|

Muslimah Reformis

Memahami Lansia, Menghormati Orang Tua

“Barangsiapa Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan kejadiannya.

Maka apakah mereka tidak memikirkannya? (QS. 36:68).

Apakah anda sudah siap menjadi lansia? Lanjut usia (lansia) adalah suatu tahapan dalam kehidupan seseorang, suka atau tidak, fase itu datang secara alamiah dalam kehidupan setiap manusia. Karena lansia merupakan hal yang pasti datangnya, seyogyanya setiap orang menyongsong tahapan tersebut dengan damai penuh rasa bahagia.

Namun, dalam realitasnya, tidak sedikit yang merasa cemas menghadapi lansia. Sejumlah alasan mengemuka, di antaranya, kecemasan akan kehilangan saudara dan kawan-kawan; kecemasan akan  kondisi kesehatan yang semakin memburuk, kecemasan akan masalah ekonomi karena sudah tidak produktif lagi, dan kecemasan akan perlindungan keamanan.

Agar tidak cemas menjadi lansia diperlukan sebuah persiapan yang matang. Persiapan dimaksud meliputi persiapan fisik, mental, dan finansial. Dari segi fisik, persiapan itu hendaknya dimulai sejak usia dini sebab kesehatan fisik seseorang tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, melainkan hasil usaha yang menahun. Demikian halnya dengan persiapan mental, semestinya telah dibangun sejak masih sangat muda. Sejak muda seseorang hendaknya sudah terbiasa melatih mentalnya dan membiasakan diri pada hal-hal yang positif dan bermakna.

Dari segi finansial, dr. E. Oswari, DPH menjelaskan bahwa setiap lansia perlu mempunyai tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tempat tinggal yang layak, dan aktivitas yang menggembirakan. Untuk menyongsong usia tua, faktor keuangan menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan mengingat pada masa lansia kemampuan fisik sangat terbatas, di samping itu juga jarang institusi yang mau mempekerjakan kelompok lansia karena dianggap tidak produktif.

 

Penuaan Populasi, Minim Apresiasi

Salah satu bentuk keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi dan kesehatan adalah meningkatnya usia harapan hidup penduduk atau disebut juga dengan penuaan populasi (population aging). Saat ini pertumbuhan kelompok usia lanjut mencapai 2,5% per tahun sementara pertumbuhan populasi masyarakat dunia rata-rata hanya mencapai 1,7% per tahun. Artinya, usia harapan hidup manusia semakin tinggi.

Data demografis menunjukkan bahwa jumlah lansia terus bertambah sejalan dengan upaya-upaya perbaikan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan. Sayangnya, pertambahan kuantitas lansia tidak diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan, apalagi kualitas pelayanan sosial terhadap mereka.  Kondisi yang tidak menggembirakan itu, antara lain disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah terhadap mereka, misalnya terlihat dari kebijakan pemerintah mengurangi dana pensiun bagi janda PNS, dan kedua disebabkan cara pandang masyarakat yang cenderung ageism  (tidak ramah pada kelompok lanjut usia).

Perubahan cara pandang masyarakat tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah perubahan pola masyarakat dari bentuk masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Pada masyarakat agraris dimana keluarga merupakan satu unit ekonomi, anggota keluarga yang lansia diurus oleh sanak saudaranya dan mereka masih dapat menyumbang untuk ekonomi keluarga dengan melakukan tugas yang ringan sesuai dengan kemampuannya.

Akan tetapi, pada masyarakat industrial yang bersifat urban, keluarga tidak lagi menjadi satu unit ekonomi, ayah sebagai kepala keluarga biasanya menjadi pencari nafkah dan tempat kerjanya pun terpisah dari rumah. Pendapatannya pun seringkali hanya habis untuk keperluan makan sehari-hari, belum lagi harus menghadapi resiko PHK dari pekerjaan. Tegasnya, dalam masyarakat industri  keluarga seringkali tidak mampu mengurus anggota keluarganya yang lansia karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, seperti keterbatasan ekonomi, keterbatasan waktu, dan keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan. Tambahan lagi, dunia industri biasanya tidak bersedia mempekerjakan lansia karena dianggap tidak produktif.

Siapa Lansia itu?

