Suatu hari di awal Januari 2012 saya menerima telepon dari teman lama yang bertugas di kantor UNFPA Kuala Lumpur. Intinya, dia mengundang saya menjadi pembicara di sebuah konferensi dan lokakarya terkait demokrasi dan program penguatan hak dan kesehatan reproduksi di Kabul, Afghanistan. Dia jelaskan juga bahwa sebagian pesertanya adalah para mullah Taliban. Setengah berteriak saya mengulangi ucapannya, “Taliban?”
“Betul,” jawab dia. Saya ingat persis dia lalu bilang begini, “Berani nggak bicara di hadapan Taliban?”
Tanpa berpikir panjang, saya jawab, “Siapa takut?” Usai bertelepon, saya baru sadar bahwa Afghanistan bukanlah wilayah damai. Setiap saat terjadi bom bunuh diri dan bentrokan bersenjata antara tentara pemerintah dan milisi Taliban. Namun, kapan lagi saya punya kesempatan bertemu langsung dengan orang-orang Taliban yang dikenal sangat merendahkan perempuan. Saya tidak ingin kehilangan momen penting ini!
Beberapa minggu kemudian, persisnya pada 20 Februari 2012 saya berangkat ke Wina, Austria, memenuhi undangan Universitas Danube. Selain saya, pembicara dari luar Austria yang juga diundang adalah Prof. Dr. Asghar Ali Engineer, penulis, aktivis sosial, dan tokoh Muslim reformis yang sangat konsisten asal India. Dikenal secara internasional karena karyanya tentang teologi pembebasan dalam Islam, ia memimpin Gerakan Progresif Dawoodi Bohra. Saya beberapa kali bertemu beliau dan kali ini saya berada dalam satu panel diskusi. Saya masih ingat betul, ketika beliau berdiri menyalami saya usai presentasi sambil menepuk bahu saya penuh kehangatan, layaknya seorang ayah terhadap putrinya. Siapa mengira, itulah pertemuan terakhir saya dengan almarhum.
Saya harus meminta maaf kepada panitia di Wina karena tidak bisa tinggal sampai acara penutupan. Malam itu saya harus terbang ke Afghanistan. Panitia awalnya mengiba agar saya mengulur waktu sampai keesokan harinya untuk menghadiri jamuan makan siang di kantor wali kota sekaligus penutupan acara secara resmi. Sayang sekali saya terpaksa menolak permintaan itu karena harus berangkat ke Kabul.
Sekitar pukul 20.00 waktu Wina, panitia mengantar saya ke bandara. Dengan menumpang pesawat Emirates saya terbang menuju Dubai untuk seterusnya melanjutkan penerbangan ke Kabul.
Saya tiba di Dubai pukul 7 pagi, sementara pesawat ke Kabul baru bertolak 4 jam kemudian. Wah, gawat. Saya bukan hanya harus pindah pesawat, melainkan juga harus pindah bandara. Petugas bandara mengatakan tidak ada pesawat yang akan berangkat ke Kabul di bandara tersebut. Pesawat Ariana Airlines yang akan membawa saya ke Kabul berada di bandara Dubai lama yang letaknya cukup jauh, lebih satu jam naik mobil dari bandara internasional Dubai yang amat megah itu.
Ketika sampai di bandara lama saya membatin. “Oh, ternyata Dubai juga punya bandara yang jelek begini ya.” Saya pikir Dubai itu semua bangunannya megah dan modern. Tak hanya bandara itu yang terlihat buruk, pesawat yang akan saya tumpangi pun tampak sangat kumuh. Di dalam pesawat saya mengamati para penumpangnya. Selain saya, tampak beberapa perempuan. Sebagian besar dari mereka memakai burqa—pakaian khusus bagi perempuan yang menutup seluruh tubuh. Bentuknya seperti mukena untuk salat, berwana biru kusam dan menyelubungi tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pada bagian mata terdapat sedikit lubang-lubang kecil untuk melihat. Saya miris melihat kondisi perempuan yang mengenakan burqa sebab pastilah sangat tidak nyaman.
Sebagian besar penumpang pesawat adalah laki-laki berjanggut lebat dengan wajah sangar dan melihat perempuan dengan pandangan tidak ramah. Sebelumnya, ketika berada di bandara Dubai yang megah, saya melihat dua perempuan Afghanistan tak menutup kepala. Sekarang mereka menutup rapat seluruh kepala, hanya tersisa sebagian kecil wajah. Saya pun mengikuti mereka, menambahkan kain selendang di atas jilbab yang sudah terpasang di kepala saya sejak dari Wina.
