|

Muslimah Reformis

Membangun Budaya Damai bagi Masa Depan Generasi Muda

Setiap hari ketika kita membuka lembaran berita sebuah surat kabar, atau saat secara sadar kita membuka mata ke sekeliling, paradoks realitas kehidupan akan senantiasa menjumpai kita. Di satu sisi, terdapat kemajuan ekonomi, informasi, dan teknologi yang bagi sebagian orang dipercaya peningkatan harkat kemanusiaan, dan oleh karenanya patut diperjuangkan berapa pun biaya yang harus ditanggung. Di sisi lain, secara ironis dijumpai kenyataan pahit akan meningkatnya jumlah dan kompleksitas masalah sosial, termasuk berbagai bentuk kekerasan. Hal ini menjelaskan bahwa kemajuan ekonomi, informasi dan teknologi tidak senantiasa diikuti oleh keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan masyarakat luas. Usainya dua kali Perang Dunia dan Perang Dingin tidak menyurutkan fenomena kekerasan global.

Berbagai bentuk kekerasan saat ini seakan-akan telah menjadi fenomena umum di banyak tempat, termasuk kawasan Asia, dan diduga merupakan manifestasi dari konflik sosial dan rendahnya kualitas pembangunan manusia, terutama di bidang pendidikan. Konflik kekerasan tersebut telah mengacaukan berbagai tatanan kehidupan masyarakat, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.

Seakan-akan tidak pernah berakhir, berbagai bentuk kekerasan tersebut terus merebak pada semua wujud kehidupan manusia, baik pada tingkat individu, masyarakat, negara-bangsa maupun internasional. Pada tingkat individu, kekerasan terjadi pada kasus tawuran pelajar, perkelahian antar tetangga, dan sebagainya. Pada tingkat komunal, kekerasan berlangsung dalam konflik antar kelompok masyarakat dalam perebutan sumber daya, mempertahankan nilai-nilai/identitas etnik dan agama kelompok, dan sebagainya. Pada tingkat negara-bangsa, konflik mencuat untuk mendefinisikan ulang hubungan antar-warga negara dalam konteks kedaulatan dan kelangsungan negara. Separatisme, baik di tingkat regional maupun nasional, menjadi karakteristik konflik negara-bangsa. Sedang pada tingkat internasional, terjadi perang fisik atas nama kepentingan nasional masing-masing.

Berbagai konflk kekerasan tersebut tidak hanya berdimensi lokal dan nasional melainkan global. Saat ini menipisnya batas antarnegara menyebabkan mekanisme otomatis perguliran konflik antarnegara. Konflik di suatu negara akan perdampak langsung pada munculnya konflik sosial terkait di negara lainnya. Sebagai contoh, tregedi 11 September 2001 di World Trade Center, New York, telah membuka jalan ke arah kekerasan baru di banyak tempat dan negara atas nama pemberantasan terorisme internasional. Demikian juga, politisasi melalui mobilisasi identitas terhadap isu konflik senjata di Palestina, Kashnir, Mindanao, Afganistan telah turut mengkotak-kotakkan masyarakat di berbagai negara berdasarkan ikatan promordial keagamaan, etnisitas atau ideologi politik. Pada gilirannya, jalinan konflik antarnegara tersebut akan memicu konflik kekerasan baru serta merusak kedamaian antarumat manusia.

Dengan demikian meluasnya konflik kekerasan dalam kehidupan sehari-hari kita, maka pemahaman baru tentang konflik, kekerasan, dan bagaimana strategi untuk menghadapi sangat diperlukan saat ini maupun di masa mendatang. Sementara itu, patut menjadi catatan bersama bahwa kelompok anak-anak dan perempuan termasuk kelompok mereka yang paling rentan terhadap berbagai jenis kekerasan, baik fisik maupun non-fisik. Mereka sulit mengartikulasikan kepentingan diri serta melindungi keamanannya sendiri. Mereka cenderung menjadi sasaran kekerasan pihak lain. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan harus beranjak pada perlindungan anak dan perempuan.

