|

Muslimah Reformis

Kehangatan Persaudaraan Muslim dan Kristen Pelajaran Berharga dari Tirana, Albania

Suatu hari saya menerima undangan pertemuan internasional dari organisasi dunia Saint Egidio. Tema besar pertemuan tersebut adalah Christians and Muslims and the Challenges of a Global World”. Acara berlangsung di Tirana pada 6–8 September 2015. Nama Tirana amat membingungkan saya. Saya bertanya dalam hati di mana letak kota yang namanya mirip nama gadis itu. Setelah saya membuka Google, ternyata itu ibu kota sebuah negara di wilayah Balkan, yaitu Albania.

Saya berangkat ke Tirana dengan menumpang pesawat Turki Airlines. Dari Jakarta pesawat kami transit di Istanbul selama tiga jam. Hanya dua jam penerbangan dari Istanbul, saya sudah mendarat di Bandara Internasional Tirana.

Pernah mendengar nama Bunda Teresa? Dia adalah biarawati yang mendedikasikan hidupnya untuk menolong kaum papa di India. Namanya itulah yang diabadikan untuk bandara di Tirana. Nënë Tereza merupakan satu-satunya bandar udara internasional di Albania. Sebelumnya, bandara ini bernama Bandar Udara Internasional Rinas karena berlokasi di desa Rinas. Pada 2001, Namanya diubah menjadi Nënë Tereza untuk menghormati Bunda Teresa yang memang berasal dari Albania.

Oleh kalangan Katolik, Bunda Teresa dikenal sebagai Santa Teresa dari Kalkuta, India. Aslinya beliau bernama Agnes Gonxha Bojaxhiu, lahir di Üsküb, bekas wilayah Kerajaan Ottoman26 Agustus 1910 dan meninggal di Kalkuta pada 5 September 1997. Dia berkewarganegaraan India.

Pada 1950 Bunda Teresa mendirikan Misionaris Cinta Kasih (Missionaries of Charity) di Kalkuta. Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang-orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat. Atas pengabdiannya, beliau mendapat penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh perempuan yang dikagumi dalam sejarah dunia.

Tirana yang menjadi ibu kota Albania luasnya sekitar 1.110 km² atau sekitar dua kali luas Jakarta. Bentang alamnya terdiri dari bukit-bukit yang menghijau sepanjang waktu. Kota ini didirikan pada tahun 1614 dan menjadi ibu kota Albania pada tahun 1920.

Tirana seperti umumnya model kota lama di Eropa merupakan campuran gaya Eropa Barat dan Rusia kuno dengan sedikit pengaruh Timur Tengah. Kota ini telah mengatasi masa lalunya yang bermasalah dan bangkit sebagai permata di Eropa Timur. Tirana modern penuh dengan gedung-gedung indah, restoran mahal, kehidupan malam dan hotel, dan telah menemukan kembali dirinya sebagai kota yang energik, bersemangat, dan kosmopolitan sehingga sangat layak untuk dijelajahi. Terdapat sejumlah tempat wisata yang harus dikunjungi jika berada di Tirana, antara lain Skanderbeg Square, gedung pusat kebudayaan Tirana, tempat yang sangat baik untuk orang-orang yang ingin mengenal kehidupan sehari-hari para penghuni kota ini. Selain itu, ada patung berkuda yang terkenal terletak di sisi selatan alun-alun kota Tirana.

 

International Meeting on Religions and Cultures: Peace is Always Possible

Pertemuan internasional di Tirana ini digagas bersama oleh tiga organisasi: Orthodox Autocephalous Church of Albania (Gereja Ortodoks Albania), Community of Saint Egidio, dan Episcopal Conference of Albania. Tema sentralnya sangat menarik: Peace is always possible. Maknanya, perdamaian selalu mungkin diwujudkan. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun yang mencintai perdamaian untuk tidak berpartisipasi penuh, bahkan berjuang demi upaya-upaya membangun perdamaian. Perdamaian adalah mimpi terindah umat manusia. Hanya dalam kondisi damai, budaya dan peradaban manusia dapat ditumbuhkan.