Tidak ada kesepakatan mengenai siapa yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lanjut usia (lansia). Akan tetapi, umumnya, kategori lansia diberikan berdasarkan usia. Para penyelenggara kesehatan, misalnya menggolongkan pasien yang berumur 60 tahun ke atas sebagai pasien geriatri (lansia), batasan umur inilah yang dipakai dalam  UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang mematok kelompok usia lanjut adalah mereka yang sudah mencapai usia 60 tahun atau lebih.

Data statistik PBB memperlihatkan bahwa jumlah penduduk dunia yang berumur di atas  60 tahun berkisar 605 juta jiwa. Artinya, dewasa ini tercatat 1 dari 10 orang yang ada di dunia berusia di atas 60 tahun.  Pada 2025 nanti jumlah itu diprediksikan akan meningkat dua kali lipat menjadi 1,2 milyar jiwa.

Untuk Indonesia saja,  Biro Pusat Statistik pada tahun 2020 mencatat jumlah lansia mencapai 32 juta orang, sekitar 12% dari total penduduk. BPS (1998) selanjutnya memperkirakan usia harapan hidup semakin bertambah, yakni 62,84 tahun bagi laki-laki dan 66, 68 tahun bagi perempuan. Artinya, usia harapan hidup perempuan lebih panjang empat tahun dari laki-laki. Data ini menunjukkan perempuan menempati porsi terbesar pada kelompok usia lanjut.

Mengapa menjadi lansia menjadi sesuatu yang dicemaskan? karena kelompok lansia  cenderung menjadi kelompok yang terabaikan dalam masyarakat.

Kondisi lansia di Indonesia sangat mencemaskan mengingat kenyataan sosial menunjukan bahwa 55,7% lansia masih menjadi kepala rumah tangga, bahkan 68% di antaranya masih aktif bekerja di berbagai sektor, seperti pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Yang paling menyedihkan bahwa tercatat 80% dari 22 juta lansia Indonesia tidak memiliki tunjangan dana pensiun dan asuransi kesehatan sehingga mereka tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan.

Menjadi lansia sesungguhnya bukan hanya berarti terjadinya serangkaian perubahan biologis, melainkan jauh lebih kompleks dari itu. Lansia dapat berarti proses kehilangan, mulai dari kehilangan peran sosial karena sudah pensiun, kehilangan pendapatan, dan kehilangan teman atau keluarga karena berbagai alasan seperti pindah tempat, atau mereka telah mendahului menghadap sang Pencipta. Lansia juga dapat bermakna kecemasan, seperti cemas terhadap keamanan dan keselamatan diri, cemas karena ketidakpastian penghasilan, dan cemas karena harus bergantung kepada orang lain.

Perlindungan Negara bagi Lansia

Berbeda dengan negara-negara maju, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat,  kebijakan publik untuk kelompok lansia di Indonesia belum menggembirakan. Pemerintah memang sudah mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Kebijakan itu sudah menyediakan perangkat hukum untuk menjamin keberadaan lansia. Masalahnya, implementasi undang-undang masih sangat lemah di masyarakat.

Setidaknya ada tiga pasal yang menjamin perlindungan bagi lansia dalam UU tersebut. Pertama, pasal 12 menjelaskan bentuk-bentuk pelayanan yang disediakan bagi lansia, seperti pelayanan keagamaan dan mental spiritual, pelayanan kesehatan, pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana umum, serta pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum, dan juga perlindungan sosial.  Kedua, pasal 17 menegaskan bahwa pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum dilaksanakan melalui cara-cara berikut: pemberian kemudahan dalam pelayanan administrasi, keringanan biaya, kemudahan dalam melakukan perjalanan, dan fasilitas rekreasi dan olah raga khusus. Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana umum dimaksudkan agar para lansia bisa mengakses fasilitas publik seperti rumah sakit, transportasi, bank, kantor pos, dan pusat perbelanjaan. Aksesibilitas di tempat-tempat tersebut adalah tersedianya sarana dan prasarana umum yang dapat memudahkan mobilitas lanjut usia, seperti jalan untuk kusri roda, jalan bagi mereka yang bertongkat, pintu, tangga, dan lift yang khusus ataupun tempat menyeberang yang khusus.

Ada dua hal pokok yang digariskan dalam UU tersebut sebagai bentuk perlindungan kepada lansia, yaitu pemberian kemudahan aksesibilitas dan pemberian jaminan sosial berupa dana pensiun dan asuransi kesehatan. Di negara-negara maju, para lansia biasanya mendapatkan pensiun dari negara yang jumlahnya disesuaikan dengan biaya hidup mereka sehingga para lansia dapat hidup secara layak.

