|

Muslimah Reformis

Melawan Patriarki dengan Penguatan Tauhid

Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A. [1]

 Apa itu Tauhid?

Tauhid adalah inti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana berketuhanan secara benar dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.

Pengetahuan awal mengenai tauhid adalah mengakui keesaan Allah, yang menciptakan alam semesta, mengenal Asma (Nama) dan Sifat-Nya, serta mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud-Nya. Tapi pengertian tauhid lebih dari sekadar itu. Pasalnya, kalau tauhid hanya berupa pengakuan akan keesaan dan kekuasaan Tuhan, maka makhluk serendah iblis pun bisa melakukan hal serupa.

Iblis mempercayai Allah sebagai Tuhan, namun pengakuan itu tidak diiringi dengan ketaatan kepada perintah-Nya, yakni agar bersujud kepada Adam sebagai tanda patuh dan penyerahan diri hanya kepada-Nya. Iblis malah melakukan sebaliknya. Dia percaya kepada Allah, tetapi justru memohon agar diizinkan berbuat zalim, yaitu menjerumuskan manusia.[2]

Masyarakat Arab jahiliyah, tempat Rasulullah Saw. diutus, juga meyakini bahwa pencipta, pengatur, pemelihara, dan penguasa alam ini hanya Allah.[3] Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka belum menjadikan mereka sebagai makhluk berpredikat “Muslim” dan “Mukmin,” yakni makhluk yang berserah diri dan beriman secara total kepada Allah Swt. Karena dalam kenyataannya, pengakuan itu tidak menjadikan mereka sebagai “muwahhid” (orang yang bertauhid) secara esensial, baik secara vertikal dengan Sang Khalik, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk. Masyarakat Jahiliyah malah melanggengkan nilai-nilai patriarkal dengan pandangan yang hina terhadap perempuan. Perempuan hanyalah milkul yamin atau budak seks.

Memahami Tauhid Dengan Benar

Tauhid dalam realitas sosial sering kali direndahkan maknanya sedemikian rupa sehingga menjadi doktrin yang tidak menyentuh persoalan riil manusia dan masalah-masalah kemanusiaan kontemporer. Tauhid sering kali dipahami hanya sebatas mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui rukun iman atau yang semacam itu. Tauhid tidak lagi tampak sebagai kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan penistaan-penistaan lainnya sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah.

Tauhid menjelaskan hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, yaitu Allah swt. Dia lah pencipta manusia dan alam semesta. Semua makhluk, termasuk manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Tauhid secara bahasa adalah mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa sesuatu itu satu. Artinya hanya ada satu Tuhan, selain Dia pasti lah bukan Tuhan.

Itulah sebabnya, syahadat (testimoni Islam) berbunyi: asyhadu an la ilaha illa allah, wa asyhadu anna Muhammad rasulullah (tidak ada tuhan selain Allah swt, dan Muhammad adalah Rasul-Nya). Dengan syahadat tersebut umat Islam berkomitmen hanya menuhankan Allah swt dan meyakini Muhammad saw sebagai Rasul-Nya. Umat Islam berkomitmen tidak menuhankan tuhan-tuhan lain berupa manusia (penguasa, pengusaha, pemimpin agama dan seterusnya), atau berupa kekuasaan, harta, ideologi, kemampuan akal, partai politik, organisasi, suku, dan sebagainya. Tauhid adalah penghambaan diri hanya kepada Allah swt dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa pasrah, cinta, harap dan takut hanya kepada-Nya.

Memahami tauhid dengan benar akan mengantarkan kita kepada prinsip kesetaraan manusia. Tauhid dengan tegas mengajarkan, hanya ada satu Tuhan, selain Dia semuanya hanyalah makhluk. Berarti semua manusia adalah setara, yaitu setara sebagai makhluk Tuhan. Prinsip kesetaraan manusia tidak menghendaki adanya pembedaan dan diskriminasi terhadap manusia, apa pun alasannya. Semua manusia harus dihormati karena martabat kemanusiaannya (dignity).

Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapapun dan apapun yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik sebagai hamba-Nya maupun sebagai pemimpin di muka bumi (khalîfah) ini. Manusia, apa pun identitasnya mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah Swt.

dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah semata kepada-Ku. (Q.S. Al-Dzâriyât [51]: 56.)