Acara pembukaan berlangsung sangat meriah, dihadiri sekitar 700 orang bertempat di Congress Palace yang berlokasi di tengah kota Tirana. Acara ini dibuka oleh Perdana Menteri Albania, Edi Rama, lalu diikuti sambutan dari pimpinan ketiga organisasi pelaksana dan beberapa tokoh agama terkemuka mewakili Islam, Kristen Ortodoks, Yahudi, dan Hindu.

Selama tiga hari terdapat 27 panel diskusi dengan menghadirkan 154 pembicara. Mereka berasal dari pelbagai negara, mewakili pelbagai agama dan kepercayaan. Tidak heran jika jadwal pertemuan internasional ini sangat padat. Hampir tidak ada waktu istirahat bagi peserta. Namun, kami para peserta merasakan cukup kegembiraan karena menikmati kehangatan persaudaraan para penganut agama yang berbeda, khususnya penganut Islam dan Kristen di kota ini.

Pada pertemuan ini saya mendapat kesempatan bicara pada panel ketiga dengan topik Christians and Muslims and the Challenges of a Global World. Sangat menyenangkan karena panel ini berlangsung di tempat yang sangat ikonik di Tirana, yaitu gedung National History Museum. Ruangan konferensinya sangat luas dan nyaman.

Pada panel ini hadir tujuh pembicara, yakni Sayyed Mohammad Ali Abtani mewakili Islam Iran, Anouar Kbibech dari Prancis, Muhja Ghalib dari Mesir, Klaus Kramer dari Jerman, Guiguis Ibrahim Saleh mewakili Gereja Ortodoks Koptik Mesir, Joseph Soueif mewakili Katolik Maronit Siprus, dan saya mewakili Islam Indonesia, dengan moderator Michel Santier dari Gereja Katolik Prancis. Panel ini mendapatkan sambutan hangat dari peserta, terlihat dari membludaknya jumlah peserta sampai sebagian mereka terpaksa duduk di lantai. Waktu diskusinya pun menjadi lebih panjang dari agenda yang tersedia karena banyak pertanyaan dari peserta ketika sesi dialog.

Pada kesempatan ini saya menjelaskan, umat Islam dan Kristen menghadapi tantangan dan problem yang nyaris sama dalam sebuah dunia yang dilanda proses globalisasi tak terelakkan. Untuk itu, tidak ada cara yang lebih baik bagi kedua umat beragama yang asalnya serumpun itu selain bekerja sama secara tulus dan terbuka demi mewujudkan perdamaian abadi bagi seluruh manusia. Kerja sama tersebut dapat dilakukan malalui kegiatan dialog teologi dan dialog kehidupan sehingga semua perbedaaan dapat dikesampingkan, lalu fokus mencari titik-titik temu yang memungkinkan kedua umat yang besar dapat saling memahami kondisi masing-masing untuk kemudian dapat membantu satu sama lain dalam merespons pelbagai masalah kontemporer yang dihadapi para penganutnya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Di antara problem yang mengemuka yang sedang dihadapi penganut agama, baik di kalangan Islam maupun Kristen dewasa ini adalah isu kekerasan radikalisme dan ekstremisme. Sebagai solusi untuk mengatasi radikalisme dan ekstremisme, kegiatan dialog adalah niscaya. Menurut saya, hanya dialog yang dapat menyelesaikan sengketa dan kesalahpahaman di antara para penganut agama yang berbeda. Dialog pula yang dapat mengobati luka-luka sejarah masa lalu akibat sengketa dan konflik agama. Akan tetapi, dialog hanya mungkin terjadi bila para pihak yang berseberangan dalam hal keimanan berada dalam posisi yang setara dan diperlakukan secara adil dan setara pula. Itu berarti selain unsur pelaku dialog, peran negara sebagai pihak pendistribusi kekuasaan dituntut untuk benar-benar menerapkan rasa keadilan itu. Tuntutan kepada negara tak dapat dielakkan karena kita tahu bahwa negara merupakan penguasa sekaligus pemilik sumber daya dari mana asal rasa keadilan itu dapat diukur dan dirasakan pendistribusiannya secara nyata.

