|

Muslimah Reformis

Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia

Musdah Mulia[1]

Pendahuluan

Tahun 2006 pemerintah mengeluarkan dua kebijakan yang sangat relevan bagi kehidupan beragama di Indonesia. Pertama dalam bentuk Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri (PBM) No. 9/8 Tahun 2006, sedang kedua berupa UU No. 12 tahun 2006 tentang ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

Akan tetapi, menarik disimak bahwa kedua peraturan tersebut saling berbenturan satu sama lain secara signifikan. Peraturan yang disebutkan terakhir menjamin sepenuhnya kebebasan setiap warganegara dalam beragama dan berkepercayaan, baik dalam memilih suatu agama dan kepercayaan maupun dalam hal implementasi ajaran agama dalam kehidupan sosial.[2] Sebaliknya, peraturan yang disebutkan pertama mengandung pembatasan bagi warganegara dalam memilih dan mengamalkan ajaran agama mereka.

Meskipun pemerintah menjamin bahwa pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam 29 UUD 1945, melainkan hanya sebagai upaya membangun kerukunan atau harmoni dalam kehidupan beragama masyarakat.[3] Namun, dalam implementasinya di lapangan menimbulkan kesulitan bagi komunitas agama tertentu. Bahkan, cenderung melahirkan berbagai bentuk diskriminasi atas nama agama.

 

Kebijakan Publik yang Problematik

PBM No. 9/8 Tahun 2006 pada prinsipnya mengandung tiga hal, yaitu tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Beragama; Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama; dan Pendirian Rumah Ibadat. Ketiga hal tersebut merupakan salah satu isu kontemporer dalam konteks kondisi sosial keagamaan di Indonesia saat ini. Uraian berikut akan mencoba mengelaborasi tiga pokok masalah tersebut. Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Beragama, PBM dalam implementasinya berpotensi menjerumuskan aparatus pemerintah ke dalam bentuk sikap memihak dan campur tangan terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. PBM cenderung menjadi alat legitimasi politik bagi penguasa untuk melakukan diskriminasi atau bahkan dominasi terhadap kehidupan warga atas nama agama.

Konsideran pemerintah mengeluarkan peraturan ini antara lain dimaksudkan sebagai salah satu upaya mencari solusi atas konflik-konflik keagamaan, khususnya di daerah-daerah, menjadi kontra-produktif. Sebab, PBM No. 9/8 Tahun 2006, yang terdiri dari 10 bab dan 31 pasal itu secara sadar meletakkan negara sebagai aparatus ideologi yang memiliki hak pemaksa. Posisi ini tentu bertentangan  dengan misi negara menjaga kerukunan umat beragama.

Dalam konteks negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila, kewenangan aparatus negara dalam mengatur aspek agama memang tidak dinafikan. Akan tetapi, pengaturan dimaksud hanyalah sebagai fasilitator, bukan sebagai aparatus yang memiliki hak istimewa untuk memaksa dan campur tangan terhadap urusan internal keagamaan. Landasan filosofisnya sangat jelas. Bahwa dalam beragama tidak boleh ada unsur paksaan atas dasar alasan apa pun, termasuk oleh negara sekali pun. Di sinilah letak problematikannya.

Masalahnya jika kita ingin melakukan proyeksi penataan ulang relasi agama dan negara, maka pertanyaan yang perlu diajukan: sejauhmana sesungguhnya kehidupan agama membutuhkan campur tangan negara. Apakah lembaga-lembaga keagamaan benar-benar akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, khususnya ketika kedewasaan masyarakat dalam mengelola perbedaan pendapat masih mengandalkan kekerasan sebagai solusinya. Dengan kata lain apakah lembaga keagamaan sudah memiliki imunisasi atas berbagai ketidakdewasaan politik massa, ketika agama disertakan sebagai instrumen kepentingan. Kehidupaan keagamaan harus dipisahkan dari urusan publik dan dipersonalkan dalam ranah privat. Negara hanya berfungsi sebagai fasilitator yang adil dan bijaksana. Negara harus meninggalkan peran-peran monopoli, khususnya yang berkaitan dengan hak pendefinisian agama “resmi” dan “non-resmi” dengan segala implikasi ikutannya.