Perempuan, pengemis dan burqa
Setelah terbang sekitar dua jam lebih, pilot mengumumkan pesawat sudah mendekati bandara Kabul. Dari jendela terlihat dari kejauhan bandara Kabul yang kecil dan sangat sederhana, seperti bandara Halim Perdanakusuma tahun 1970-an. Pesawat mengalami kesulitan mendarat karena landasan penuh dengan salju tebal. Saya melihat sejumlah petugas sibuk membersihkan salju dari landasan agar pesawat bisa mendarat dengan baik.
Alhamdulillah, akhirnya pesawat pun mendarat meski dengan susah payah. Ketika itu musim dingin. Seluruh kota Kabul tertutup salju tebal. Sungguh aneh, kemarin di Wina saya tidak melihat salju sedikit pun. Namun, di Kabul salju terlihat tebal memutih di seluruh wilayah bandara dan menutupi area pegunungan di sekitarnya. Saya menikmati indahnya salju justru di Asia, bukan di Eropa.
Saya segera keluar dari pesawat mengikuti para penumpang lain menuju ruangan bandara yang tampak tua dan kumuh. Kondisi bandaranya mencerminkan negara ini sangat terbelakang. Saya pun tambah terkejut melihat begitu banyak tentara dengan senapan siap tembak di sekitar bandara. Terasa sungguh mencekam. “Jangan pernah keluar bandara sebelum bertemu petugas UN yang menjemput Ibu.” Kalimat itu berkali-kali diingatkan panitia sebelum saya berangkat.
Untunglah, begitu tiba di ruang pengambilan bagasi, seseorang menghampiri saya sambil tersenyum ramah dan menunjukkan identitas diri sebagai petugas UN. Saya pun segera mengikutinya keluar bandara tanpa kesulitan melewati imigrasi karena dia sudah melaporkan identitas saya. Kami menuju mobil resmi UN yang didesain khusus, anti peluru. Ada perasaan tidak nyaman, tetapi kemudian saya segera sadar mengapa harus menggunakan mobil itu.
Tak lama mobil kami sudah meluncur di jalan raya menuju Hotel Serena, satu-satunya hotel yang dianggap layak dan aman di Kabul. Hotel itu hanya disediakan bagi para delegasi UN, petugas keamanan, dan pekerja kemanusiaan dari berbagai negara. Sepanjang jalan menuju hotel terlihat banyak tentara bersenjata lengkap. Bahkan, tidak sedikit tentara berdiri di atap gedung dengan mata tajam mengawasi. Suasana terasa semakin mencekam.
Perhatian saya lalu tertuju kepada sejumlah pengemis di pinggir jalan. Mereka memakai burqa. Sempat terlihat seorang perempuan menggendong anak kecil di dalam burqa. Saya sangat khawatir anak itu akan kekurangan oksigen. Saya juga sulit memastikan, apakah semua pemakai burqa itu perempuan? Boleh jadi mereka laki-laki yang memakai burqa untuk mengemis atau untuk tujuan lain.Semakin lama terlihat pengemis yang memakai burqa semakin banyak. Ada juga sejumlah anak-anak. Tampaknya usia mereka antara 4-11 tahun. Sebagian nekat mengganduli mobil kami. Mereka berteriak-teriak meminta uang dan makanan sembari menunjuk mulut mereka. Saya merasa iba melihat itu dan tanpa sadar membuka dompet untuk memberikan uang. Mendadak petugas UN memperingatkan, “Jangan! Itu sangat berbahaya.” Saya pun urung memberi mereka uang.
Penguatan Hak Kesehatan Reproduksi
Kehadiran saya di Kabul adalah memenuhi undangan panitia pelatihan tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Masyarakat Afghanistan dengan dukungan UNFPA. Peserta pelatihan adalah para pemimpin agama, termasuk dari kelompok Taliban. Pelatihan itu memang dikhususkan bagi kalangan agama agar mereka mengerti tentang pentingnya hak dan kesehatan reproduksi serta interpretasi Islam yang mendukung pemenuhan hak-hak tersebut.
Selanjutnya, mereka diharapkan bersedia menjelaskan isu tersebut dalam khotbah mereka di masjid dan berbagai wahana dakwah lainnya. Peran pemuka agama sangat penting dalam upaya transformasi masyarakat menuju kondisi yang sehat dan sejahtera, seperti terminologi Al-Quran baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Afghanistan adalah negara Islam yang sangat miskin dengan angka kematian ibu melahirkan (AKI) paling tinggi di Asia, tapi juga dikenal sebagai negara dengan angka kelahiran sangat tinggi. Inilah negara yang tercabik-cabik oleh perang dan konflik tak berkesudahan. Berita bom bunuh diri dan kontak senjata merupakan menu utama sehari-hari.
Saya ingat sekali ketika check in di hotel, hal pertama yang dijelaskan oleh resepsionis adalah tata cara evakuasi dari serangan bom. Dia menjelaskan letak bunker, tempat pertama yang harus dituju ketika terjadi serangan bom. Alih-alih menenangkan, penjelasan itu justru membuat saya merinding dan tidak bisa tidur lelap selama berada di sana.