Untuk mengantisipasi kecemasan lansia, perlu digalakkan tabungan hari tua guna membantu setiap orang menghadapi masa lansia nanti. Idealnya semua penduduk pada masa produktifnya menyisihkan sebagian pendapatannya sebagai tabungan wajib (social security saving atau social insurance). Persiapan secara finansial ini sangat diperlukan agar pada usia lanjut, mereka tidak lagi menjadi beban bagi orang lain ataupun keluarganya.

Dalam konteks ini beruntunglah mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri. Sebab, usia pensiun hampir tidak menimbulkan masalah besar karena adanya dana pensiun yang mereka terima walau jumlahnya tidak lagi sebesar gaji mereka pada masa produktif dulu. Setidaknya jaminan dana pensiun itu dapat memberikan efek psikologis yang menyenangkan. Suatu hal yang tidak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat pada masa tua mereka.

Menjadi Tua, Tak Harus Menderita Sakit

Menjadi tua seringkali identik dengan semakin banyaknya masalah kesehatan yang dialami seseorang. Dengan ungkapan lain, tua identik dengan “penyakitan”. Anggapan umum di masyarakat bahwa lansia identik dengan seonggok  organ tubuh yang sakit-sakitan harus segera dihilangkan. Perlu upaya serius memberdayakan lansia sejak muda sehingga di hari tuanya tak harus menderita sakit.

Para ahli gerontologi, seperti RL. Kane (1994) menyimpulkan bahwa masalah-masalah kesehatan yang biasa mendera kalangan lansia adalah ketidakstabilan fisik atau non fisik (instability), ketidakmampuan bergerak secara lincah (immobility),  ketidakmampuan menahan dorongan buang air kecil dan besar (incontinence), kemunduran daya penglihatan dan pendengaran (impairment of vision and hearing), kemunduran daya ingat (intelectual impairment), infeksi (infection), gangguan sulit tidur (insomnia), gangguan usus besar (irritable colon), depresi (isolation), malnutrisi (inanition), konstipasi (impaction), penyakit akibat kelebihan dosisi obat  (iatrogenesis), impotensi (impotence), dan gangguan pada sistem kekebalan tubuh (immune deficiency).

Sejumlah jenis penyakit  dideteksi sebagai penyakit yang paling banyak membawa kematian bagi kelompok lansia, baik di negara maju maupun negara berkembang, seperti penyakit pneumonia (radang paru-paru), neoplasma (kanker), serebrovaskular (penyakit pembuluh darah otak), dan penyakit jantung iskemik (kekurangan oksigen).

Selain itu, masih diperparah dengan sejumlah penyakit menular lainnya. Secara teoritis, berbagai penyakit yang diderita di masa tua itu merupakan akibat dari kebiasaan hidup di masa muda yang seringkali jauh dari sehat yang boleh jadi disebabkan oleh gaya hidup atau kondisi ekonomi seseorang. Parahnya lagi, penyakit yang diderita kalangan lanjut usia cenderung berkembang menjadi kronis, sementara pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah kepada kalangan lanjut usia berada pada prioritas paling bawah.

Khusus bagi lansia Indonesia, masalah kesehatan yang paling banyak dialami adalah berkaitan dengan penyakit-penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus dan gangguan kolesterol. Selain itu, sejumlah penyakit kronis lainnya, seperti   rematik, hipertensi, gangguan jantung, bronkhitis, tuberkulosis, osteorophosis, dan kanker sangat beresiko menjadikan lansia tidak berdaya.

Berbeda dengan mereka yang berusia muda, ada kesulitan tersendiri bagi perawatan lansia. Pada umumnya penyakit lansia umumnya bersifat endogen, yakni berasal dari dalam tubuh dan bersifat tersembunyi. Di samping itu, umumnya bersifat kumulatif dan kronis, bahkan progresif sehingga banyak menyebabkan disability (cacat) yang diderita menahun sebelum meninggal.