Masalahnya, bagaimana penderitaan akibat kekerasan sosial tersebut dapat dicegah atau diatasi? Pengembangan budaya perdamaian merupakan salah satu alternatif solusi untuk dipertimbangkan bersama guna mencegah konflik kekerasan pada semua orang.

Pengertian dan Arti “Culture of Peace”

Dalam konteks masyarakat internasional, istilah Culture of Peace telah digemakan sejak tahun 1997. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly) melalui resolusi No. 52/15 tahun 1997 telah mendeklarasikan tahun 2000 sebagai “International Year of Peace“. Sedangkan resolusi PBB No. 53/25 tahun 1998 menyatakan bahwa periode tahun 2001-2010 sebagai “International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Childeran of the World“. Jelaslah di sini, bahwa urgensi untuk melindungi anak-anak terhdap berbagai bentuk kekerasan telah muncul di tingkat masyarakat internasional.

Jika demikian, apa yang sebenarnya dimaksudkan sebagai Culture of Peace? Resolusi PBB No. 52/13. tanggal 15 Januari 1998 menjelaskan Culture of Peace sebagai berikut :

The culture of peace is based on the principles established on the Charter of the United Nations and on respects for human rights, democracy and tolerance, the promotion of development, education for peace, the free flow of information and the wider participation of women as an intergral approach to preventing violence and conflicts, and effort aimed at the creation of conditions for peace and its consolidation” (the United Nations A/Res/52/13, 15 January 1998, para.2.).

Jadi, Culture of Peace tidak lain merupakan suatu pendekatan terpadu untuk mencegah konflik kekerasan, yang selanjutnya membantu terciptanya dan terpeliharanya kondisi perdamainan. Melalui Culture of Peace, wacana dan praktik kekerasan akan direduksi, sehingga dapat merealisasikan perdamaian antarmanusia maupun antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Dalam konteks di atas, nilai-nilai penghargaan terhadap hak asasi manusia, demokrasi dan toleransi, promosi pembangunan, pendidikan untuk perdamaian, arus informasi secara bebas, dan partisipasi perempuan yang lebih luas, sebagai elemen-elemen Culture of Peace, harus direalisasikan secara tuntas. Sebaliknya, Culture of War merupakan budaya yang cenderung memicu konflik kekerasan, merusak kondisi perdamaian dan konsolidasinya. Dengan demikian, Culture of War merupakan sisi perlawanan dari Culture of Peace. Penguatan Culture of Peace secara langsung akan memperlemah Culture of War, begitu pula sebaliknya. Nilai-nilai kekerasan dan intoleransi sebagai inti Culture of War telah melandasi terjadinya konflik, peperangan dan penderitaan bagi ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sejak zaman purba kala sampai dengan saat ini. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk kekerasan telah bermetamorfose dari fungsi semula sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri menjadi sesuatu yang lebih berbahaya, yaitu agresi dan perang untuk menaklukan pihak lain demi pemuasan kepentingan/ keserakahan pribadi atau kelompok. Akibatnya, darah dan air mata telah mewarnai sejarah peradaban manusia.

Guna membangun kembali hakikat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, pengembangan Culture of Peace patut dilakukan oleh semua pihak, baik secara individu maupun secara kelembagaan.

Dalam konteks pengembangan Culture of Peace tersebut, salah satu hal mendasar yang patut dipikirkan bersama adalah bagaimana komunitas agama-agama dapat berperan aktif untuk memberikan landasan nilai perdamaian dan toleransi. Nilai-nilai perdamaian dan toleransi pada semua ajaran agama sesungguhnya berpotensi untuk menerangi gerak langkah para pemuka agama serta semua umat beragama dalam mewujudkan perdamaian sejati di lingkungan hidupnya masing-masing.