Salah satu faktor yang membuat kondisi perempuan dan masyarakat terpuruk dalam hal kesehatan adalah tidak terpenuhinya hak dan kesehatan reproduksi perempuan, padahal, jumlah perempuannya setengah dari total penduduk Afghanistan sekitar 38 juta jiwa. Pemerintah abai terhadap hak dan kebutuhan mendasar rakyatnya, terutama kaum perempuan. Pemerintah kurang peduli terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dan kelangsungan hidup warganya.
Sejak Taliban berkuasa, perempuan ditarik dari ruang publik. Mereka dilarang bekerja dan harus berada di rumah atau ruang domestik. Para perempuan yang tadinya bekerja sebagai guru, hakim, dokter, perawat, karyawan perusahaan, dan profesi lainnya kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemiskinan semakin mendera masyarakat.
Para perempuan yang sebelumnya memiliki penghasilan tetap dan sebagian bahkan menjadi penyangga utama ekonomi keluarga terpaksa menganggur. Sebagian menjadi pelacur dan pengemis. Anehnya, ketika mereka mengemis dan melacur, pemerintah Taliban membiarkan mereka berada di jalan atau di area publik.
Pada hari pertama pelatihan, sebagian peserta laki-laki yang berjanggut sangat tebal memandang saya tidak ramah. Bagi mereka, perempuan tidak pantas berbicara di depan laki-laki, apalagi memberikan ceramah dan memberikan pelajaran. Begitu mereka tahu saya berasal dari Indonesia, salah seorang peserta berkata, “Muslim Indonesia semuanya kafir karena mempraktikkan KB (Keluarga Berencana). Muslim Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, melainkan pakai baju kafir, baju Amerika. Muslim Indonesia kafir karena laki-laki tidak pelihara janggut, padahal itu sunnah Nabi yang paling utama. Jadi, kalian kafir sambil menunjuk ke arah saya.”
Saya tertawa dan mengira dia sedang bergurau. Tetapi, dia memandangi saya dengan tajam sebagai tanda bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya itu. Ketika jeda acara, panjang lebar dia menjelaskan kepada saya sebuah hadis Nabi tentang wajibnya memelihara janggut. Artinya kira-kira demikian, “Panjangkanlah janggutmu, cukurlah kumis, berbedalah dari orang-orang kafir.” Walhasil, mereka mempraktikkan hadis ini sebagai suatu kewajiban dan menghukum para lelaki yang tidak memanjangkan janggut. Bayangkan, gara-gara janggut, laki-laki bisa masuk penjara! Bahkan, di akhirat nanti masuk neraka!
Demikianlah, jika umat Islam memahami agama hanya secara tekstual, yang dipentingkan adalah penerapan lahiriah dari sebuah teks, bukan pesan-pesan moral yang terkandung di balik teks suci. Saya sangat yakin pesan moral dari teks suci itu mengandung nilai-nilai penghormatan kepada manusia sebagai karya agung Tuhan, Sang Maha Pencipta.
Di awal pelatihan, banyak peserta protes keras dengan penjelasan para narasumber. Sebagian dari mereka menuduh kami para pembicara sebagai agen Amerika yang kafir dan berusaha mengubah dan mendangkalkan akidah umat Islam. Bagi saya, mereka yang meyakini itu adalah kelompok masyarakat yang picik dan kurang bergaul. Mereka tidak mau mendengar pendapat yang berbeda karena selalu memandang pendapat orang lain salah. Orang lain selalu dituduh kafir, murtad, dan sesat. Penggolongan seperti inilah yang menyulitkan mereka untuk mendengar, belajar, berdialog, dan mengedepankan pemikiran kritis dalam segala hal. Pantaslah jika mereka sulit berubah.
Mestinya, kita selalu membuka ruang untuk mendengarkan pendapat orang lain dari mana pun datangnya. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman yang harus ditakuti. Perbedaan pendapat adalah modal sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dan lebih bijak, terutama untuk lebih memahami eksistensi diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Namun, pada hari ketiga pelatihan, peserta tampaknya sudah mulai cair. Mereka sudah mau berdialog. Bahkan, sebagian besar mulai respek pada penjelasan saya, terutama ketika saya menjelaskan ayat-ayat suci Al-Quran yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia, pentingnya kesetaraan gender, pentingnya ilmu pengetahuan, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan reproduksi, khususnya bagi kaum perempuan.