PBM sebagai media untuk Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam implementasinya juga menuai sejumlah kritik, terutama dalam kaitannya dengan kelompok agama minoritas. Sebab, dalam pembentukannya lembaga ini hanya mengakui tokoh atau pemuka agama dari agama-agama yang dianggap “resmi” dan mengabaikan kelompok penganut agama yang “tidak resmi” yang jumlahnya di masyarakat tidak bisa dikatakan sedikit. Forum ini hanya merupakan kelanjutan dari wadah Majelis Agama-Agama di tingkat pusat yang hanya merepresentasikan lima agama besar di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha), dan sejak 2005 menyertakan agama Konghucu berdasarkan surat edaran Presiden tahun 2005. Penganut agama minoritas, seperti agama Tao, Baha’i dan penganut agama-agama lokal sama sekali tidak terwakili dalam forum tersebut. Demikian pula kelompok yang dianggap sempalan dari agama “resmi” seperti kelompok Islam Ahmadiyah dan  Islam Syiah.

PBM dianggap cenderung merugikan kelompok minoritas atau non-mainstream. Selain itu, regulasi ini dianggap merupakan perpanjangan kelompok mayoritas yang selalu ingin mendapatkan “hak-hak istimewa” dalam mempertahankan eksistensinya. Realitas yang ada membuktikan berbagai keputusan formal telah mempermudah kelompok mayoritas (mainstream), dalam menggunakan ‘tangan negara’ untuk memperjuangkan kepentingannya.

PBM sebagai pedoman dalam Pendirian Rumah Ibadat juga tidak sedikit mengandung bias di dalam dirinya. Ada kecenderungan kuat bahwa PBM hanya mengakomodasikan kemungkinan pendirian rumah ibadat bagi kelompok agama mayoritas (mainstream) di masyarakat. Kelompok penganut agama minoritas mengalami kesulitan menggunakan acuan tersebut dalam realitasnya. Kesulitan bukan hanya dialami oleh kelompok agama minoritas di suatu daerah, melainkan juga oleh kelompok minoritas dalam lingkungan agama mayoritas. Akibatnya, rumah ibadah lebih merupakan simbol kekuatan komunitas penganut agama, daripada sebagai tempat untuk memuja Tuhan dan membina ikatan kemanusiaan.

Oleh karena itu, PBM hanyalah isu kecil dalam tema besar tentang kebebasan beragama. Berdasarkan asumsi tersebut dalam makalah ini akan dibahas terlebih dahulu soal apa itu kebebasan beragama, baik dalam konteks Islam maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dengan acuan ideologi negara Pancasila dan konstitusi 1945. Bagaimana seharusnya kita memaknai kebebasan beragama dan hal-hal apa saja yang harus dijamin oleh negara dalam kehidupan warganya dalam berkaitan dengan isu kebebasan beragama tersebut.

 

Isu Kebebasan Beragama

Salah satu isu penting yang menjadi perdebatan hangat dalam tubuh BPUPKI adalah tentang kebebasan beragama seperti tercantum dalam pasal 29 UUD 1945. Menarik sekali bahwa persoalan kebebasan beragama ini tidak pernah tuntas diperdebatkan sejak rapat-rapat di BPUPKI tahun 1945 sampai sekarang, perdebatan mengenai hal ini tidak pernah surut. Akibatnya, rumusan pasal 29 itupun selalu dipermasalahkan. Rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: ” Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini kemudian mengalami perubahan dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan tersebut menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) yang justru dipandang prinsip bagi kalangan nasionalis Islam. Rumusan terakhir itulah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia sampai sekarang, tidak mengalami perubahan meskipun telah empat kali mengalami amandemen, yaitu pada tahun-tahun: 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Perjalanan sejarah Indonesia mencatat bahwa tarik ulur kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan hanya berlangsung di lembaga Konstituante tahun 1945 seperti diuraikan tadi, melainkan berlangsung sepanjang sejarah republik ini, baik dalam bentuk perjuangan membentuk negara Islam ataupun dalam bentuk perjuangan mengembalikan atau memasukkan “tujuh kata” Piagam Jakarta ke dalam konstitusi, seperti dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 di era Reformasi. Bahkan, ada pula yang mecoba memaksakannya melalui gerakan bersenjata.[4]

Tidak berubahnya rumusan pasal 29 UUD 1945 bukan berarti tidak ada upaya serius dari kalangan yang mengatasnamakan umat Islam untuk mengubahnya. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan hal itu secara jelas dan nyata. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apa pun;  kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta kedalamnya seperti rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelenggara negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh partai PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi).

