|

Muslimah Reformis

Memupuk Kesadaran Ekologis Melalui Ekofeminisme

Ayu Alfiah Jonas

Pengelola sampah di tempat tinggal saya saat ini mengolah sampah dengan cara khusus. Pembakaran sampah dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan RT setempat. Hasil pembakaran diolah oleh tim yang datang tiap seminggu dua kali. Pengelola memisahkan sampah (plastik, logam, kertas, dan jenis-jenis sampah lain) untuk diberikan pada para pemulung yang kelak akan didaur-ulang. Sampah makanan dipisah untuk menjadi pupuk bagi tanaman sekitar. Belakangan saya tahu, sampah kayu juga digunakan sang pengelola untuk memasak, menjadi bahan bakar api kompor tungku.

Di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) berbentuk kotak yang berlapis semen itu, sampah dikelola dengan amat baik. Tanpa sadar, pengelolaan sampah yang baik ini justru membuat saya nyampah seenaknya. Tiap kali membuang plastik yang tak bisa didaur-ulang, saya memang merasa bersalah. Tapi, lantaran pengelolaan sampahnya baik, rasa bersalah tersebut kadang tak ada (hilang begitu saja), berulang kali, tanpa saya sadari.

Kegelisahan tentang absennya rasa bersalah karena membuang sampah plastik terus-menerus tersebut membuat saya mesti menekan kesadaran dalam diri tentang pentingnya meminimalisir sampah. Bila terpaksa mendapatkan gelas plastik dari coffee shop, saya kerap membawa gelas tersebut pulang, mencucinya, membuang bagian yang tak terpakai (untuk diolah di TPS), lalu menggunakannya kembali sebagai wadah serbaguna. Gelas-gelas plastik bekas itu pun terpakai dengan semestinya.

Saya kemudian sadar, meski belum hidup nol persen tanpa sampah plastik, kesadaran ekologis yang tumbuh dalam diri saya harus ditularkan. Konklusi tersebut muncul karena saya ingin konsisten dan memiliki teman dalam menjaga kesadaran, agar tidak merasa berusaha menjaga bumi sendirian. Tapi, bagaimana caranya saya memiliki teman untuk saling mengingatkan bila tak ada jembatan untuk mengemukakan apa yang saya pikirkan? Untuk itulah saya menulis esai sederhana ini

Berhenti Menjadi Subjek Ekspoitasi

Kita murka dengan ulah manusia yang tamak merusak malam. Kita kesal karena, nampaknya, kesadaran bahwa alam telah rusak dan berpotensi tak dapat dipulihkan kembali seolah-olah hanya milik golongan tertentu, bukan miliki semua orang. Padahal, kesehatan bumi akan berdampak pada kesehatan seluruh manusia di dunia, tanpa terkecuali. Eksploitasi alam menciptakan kehancuran yang secara mutlak berimbas kembali pada manusia sendiri.

Agar tak lagi merasa berhak mengeksploitasi alam, kita memerlukan gagasan yang tak mendudukkan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek sehingga manusia dianggap berhak atas alam. Pandangan ini sudah tidak relevan sebab kini alam telah rusak akibat ulah manusia. Inilah antroposentrisme, isme yang memiliki pemahaman bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting dari spesies hewan atau tumbuhan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif (subjek-objek).

Untuk tak lagi menggunakan isme tersebut, kita memerlukan gagasan ekofeminisme. Titik berangkat ekofeminisme adalah membongkar anggapan bahwa manusia berhak atas alam sehingga menimbulkan keserakahan dan kesemena-menaan. Bagi ekofeminis, manusia sama sekali tak berhak merusak alam. Pandangan ini sejalan dengan posthumanisme dalam kondisi posthuman di mana manusia tak lagi menjadi pusat dari segala sesuatu. Dalam kedua isme ini (ekofeminisme adalah bagian dari posthumanisme), manusia mesti bisa hidup berdampingan dengan alam baik hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati dengan “harmonis”, bukan lagi untuk “menguasai” dan mendapat keuntungan sebesar-besarnya.