Selain peran negara dalam menciptakan rasa keadilan itu, sebenarnya kita bisa memilah praktik dialog tersebut ke dalam dua level dialog, yakni dialog teologi dan dialog kehidupan. Dialog teologi sering bermasalah dalam implementasinya. Selain bersifat wacana dan berada di level akademis, dialog serupa ini sering hanya asyik sendiri dengan eksperimen di tingkat yang sangat abstrak. Sementara, dialog kehidupan adalah dialog yang bukan saja bersifat konkret, tapi juga merambah wilayah yang dapat mempersentuhkan kepentingan bersama dan mengupayakan manusia keluar dari perbedaan.

Di titik ini, pengalaman-pengalaman perempuan dalam mendialogkan kepentingan mereka bersama dalam mengatasi konflik dan kemelut menjadi amat penting untuk dicatat sebagai pengalaman kolektif. Tugas berikutnya adalah bagaimana pengalaman di tingkat praktis itu dapat diangkat ke tataran teoretis. Proses pengemasan itu (dari pengalaman praktis ke tataran teoretis) menjadi sangat penting karena di sanalah kemudian perspektif perempuan sebagai penyumbang alternatif teori dapat diuji dengan batu uji logika yang dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis.

Hal yang tidak kurang pentingnya dalam menggagas dialog agama adalah mendengarkan pandangan alternatif yang bersumber dari pengalaman perempuan dalam mendialogkan pelbagai masalah dalam kehidupan ini. Mengapa itu penting?  Antara lain sebagai upaya untuk memberikan warna lain dari cara beragama manusia yang sampai saat ini masih didominasi nuansa maskulin yang sering penuh kekerasan dan cipratan darah. Pengalaman perempuan dalam mendialogkan dan memelihara kehidupan setidaknya akan memberikan warna lain dari dialog agama. Warna yang lebih mengedepankan gambaran pemeliharaan kehidupan daripada penghancuran kehidupan. Pendekatan feminin selalu penting dikemukakan karena biasanya yang mengemuka adalah cinta kasih, kerja sama yang tulus penuh rasa persaudaraan, dan mengesampingkan pelbagai motif politik yang sifatnya sangat pragmatis dan hanya memikirakan keuntungan jangka pendek.

Saya juga tak lupa memberikan contoh-contoh konkret kehidupan damai dari umat beragama yang sangat majemuk di Indonesia, seperti kehidupan damai masyarakat Kristen dan Islam di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah. Kondisi damai itu terpelihara bila seluruh umat beragama yang majemuk itu memiliki komitmen untuk hidup damai secara tulus. Mereka sadar untuk menjaga komitmen tersebut dari berbagai gangguan yang bisa saja muncul tiba-tiba dari kelompok-kelompok yang ingin mencari keuntungan sepihak dengan menghancurkan pihak-pihak lain. Di sinilah pentingnya komitmen, kewaspadaan, dan rasa saling percaya di antara para penganut agama yang berbeda.

 

Sekilas tentang Sejarah Albania

Albania terletak di Eropa bagian tenggara berbatasan dengan  Montenegro di utara, Kosovo di timur laut, Republik Makedonia di timur, dan Yunani di selatan. Laut Adriatik terletak di sebelah barat Albania, sedangkan Laut Ionia di barat daya.

Dalam bahasa setempat, Albania disebut Shqipëria yang berarti tanah air burung elang. Itulah sebabnya bangsa Albania menjadikan gambar burung elang berkepala dua sebagai lambang di bendera resmi negara itu. Burung elang berkepala dua adalah lambang kemegahan dari Kekaisaran Bizantium yang pernah menguasai daerah Balkan dan Anatolia. Lambang tersebut merupakan warisan dari peradaban-peradaban pra-Romawi di Anatolia. Tidak heran jika lambang ini juga ditemukan di negara-negara sekitar, seperti Rusia.

Wilayah Eropa Tenggara tempat Albania berada lebih dikenal dengan istilah Balkan. Pada awalnya istilah Balkan diambil dari nama pegunungan yang merentang dari negara Serbia hingga Laut Hitam. Wilayah Balkan mencakup hampir seluruh Eropa Tenggara dengan luas sekitar 700.000 km2, kira-kira seluas Pulau Kalimantan. Wilayah ini mencakup sejumlah negara, yaitu Albania, Bosnia Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, Romania, Serbia, dan Slovenia.