Menarik juga dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaannya itu” dari rumusan yang ada karena kata-kata itu dianggap membingungkan. Hasil dari perdebatan panjang di MPR dalam rangka amandemen UUD 1945 menyimpulkan bahwa pada akhirnya Pasal 29 diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti yang ditetapkan dalam sidang PPKI. [5]

Pilihan para pendiri republik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, demikian pula dengan kenyataan hasil perdebatan di MPR tahun 1999-2002 yang memilih tetap mempertahankan redaksi awal Pasal 29 UUD 1945 menunjukkan bahwa pada umumnya para pemimpin Islam Indonesia tidak tertarik menformalkan ajaran agama sebagai landasan pengelolaan hidup berbangsa dan bernegara di negeri ini. Dengan pilihan itu yang dikehendaki sesungguhnya adalah bagaimana menjadikan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang sudah terangkum dengan sangat indah dalam Pancasila menjadi landasan berpijak bagi pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara di Indonesia sehingga terwujud sistem pemerintahan yang adil, terbuka, demokratis dan egalitarian. Sistem yang islami itu dapat diwujudkan tanpa harus mendesakkan Islam sebagai dasar ideologi negara dan juga tanpa harus mendesakkan Piagam Jakarta masuk ke dalam tubuh undang-undang dasar negara.

 

 

Adakah Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia?

Secara konstitusional, jaminan kebebasan beragama di Indonesia sangat jelas dan tegas dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29  mengenai agama, yaitu: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2)“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”  Pernyataan jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 tersebut pada prinsipnya sejalan dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”  Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama dari pada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.

Kembali ke UUD 1945. Menarik pula dikaji bahwa sejak awal pembentukan negara Indonesia, telah dinyatakan perbedaan antara agama dan kepercayaan, seperti terbaca dalam pasal 29 (2) UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang dijamin kebebasannya dalam kehidupan masyarakat.

Realitas empirik di masyarakat membedakan antara agama dan kepercayaan. Penganut suatu agama tidak serta merta bersedia disebut sebagai penganut kepercayaan, demikian pula sebaliknya. Pembedaan ini menjadi semakin kuat setelah pemerintah mengakui aliran kepercayaan sebagai entitas yang berdiri sendiri lepas dari agama. Dengan pengakuan itu, berarti kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh pula pengakuan dan jaminan kebebasan melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu. Akan tetapi, dalam perkembangannya,  pemerintah tidak lagi mengakui aliran kepercayaan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan memandangnya sebagai  budaya.

Meskipun Penjelasan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menyebutkan: “Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama itu bukan pemberian negara atau golongan.” Akan tetapi, dalam implementasinya di masyarakat prinsip kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam ketetapan MPR tersebut tidak diakomodasikan dalam produk perundang-undangan yang lahir kemudian. Salah satu contoh adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Budha.

Semakin aneh lagi, dua dasawarsa berikutnya, lahir TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan  hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dalam UUD 1945 yang hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama. Namun, prakteknya di lapangan surat edaran Mendagri tersebut dipakai sebagai alasan membatasi agama yang boleh dianut orang Indonesia, yakni hanya pada lima agama, dan tidak mengakui agama dan kepercayaan di luar kelima agama tadi. Bagi orang yang melihat konstitusi menjamin kebebasan beragama secara menyeluruh tentu menangkap adanya inkonsistensi dalam TAP MPR tersebut.

Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya  dan kepercayaannya itu.” Ketentuan di atas sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945. Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR tersebut bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAMpasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).

Selanjutnya, TAP MPR tersebut menyebutkan ada 8 bentuk hak asasi manusia yang diakui pemerintah sebagai hak yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh negara, yaitu hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi,  hak keamanan, dan  hak kesejahteraan. Adapun kebebasan beragama dikelompokkan sebagai hak kemerdekaan sebagai tertuang dalam pasal 13: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak beragama ini diperkuat lagi dengan pasal 17 yang menegaskan bahwa hak ini termasuk dalam kategori hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable). Terakhir pada pasal 43 ditegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

Secara normatif dapat dikatakan bahwa jaminan negara Indonesia terhadap kemerdekaan beragama setiap orang sudah kuat dan menjadi semakin kuat dengan kehadiran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 22 menyatakan:  (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jaminan kemerdekaan beragama diperkuat pula dalam empat kali amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai agama tidak mengalami perubahan sama sekali. Jaminan itu semakin kuat lagi dengan hadirnya Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai hak-hak sipil-politik yang di dalamnya terdapat penegasan tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar.