Tauhid juga membawa kepada pengakuan prinsip kebebasan. Semua manusia diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya. Manusia bebas memilih untuk beragama dan tidak beragama, menjadi beriman atau tidak beriman, manusia bebas memilih untuk melaksanakan amal saleh atau tidak. Namun, manusia yang bijak pasti memilih amal saleh, bukan sebaliknya. Karena itu tidak boleh ada pemaksaan dalam bentuk apa pun terhadap manusia terkait agama dan kepercayaannya. Sebagai manusia, tugas kita hanyalah mengingatkan dengan cara yang damai dan bijak, bukan memaksa apalagi bermain hakim sendiri.

Kebebasan manusia untuk memilih mendapatkan apresiasi dari Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua pilihan bebas manusia yang mengarah kepada kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula, demikian sebaliknya. Jadi, manusia memiliki kebebasan, namun kebebasan itu bukanlah kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang dipertanggujawabkan. Setiap pilihan bebas manusia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Tauhid juga membawa kepada prinsip keadilan. Dengan tauhid kita yakin hanya ada satu Tuhan, dan kita semua manusia adalah ciptaan-Nya. Salah satu sipat Tuhan adalah Maha Adil. Sebagai hamba, kita yakin Tuhan akan selalu berlaku adil kepada semua hamba-Nya, tanpa kecuali sediki pun. Karena Tuhan Maha Adil, kita manusia juga dituntut untuk mengikuti sipat-sipat Tuhan yang baik (asma’ul husna). Sipat Tuhan yang paling sentral adalah adil dan keadilan menjadi landasan kerja kita sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu, sebagai manusia kita patut memperjuangkan keadilan, keadilan untuk semua manusia, khususnya mereka yang berada dalam kondisi marjinal dan teraniaya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tauhid membawa kita kepada prinsip kesetaraan manusia, kebebasan manusia dan keadilan. Jadi, kalau kita mengaku beragama Islam, kewajiban kita adalah mendakwahkan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal secara bijak, khususnya nilai-nilai kesetaraan, kebebasan dan keadilan.

 Tauhid Melahirkan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan

Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah dan tidak ada anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor dua. Manusia pada hakikatnya sama. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat.

Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.

Pada tataran sosial, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah Saw. membuatnya berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya dan terlemahkan secara struktural dan sistemik (mustadh’afîn), seperti kaum perempuan, budak, anak-anak, dan kelompok rentan lain yang diperlakukan secara zalim oleh para penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama Tuhan.

Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau kelompok yang lebih kuat, dan sebagainya. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw.!

Di samping membebaskan manusia dari belenggu thâghût dan kezaliman, tauhid menghapuskan semua sekat-sekat diskriminasi dan subordinasi. Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah swt.[4]

Tauhid mendorong kepada penegakan hak asasi manusia

Salah satu tuntunan Islam yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial (gender), ras, suku bangsa, dan berbagai ikatan primordial lain. Karena itu, Islam mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, dimensi horisontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.

Pesan-pesan kemanusiaan Islam dielaborasi secara sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut antara lain oleh Abu Ishaq al-Syathiby (w.790 H) dengan konsep al-dlarûriyât al-khams.  Al-Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan utama syariat Islam (maqâshid al-syarî’at) pada dasarnya adalah kesejahteraan sosial atau kebaikan bersama (kemaslahatan).

Al-Imam al-Ghazali menyatakan: “Kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang memuat lima bentuk perlindungan (al-dlarûriyât al-khams). Yaitu [1] perlindungan hak berkeyakinan/beragama (hifdh al-dîn)[2] perlindungan jiwa, hak hidup (hifdh al-nafs)[3] perlindungan akal, hak kebebasan berpikir dan berpendapat (hifdh al-‘aql)[4] perlindungan hak kesehatan reproduksi (hifdh an-nasl)dan [5] perlindungan kekayaan (property), hak milik (hifdh al-mâl). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini disebut kemaslahatan; dan mengabaikan kemaslahatan adalah kerusakan (mafsadah); menolak kerusakan adalah kemaslahatan.”[5]

Dalam pendekatan kontekstual, konsep maqâshid al-syarî’at dapat dikembangkan pemikiran sebagai berikut: Pertama, hifdh al-dîn (perlindungan terhadap keyakinan agama dan kepercayaan), mengandung pengertian bahwa perlindungan bukan hanya terhadap agama dan keyakinan dirinya semata, melainkan juga terhadap keyakinan orang lain, sehingga tidak seorang pun boleh memaksa atau menindas orang lain hanya karena keyakinan atau agamanya atau kepercayaannya yang berbeda dengan dirinya.