Dalam penanganan medis terhadap lansia, seorang dokter biasanya harus membuat prioritas, penyakit mana yang harus disembuhkan terlebih dahulu. Hampir dapat dipastikan bahwa sulit menyembuhkan semua penyakit yang ada dalam tubuh lansia mengingat organ-organ tubuh mereka sudah mengalami penurunan fungsi. Karena itu, menurut Prof. Supartondo, guru besar FKUI bidang geriatri, diperlukan pendekatan terpadu dan komprehensif dalam merawat pasien lansia karena mereka mengalami problem multidimensional. Artinya, masalahnya bukan hanya pada fisik semata, melainkan juga masalah psikologis dan psikososial.

Persoalannya, tidak semua lansia  dapat akses pada pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan yang paling murah sekalipun disebabkan karena kendala ekonomi. Akibatnya, mereka semakin menderita karena kondisi kesehatan mereka semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Meskipun, sejumlah lansia memiliki uang pensiun, tetapi sebagian mereka masih dibebani dengan tanggungjawab membesarkan anak-anak sehingga masalah pemeliharaan kesehatan belum menjadi prioritas.

Diskriminasi Gender

Kondisi demikian menjadi semakin parah pada lansia perempuan. Budaya patriarki dan struktur sosial umumnya menjadikan perempuan harus tetap bekerja di ranah domestik. Saya sering tak tega melihat seorang nenek tua masih harus memasak dan menyiapkan makanan bagi keluarga. Mungkin jika sekadar ”bantu-bantu” akan memberi kebahagiaan bagi mereka, tetapi jika itu menjadi semacam keharusan sungguh sangat tidak manusiawi. Sudah seharusnya lansia, terutama lansia perempuan terbebaskan dari semua kewajiban domestik.

Selain itu, berbeda dengan lansia laki-laki, lansia perempuan umumnya tidak mempunyai akses yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kalaupun mereka bekerja, mereka hanya terserap pada pekerjaan yang bersifat domestik dengan pendapatan yang lebih kecil dari yang diperoleh laki-laki. Minimnya pendapatan perempuan lansia, terutama mereka yang telah menjadi janda, menjadi kendala serius bagi upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan.

Penting Memupuk Kesehatan Mental

Perkembangan mental atau aspek kerohanian seseorang sangat tergantung pada perkembangan fisiknya, demikian pula sebaliknya. Perkembangan manusia secara garis besar dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan sebagai berikut. Masa prenatal yang selanjutnya diikuti masa bayi dan masa kanak-kanak. Setelah itu masuk ke masa pre-pubertas dan masa pubertas. Kemudian melewati masa dewasa dan berakhir di masa usia lanjut.

Setiap tahapan dalam kehidupan seseorang itu mencirikan kebutuhan yang berbeda dalam berbagai aspeknya. Kebutuhan manusia menurut JP. Guilford, dapat dipilah ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut. Pertama, kebutuhan individual yang terdiri dari kebutuhan homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan, regulasi temperatur, tidur, dan seks. Kedua, kebutuhan sosial yang mencakup pujian dan hinaan; kekuasan, pergaulan, imitasi dan simpati, serta perhatian.

Pembinaan mental dan aspek kerohanian dalam diri seseorang merupakan hal yang harus  dibangun secara terus-menerus. Salah satu metode yang paling ampuh yang ditawarkan oleh para pakar pendidikan adalah melalui agama. Karena itu, penting sekali meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang pada gilirannya menjadikan pengamalan agama menjadi semakin intensif. Kenyataaan yang ada di masyarakat menunjukan bahwa kecenderungan kelompok lansia pada kehidupan beragama meningkat seiring dengan pertambahan usia mereka.

Sebagai penutup, menarik dikemukakan pandangan W.Starbuck yang menjelaskan bahwa ciri dan sifat agama pada orang yang sehat secara mental adalah optimis dan gembira, mereka yakin bahwa sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mengalahkan sifat-Nya yang lain, seperti pemberi azab. Selain itu, mereka selalu optimis dan terbuka karenanya mereka lebih mudah memaafkan dan tidak menaruh dendam. Sifat-sifat lainnya adalah berpandangan agama yang moderat (wasathiyyah), inklusif dan tidak kaku, selalu berpandangan positif, dan meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar, bukan secara instan dan mendadak. Agama seharusnya membuat orang merasa damai dan bahagia! Lansia dengan bekal spiritualitas diri dapat merajut hidup yang lebih damai dan bahagia.

Musdah Mulia adalah Pendiri Yayasan Mulia Raya dan penulis Ensiklopedia Muslimah Reformis