Atssania Zahroh
Saya ingin berkisah lagi. Saya mengagumi guru-Ibu Nyai, saya memanggil beliau dengan sebutan Mama. Mama sekarang sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke Amerika di bulan Juli mendatang. Mama ke Amerika dengan tujuan studi doctoral. Mama menjadi salah satu penerima beasiswa Fulbright (PhD) di Indiana University.
Sekilas tentang Mama. Beliau seorang guru sekaligus pengasuh putri pesantren. Di sisi lain kegiatan Mama adalah menekuni bisnis cookies. Sebagai seorang ibu dengan tiga anak, satu hal yang saya sangat kagumi adalah semangat beliau dalam belajar. Mama terus berjuang dalam pendidikan sampai hari ini. Melihat tanggung jawab Mama di banyak hal, namun tetap mengutamakan sebuah pendidikan dalam kehidupannya.
Bulan Mei adalah bulannya para pembelajar, pendidik, murid, orang-orang yang haus akan ilmu, yaitu tepat tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dari cerita di atas, menunjukkan salah satu bukti bahwa pendidikan itu sangat penting, diperjuangkan, setinggi-tingginya, tidak dibatasi umur, kesempatan baik (beasiswa) yang bisa didapat oleh siapapun yang mau berusaha, dan menanggalkan keyakinan patriarkal bahwa yang berpendidikan tinggi berhak oleh laki-laki.
Hal yang akan saya bahas dalam bingkai Hari Pendidikan melalui tulisan ini adalah pendidikan perempuan. Saya mengkaji pendidikan perempuan dari dua sudut pandang, yaitu budaya patriarki (sosial) dan penafsiran Al-Qur’an (agama). Dari tulisan ini, pembaca akan diajak memahami faktor pengarusutamaan pendidikan perempuan sekaligus penanaman sikap dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan perempuan menurut Rahmah el-Yunusiah adalah suatu upaya dalam meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual, kepribadian, keterampilan berdasarkan ajaran Islam. Harapan Rahmah nantinya, perempuan akan menjadi guru bagi anak-anaknya ataupun bisa bermanfaat untuk masyarakat luas. Jika dikaitkan dengan data hari ini dari Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki sebesar 82,69 %. Sedangkan perempuan sebesar 51,88 %. Bukti inilah yang akan membuat prinsip Rahmah dalam meneguhkan pendidikan perempuan tetap berlaku sampai saat ini.
Rahmah telah mendirikan sekolah untuk putri di daerah Padang Panjang tahun 1923 silam. Kesadaran Rahmah terhadap pendidikan perempuan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Meskipun keresahan Rahmah pada saat itu tidak sama dengan hari ini. Pada saat itu semangat Rahmah adalah memaksimalkan potensi perempuan yang tertutupi saat digabung satu kelas dengan laki-laki. Sehingga dengan adanya Diniyah School Putri, perempuan juga memiliki kesempatan bebas berpendapat seperti laki-laki. Sedangkan hari ini, permasalahan seputar “gender” semakin komplek, yaitu adanya dominasi salah satu pihak yang lebih kuat. Sesiapa yang masih meyakini laki-laki harus berpendidikan tinggi karena ia yang memiliki potensi dan mencari nafkah. Sebaliknya, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena tugasnya hanya di rumah dan mengurus anak.
Rahmah memiliki perhatian pada pendidikan perempuan, khususnya sesuai dengan ajaran Islam. Hal yang perlu untuk dibaca kembali terkait ajaran Islam adalah pemahaman yang mengatasnamakan ajaran Islam untuk melanggengkan budaya patriarki yang muncul akhir-akhir ini. Misalkan saja, laki-laki di dalam Islam memiliki kelebihan dalam menjadi saksi, mendapat warisan lebih banyak dari perempuan, secara tekstual sebagai pemimpin perempuan, atau kebolehan untuk berpoligami. Umat muslim secara umum yang sering mendengar ayat-ayat tersebut, seolah lupa dengan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang jumlahnya ribuan— ayat yang mengutamakan kesetaraan dan kesalingan antar umat manusia.
Ayat Al-Qur’an yang menyebutkan pesan kesetaraan diantaranya, Q.S al-Mu’minȗn [23]: 12-16 tentang laki-laki dan perempuan adalah sama dalam proses penciptaannya. Q.S al-Hujurât [49]: 13 tentang martabat manusia di hadapan Allah tidak dibedakan atas jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) melainkan ketakwaannya. Q.S at-Taubah [9]: 71 tentang setiap manusia baik laki-laki dan perempuan adalah penolong atau penjaga satu sama lain. Q.S al-An’âm [6]: 94 tentang laki-laki dan perempuan akan menghadap kepada Allah sendiri-sendiri dan sebagai dirinya masing-masing.
Eskalasi spirit dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional adalah sebuah tujuan dan harus dibarengi dengan kesadaran penuh. Usaha yang dapat dilakukan adalah melakukan penelaahan kembali, mulai dari perjuangan pendahulu, pemahaman yang tidak stagnan, dan lebih khususnya adalah Islam sebagai agama ataupun ajaran penyempurna dari sebelum-sebelumnya.
Pendidikan Perempuan saat ini bukan hal yang tabu. Pendidikan Perempuan adalah ajaran Islam yang selalu ada sejak dulu, hari ini, bahkan di masa depan. Prinsip kesetaraan yang telah termaktub dalam Al-Qur’an akan bermuara kepada ajaran Tauhid. Prinsip dasar ini, seperti yang ditulis oleh Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis adalah penghambaan kepada Allah secara total, menjauhi segala perintah dan menjauhi segala larangan. Sebuah keharusan, jika landasan fundamental ini adalah fondasi dalam pendidikan. Sehingga dapat diyakini bahwa pendidikan tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi siapapun (laki-laki dan perempuan) menuju kepada Allah (hakikat ilmu).
Setelah memahami prinsip kesetaraan, bagaimana dengan praktik sehari-sehari sebagai langkah kongkrit? Perempuan harus berpendidikan adalah sebuah statement yang benar untuk diyakini dalam kehidupan sehari-hari. Penulis mengutip maqalah “al umm madrsatul ula idza a’dadtaha sya’ban thayyial ‘araq” yang dicetuskan oleh Hafiz Ibrahim (seorang penyair Mesir). Maqalah ini berarti bahwa perempuan adalah madrasah pertama bagi anaknya. Sedikit mengambil sisi historis lahirnya maqalah ini adalah, seorang Hafiz Ibrahim dibesarkan oleh ibunya. Pada waktu itu, ayah Hafiz sedang berperang melawan penjajah Inggris. Sehingga sosok ibulah yang sangat berpengaruh di dalam hidupnya. Disinilah kunci anak yang saleh sangat bergantung bagaimana seorang ibu dalam mengasuh.
Maqalah di atas kurang tepat jika dijadikan legitimasi bahwa seorang ibu adalah pengasuh utama dalam keluarga. Kita juga harus memahami konteks pada waktu itu. Jika dalam kehidupan saat ini tidak sedang terjadi perang, juga semua orang tua berperan dalam tumbuh kembang anak, bahkan semua orang tua juga turut mensejahterakan keluarga. Oleh karena itu kesalingan mengasuh anak dalam keluarga merupakan penentu kecerdasan generasi selanjutnya.
Ekuilibrium dalam keluarga tidak lain didasari dengan prinsip kesetaraan. Mengapa pendidikan penting bagi perempuan atau seorang ibu? Karena laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk berpendidikan tinggi. Mengapa harus keduanya (laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu)? Karena keduanya adalah kunci daripada pengasuhan yang akan membentuk moral dan intelektualitas anak.