Dalam sepuluh tahun terakhir, partisipasi politik perempuan di Indonesia menunjukan peningkatan. Hal ini tampak dari aktivitas mereka pada tiap penyelenggaraan Pemilu. Bukan hanya kesediaan mereka untuk datang ke TPS, tapi mereka juga sudi menjadi suar-suar politik bagi kandidat yang bersaing.
Namun, aktivitas perempuan Muslim ternyata lebih banyak menampakkan wajah-wajah intoleran, ekstrem, dan radikal. Isu agama menjadi bahan kampanye yang terus dihadirkan dalam ruang-ruang dakwah dan media sosial di tanah air. Sementara itu para Muslimah moderat yang jumlahnya jauh lebih banyak justru cenderung bersikap diam.
Kondisi tersebut tidak hanya memudarkan wajah ramah Islam Indonesia yang sempat disematkan Newsweek di akhir 90an. Economic Intelligent Unit (EIU) juga menyebut Indonesia sebagai negara yang kurang demokratis. Berdasarkan indeks demokrasi yang dirilis 2017, posisi Indonesia terjun bebas dari peringkat sebelumnya 48 menjadi 68 (EIU, 2018).
Melihat fenomen ekstremisme dan radikalisme di kalangan Muslimah belakangan ini, Musdah Mulia menghadirkan sebuah konsep Muslimah reformis. Dalam Ensiklopedi Muslimah Reformis: Pokok-pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi, Mulia menekankan bahwa menjadi perempuan Muslim tidak hanya cukup menjadi moderat tapi juga harus progresif dalam bertindak.
Dari situ tampak jelas bahwa konsep Muslimah reformis dikulik dari pandangan feminisme yang syarat akan nilai-nilai Tauhid. Kehadiran konsep ini jelas menantang ide kaum konservatif agama di Indonesia yang acap mengkontraskan antara ajaran Islam dan feminisme. Mereka selalu berasumsi bahwa feminisme tidak pernah dapat bergandengan dengan Islam. Lantas, seperti apakah Muslimah reformis?
Dalam pandangan Mulia, perempuan Muslim tidak boleh hanya terpaku pada simbol-simbol keislaman. Pasalnya, identitas agama cenderung dimanfaatkan para oportunis politik dan ekonom. Secara politik, simbol yang menjadi bagian dari identitas agama sering kali dipakai untuk mengeruk dukungan massa yang dapat berdampak pada aksi intoleransi. Sedangkan secara ekonomi, simbol-simbol tersebut dikomodifikasi dan diekspolitasi oleh kapitalis yang mengatasnamakan agama.
Mulia menjelaskan, Muslimah reformis mewujud dalam diri perempuan Muslim yang peduli pada kerja-kerja kemanusiaan dan kemaslahatan bagi semua mahluk. Dari pemahaman ini jelas bahwa aktivisme perempuan Muslim tidak hanya berlandaskan pada Tauhid, tapi juga berada pada kerangka perlindungan HAM dan demokrasi.
Diakui atau tidak, hak-hak perempuan di Indonesia memang kerap terabaikan. Menurut Mulia, pengabaian ini sering terjadi karena adanya persengkokolan antara negara dan agama. Salah satunya mewujud pada faktor hukum yang kerap mendapat pembenaran agama dalam melanggengkan ketimpangan gender. Kondisi ini diperkuat dengan banyaknya kebijakan yang tidak sensitif gender.
Para pengambil kebijakan sering kali menyederhanakan persoalan perempuan melalui bingkai nasional, seperti dalam narasi ekonomi, kesejahteraan, dan kemiskinan. Akibatnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan kian menggunung seperti poligami dan perkawinan anak yang berpotensi pada praktik KDRT dan terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perempuan Muslim perlu mengambil posisi dalam lembaga-lembaga politik sehingga mereka dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi Muslimah reformis khususnya, menjadi penting sebagai representasi dari setengah suara umat Muslim Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar dunia.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam lembaga-lembaga tinggi negara masih terbilang rendah. Dalam keanggotaan parlemen saja, kuota minimal 30% bagi perempuan di parlemen tidak pernah tercapai. Kondisi tersebut diperburuk dengan masih sedikitnya anggota parlemen perempuan yang paham akan isu-isu perempuan.
Pada titik inilah karya Mulia menjadi referensi yang berguna baik bagi Muslimah yang aktif dalam kegiatan sosial maupun mereka yang duduk di kursi pemerintahan. Mulia merekonstruksi pandangan akan kepemimpinan perempuan yang selama ini diragukan kualitasnya.
Sebab, masyarakat umumnya memahami kepemimpianan yang pantas dan dapat diandalkan dalam perspektif maskulin, seperti ketegaran, kekuatan, dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Perempuan pun terpaksa menghilangkan sifat-sifat feminimnya dan mengikuti standar tersebut jika ingin terlibat dalam politik praktis dan kekuasaan.
Dalam hal ini, Mulia menawarkan model kepemimpinan perempuan yang merujuk pada sifat keibuan. Hal ini dilakukan dengan reinterpretasi konsep kekuasaan menurut perempuan, yakni kekuasaan yang mencakup kemampuan menciptakan masyarakat yang lebih bermartabat sesuai hakikat perempuan sebagai pengasuh dan pemelihara.
“Dengan mengembangkan konsep kekuasaan perempuan, perempuan dapat menjadi politisi yang andal. Politisi yang tidak akan menyakiti hati lawan politiknya. Seorang politisi perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk menyelesaikan agenda politiknya” (Mulia, 2019; 388).
Selain mengedepankan rasa keibuan, Mulia juga memformulasikan kepemimpinan perempuan dalam ajaran Tauhid. Hal ini dilakukannya dengan menggunakan pendekatan hukum dan sejarah Islam. Dengan kata lain, formulasi kepemimpinan perempuan yang dimaksud Mulia merupakan bagian yang integral dalam konsep Muslimah reformis.
Dari sini setidaknya kaum Muslimah memiliki alasan yang kuat untuk mentransformasi dirinya dalam jiwa reformis dan memperkuat aktivismenya dalam mengedepankan kemanusiaan. Dengan demikian, semakin banyak Muslimah reformis yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, kebijakan-kebijakan berkeadilan gender yang berlandaskan Tauhid diharapkan dapat terwujud.