|

Muslimah Reformis

Mengenal Lily Yulianti Farid: Pejuang Literasi Kemanusiaan

Dalam mitologi Yunani dipercayai bahwa Lily adalah bunga jelmaan dewa. Dikisahkan bahwa Sang dewa perkasa bernama Zeus jatuh cinta pada seorang perempuan bumi dan kemudian melahirkan putra bernama Hercules. Meskipun mencintai perempuan bumi, Dewa Zeus tetap menginginkan puteranya menjadi Dewa seutuhnya. Lalu, ia menerbangkannya ke kayangan untuk disusui oleh Hera, istrinya. Tapi, Zeus ragu, apakah Hera berkenan menyusuinya? Untuk itulah, ia kemudian membius Hera hingga tertidur. Saat itulah Hercules diletakkan di bawah payudara Hera, dan tanpa ia sadari lalu menyusui Hercules. Ketika sadar, Hera pun kaget dan tak sengaja melempar Hercules ke bumi dan berubah wujud menjadi bunga Lily.  Watak culas dan serakah bukan hanya dimiliki para dewa yang memiliki kekuasaan unlimited, namun juga sudah menurun pada makhluk manusia di bumi, seperti dipertontonkan dalam drama politik di MK baru-baru ini.

Mitos kuno kemudian menjadikan bunga Lily sebagai lambang kemurnian dan ketulusan. Bunga lily memiliki pesona yang manis dan lugu sehingga seringkali dihubungkan dengan keharmonisan dan kedamaian. Tidak heran jika bunga lily menjadi simbol dalam dunia kepanduan atau pramuka. Maknanya, mengingatkan pramuka agar selalu berbuat kebenaran dan berfungsi sebagai kompas yang dapat dipercaya untuk penunjuk jalan.

Karakteristik bunga lily yang menyiratkan keharmonisan, kedamaian, cinta kebenaran dan selalu teguh menjadi penunjuk jalan adalah personifikasi pribadi Lily Yulianti Farid yang sepak terjang dan karya-karyanya sedang kita peringati sore ini di tempat yang bersejarah ini.

Sejujurnya saya hanya tiga kali bertemu fisik dengan Lily. Tapi, pertemuan kami selalu berlangsung intens karena dipersiapkan sebelumnya. Dalam setiap pertemuan terjadi dialog dari relung hati kami masing-masing, mempertanyakan eksistensi tentang banyak hal, terutama berkaitan dengan misi kemanusiaan. Dialog dan percakapan kami juga penuh diwarnai tawa. Kami lebih banyak menertawakan diri kami sendiri. Betapa banyak hal yang masih harus kami kerjakan sebagai manusia.

Ada beberapa kesamaan antara Lily dan saya, kami sama-sama perempuan, berasal dari Sulawesi Selatan, sama-sama dari etnis Bugis.  Kami sama-sama senang menulis, tapi Lily hebat dia bisa menulis fiksi dengan lancar, sedangkan saya terbatas pada menulis non-fiksi. Hal ini terjadi karena saya dibesarkan dalam lingkungan keagamaan yang sangat tradisional dimana hal-hal yang bersifat fiksi dianggap tidak religius. Saya ingat betul ketika akan melanjutkan pendidikan ke PT, syaratnya adalah saya wajib memilih jurusan Bahasa Arab. Karena penduduk surga itu berbahasa Arab.  Blessing in disguise, di sini saya mengambil jurusan sastra Arab dan kemudian mendalami tulisan-tulisan fiksi dari sastrawan Arab terkenal. Namun, kemudian perjalanan intelektual saya di S2 dan S3 memaksa saya untuk lebih banyak intens menulis karya-karya non-Fiksi.

Selain itu, kami sama-sama aktifis-feminis yang kritis pada kondisi masyarakat yang kerap kali dipenuhi dengan ketimpangan dan ketidakadilan, khususnya ketidakadilan gender. Bedanya Lily mengekspresikan pandangan-pandangan kritisnya melawan patriarki dan konservatisme agama serta kekerasan ekstremisme melalui tulisan fiksi berupa cerpen dan semacamnya. Sedangkan saya mengutarakannya dalam tulisan-tulisan non-fiksi yang mudah dicerna masyarakat.