Paparan di atas membuktikan bahwa secara normatif jaminan negara terhadap kebebasan beragama di Indonesia sudah memadai. Persoalannya ada di level praksis atau implementasi. Implementasi UUD dan sejumlah undang-undang yang menjamin kebebasan beragama sangat diwarnai oleh corak pemahaman pemerintah terhadap pasal 29 UUD 1945. Pemahaman pemerintah tersebut sering mengalami fluktuasi dan terkesan inkonsistensi. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh penafsiran yang sering bias terhadap pasal 29 UUD 1945. Pasal 29 (1) menegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan YME, sementara pada ayat berikutnya tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa agama dan kepercayaan penduduk yang dijamin oleh negara itu harus berdasarkan atas Ketuhanan YME.

Timbul persoalan, bagaimana hubungan antara ayat 1 dan 2 pasal 29. Apakah ayat 1 menjadi dasar pengakuan kebebasan beragama pada ayat 2. Kalau benar, berarti kebebasan hanya diberikan kepada pemeluk agama yang mengakui Ketuhanan YME, tidak kepada selainnya. Konsekuensinya, negara akan melakukan pengawasan terhadap penduduk perihal agama yang dipeluknya, dan jika tidak berdasar Ketuhanan YME, maka kebebasan tersebut tidak akan dijamin oleh negara. Kalau demikian maknanya, lalu apa maksudnya negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2).

Akan tetapi, jika negara pada ayat 1 ditafsirkan sebagai sistem kekuasaan yang terorganisasikan menurut UUD 1945, yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka asas Ketuhanan YME adalah norma yang berlaku bagi negara, bukan bagi penduduk. Artinya, pelaksanaan cabang-cabang kekuasaan negara yang meliputi ketiga cabang pemerintahan tadi dan semua produk hukum yang dihasilkannya harus selalu berdasarkan Ketuhanan YME, artinya mempunyai nilai religius. Sementara ayat 2 memberikan jaminan kemerdekaan kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan agama masing-masing. Penduduk dengan demikian dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing dengan rasa aman karena pemerintah berkewajiban menyediakan perangkat pelindung jika ada gangguan. Tentu saja, perlindungan ini tidak bersifat mutlak, melainkan diberikan dengan mempertimbangkan keberadaan agama lainnya yang sama-sama mempunyai hak hidup di Indonesia. Jadi, tidak ada kontradiksi antara ayat 1 dan 2 dalam pasal tersebut, yang pertama merupakan norma bagi negara, sedangkan yang terakhir norma bagi penduduk.

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.

Sekilas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekedar mengingatkan warga untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir” atau “murtad”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965 dan kemudian dikukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969 membawa implikasi luas dalam pengekangan kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legitimasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Sekaligus juga dijadikan alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.

Penetapan itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Ini dijelaskan lebih jauh dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”.  Ketetapan ini sangat jelas menguntungkan para ulama dan kalangan agamawan yang pro-pemerintah, yang diwakili majelis-majelis agama resmi: MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDU DARMA. Kelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan kesahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau yang dikatakan sebagai induk agama.

Korban pertama dari kebijakan negara dalam soal “agar jangan sampai terjadi berbagai bentuk penyelewengan ajaran agama” yaitu kelompok-kelompok penganut agama atau kepercayaan lokal, seperti komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan; komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan; dan komunitas Kaharingan di Kalimantan. Mereka semuanya diharuskan kembali ke agama induk, yakni agama Hindu. Sangat mengherankan sikap pemerintah yang menuding agama atau kepercayaan tersebut sebagai agama sempalan, dan harus kembali ke agama induknya.

Sebaliknya, menurut para penganut agama-agama lokal (indigenous Religion) tersebut justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk. Sebab, menurut keyakinan mereka agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha justru semuanya merupakan agama import, bukan agama lokal. Jauh sebelum kelima agama tadi datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan lokal yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun di Nusantara ini. Lalu, bagaimana mungkin para penganut agama lokal tersebut diminta untuk kembali ke agama asli atau agama induknya.

Klaim agama asli dan agama sempalan menjadi sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Demikian pula dengan klaim agama Samawi (agama langit) dan agama Non-Samawi (agama bumi). Yang pertama biasanya termasuk Islam, Yahudi dan Kristen, sedangkan kelompok kedua biasanya mencakup Hindu, Budha dan sebagainya.