Kesadaran manusia terhadap kondisi ekologi menciptakan banyak gerakan penyelamatan lingkungan. Ekofeminisme sebagai gerakan berusaha mengawinkan antara ekologi dan feminisme dalam sebuah kesatuan gerakan yang sinergis. Keterhubungan keduanya tak lepas dari kesamaan situasi dan posisi perempuan dan alam yang selalu ditindas oleh kekuatan patriarki. Revolusi ekologis dan feminis mencakup hubungan baru antara laki-laki dan perempuan serta antara manusia dan alam. Kedua hubungan tersebut, dalam ekofeminisme, harus harmonis.

Tata Kehidupan Berkeadilan

Ekofeminisme muncul sebagai gerakan feminis, perdamaian, dan ekologi. Fenomena rusaknya lingkungan yang disebabkan eksploitasi lingkungan yang brutal tersebut membuat kaum perempuan resah akan tindakan dominasi (laki-laki) yang terlalu besar. Keresahan ini kemudian menimbulkan teori perlindungan alam oleh kaum perempuan yang dinamakan dengan teori ekofeminisme seperti yang telah disebutkan sebelumnya: mendobrak etika antroposentrisme yang mengutamakan manusia atas alam.

Penindasan terhadap alam dan perempuan harus dihentikan dengan cara mengembangkan kepekaan kesadaran etis-ekologis serta menyingkirkan berbagai struktur penindasan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Alam dan perempuan dalam perspektif etika ekofeminisme memiliki kesamaan nasib yaitu sama-sama tertindas. Marginal. Oleh sebab itu, keduanya harus konsisten dalam berjuang di garis yang sama.

Etika ekofemisme berusaha membongkar pola pikir dan kebijakan patriarki yang menindas alam dan perempuan menuju tata kehidupan yang lebih berkeadilan. Tak bias gender, tak lagi dipenuhi para misoginis, dan tak lagi patriarkis. Dalam perjuangan ini, banyak perempuan yang berjuang menuntut keadilan dengan membuat ruang ekologi dan mempraktikkan ekofeminisme. Mereka membuat gerakan peduli lingkungan, memobilisasi massa untuk mengolah sampah dengan benar, memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan kesadaran etis-ekologis, dan lain sebagainya.

Meski kita bertindak dengan cara sederhana atau dalam skala yang kecil, nilai-nilai ekofeminisme tetap menjadi bagian dari kehidupan. Kegiatan mengelola sampah misalnya. Dewasa ini, berbagai kegiatan pengelolaan sampah dengan konsep bank sampah telah banyak bermunculan dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat karena melibatkan masyarakat sekitar sebagai pengelolanya. Banyak juga yang telah memaksimalkan media sosialnya untuk menyebarkan ekofeminisme melalui konten-konten yang variatif.

Prinsip-Prinsip Ekofeminisme

Ekofeminisme adalah cara untuk menganalisis persoalan lingkungan hidup dengan menggunakan pisau analisis feminis yang bertumpu pada pendapat bahwa krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh pandangan antroposentris, tapi juga oleh dominasi laki-laki. Fenomena rusaknya lingkungan diakibatkan oleh eksploitasi serakah atas alam yang membuat kaum perempuan resah akan tindakan dominasi (laki-laki) yang terlalu besar. Dari sinilah kemudian timbul teori perlindungan alam oleh kaum perempuan yang dinamakan sebagai teori ekofeminime.

Dalam melaksanakan ekofeminisme, ada beberapa prinsip etis yang mesti dipenuhi. Prinsip etis adalah pedoman umum yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mempermudah pengambilan keputusan pada saat berhadapan dengan situasi konkrit. Dalam perspektif ekofeminisme, prinsip etis tersebut bukanlah kewajiban kaku yang berlaku secara mutlak, namun bersifat kontekstual. Berikut adalah beberapa prinsip etis yang dikembangkan oleh ekofeminisme dalam upaya melestarikan lingkungan:

Pertama, bertanggungjawab terhadap keutuhan biosfer

Ekofeminisme mendukung sikap manusia yang bertanggungjawab terhadap nasib generasi mendatang di masa depan. Tanggung jawab terhadap generasi mendatang muncul karena ada kesadaran bahwa kehidupan adalah sesuatu yang sangat bernilai sehingga harus dijaga kelestariannya. Prinsip tanggung jawab ini mestinya menembus batas ruang dan waktu, tidak hanya sebatas momentum belaka, tapi harus berkelanjutan hingga masa mendatang, demi bumi yang dapat dihuni oleh anak-cucu-cicit kita kelak.

Kedua, solidaritas kosmis.