Tidak heran jika Tulisan-tulisan saya yang mengkritisi patriarki, khususnya dalam isu agama melahirkan resistensi kuat dari kalangan tradisional dan konservatisme agama, sedangkan Lily tidak demikian karena kalangan agamawan konservatif tidak suka bacaan fiksi, seperti cerpen. Di situlah keuntungan Lily. Dia terbebas dari caci-maki kelompok konservatif seperti yang saya alami.

Inspirasi dari La Galigo

Menurut hemat saya, masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya dari kalangan etnis Bugis seharusnya memiliki kecenderungan untuk tertarik pada dunia kesusasteraan. Bukankah mereka memiliki warisan abadi berupa karya sastera kuno I La Galigo. Pada tahun 2011, karya sastra ini telah diakui oleh badan dunia UNESCO dan diberi penghargaan sebagai Memory of The World.

Ini adalah sebuah epik mitos Bugis di Sulawesi Selatan ditulis abad ke-13 dan ke-15 berbentuk puisi bahasa Bugis kuno dalam huruf  Lontara. Epik ini dianggap karya sastra terpanjang di dunia, mengalahkan epik Mahabharata dari India. Isinya menceritakan kisah asal usul manusia dan sarat dengan pesan-pesan moral kehidupan berupa nilai-nilai inklusif, toleran dan perdamaian.

Bagi saya, membaca La Galigo berarti penghargaan terhadap dua perempuan yang sangat berjasa, mereka adalah Siti Aisyah We Tenriolle (ratu di Kerajaan Tanette: 1855-1910) dan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana. Colliq Poedjie adalah perempuan intelek, dialah yang mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan. Colliq sering diminta oleh Raja yang merupakan ayahnya sendiri untuk menulis surat-surat kerajaan.

Jadi, eksistensi perempuan dalam etnis Bugis sudah diapresiasi sejak lama, termasuk dalam banyak cerita yang dituturkan dalam epik La Galigo. Di sana disebutkan sejumlah tokoh perempuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan.

Karya sastra La Galigo sarat dengan nilai-nilai moral dan spiritual, di antaranya yang paling fundamental adalah dua nilai, yaitu siri dan pesse. Siri’ dan pesse merupakan satu ungkapan nilai dasar dalam kebudayaan Bugis-Makassar. Siri’ bermakna kehormatan, harga diri, martabat yang harus dipertahankan. Pentingnya seseorang menjaga harkat dan martabat kemanusiaan sehingga malu melakukan hal-hal yang mencederai sesama dan menyebabkan martabat manusia terkoyak. Malu melakukan korupsi, malu berbuat tidak amanah, malu berselingkuh, malu mengambil hak orang lain dan seterusnya.

Adapun pesse pada dasarnya adalah sikap empati yang mendalam, sehingga membentuk karakter solidaritas dan kesetiakawanan sosial yang kuat. Siri na pesse itu kemudian dijabarkan dalam bentuk tiga prinsip: Sipakatau (saling memanusiakan manusia); Sipakainge (saling mengingatkan); dan Sipakalebbi (saling mengapresiasi dengan penuh kasih sayang). Ketiga nilai tersebut digunakan utk membangun perdamaian, ketentraman bersama, menjalin persahabatan kepada setiap orang tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan persis dengan slogan bhinneka tunggal ika.

Siri’ dan pesse sebagai nilai dasar dalam kebudayaan Bugis-Makassar bisa dijadikan sebagai sebuah model untuk membangun dan memperkuat nilai kebangsaan di negeri ini, yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal. Nilai siri’ dan pesse sangat relevan terhadap upaya penguatan nilai kebangsaan dan persatuan di Indonesia.