Bentang alam Albania dihiasi pegunungan dengan sekitar 70 persen tanahnya berada di atas ketinggian 300 meter. Luas negara ini hanya 28.748 km2, lebih kecil dari Provinsi Jawa Tengah. Gunung-gunungnya lebar, membentang dari barat laut ke tenggara, naik secara drastis dari dataran rendah pesisir hingga ke ketinggian lebih dari 2.400 m. Bagian utara adalah daerah pegunungan dengan bebatuan kasar, batu-batu kapur dari pegunungan Alpen Dinaric membentang sepanjang 40 km dari Montenegro.

Pada masa lalu pernah terjadi erosi yang sangat besar di daerah ini, sehingga mengakibatkan kegundulan pada permukaan tanahnya, juga membentuk lembah-lembah yang sangat dalam, dan kelangkaan padang rumput. Di dataran tinggi tengah terdapat Gunung Korab, tingginya 2.764 m, yang merupakan gunung tertinggi di negara ini. Sementara di bagian selatan Alpen, dataran tingginya sedikit lebih rendah dan melingkar, membentang ke arah tenggara dan menyambung ke pegunungan Pindus di utara Yunani. Jarak antara Albania dan Italia hanya 76 km, hanya terpisahkan oleh Laut Adriatik. Albania lama diduduki oleh Italia yang mengembangkan kekuasaan ke arah Balkan Timur.

Tidak banyak yang tahu bahwa Islam merupakan agama mayoritas di Albania. Islam masuk ke wilayah Albania diperkirakan pada masa pendudukan Kesultanan Ottoman tahun 1385-1912. Selama masa ini, kebanyakan penduduk masuk Islam. Pada awal abad ke-20, Kesultanan Ottoman tak dapat mengendalikan kontrolnya di sini. Liga Prizren (1878) memperkenalkan gagasan negara kebangsaan Albania dan menciptakan alfabet Albania modern. Menyusul akhir Perang Balkan I, bangsa Albania menyatakan kemerdekaan pada 28 November 1912.

Penduduk Albania adalah keturunan suku Illyrian yang mulai menetap di daerah Balkan pada sekitar tahun 500 SM. Suku ini termasuk suku tertua yang hidup di Benua Eropa. Nama Albania mulai dipakai sejak abad XIV. Menurut para ahli sejarah, nama ini dari kata Albanoi, nama suku Illyrian yang hidup di daerah utara. Nama Albanoi menjadi populer pemakaiannya dan berubah menjadi Albania untuk membedakan dari suku-suku lain di kawasan Balkan. Meskipun berasal dari rumpun yang sama dengan beberapa negara lainnya seperti Bosnia, Herzegovina, Makedonia dan Kroasia, penduduk Albania saat ini dapat dibedakan dari bahasa, agama, kultur, baju tradisional, status sosial dan politik. Etnis Albania adalah etnis tertua di Eropa Tenggara. Nenek moyang mereka, orang-orang Illyria, merupakan masyarakat Indo-Eropa yang sudah tinggal di tanah Balkan jauh sebelum orang-orang Yunani datang ke wilayah tersebut.

Wilayah Albania terbagi dua, dipisahkan oleh Sungai Shkumbin yang mengakibatkan terbaginya dua dialek Albania: Gheg di Utara dan Tosk di Selatan. Orang-orang Gheg, yang jumlahnya dua pertiga masyarakat Albania jarang melakukan pernikahan dengan orang di luar Albania. Berbeda halnya dengan Tosk yang sejarah kehidupan masyarakatnya sering diperintah oleh orang-orang luar Albania sehingga pernikahan dengan orang di luar Albania banyak terjadi.

Selama Perang Dunia II, Albania dicaplok pertama kali oleh Italia (1939-1943) dan kemudian oleh Jerman (1943-44). Setelah perang, pemimpin Partai Komunis Enver Hoxha berkuasa dengan tangan besi selama 40 tahun serta mematikan kehidupan keagamaan.

Masjid Et’hem Bey, masjid yang terkenal di Tirana, pernah ditutup pada masa pemerintahan komunis setelah Perang Dunia Kedua. Masjid itu lalu dibuka kembali sebagai rumah ibadah pada tahun 1991 setelah komunisme runtuh di Eropa Timur. Waktu itu, lebih dari 15 ribu orang berkumpul di dalam dan di sekitar Masjid Ethem Bey di pusat Kota Tirana.