Masalah yang harus diperhatikan adalah bahwa hubungan antarumat beragama tidak selamanya berlangsung damai. Konflik dan kekerasan bernuansa agama dapat terjadi di mana pun juga, termasuk di negara-negara Asia. Namun demikian, kita memahami bahwa konflik antaragama tersebut sesungguhnya tidak pernah dianjurkan oleh ajaran mana pun juga, melainkan lebih sebagai dampak dari mobilisasi identitas keagamaan dalam perjuangan kepentingan antarpihak, termasuk mereka yang berbicara atas nama agama, dalam memperjuangkan keadilan atau justru untuk memperebutkan berbagai jenis sumber daya, kekuasaan, dan nama baik.

Dengan demikian, agama-agama, sebagai media pengatur hubungan spiritual seorang individu dengan Tuhan Yang Maha Esa serta hubungan sosial antar- umat manusia, sesungguhnya masih dapat diharapkan sebagai kekuatan transformatif diri dan masyarakat dalam mencapai kemajuan bersama dalam semua aspek kehidupan, termasuk kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.

Pentingnya Budaya Damai Generasi Muda

Pengembangan Culture of Peace baru efektif jika dilakukan secara mendasar, yaitu mengacu pada pencapaian perdamaian dan kesejahteraan sejati di masa mendatang. Untuk ini, salah satu faktor strategis yang harus diperhatikan adalah bagaimana generasi muda, khususnya anak-anak, dapat menghayati arti Culture of Peace secara utuh dalam hidup mereka sendiri.

Proses pengembangan Culture of Peace di kalangan anak-anak tidak dapat terlepas dari kegiatan pendidikan yang mereka peroleh di rumah, sekolah, serta masyarakat. Sejauh ini pendidikan di banyak negara masih menunjukkan kesulitan dalam membantu proses belajar siswa untuk menjadi manusia seutuhnya. Tentu banyak faktor yang mendasari hal ini, antara lain lemahnya infrastruktur pendidikan (dana, sumber daya manusia, kurikulum, dan sebagainya), penekanan berlebihan atas kemampuan kognitif serta melupakan aspek afektif, budaya kekerasan yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat luas, dan sebagainya.

Untuk pengembangan Culture of Peace di kalangan anak-anak, beberapa faktor kritis yang perlu diperhatikan antara lain:

  1. Pemahaman tentang kecenderungan penyelesaian masalah perdamaian dan kemanusiaan di tingkat lokal, nasional, dan global di masa mendatang, serta peranan Culture of Peace dalam upaya-upaya perdamaian tersebut. Termasuk dalam hal ini, seberapa jauh budaya kekerasan dalam masyarakat dapat direduksi serta dikonversi menjadi budaya perdamaian.
  2. Pemahaman tentang seberapa jauh pendidikan yang diterima oleh anak-anak saat ini di rumah, sekolah, dan masyarakat berperan dalam pembentukan Culture of Peace.
  3. Persiapan infrastruktur pendidikan perdamaian, termasuk jumlah dan kualitas sumber daya manusia, institusi pendukung, dan teknologi.
  4. Meningkatkan komitmen negara dan partisipasi masyarakat luas dalam pembentukan Culture of Peace. Dalam hal ini, berbagai potensi dalam komunitas agama-agama, baik pada tingkat nasional maupun internasional, harus dikerahkan secara maksimal ke arah terwujudnya Culture of Peace.

Selanjutnya, pendidikan Culture of Peace harus berfokus pada perbedaan minat, bakat, dan kapasitas masing-masing anak. Walaupun perlu dibangun suatu sistem pendidikan umum untuk pengembangan Culture of Peace, tetapi generalisasi berlebihan atau bahkan pemaksaan partisipasi bagi anak-anak tersebut hanya akan menghasilkan kegagalan implementasi pendidikan Culture of Peace semacam ini. Anak harus mampu mengekspresikan dirinya sendiri dalam mengembangkan budaya perdamaian. Dengan demikian, dukungan keteladanan, kesabaran, kreativitas/ imajinasi, dan konsistensi dari pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat luas sangat penting untuk melibatkan anak-anak secara efektif dalam pengembangan Culture of Peace.