Nilai-nilai moral yang terkandung dalam karya sastera La Galigo banyak menginspirasi tulisan-tulisan fiksi Lily. Tulisannya berjudul Dapur menggambarkan betapa ketidakadilan selalu menghampiri kehidupan perempuan yang memang sudah ambigu dan rumit. Ini tentang seorang janda yang harus menghidupi keluarganya, terpaksa hanyut dalam intrik. Untungnya, dia memiliki anak perempuan pemberani dan tegar yang berusaha melawan kejahatan patriarkhi.

Lily dalam berbagai karyanya selalu menonjolkan perempuan terdidik, terpelajar, modern, beberapa di antaranya berkehidupan global. Namun, di saat yang sama selalu ada perempuan-perempuan “biasa” dan tradisional yang menyertainya. Tampaknya, Lily sadar perempuan selalu dalam tuntutan untuk memilih dan berkonsekuensi. Ide gemerlap selebritas dan politik diolah Lily menjadi cerita yang menyengat tanpa harus menampakkan keberpihakannya.

Dedikasi dan Kecintaan Lily pada Dunia Literasi

Lily dikenal sebagai penulis karya fiksi yang mengangkat kisah hidup perempuan-perempuan di Makassar. Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya (2008) jadi kumpulan cerpen pertama Lily yang diterbitkan. Setelah itu, ia menulis Family Room (2010) dan Ayahmu Bulan, Engkau Matahari: Sebuah Kumpulan Cerpen (2012).

Makkunrai: Cerita-cerita dalam buku ini menunjukkan gugatan Lily pada kemapanan yang ada. Berbeda dengan banyak penulis perempuan, Lily melawan arus, mempertanyakan banyak hal yang dianggap wajar dalam masyarakat. Makkunrai dan 10 cerita lainnya hadir menggugat eksistensi perempuan sebagai manusia utuh yang tak boleh diperlakukan semena-mena.

Ayahmu Bulan, Engkau Matahari. Tujuh belas kisah dalam buku ini membawakan cerita-cerita dari ruang dapur sampai wilayah konflik. Dari urusan tepung terigu sampai misi kemanusiaan di Ramallah. Hampir semua tokoh utama adalah perempuan dari beragam usia, ras, budaya, dan agama. Mereka bergelut dengan pencarian jati diri, ketimpangan gender, cinta segitiga, hingga masalah-masalah sosial-politis yang kerap menjadikan perempuan sebagai objek. Dilatari ilustrasi yang indah dan detail cerita yang unik, Lily menampilkan suara-suara perempuan paling jernih dalam meneriakkan kegelisahan, kemarahan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang kerap terjadi di mana pun mereka berada.

Nua, Diani dan Laki-laki Bejat. Dalam serita ini, Lily bergerak lebih ekstrim. Bukan sekedar berkepala batu, melainkan benar-benar lemparan batu. Yang menjadi obyek kebencian adalah, tentu saja, lelaki; yaitu lelaki yang suka kawin cerai. Ini persoalan purba antara lelaki dan perempuan. Di jaman mutakhir ini perempuan bisa mencapai apa pun yang ia kejar, namun soal “dimadu” adalah yang pertama dan terakhir.

Dahlia di Rumah Dahlia. Lily tampak cemerlang saat bercerita tentang perempuan cerdas, mandiri, global, metropolitan. Seolah ia menulis tentang diri dan angan-angannya sendiri. Namun, setinggi-tinggi perempuan terbang, ia akan kembali hinggap dalam kerinduan alamiahnya; keluarga. Lagi-lagi cerpen yang lincah dan menyenangkan.

Koruptor di Rumah Nenek Haji. Ini adalah kritik Lily yang paling satir terhadap kemanusiaan. Lily mempunyai ide-ide besar namun tetap dalam bingkai nilai-nilai dasar. Ia bercerita tentang kehidupan modern, gemerlap, mutakhir, global yang menggiurkan yang terajut ajaran-ajaran tradisional. Lily sadar posisi perempuan selalu dalam pilihan dan konsekuensi yang rumit. Perjuangan perempuan yang tak kunjung tuntas adalah berusaha menapak seimbang dalam dua titik konsekuensi yang tampak rumit. Saya menduga, Lily cenderung untuk memilih titik berangkat sebagai garis penghentiannya: keluarga. Lily tak mau memungkiri kodrat sejati perempuannya.