Tradisi keislaman, seperti kegiatan Ramadan, di Albania sangat mirip dengan di Turki. Penduduk menunggu munculnya bulan di malam hari untuk menandai hari pertama bulan suci Ramadan. Keesokan harinya masjid didekorasi dan diterangi dengan cantik untuk selama sebulan penuh. Malam hari adalah waktu menikmati suasana kebersamaan di luar rumah.

Pada 1990-an tidak sedikit orang-orang Albania yang tinggal di Kosovo ikut mendeklarasikan kemerdekaan Republik Kosovo yang mayoritas muslim dari kekuasaan Serbia yang mayoritas Kristen setelah pecahnya Yugoslavia. Albania menjadi salah satu negara yang mengakui kemerdekaan Kosovo.

 

Ikon kebebasan beragama

Kehidupan beragama di Albania pernah mengalami kondisi buruk, bahkan terpuruk, ketika negara ini dipimpin oleh Enver Hoxha yang beraliran Stanilis setelah Perang Dunia II. Kediktatoran Hoxha merupakan tahun-tahun paling gelap dalam sejarah negeri mungil ini. Enver Hoxha mendeklarasikan Albania sebagai negara ateis pertama di dunia. Rezim Hoxha menutup ribuan rumah ibadah, termasuk masjid, gereja, dan biara. Para pemeluk agama yang tertangkap basah mengenakan simbol agama dihukum penjara 10 tahun. Kondisi ini sangat mencekam bagi masyarakat Albania.

Hoxha segera melembagakan perubahan yang sangat dratis setelah mengambil tampuk pimpinan Front Demokratik pada tahun 1945. Banyak ulama dan pengikut agama disiksa dan dihukum mati.  Pada 1946, semua pendeta Katolik Roma yang berasal dari luar Albania diusir. Tentu saja ini merupakan pukulan yang melumpuhkan bagi sekolah-sekolah Katolik di negeri ini. Meski terlahir dari keluarga Muslim kelas menengah, Hoxha sangat anti-agama dan berambisi menjadikan Albania sebagai negara ateis. Periode anti-agama dari kediktatoran Hoxha mencapai titik tertinggi dengan terbentuknya Konstitusi 1976 yang sangat menindas kehadiran agama.

Selama hampir 35 tahun di bawah rezim komunis, penduduk Albania hampir tidak mempunyai kehidupan agama. Jatuhnya rezim komunis pada tahun 1990 membuat pintu agama kembali terbuka bagi seluruh masyarakat Albania. Dengan berakhirnya kediktatoran Hoxha, tradisi toleransi yang ada dalam setiap denyut nadi bangsa Albania kembali dihidupkan seperti terlihat dewasa ini.

Kehidupan beragama di Albania saat ini sudah marak kembali. Pemerintah Republik Albania saat ini tidak menjadikan satu agama sebagai agama resmi negara, melainkan memberikan kebebasan untuk menjalankan agama kepada seluruh penduduknya.

Kini Albania menunjukkan bahwa kebebasan beragama dan nilai-nilai agama merupakan hal yang esensial dalam kehidupan masyarakat. Sejumlah agama, utamanya Islam dan Katolik tidak hanya dapat hidup berdampingan, tetapi juga dapat berkembang bersama-sama.

Saat ini, di negara itu lembaga-lembaga keagamaan memainkan peran utama mereka dalam bidang pendidikan. Departemen Pendidikan di Albania menegaskan bahwa sekolah umum memegang prinsip sekularitas dan indoktrinasi ideologi serta agama di sekolah umum dilarang oleh hukum. Akan tetapi, di samping sekolah umum, terdapat juga sekolah agama yang berada dalam wewenang lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan Katolik dan Islam.

Secara hukum, sekolah agama yang berafiliasi harus memiliki izin dari Departemen Pendidikan dan mengikuti kurikulum yang diperlukan untuk memenuhi standar pendidikan nasional. Pendidikan budaya toleransi sangat ditekankan pada kurikulum semua sekolah di Albania.


