|

Muslimah Reformis

Mengapa Wajib Jilbab Merampas Hak Perempuan?

Saya lahir di Pontianak pada tahun 2004, namun sejak umur 40 hari saya diserahkan kepada Mak Nong. Dia adalah nenek saya dari pihak ibu di Punggur. Sebuah desa kecil dengan banyak pohon langsatĀ  terletak sepanjang parit deraman dimana orang sering memakai perahu kayu buat mengangkut langsat dan hasil kebun lainnya. Desa ini terletak sekitar 20 km dari Pontianak dan 261 km dari Selat Karimata.

Di Punggur saya dirawat Mak Nong dan kakek saya Pak Ilyas. Saya dirawat mereka karena ibu saya waktu itu belum 20 tahun memutuskan bekerja di Pontianak. Ā Pada masa kecil yang menyenangkan. Saya sekolah di SDN 3 Sungai Kakap. Kala itu semua teman muslim tak berjilbab. Mula berjilbab saat kelas 4 SD Tahun 2012. Jarang ditemukan Ā anak perempuan desa ataupun di keluarga saya pakai jilbab saat itu. Dengan model jilbab yang bervariasi orang-orang di kampung sering memuji ā€œCantek e pakai jilbabā€ kepada saya.

Suatu pagi saat hendak masuk kelas di SMP Negeri 3 Sungai Kakap Tahun 2015.Ā  Saya di stop dan ditanya dalam bahasa Punggur, ā€œAlas jilbabnye kemane? Ngape tak dipakai?ā€ kata kepala sekolah.Teguran itu membuat saya takut, lalu memutuskan untuk pakai alas jilbab. Setiap pergi sekolah dan dilepas saat pulang sekolah.

Setelah tamat sekolah menengah pertama lalu memutuskan tinggal bersama orang tua untuk masuk SMA Negeri 4 di Kota Pontianak. Tamat SMA tahun 2021 jilbab itu masih melekat pada saya. Saat mulai lepas pasang pada tahun 2022. Ketika keluarga atau teman dekatĀ  melihat saya tak berjilbab, mereka sering mempertanyakan, ā€œKok jilbab nye tak dipakai? auratnye keliatan tuh, kalo pake jilbab keliatan lebih rapi.ā€ kata mereka

Tutur mereka yang menjadikan jilbab standar kecantikan, kesalehan, dan ketaatan Ā perempuan. Diskirminasi dan tekanan sosial terkait aturan jilbab sering terjadi di lingkungan masyarakat, sekolah negeri, kalangan guru, pegawai negeri sipil, kantor pemerintah, dan sejumlah anak perempuan di Indonesia.

Akibatnya menyebabkan siswi harus pindah sekolah biasanya sekolah swasta yang berbayar, guru pindah mengajar, dan sebagian besar pegawai negeri sipil perempuan terpaksa berhenti lalu mencari lingkungan pekerjaan yang bebas dan bersahabat.

Seperti yang dikatakan Ifa Hanifah Misbach dalam riset HRW seorang psikolog di Bandung Ā pernah membantu pasien perempuan yang punya pengalaman buruk dengan wajib jilbab. Ia berbicaraĀ  tentang kondisi tekanan emosional korban yang disebutā€œBody Dysmorphic Disorder.ā€ Ia mengatakan ā€œjika tubuh kita terluka, kita dapat mendiagnosis masalah dan menyembuhkan mereka. Tetapi jika kesehatan mental kita terluka, bagaimana kita menanganinya? Kita tidak pernah tahu bekas luka yang kita ciptakan denganĀ Ā  berbagai tekanan sekolah dan kantor yang intens ini.ā€ katanya. Dampak buruk penderitanya ialah mengalami depresi berat dan berujung melakukan bunuh diri.

Orang berjilbab tentu bukan masalah, tapi pemaksaan wajib jilbab yang merambat ke cara berpakaian perempuan yang jadi masalah. Pemaksaan jilbab akan merajalela dan menimbulkan lebih banyak korban bila hanya dikecam tanpa adanya tindakan dan investigasi yang serius dari pemerintah terhadap oknum-oknum yang melakukan intimidasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan baik di ranah publik ataupun sosial media.

Pemerintah berperan besar guna menghentikan diskriminasi ini. Prihatin, sampai saat ini pemerintah kurang tegas dalam menyikapi isu hak-hak perempuan padahal yang paling banyak menjadi korban hak asasi manusia adalah perempuan.

Lantas, bagaimana bisa kain penutup rambut jadi tolak ukur moral dan iman seorang perempuan? ini tak adil. Faktor pendorong pemaksaan jilbab ialah banyak masyarakat muslim terutama laki laki berpendapat, pakaian yang baik bagi perempuanĀ  muslimah ialah menutup aurat yang meliput semua hal kecuali mata dan telapak tangan.

Dalam buku Musdah Mulia yang berjudul Muslimah Reformis dikatakan bahwa pandangan ulama tentang jilbab sangat beragam. Jadi tidak boleh ada memaksakan pendapat. Alasan lepas pasang jilbab saya tidak diterima di lingkungan keluarga termasuk orang tua dan kerabat. Selalu dituntut untuk memakai jilbab. Karena tidak tahan dengan Ā pertanyaan mereka membuat saya pakai jilbab terus menerus.

Sejak ikut KAFFE (Kajian Feminisme dan Filsafat) Oktober 2022, membuat saya lebih terbuka dan berani menjadi diri sendiri. Tak takut lagi akan komentar orang-orang terkait jilbab. Orang tua sedikit demi sedikit mulai menerima keputusan saya. Kelas KAFFE membuat sadar bahwa pendidikan tak hanya semata soal akademik. Indonesia perlu menanamkan pendidikan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender sejak dini untuk generasi yang lebih maju guna menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.

Sampai saat ini di desa Punggur sendiri tepatnya dusun Parit Deraman yang merupakan tempat tinggal saya. Edukasi akan hak-hak perempuan sulit ditemukan. Tidak heran bila berkunjung kesana banyak ditemukan anak menikah muda atau putus sekolah.

Devana Aura Cantika