Kedua, hifdh al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), mengandung arti perlindungan terhadap nyawa dan tubuh siapapun, sehingga tidak ada hak sedikitpun bagi siapapun untuk melukai, melecehkan, membunuh, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain atas dasar apapun, baik agama, etnik, ras, warna kulit, gender, jenis kelamin, maupun orientasi seksual.

Ketiga, hifdh al-‘aql (perlindungan terhadap akal pikiran), mengandung makna penyediaan ruang yang bebas untuk mengekspresikan pendapat, pikiran, gagasan, dan kehendak-kehendak yang lain, sehingga tidak seorangpun boleh melakukan pemasungan, pelarangan, dan pembredelan terhadap pikiran dan pendapat orang lain. Keempat, hifdh an-nasl (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan), membawa konsekuensi perlindungan dan penghormatan terhadap alat-alat, fungsi, dan sistem reproduksi dalam rangka menjaga kesehatannya,  sehingga tidak seorangpun boleh melakukan pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan seksual, pelecehan seksual, dan pemaksaan kehamilan, rentang masa kehamilan, atau berketurunan dan jumlah keturunan,

Kelima, hifdh al-mâl perlindungan terhadap hak milik pribadi maupun masyarakat, mengandung implikasi adanya jaminan atas pilihan-pilihan pekerjaan, profesi, hak-hak atas upah sekaligus jaminan keamaanan atas hak milik tersebut, sehingga tidak boleh terjadi adanya larangan terhadap akses pekerjaan, perampasan hak milik pribadi, korupsi, penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan hidup dan alam, serta eksploitasi-eksploitasi haram lainnya oleh siapapun; individu, masyarakat, institusi keagamaan, sosial, maupun institusi negara.

 Visi Islam: Menjadi khalifah fil ardh

Problem paling mengemuka dari umat beragama adalah mereka tidak menganggap keberagamaan (religiosity) sebagai bagian esensial dari kemanusiaan. Tidak heran jika dewasa ini kita menjumpai orang-orang yang mengklaim diri sebagai  beriman, namun sangat tidak manusiawi.

Dalam Islam contohnya, dijumpai orang-orang yang rajin shalat dan puasa, tapi tidak peduli pada ketidakadilan yang merajalela di masyarakatnya, tidak peduli pada sampah yang menumpuk di sekelilingnya, tidak peduli pada kelaparan tetangganya, tidak peduli pada penderitaan dan kekerasan yang dialami keluarganya, demikian seterusnya.

Akibatnya, agama gagal menjawab pelbagai masalah kemanusiaan yang krusial seperti ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, konsumerisme, hedonisme, kekerasan, termasuk KDRT, korupsi dan beragam penyakit sosial lainnya. Agama pun tidak mampu mengikis stigma, prejudice dan perilaku diskriminatif, khususnya terhadap kelompok marjinal, minoritas, dan tertindas. Ajaran tentang keadilan, kejujuran, solidaritas, kepeduliaan, dan kasih sayang hanya terukir indah dalam Kitab Suci, tapi sangat sulit dijumpai dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Semua agama dan kepercayaan seharusnya fokus membawa umat mereka kepada peningkatan kualitas spiritualitas diri yang terefleksi dalam aktivitas dan kerja-kerja konkret yang membebaskan manusia dari semua bentuk penyakit sosial tersebut.

Agama harus mampu mengubah umatnya menjadi lebih peka pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan lebih professional dalam memberikan pelayanan kemanusiaan, khususnya terhadap kelompok rentan dan tertindas yang dalam terminologi Al-Qur’an disebut  kelompok mustadh’afin.