Pengembangan Culture of Peace Melalui Pendidikan

Pluralisme Agama

Salah satu cara untuk mengembangkan Culture of Peace adalah dengan merancang sebuah sistem pendidikan agama yang menekankan tradisi dialog antaragama. Selama ini sistem pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah kita, di lingkungan keluarga, maupun masyarakat sangat bersifat ideologis dan otoriter. Pendidikan agama yang demikian akan menumbuhkan semangat absolutisme kebenaran yang bukan hanya berakibat penafikan agama lain tapi juga pemahaman lain di dalam agama itu sendiri.

Pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan agama di sekolah, lingkungan keluarga, dan masyarakat juga sangat menekankan pemahaman  yang literalistik dan formalistik. Pendekatan yang demikian justru akan menghasilkan penganut agama yang tak mampu bersikap kritis dan apreasiatif terhadap agama sendiri dan agama lain. Karenanya tak mengherankan banyak agama di berbagai negara menganggap perbedaan agama sebagai penghalang untuk menjalin kerja sama dalam menciptakan sebuah dunia sosial yang nyaman bagi setiap orang.

Selama ini sikap pluralisme beragama telah berkembang dengan baik di antara kelompok elit-elit agama di berbagai negara, termasuk di kawasan Asia, karena mereka telah mengembangkan tradisi dialog dan menggunakan pendekatan fenomenologis dalam melihat agama lain. Tradisi dialog memungkinkan setiap penganut agama selalu bersikap terbuka dalam menjalin komunikasi dengan kelompok lain. Sedang pendekatan fenomenopologis memungkinkan penganut agama tertentu memahami agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Pendekatan fenomenologis akan menghilangkan egoisme agama tertentu yang mengukur agama lain dengan tingkat keabsahan agama mereka sendiri.

Sekarang persoalannya adalah bagaimana menyebarkan sikap beragama yang demikian pada masyarakat luas sehingga sikap saling menghargai antar agama bukan hanya terjadi diantara kalangan elit saja tapi juga akan menjadi kebiasaan umum. Kebutuhan kita adalah bagaimana menumbuhkan sikap pluralisme sebagai sebuah sikap bersama dalam masyarakat sehingga tercipta hubungan harmonis yang akan mendamaikan setiap kelompok-kelompok yang berbeda. Pluralisme dalam hal ini, juga bukan sekedar menghargai orang dari agama yang berbeda. Dalam pengertian yang luas, pluralisme juga berarti menghargai orang lain dari kelompok yang berbeda etnisitas, kewarganegaraan, jender, status sosial ekonomi maupun perbedaan-perbedaan lain yang menjadi ciri khas kehidupan di dunia ini.

Secara strategis, pendidikan pluralisme agama harus merangkum kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

  1. Kegiatan pedagogis, dimana kurikulum pendidikan pluralisme diteliti, dirancang dan dilaksanakan
  2. Kegiatan komunikasi program, dimana program pendidikan pluralisme agama disosialisasikan kepada berbagai stakeholders pendidikan dan masyarakat luas.
  3. Kegiatan riset dan pengembangan, dimana dinamika masyarakat dalam meresponi kekerasan, termasuk dalam hubungan antara agama, dapat diidentifikasi secara sistematis dan dimanfaatkan untuk pengembangan program.
  4. Kegiatan advokasi kebijakan, dimana diupayakan adanya perubahan kebijakan dan praktik kebijakan di berbagai tingkat kehidupan masyarakat ke arah penguatan pluralisme agama, yang pada akhirnya akan membawa perdamaian, keadilan dan kesejahteraan bagi semua ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Kegiatan aksi kebersamaan, dimana diselenggarakan berbagai kegiatan nyata yang menarik dan bermanfaat untuk dilaksanakan bersama oleh generasi muda maupun masyarakat luas. Melalui kegiatan aksi kebersamaan ini, terjadi proses pembelajaraan secara pengalaman (experiential learning).