Konferensi dan pelatihan itu secara intens membahas berbagai bentuk ketidakadilan gender dan kurangnya akses pada program keluarga berencana, penguatan kualitas perawatan dan sistem kesehatan, tantangan sosial-budaya dan agama, pendekatan berbasis hak, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, keterlibatan laki-laki, keamanan komoditas kesehatan reproduksi, penguatan kolaborasi dan kemitraan, serta mobilisasi sumber daya untuk keluarga berencana. Selain itu, peserta juga mendapatkan pengayaan berupa pengalaman dari negara lain yang dibagikan sepanjang acara ini. Selama diskusi, tampak bahwa agama dan interpretasi teks-teks agama tentang keluarga berencana, pengaturan jarak kelahiran, hubungan keluarga, serta kesetaraan laki-laki dan perempuan memiliki pengaruh kuat atas kebijakan dan akses ke layanan.
Pada akhir konferensi, para peserta sepakat bahwa upaya-upaya memajukan keluarga berencana serta pengaturan jarak kelahiran dan kesehatan reproduksi di Afghanistan membutuhkan lebih banyak dialog nasional dengan para mullah atau pemimpin agama yang umumnya sangat konservatif. Mereka menyerukan lokakarya lanjutan dengan lebih banyak keterlibatan para pemimpin provinsi dan pejabat daerah, pembentukan mekanisme koordinasi dengan LSM mitra pembangunan, dan pelatihan kepemimpinan bagi para pejabat provinsi dalam mempromosikan keluarga berencana. Konferensi juga menyepakati perlunya ketersediaan data yang memadai untuk pengambilan keputusan. Hal yang paling mendesak dilakukan adalah pelatihan kepemimpinan pejabat provinsi dalam mempromosikan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.
Beberapa peserta tampak terkesima karena saya hafal sejumlah ayat Al-Quran terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat luas. Seorang peserta mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang bisa menghafal ayat-ayat Al-Quran. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghafal Al-Quran menjadi ukuran untuk respek. Namun, bagi saya itu belum cukup! Sebab, semua perempuan harus dihargai tidak peduli dia mampu menghafal Al-Quran atau tidak.
Sungguh di luar dugaan, pada hari terakhir pelatihan, tiga orang peserta menghampiri saya lalu berkata, “Maafkan sikap kami yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru paham apa itu makna demokrasi, apa itu prinsip hak asasi manusia, dan mengapa hak kesehatan reproduksi itu penting. Kami berterima kasih mendapatkan pencerahan dan ilmu bermanfaat.”
Tak hanya itu, mereka pun menambahkan, “Ke depannya kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan, memberikan pencerahan kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Hanya dengan ilmu dan pendidikan yang cukup, umat Islam menjadi umat yang berkualitas, menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia.”
Dalam hati saya berkata, inilah pentingnya pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat, terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti-kemanusiaan dan anti hak asasi manusia, seperti kelompok Taliban.
Setelah acara penutupan resmi, panitia menyelenggarakan kegiatan santai berupa makan siang dengan menu istimewa sambil memperkenalkan berbagai produk organisasi UNFPA terkait penguatan hak-hak kesehatan reproduksi. Beberapa di antara mullah Taliban menghampiri saya untuk berfoto. Spontan saya menjawab, “Maaf, saya tidak bisa berfoto dengan laki-laki yang bukan mahram.” Petugas UN yang mengenal saya biasa berfoto dengan siapa pun tertawa terbahak-bahak. Dia mengatakan, “Nggak nyangka, bisa juga kamu ngerjain mereka.” Lalu saya jawab: saya hanya ingin agar mereka juga merasakan betapa tidak nyaman hidup dengan penuh larangan dan blokade. Karenanya, saya selalu mengampanyekan kebebasan yang disertai kesadaran kemanusiaan dan tanggung jawab.
Usai pelatihan, keesokan harinya saya meninggalkan bandara Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara saya memperhatikan sejumlah perempuan masih mengenakan burqa. Namun, begitu mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqa. Wajah mereka terlihat lega. Mungkin mereka merasa seperti bebas dari penjara, penjara agama yang kerap lebih menyakitkan.
Saya sangat yakin, semua bentuk pemaksaan, khususnya pemaksaan dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran agama dipaksakan pelaksanaannya, pasti tidak akan membuahkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia dan kemanusiaan. Itulah sebabnya Allah Yang Maha Penyayang mengingatkan: “Berdakwahlah dengan penuh hikmah, santun dan bijak, serta berdebatlah dengan cara yang lebih baik dan beradab. Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q. S. An-Nahl: 125).
Tiba di Dubai, sungguh saya merasa gembira dan lega telah bebas dari kondisi yang mencekam di Kabul. Seorang petugas UN yang pulang bersama saya mengangkat kedua tangannya sebagai simbol bebas dengan berucap, “We are really free now, but we have been there.” Semoga umat Islam Indonesia tidak akan pernah menjadi Taliban. Jangan pernah!
-Musdah Mulia-