Materi pendidikan Islam, khususnya di tingkat perguruan tinggi hendaknya dikemas dengan mengacu kepada epistemologi atau filsafat keilmuan agama Islam. Epistemologi ini perlu diperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa pada masing-masing fakultas oleh setiap dosen bidang studi sehingga proses humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu keagamaan dapat berlangsung sejak awal. Pengenalan itu perlu dalam rangka mengantarkan keilmuan studi keislaman berdialog dengan disiplin ilmu lain, seperti keilmuan sosial dengan fondasi epistemologi dan filsafat keilmuan studi keislaman corak baru.
Amin Abdullah, pakar pendidikan nasional menegaskan spesialisasi keilmuan apapun, termasuk ilmu-ilmu agama Islam, yang terlalu kaku dan rigid tidak lagi menarik bagi generasi ilmuan studi Keislaman kontemporer. Sebaliknya, diperlukan pendekatan multi dan interdisiplin ilmu untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama Islam serta membongkar ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup didalam bilik-bilik sempit epistemologi dan institusi fakultas yang dibangun sejak dini di fakultas-fakultas yang ada di perguruan tinggi Islam, seperti STAIN.
Akibatnya, para alumni fakultas Ushuluddin pada umumnya tidak mengenal atau kurang peduli terhadap paradigma keilmuan Syariah begitu pula sebaliknya. Kalau terhadap paradigma keilmuan yang masih serumpun, seperti keilmuan Syariah, Tarbiyah, Dakwah sudah tidak salingmengenal dan tidak saling menunjang, apalagi terhadap keilmuan bidang-bidang studi umum, seperti MIPA, Kedokteran, Biologi. Realitas ini membawa implikasi yang luas dalam kehidupansosial, di antaranya para alumni perguruan tinggi Islam akan gamang menghadapi realitaskehidupan keilmuan di luar dirinya, dan menjadi kurang percaya diri menghadapi dinamikaperkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang ilmu digelutinya.
Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer, membagi corak epistemologi ilmu agama pada tiga kelompok dasar, yaitu epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. CorakEpistemologi Bayani didukung oleh pemikiran Fikih dan Kalam, sedangkan corak Epistemologi Irfani diimplementasikan dalam model pemikiran tasawuf. Sementara itu, corak Epistemologi Burhani bersumber pada realitas (al-waqi), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun realitas keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi Burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonstruksikan melalui premis-premis logika, bukan melalui otoritas teks seperti dalam corak keilmuan Bayani, bukan pula melalui otoritas intuisi seperti dalam corak Irfani.
Menilik dari sumber ilmunya, dapat dijelaskan perbedaan ketiga corak keilmuan tadi sebagai berikut. Sumber ilmu dari corak epistemologi Bayani adalah teks, sedangkan sumber ilmu untuk corak epistemologi Irfani adalah pengalaman langsung. Adapun, corak epistemologi Burhani sumber ilmunya berasal dari realitas (al-waqi). Lalu, bukan hanya sumber keilmuan dariketiga corak keilmuan itu yang berbeda, melainkan juga tolak ukur validitas keilmuan masing-masing.Tolok ukur epistemologi bayani sangat tergantung pada keintiman hubungan dengan teks dan realitas. Epistemologi irfani justru mendasarkan tolok ukur mereka pada kematangan dan kedewasaan sosial seseorang, yang tersirat dalam sifat-sifat: empati dan simpati.
Berbeda dengan tolok ukur kedua corak keilmuan terdahulu, epistemologi burhani menekankan padakorespondensi atau kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan akal manusia dan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi atau keruntutan berfikir logis dan upaya yang terus menerus demi memperbaiki dan menyempurnakan teori-teori yang telah dibangun dan dikonstruksikan oleh akal manusia. Corak pemikiran keislaman model Bayani mendominasi hampir seluruh materi pengajaran agama Islam di perguruan tinggi, baik di UIN, IAIN, STAIN, maupun perguruan tinggi umum tanpa ada perbedaan antara negeri dan swasta. Bukan hanya itu, pengajaran agama di pesantren-pesantren juga secara dominan menggunakan model Bayani. Masalahnya, penggunaan model Bayani itu bersifat hegemonik sehingga menafikan keberadaan dan kehadirankedua corak pemikiran keislaman lainnya, yaitu Irfani, dan Burhani. Akibat dominasi pola pikir tekstual Bayani dalam pendidikan Islam terlihat perilaku keberagamaan masyarakat umumnya sangat rigid dan kaku. Mereka kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual.
Kelemahan paling mendasar dari epistemologi Bayani atau tradisi nalar tekstual adalah ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas agama lain. Mereka yang menganut pola pikir model tekstual-bayani pada umumnya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis dan polemis. Nalar epistemologi Bayani selalu mencurigai akal pikiran karena dianggap akan menodai kebenaran tekstual. Oleh karena itu, sudah waktunyamerumuskan kembali bangunan materi pendidikan dan keilmuan Islam denganmempertimbangkan ketiga corak epistemologi tadi epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani. Artinya, ke depan kita memerlukan reformasi sistem pendidikan Islam secara holistik dan terpadu. Semoga terwujud!!
Musdah Mulia