Kemajemukan Agama dalam Keluarga dan Masyarakat

Kehidupan keagamaan di Albania sangat majemuk. Tampaknya, isu perbedaan agama di Albania dianggap bukan masalah. Bahkan, dalam satu keluarga sering dijumpai perbedaan agama. Tercatat setidaknya ada empat golongan agama besar, yaitu Islam, Katolik, Kristen Ortodoks, dan Bektashi.

Tidak banyak yang tahu jika Albania merupakan satu dari sedikit negara di Eropa yang masyarakatnya mayoritas muslim, yakni sekitar 70 persen dari total populasi penduduk. Albania menjadi negara anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam) pada awal 1922. Kebanyakan muslim Albania beraliran Sunni, sedangkan seperempatnya sekte Bektashi, sekte non-ortodoks yang toleran.

Sementara itu, penganut Kristen Ortodoks berjumah sekitar 20 persen. Mereka kebanyakan bermukim di Albania Selatan. Lalu, penganut Katolik Roma berjumlah sekitar 10 persen dan umumnya tinggal di Albania Utara. Terakhir, Islam Bektashi. Meskipun mengaku sebagai bagian dari ajaran Islam, Bektashi sangat jauh dari ajaran Islam dan lebih mendekati ajaran Kristen. Karenanya, sejak abad ke-19 mereka memiliki hubungan lebih dekat kepada umat Kristen dibanding umat Islam. Mereka sering melakukan kegiatan keagamaan bersama kaum Kristen.

Albania sempat menjadi markas kaum Bektashiyah pada awal abad ke-20. Kaum Bektashi berasal dari Turki yang pada 1928 ketika Kemal Attaturk memimpin sekularisasi di Turki, mereka diusir dari Turki lalu pindah ke Albania. Pemimpin mereka, Salih Dedei, hijrah ke Albania dan menetap di Tirana.

Bektashi masuk ke Albania seiring dengan kehadiran Turki Ottoman menduduki Balkan yang pada waktu itu mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Ortodoks yang lebih dikenal dengan istilah Kripto-Kristen.  Ketika Islam mulai menancapkan pengaruhnya di wilayah ini, masyarakatnya tetap mempertahankan tradisi agama sebelumnya, yaitu Kristen. Kristen menjadi perpaduan yang menguat dan dikaitkan warga di Semenanjung Balkan. Hal ini juga didasari pada laporan sejarah yang menyebut warga Balkan saat itu kuat mempertahankan agamanya dan tetap pergi ke gereja walaupun mereka juga terbuka dengan ajaran Islam. Tidak hanya itu, penganut Bektashi diizinkan untuk minum anggur yang memabukkan, dibaptis saat lahir, memiliki makanan suci yang mirip dengan perjamuan kudus kaum Kristiani, dan mereka melakukan pengakuan dosa. Bektashi memungkinkan pengikutnya untuk beribadah dan berdoa dalam bahasa mereka sendiri daripada bahasa Arab. Kaum perempuan pun tidak mesti berjilbab.

Situs tersuci kaum Bektashi terdapat di Anatolia, tepatnya di lokasi biara Kristen St. Charalambos. Secara garis besar mereka lebih mirip dengan ajaran Kristiani, meski mereka secara terbuka mengaku sebagai bagian dari Islam. Bektashi tidak banyak dikenal di luar wilayah ini, tapi eksistensi mereka cukup dipertimbangkan. Setidaknya ada 60.000 sampai 750.000 pemeluk Bektashi di Albania.

Sebetulnya, ajaran Bektashi mengikuti paham percampuran Syi’ah dan Sunni. Namun, mereka lebih dekat kepada mazhab Syi‘ah. Mereka menyatakan bahwa pendiri mereka adalah Haji Bektash Veli, seorang Imam Syiah Alawiyah dari Khurasan, Iran, yang hidup pada abad ke-13 dan dianggaap wali suci.