 

Secara komprehensif, ke lima jenis kegiatan tersebut di atas perlu diadopsi bersama untuk menyempurnakan pendidikan pluralisme agama di sekolah, keluarga maupun masyarakat.

Khusus untuk kasus Indonesia, Pemerintah maupun forum antar iman seperti ICRP telah memberikan dukungan atas program pengembangan pluralisme agama. Pemerintah telah berkomitmen untuk mengubah sistem pengajaran agama yang sangat menekankan pemahaman literalistic dan formalistic menjadi sistem pengajaran agama yang lebih menekankan tradisi dialog antar agama. Sedangkan ICRP telah mulai mencoba untuk merintis program pendidikan pluralisme agama ini sejak tahun 2001. dalam semua kegiatan ICRP ditekankan pengembangan budaya perdamaian melalui berbagai jenis kegiatan dialog antar agama. Sebagai contoh, ICRP telah menyelenggarakan 5 kali Training of Trainers “Membangun Pluralisme Agama”, diskusi “Syariat Islam di Indonesia”, perkemahan pemuda, aksi donor darah kemanusian dan menolong korban banjir di Tangerang dan Jakarta, kunjungan bersama tokoh-tokoh agama ke berbagai komunitas agama (interfaith visit) dan banyak kegiatan dialog antar agama sebagainya. Pengembangan budaya perdamaian sebenarnya telah dilakukan dalam berbagai kegiatan ICRP tersebut, tetapi masih belum terprogram secara khusus. Mengingat arti strategisnya, pengembangan budaya perdamaian malalui pendidikan pluralisme agama harus dilakukan secara lebih intensif dan terprogram. Untuk itu sangat diperlukan kerja bersama dalam skopa wilayah yang lebih luas dan dengan memperhitungkan keragaman kontribusi terhadap program ini di antara semua unsur dalam ICRP maupun komunitas dialog antar agama pada umumnya. Sinergi kelembagaan semacam ini akan membantu untuk mengatasi kendala tradisional dalam pengembangan kegiatan dialog antar agama, seperti kurangnya kreativitas/inovasi kegiatan, pembiayaan yang memadai, sumberdaya manusia yang cakap, partisipasi masyarakat yang belum optimal (termasuk ketimpangan jender) dan sebagainya. Di tiap negara yang menjadi wilayah fokus ACRP dapat dikembangkan program pluralisme agama ini secara independen, tetapi antar program tersebut hendaknya disinergikan melalui pertukaran informasi dan sumberdaya lainnya untuk mendapatkan format, metode dan output pendidikan pluralisme agama yang paling optimal.

 

