegiatan jasa tetapi mereka juga harus menjadi subjek dalam semua Pembangunan.