Sejatinya, semua agama oleh pengikutnya diyakini sebagai sakral yang ajarannya diyakini datang dari Tuhan dan entitas Tuhan dalam semua agama selalu disimbolkan berada di atas atau di langit. Oleh karena itu, ke depan jangan lagi ada klaim agama asli atau tidak asli, agama induk atau sempalan, dan agama langit dan agama bumi. Sebab, polarisasi semacam itu sungguh menyesatkan dan berpotensi melahirkan tindakan diskriminatif, serta sangat tidak kondusif untuk bangunan kebangsaan Indonesia yang multikultural ini.

Korban berikutnya yang mencuat belakangan ini adalah kelompok Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dibatasi, mulai dari hak kebebasan berkeyakinan, hak membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan, di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kuningan turun tangan, dengan alasan Ahmadiyah sudah meresahkan masyarakat. Departemen Agama Kuningan juga ambil bagian dengan menuduh Ahmadiyah mendakwahkan ajaran yang berbeda dengan mayoritas umat Islam. Pihak pemerintah kabupaten Kuningan mengumpulkan sejumlah orang yang dianggap tokoh agama dan masyarakat lalu menyuruh mereka bertanda tangan untuk menolak kehadiran jamaah Ahmadiyah di wilayah Kuningan. Kasus terakhir di Parung, markas mereka dikepung oleh kelompok Islam radikal.

Akibat konkret dari seluruh kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama di Indonesia dan kebijakan berkaitan dengan aliran kepercayaan tadi adalah bahwa para penganut agama di luar lima agama tersebut, termasuk para penganut agama lokal (indigeneous religion) para penganut kepercayaan tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara,  seperti hak untuk dicatatkan perkawinan dan kelahiran mereka. Mereka tidak bisa memiliki Akta Nikah dan Akta Kelahiran.

Dari perspektif perempuan, tiadanya Akta Nikah berarti tiadanya proteksi hukum bagi para isteri dan anak-anak, dan ini sangat beresiko buruk bagi masa depan mereka. Kalaupun ada di antara mereka yang memiliki Akta Nikah itu disebabkan karena mereka terpaksa berbohong mengaku memeluk salah satu dari agama resmi di hadapan petugas. Demikian juga dalam hal kepemilikan KTP (Kartu Tanda Penduduk), dalam kolom agama mereka terpaksa berbohong, sebab jika menyebut agama atau kepercayaan yang sebenarnya, maka mustahil mereka mendapatkan KTP. Sebagian besar dari mereka harus bersikap pragmatis, demi keselamatan dan kenyamanan mereka dan anak cucu mereka di negara yang berasaskan Pancasila ini.

Pemerintah bukan hanya berpihak kepada lima agama besar tersebut dan mengabaikan hak-hak sipil para penganut di luar lima agama ini, melainkan juga  berpihak hanya kepada kelompok mainstream (mayoritas) dalam lima agama dimaksud. Kelompok Ahmadiyah, misalnya meskipun tetap mengklaim diri mereka sebagai Islam, tetapi karena berada di luar kelompok mainstream, mendapat perlakukan  diskriminatif dari aparat negara. Demikian pula nasib kelompok-kelompok minoritas dalam keempat agama lainnya, selain Islam.

Kebijakan pemerintah tersebut sungguh telah menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap sebagian anak bangsa atas nama agama. Disebut diskriminatif karena pemerintah tidak memenuhi hak-hak sipil warga yang paling mendasar, yakni hak mendapatkan identitas diri sebagai warga negara dalam bentuk Akta Nikah, Akta Lahir dan KTP. Selain itu, mengabaikan pelayanan kebutuhan mereka sebagaimana pelayanan terhadap warganegara lainnya dari kelompok mayoritas dari para pemeluk lima agama tersebut. Mereka mendapatkan bukan hanya pelayanan, melainkan juga bantuan dana secara reguler bagi kegiatan keagamaan mereka, seperti perayaan hari-hari besar agama, bantuan untuk organisasi keagamaan, pembangunan rumah-rumah ibadah, bantuan untuk pendidikan keagamaan dan seterusnya.

Sementara warga negara lainnya yang tidak masuk dalam kelompok mayoritas dari pemeluk kelima agama tadi tidak mendapatkan bantuan apa pun, termasuk pelayanan untuk pemenuhan hak-hak sipil mereka. Ini sungguh-sungguh suatu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara secara sengaja dan terang-terangan terhadap warganya. Lalu sampai kapan pemerintah akan dibiarkan bertindak diskriminatif dan melanggar HAM ini?