Kesimpulan

  1. Berbagai bentuk konflik kekerasan saat ini seakan-akan telah menjadi fenomena umum di semua tempat, termasuk kawasan Asia dan diduga merupakan manifestasi dari konflik sosial dan rendahnya kualitas pembangunan manusia, terutama di bidang pendidikan. Konflik kekerasan tersebut telah membawa kekacauan dan penderitaan di berbagai tatanan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, tempat maupun waktu kehidupan. Upaya kerja sama antar pihak dalam mencegah konflik kekerasan tersebut menjadi semakin penting dewasa ini mengingat kian tingginya kerumitan dan jumlah konflik kekerasan.
  2. Pengembangan budaya perdamaian merupakan salah satu alternatif solusi untuk mencegah konflik kekerasan. Culture of Peace tersebut tidak lain merupakan suatu pendekatan terpadu untuk mencegah konflik dan  kekerasan, yang selanjutnya membantu terciptanya dan terpeliharanya kondisi perdamaian. Sebaliknya, Culture of War merupakan budaya yang cenderung memicu kekerasan dan konflik, merusak kondisi perdamaian dan kondolidasinya.
  3. Melalui  Culture of Peace, wacana dan praktik kekerasan akan dapat direduksi sehingga dapat merealisasikan perdamaian antar manusia maupun antar manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam konteks diatas, nilai-nilai penghargaan terhadap hak asasi manusia, demokrasi dan toleransi, promosi pembangunan, pendidikan untuk perdamaian, arus informasi secara bebas dan partisipasi perempuan yang lebih luas, menjadi elemen-elemen kunci dari Culture of Peace yang harus direaliasasikan secara tuntas.
  4. Dalam konteks pengembangan Culture of Peace tersebut, komunitas agama-agama dapat berperan aktif untuk memberikan landasan nilai perdamaian dan toleransi. Nilai-nilai perdamaian dan toleransi universal pada semua ajaran agama berpotensi untuk menerangi gerak langkah para pemuka agama serta semua umat beragama dalam mewujudkan perdamaian sejati di lingkungan hidupnya masing-masing.
  5. Membawa anak-anak pada Culture of Peace tidak dapat terlepas dari kegiatan pendidikan yang mereka peroleh dirumah, sekolah, serta masyarakat. Hambatan-hambatan pendidikan perdamaian harus diidentifikasi dan dicarikan solusinya. Selain itu, pendidikan Culture of Peace harus befokus pada perbedaan minat, bakat dankapasitas masing-masing anak. Anak harus mampu mengekspresikan dirinya dalam mengembangankan budaya perdamaian. Dukungan keteladanan, kesabaran, kreativitas/ imajinasi dan konsistensi dari pihak keluarga, sekolah dan masyarakat luas sangat  penting untuk melibatkan anak-anak secara efektif dalam pengembangan Culture of Peace.
  6. Salah satu cara untuk mengembangkan Culture of Peace adalah dengan merancang sebuah sistem pendidikan agama yang menekankan tradisi dialog antar agama. Program pendidikan pluralisme agama ini perlu  dikembangkan mengingat selama ini sistem pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah sangat bersifat ideologis, otoriter, literalistik dan formalistik. Tradisi dialog antar agama dan pendekatan fenomenologis dalam melihat agama lain patut diintensifkan karena memungkinkan setiap penganut agama selalu bersikap terbuka dalam menjalin komunikasi dengan kelompok lain serta membantu pemahaman konstruksi terhdap agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Program pendidikan pluralisme agama ini juga akan mengingkatkan apresiasi atas perbedaan etnisitas, perbedaan lain yang menjadi ciri khas kehidupan di dunia ini.
  7. Pengembangan budaya perdamaian, terutama dikalangan anak-anak/generasi muda, mutlak diperlukan untuk membangun kapasitas rekonsiliasi dalam dialog antar agama. Program pendidikan pluralisme agama dapat dipertimbangkan sebagai media efektif dalam membangun budaya perdamaian tersebut secara lebih terfokus dan eksplisit.
  8. Dukungan kerjasama antar pihak dalam komunitas ICRP sangat diharapkan untuk membangun program pluralisme agama tersebut, baik secara independen pada masing-masing negara di Asia, maupun secara bersama-sama untuk mendapatkan output yang optimal. Pertukaran informasi maupun bantuan sumberdaya lainnya dilakukan secara sinambung.
  9. Suatu proyek percontohan sangat direkomendasikan untuk dapat dibangun di salah satu atau beberapa negara Asia guna merumuskan rancangan program pendidikan pluralisme agama, sekaligus melakukan serangkaian uji coba implementasi program. Pada akhir masa uji coba program, diharapkan program pendidikan pluralisme agama ini sudah cukup siap untuk direplikasikan di berbagai wilayah, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki kerentanan tinggi dalam hubungan antar agamanya.[]