Para pengikut Bektashi juga mengembangkan tatanan sufisme dalam Islam. Biasanya para darwis tinggal di rumah atau pondok-pondok yang mereka sebut dengan istilah ‘tekkes’, masing-masing orang dipimpin oleh seorang ‘baba’ (semacam ulama). Aliran Bektashi menyebar luas menyusul penaklukan Balkan oleh Turki Ottoman. Pada abad ke-19, orang-orang Turki menekan gerakan tersebut sehingga banyak orang Bektashi beraktivitas secara sembunyi-sembunyi.  Namun kini, pemerintah Albania mengakui mereka sebagai sebuah agama meskipun umat Islam dan Kristen sendiri banyak yang tidak mengakui mereka sebagai bagian dari dua agama ini.

Para ulama Bektashi menjelaskan bahwa praktik dan ritual mereka didasarkan pada interpretasi dan pemahaman non-ortodoks dan pemahaman mistik mereka tentang AlQuran dan Sunnah. Mereka tidak memiliki doktrin tertulis yang bersifat khusus sehingga aturan dan ritual dapat berbeda tergantung pada siapa pemimpin mereka. Penganut Bektashi umumnya memuja ulama mistik sufi di luar ordo mereka sendiri, seperti Ibn ArabiAl-Ghazali, dan Jalaluddin Rumi yang dekat dengan mereka. Bektashi berpendapat bahwa Al-Quran memiliki dua tingkat makna: lahir ( zahir ظاهر) dan batin ( batin باطن). Mereka menganggap yang terakhir lebih unggul dan abadi dan ini tercermin dalam pemahaman mereka tentang alam semesta dan kemanusiaan.

Kelompok Bektashi sekarang dibawah kepemimpinan Baba Mondi. Kantor pusatnya terletak di Distrik Tiranë, Albania. Pengikut Bektashi tidak hanya berada di Albania. Mereka dengan mudah ditemukan di seluruh Anatolia dan Balkan. Bahkan juga tersebar di berbagai penjuru Eropa, antara lain Bulgaria. Akhir-akhir ini, penganut Bektashi juga banyak dijumpai di Amerika Serikat.

 

Mengapresiasi Albania, Negara Paling Toleran

Saat berkunjung ke Tirana pada 2014, Paus Fransiskus mengapresiasi kemajuan negara itu dalam membangun toleransi dan kerukunan antar agama. Paus mengatakan toleransi agama ini semestinya menjadi contoh untuk seluruh manusia di dunia. Fakta itu pun menjadi angin segar di tengah maraknya faham ekstremis dan terorisme berbasis agama di berbagai negara.

Setahun berikutnya saya berkunjung ke negeri ini dan merasakan betul apa yang ditekankan oleh Paus.  Kerukunan antar umat berbeda agama bukan hanya terlihat menonjol di Tirana, melainkan juga di berbagai kota lain di Albania, seperti Berat dan Malbardh.

Beberapa tahun lalu, komunitas umat Muslim di sana sempat menggalang dana umtuk membangun Gereja Katolik yang hancur akibat konflik.  Islam dan Kristen merupakan dua agama yang paling banyak dianut penduduk Albania. Tidak heran jika pernikahan antar agama diterima secara luas dalam budaya Albania.

Di Berat ditemukan sejumlah museum seperti Museum Onufri yang di dalamnya terdapat lukisan dan peninggalan kuno yang melambangkan kerukunan umat beragama di Albania. Salah satu karya seni Albania dari abad ke-18 ini melukiskan suatu adegan Kristiani dengan menara-menara masjid terlihat menjulang sebagai latar belakangnya. Lukisan ini disanjung-sanjung sebagai simbol keharmonisan agama yang terkenal di negara tersebut. Yang menarik, kedua agama saling menghormati dan bisa hidup rukun satu sama lain. Bahkan, Albania disebut sebagai negara paling toleran di dunia. Saking tolerannya, masjid dan gereja sering dibangun beriringan di jalan yang sama. Betapa damai dan indah!

Di kota Leskovik yang terletak di antara perbatasan Yunani dan Albania juga terdapat sebuah tempat ibadah bersama yang dibangun dari reruntuhan masjid yang hancur saat Perang Dunia II. Umat Islam dan Kristen setempat saling berbagi waktu untuk beribadah di tempat yang sama. Tentu saja aksi damai demikian tidak begitu saja muncul. Masyarakat Albania dikenal suka berdebat dan berdiskusi, termasuk untuk urusan agama. Dari beragam diskusi dan dialog yang digagas masyarakat setempat, tercipta saling pengertian antar agama di Albania.