Sikap solidaritas tidak hanya dibutuhkan untuk relasi antarmanusia. Pada cakupan yang lebih luas, solidaritas diperlukan dalam relasi manusia dengan alam. Relasi yang dimaksud tidak hanya hanya sebatas satu unsur saja, tapi juga mencakup semua unsur yang ada dalam alam. Relasi ini juga tidak hanya berlaku untuk saat ini saja, tapi juga berlaku bagi generasi mendatang. Solidaritas kosmis mendorong manusia mengambil sikap pro-alam, pro-lingkungan, dan menentang tindakan merusak lingkungan yang sebelumnya dipercaya oleh umat manusia sebagai tindakan yang normal karena merasa berhak atas alam.

Ketiga, menjaga keselarasan dengan alam.

Prinsip keselarasan, di mana pun, kapan pun, dan untuk tujuan apa pun, melarang orang bertindak atas dasar dan pertimbangan egoisme semata. Kepentingan pribadi mesti dipikirkan secara matang, jangan sampai keberadaannya merusak ritme alam maupun sosial yang sudah berjalan secara teratur. Manusia berevolusi dengan mengorbankan alam dan melanggar hukum semesta. Pada akhirnya, apa yang dihasilkan hanyalah kehancuran. Dalam ekofeminisme, kita wajib mengenali batas-batas perbuatan yang dapat dilakukan agar harmoni sosial maupun ekologis dapat terus dipertahankan untuk masa kini dan nanti.

Keempat, menjalin relasi setara.

Prinsip egalitarian dalam perspektif ekofeminisme mengandaikan berbagai keinginan, aspirasi, dan kepentingan semua pihak diakomodasi secara proporsional. Dalam konteks relasi manusia dengan alam, prinsip egalitarian adalah tentang pengambilan keputusan dalam dimensi moral yang tidak hanya memperhitungkan kepentingan manusia saja tapi juga mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak non-manusia seperti hewan dan tumbuhan yang merupakan bagian dari alam.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Dari penjelasan-penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ekofemenisme adalah aliran yang menghubungkan antara feminisme dan ekologi. Arah gerakan ini ditujukan demi terwujudnya pelestarian lingkungan yang dipelopori oleh kaum perempuan dalam kesadaran femenisme. Atas dasar tersebut, dicanangkanlah usulan-usulan sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan ekofeminisme sebagai berikut:

Pertama, mitra gender.

Ekofeminisme bertitik-tumpu pada terwujudnya hubungan dan kerjasama yang setara, seimbang, dan saling memanusiakan di antara kaum perempuan dan laki-laki, yakni untuk sama-sama memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kelestarian bumi. Kaum perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban untuk saling membina, bekerjasama, dan saling mengingatkan tentang tanggung jawab menjaga lingkungan secara bersama-sama.

Kedua, diri sendiri.

Perempuan adalah pelopor dan motivator dalam upaya pemeliharaan lingkungan hidup. Kita sangat mampu mendirikan komunitas lingkungan yang bergerak dengan mengajak kaum perempuan lainnya, dimulai dari lingkungan terdekat, agar peduli dan melestarikan lingkungan sekitar. Caranya bisa dengan menyalurkan tulisan melalui media agar penyebaran informasi tentang ekofeminisme lebih meluas dan dapat dijangkau oleh masyarakat umum.

Semoga melalui esai singkat ini saya mendapatkan teman, baik luring maupun daring, untuk dapat saling konsisten dalam mengingatkan tentang pelestarian lingkungan. Terutama, untuk saling menegur apabila mulai lupa dan masa bodoh tentang penggunaan plastik sekali pakai, monster paling mengerikan yang merusak bumi dengan kejam. Barang yang hanya kita pakai sekali, namun kerusakan atau kehancuran yang ditimbulkan melipat berjuta-juta kali.

Sumber Tulisan

  1. Ekofeminisme: Menyoal Perempuan & Alam(2017) dalam Jurnal Perempuan No.22 oleh Abby Gina.
  2. Ekofeminisme: Perspektif Gerakan Perempaun dan Lingkungan(2005) oleh Vandana Shiva dan Maria Mies.
  3. Gerakan Ekofeminisme dalam Pemberdayaan Perempuan Pengolah Limbah, Resiprokal Vol. 1, No. 1, (40-52) Juni 2019.