Sejumlah ketentuan berkaitan dengan agama seharusnya dibuat sebagai bentuk implementasi dari pasal 29 UUD 1945.  Ketentuan pasal 29 mengandung nilai dasar yang penerapannya memerlukan peraturan perundangan yang tidak boleh bersifat mengerdilkan nilai dasar. Justru sebaliknya, peraturan yang bernilai instrumental terhadap pelaksanaan UUD 1945 harus memberikan peluang bagi agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Akan tetapi, dalam realitas empirik di masyarakat dijumpai sejumlah isu agama yang menyalahi konstitusi dan UUD 1945, di antaranya isu perkawinan beda agama; hak pencatatan bagi perkawinan di luar lima agama resmi, isu penyiaran agama, isu aborsi dan keluarga berencana, isu hak anak di luar nikah, isu hak pekerja seks, serta isu gay dan lesbian.

Selain itu, dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia maka UU PNPS/No.1/1965 dan sejumlah aturan yang berkaitan dengan agama yang isinya mengintervensi kehidupan beragama masyarakat dan membatasi kebebasan mereka dalam soal agama perlu dihapus.[6] Keseluruhan peraturan dan perundang-undangan tersebut harus direvisi dengan mengacu kepada substansi ajaran semua agama dan kepercayaan yang pasti selalu akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Selain itu, juga harus mengacu kepada spirit kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila, konstitusi UUD 1945,  UU No. 39 tentang HAM dan sejumlah kesepakatan internasional yang dirativikasi pemerintah, termasuk Kovenan Hak-Hak Sipil Politik melalui UU No.12 tahun 2005. Hanya dengan cara itu  masyarakat dan pemerintah dapat mulai bekerjasama membangun kehidupan beragama yang sejuk, damai, dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi setiap individu tanpa diskriminasi sedikit pun.

 

Bagaimana Seharusnya Memaknai Kebebasan Beragama di Indonesia?

Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa secara normatif jaminan kebebasan beragama telah dinyatakan secara tegas dalam konstitusi dan sejumlah perundang-undangan. Pertanyaan muncul, bagaimana kita memaknai kebebasan beragama dalam perundang-undangan tersebut? dan bagaimana pula kita mengimplementasikannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa? Pertanyaan ini penting sebab dalam realitasnya dijumpai sejumlah praktek yang berseberangan dengan spirit konstitusi dan UU.

Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen.  Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu.

Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak  menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan.

Akan tetapi, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka pemberdayaan dan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi. Regulasi itu sangat penting berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order),  kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others).

Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.

Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga  harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip tidak ada paksaan dalam agama perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, dan syari’at agama (code) pada umumnya.

Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama  secara lebih operasional.

 

Penutup

Pancasila, Konstitusi dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar (non-derogable) dan negara menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil bagi setiap warga negara. Jaminan kebebasan beragama ini juga diajarkan dalam semua agama, termasuk Islam. Islam mengajarkan kebebasan beragama sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia yang dapat menimbulkan rasa aman, tenteram, dan damai.

Lalu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia kebebasan beragama akan membawa kepada rasa saling menghormati di antara warga negara yang berbeda agama yang pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta kasih  di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Pemahaman agama seperti itulah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit kebangsaan mereka hendaknya kita warisi dalam membangun peradaban bangsa ke depan  sehingga bagi kita sekarang tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tsb. Political will itu sesungguhnya sudah tercermin dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Amandemen UUD 1945 yang sangat kuat menyerukan perlunya perlindungan HAM bagi seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi sedikit pun, termasuk diskriminasi agama, serta UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

 

 

Solusi

Sebagai solusi penulis mengajak seluruh elemen bangsa agar membangun sinergi, bergandeng tangan, bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.

Pertama, melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya menuju budaya damai dan saling menghormati sesama,  melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis.

Kedua, merevisi sejumlah kebijakan publik, undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air.

Ketiga, mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, lebih kondusif bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, termasuk hak kebebasan beragama. Itulah ajaran agama yang hakiki, ajaran yang membebaskan manusia dari belenggu tirani dan kebencian, ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan sejahtera.

 

 

[1] Professor riset bidang lektur agama, dan Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference On Religion and Peace).

[2] Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Hak-Hak Sipil dan Politik.

[3] Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006, Jakarta, 2006, h. 7-8.

[4]   M. Amien Rais,  Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian, dalam Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Pustakan Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. XV-XVI.

[5]  Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc BP MPR, Buku Kedua Jilid 3C Jakarta, h. 546-547.

[6]  Ibid.