“Anak-anak siapakah yang jadi ketua kelas disini?” Tanyaku pada anak-anak di lokasi penelitian.
“Azza, bu” Serentak mereka menjawab.
“Wah perempuan ya, keren. Kenapa kalian memilih perempuan untuk menjadi ketua kelas?” Tanyaku kembali.
“Karena amanah dan bertanggungjawab bu, laki-laki susah diatur.” Ucap salah satu peserta didik.
Jawaban dari peserta didik tersebut merupakan fenomena langka yang pernah saya temui. Bagaimana tidak? Selama ini saya mendapati perbincangan bahwa menjadi pemimpin selalu dikaitkan dengan satu jenis kelamin saja, i’ts mean laki-laki. Laki-laki selalu diberikan kesempatan lebih awal untuk menjadi pemimpin. Entah itu menjadi ketua kelas, pemimpin organisasi ataupun lembaga. Bahkan, meski di ekosistem tersebut secara kuantitas lebih banyak perempuan, laki-laki lah yang selalu diberi peluang lebih untuk menjadi pemimpin. Seakan-akan perempuan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin.
Sebagai pendidik di sekolah yang bernilai religius, tentu bukan hanya kompetensi pengelolaan pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Melainkan juga tahap-tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran bernilai responsif gender. Salah satunya dalam pembentukan jiwa kepemimpinan untuk semua warga kelas.
Dalam islam kita mengenal khalifah fil ardh dimana laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah di kehidupan. Misi dibalik itu yakni mewujudkan kemaslahatan di bumi seluas-luasnya. Ajaran tersebut mengandung konsekuensi revolusioner terhadap sistem patriarki. Sistem yang selama ini menarik ulur perempuan untuk berpartisipasi setara dengan laki-laki. Pada kenyataanya, laki-laki dan perempuan memiliki amanah kekhalifahan yang sama untuk aktif mewujudkan kemaslahatan. Dua-duanya memiliki peran yang besar terhadap kemaslahatan, baik dalam relasi perkawinan, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Tentunya dalam lingkaran patriarki masih banyak hal yang membuat perempuan dilemahkan untuk menjadi pemimpin. Sehingga perlu adanya redesign bagi seseorang untuk melihat dengan cara berbeda bahwa perempuan adalah manusia. Dewasa ini, pendidik juga dapat memberi contoh pada anak-anak banyak sosok perempuan yang bekerja di bidang pekerjaan laki-laki. Mereka tidak saja bisa bertahan, namun juga sukses menjadi pemimpin.
Ketika saya bertanya kepada guru kelas di sekolah tersebut, beliau menyampaikan bahwa, “Kesempatan untuk semua peserta didik, khususnya anak perempuan untuk menjadi pemimpin ialah cara kami untuk mengenalkan adil gender pada mereka. Tidak ada yang perlu diistimewakan salah satu jenis kelamin. Anak laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk jadi pemimpin apabila dikembangkan.”
Lebih lanjut,
“Dengan memberi kesempatan dan menyemangati wanita untuk berperan sebagai pemimpin, pemerintah dan organisasi dapat memperluas bakat yang ada,” ujar Dr. Herbert Greenberg, Founder President dan CEO dari Caliper.
Perwujudan kepemimpinan perempuan yang diajarkan sedari kecil akan membentuk jiwa kemandirian serta tanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Keterampilan memimpin yang diajarkan oleh anak tanpa membedakan jenis kelamin, akan menjadi landasan untuk anak menentukan pilihan dan tujuan hidupnya kelak. Namun, apabila dalam suatu kelas terdapat pendidik yang belum responsif gender. Maka, patriarki inilah yang akan membuat perempuan semakin termarginalkan dan terdiskriminasi.