Sebagai perempuan Muslim, saya amat yakin bahwa Visi Islam mengenai penciptaan manusia adalah menjadi khalifah fil ardh (pemimpin dan pengelola kehidupan di bumi). Sebagai pemimpin, manusia diharapkan menjadi the agent of moral. Sebagai agen moral, manusia harus mampu menata dan mengelola kehidupan di bumi dengan sebaik-baiknya demi kemashlahatan semua manusia bahkan semua makhluk, dan hal itu harus dimulai dari menata diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas.

Misi Islam: amar ma’ruf nahy munkar

Adapun misi utama penciptaan manusia adalah amar ma’ruf nahy munkar, yakni melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi kesejahteraan dan kemashlahatan manusia yang tentunya dimulai dari diri sendiri dan keluarga inti, lalu kemudian masyarakat luas.

Sebagai khalifah di muka bumi, maka misi utama manusia adalah mewujudkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Syarat utama untuk menjalankan misi pokok tersebut adalah kesadaran tentang pentingnya menegakkan keadilan, kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma’rûf nahy munkar).

Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’ruf nahy munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam ridha Allah.[6]

Dalam ayat di atas terdapat kata khalâ’if (bentuk jamak dari khalîfah) yang berarti pengelola atau pemimpin. Dalam tata bahasa Arab, kata khalifah tidak menunjuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi yang sama dan akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di hadapan Allah swt.

Hanya satu kata kunci yang memungkinkan manusia bisa mempertanggungjawabkan segala peran dan fungsinya baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Kata kunci itu adalah ketakwaan, bukan keutamaan nasab, bukan jenis kelamin tertentu, dan bukan pula kemuliaan suku.[7] Konsep amar ma’rûf nahy munkar dalam kondisi kekinian kita dapat diinterpretasikan sebagai upaya-upaya transformasi dan humanisasi. Yang pertama, upaya transformasi adalah sebuah komitmen mentransformasikan diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik, positif dan konstruktif. Di antaranya, melakukan aksi-aksi nyata untuk perbaikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia, termasuk di dalamnya upaya pendidikan, advokasi dan publikasi. Upaya-upaya tersebut terutama ditujukan terhadap kelompok rentan dan marjinal (kelompok mustadh’afin).

Upaya transformasi juga mencakup upaya-upaya rekonstruksi budaya agar terbangun budaya yang lebih memanusiakan manusia.  Selain itu, upaya revisi sejumlah kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang masih mengandung unsur diskriminatif terhadap kelompok minoritas karena alasan gender, agama, dan etnis harus masuk dalam kerja-kerja transformasi.

Selanjutnya, yang kedua adalah upaya humanisasi, yaitu mencakup semua upaya untuk menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi, termasuk diri sendiri. Upaya ini mencakup kegiatan edukasi, komunikasi, dan yang senada dengan itu demi menghindari kejahatan dan kemungkaran. Termasuk di dalamnya upaya perbaikan kualitas pendidikan di semua tingkatan sehingga mewujudkan masyarakat terdidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Itulah makna perintah amar ma’ruf nahy munkar bagi semua manusia tanpa kecuali. Karena itu, semua manusia tanpa ada sekat sedikit pun diharapkan mampu bekerjasama secara tulus dan dengan penuh kasih sayang, bahu-membahu, bergotong-royong mewujudkan masyarakat yang damai, bahagia dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur), seperti diilustrasikan Al-Qur’an dalam surah Saba.’

Bagi umat Islam, mengkaji Al-Quran untuk memahami dan mengimplementasikan pesan-pesan moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya adalah suatu keharusan. Agaknya, kita umat Islam bukan hanya membutuhkan interpretasi baru yang lebih humanis, tetapi juga metodologi baru dalam memahami Al-Quran.

 Wallahu a’lam bi as-shawab.

 

[1] Profesor Riset bidang Lektur Agama dan Ketua Umum ICRP. Email:  m-mulia@indo.net.id.

[2]QS, Shad [38]:82 dan Al-Hijr [15]:36-40.

[3]Perhatikan ayat-ayat berikut: QS Al-Mukminun [23]:84-89:) dan Luqman [31]:25.

 [4] Q.S. al-Dzariyat, 51:56

[5]Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, alMustashfâ min Ilm alUshûl, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 286.

[6] Q.S. al-Taubah, 9:71

[7] Q.S. al-Hujurat, 49:13