Umat Islam dan Kristen Albania telah menciptakan komunitas agama yang solidaritasnya kuat dan dibangun di atas sikap saling menghargai, saling memahami, dan saling menghormati. Saya berharap seluruh dunia mengambil contoh dari sikap masyarakat Albania. Di sana terlihat bagaimana anak-anak tumbuh besar mendengar azan dan lonceng gereja dari luar jendela rumah mereka. Bagi mereka, perbedaan agama bukan alasan untuk bertikai. Hidup berdampingan dengan penuh keharmonisan merupakan suatu yang niscaya.

 

Memilih menjadi Burrnesha (Perempuan Perkasa)

Setiap masyarakat memiliki keunikannya sendiri. Masyarakat Albania juga memiliki suatu keunikan yang mungkin sulit dijumpai di masyarakat lain. Akibat kuatnya budaya patriarki yang membelenggu masyarakat Albania sejak berabad lamanya, kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif di masyarakat. Namun, sejumlah perempuan berusaha keluar dari belenggu tersebut dengan memberontak lalu memilih menampilkan diri seperti laki-laki.

Mereka berpenampilan seperti laki-laki, memakai nama laki-laki, bercelana panjang dengan rambut dicukur pendek dan berjalan dengan gagah persis laki-laki. Hal itu dilakukan semata agar mereka mendapatkan kemerdekaan hak dan kebebasan seperti yang didapatkan para lelaki. Tak cuma itu saja, mereka juga merokok, minum alkohol, membawa senjata, dan bekerja layaknya seorang lelaki. Meski bertindak seperti laki-laki, mereka bukan transeksual atau cross dresser (orang-orang yang hobi menggunakan kostum lawan jenis). Mereka inilah yang kemudian disebut burrnesha. Burrnesha tak cuma dijalani para perempuan yang ingin mendapatkan keadilan, melainkan juga para perempuan yang tak berniat menikah.

Burrnesha lahir di tengah masyarakat pedesaan yang tersusun dari klan-klan penganut falsafah hidup kuno yang sayangnya sangat tidak berpihak kepada perempuan. Kanun, sistem norma di desa-desa tersebut, melarang perempuan menjadi pewaris, berbisnis, bekerja di luar rumah, menyetir, memiliki properti, memilih, atau sekadar memakai celana. Menurut norma yang berlaku, perempuan adalah ‘barang’ milik suami. Fatalnya, suami pun tak dapat dipilih oleh para perempuan karena suami sudah dipilihkan sejak mereka masih anak-anak

Uniknya, untuk menjadi burrnesha mereka harus disumpah di depan tetua desa dan kemudian dilatih berperilaku sebagai laki-laki. Setelah menjadi laki-laki, mereka baru mendapatkan hak laki-laki, seperti memiliki properti, bekerja, memakai senjata, dan masih banyak lagi. Menanggalkan seksualitas mereka dengan menjadi burrnesha adalah cara bagi para perempuan untuk menghindari dominasi para lelaki dalam hidup mereka.

Belakangan ini, terlihat upaya-upaya serius pemerintah dan masyarakat sipil untuk pemberdayaan perempuan dan penguatan hak-hak perempuan. Dalam beberapa dekade terakhir, Albania telah membuat banyak kemajuan dengan mengangkat isu hak-hak perempuan. Namun, hak-hak perempuan ini belum seluruhnya menyentuh mereka yang berada di wilayah terpencil.  -Musdah Mulia-

 

 

Sejumlah Dokumentasi Konferensi di Tirana

 

Di sepanjang jalan ini terdapat beberapa bangunan kuno, peninggalan Dinasti Ottoman abad ke-16.

 

Di Tirana banyak dijumpai pedestarian street, area khusus untuk jalan, tidak boleh ada kendaraan lewat di sana. Pejalan kaki sangat dihormati. Salah satu yang terkenal bernama Murat Toptani Pedestrian Street. Jalan ini dinaungi pepohonan rindang membuat pejalan kaki merasa sejuk dan nyaman meski dalam musim panas seperti saat itu.
Saya shalat di Masjid Bey dan sempat berfoto di samping mimbarnya.

 

Masjid Bektashi