Aktivis Gerakan Sosial dalam bidang Sastra

Salah satu keistimewaan Lily adalah, dia bukan hanya penulis yang mengungkapkan gagasan dan pikirannya melalui cerita-cerita fiksi. Namun, yang lebih penting adalah dia telah menjadi lokomotif sebuah gerakan sosial pembaruan sastra di Indonesia Timur.  Dia dan sejumlah penulis yang memiliki keprihatinan bagi pentingnya menumbuhkan sastrawan muda dari belahan timur Indonesia mengorganisir sejumlah proyek independen, seperti “Panyingkul!” didirikan pada 1 July 2006, suatu media online yang memperkenalkan konsep “citizen journalism”, yang berbasis di Makassar. Demikian juga “Makkunrai Project” terlihat konteks edukasinya yang sangat kuat.

Pada 2010, mendirikan rumah budaya “Rumata Artspace” sebagai proyek bersama dengan sutradara film Riri Riza. “Rumata”, yang berarti rumah kita dalam bahasa Bugis-Makassar, bertujuan sebagai forum independen untuk perkembangan seni dan budaya di Makassar dan kebangkitan tradisi sastra Sulawesi Selatan.

Tahun 2011 menggagas “Makassar International Writers Festival” (MIWF) atau Festival Penulis Internasional Makassar. Di Makassar, nama Lily memang besar dan harum karena kontribusinya di dunia literasi. Ia begitu serius merawat literasi dan komunitas penulis Timur. Mereka sering mengangkat dan mengkritisi ketimpangan di dunia literasi Indonesia yang masih bias Jawa-sentris. Eksistensi Lily yang paling mencolok yaitu terkait pergerakannya di akar rumput dalam membangun literasi, serta menggerakkan kesadaran kebudayaan.

Ia selalu mengungkapkan pentingnya kolaborasi sesama sastrawan, sesama seniman perlu saling menumbuhkan dan memperkaya karya masing-masing. Sejak tahun 2009, Lily sudah menyatakan kegelisahannya tentang komunitas sastra Indonesia yang kurang memperhatikan para penulis di timur Indonesia. Tentu saja penulis sesungguhnya tak perlu mementingkan asal usul dan peta tapi saya gelisah karena begitu banyak kawan-kawan muda di daerah timur Indonesia yang berpotensi tak kunjung mempunyai kesempatan untuk menampilkan karyanya.

Yang tidak banyak diketahui oleh adalah sebenarnya, Lily dengan pandangannya bahwa sastra dan gelaran sastra haruslah mendapat tempat yang bermutu justru melahirkan sebuah komunitas yang menyediakan tempat bagi para penulis pemula untuk bisa menampilkan karyanya dengan suasana yang lebih egaliter dan tanpa kurasi yang ketat. Dengan demikian para sastrawan muda bisa sepanggung dengan sastrawan-sastrawan ternama.

Pandangan Kebudayaan tentang Interaksi Kemanusiaan Global

Lily memperluas minatnya pada masalah kebudayaan dan interaksi kemanusiaan global dengan mengangkat hubungan historis antara Makassar dan Pribumi Australia. Lily membahas dinamika pelayaran nelayan Indonesia ke perairan yang sekarang menjadi bagian dari The Australian Fishing Zone, utamanya untuk pengambilan dan pengolahan tripang. Tradisi ini telah berlangsung sejak abad 18 dan masih berlangsung sampai saat ini. Tradisi ini pula telah mengkoneksikan Cina, Indonesia dan Benua Australia, termasuk memfasilitasi interaksi dan pertukaran budaya antar beberapa suku bangsa maritim di Indonesia secara domestik maupun dengan suku Aborijin di belahan utara benua Australia.

Penelitian Lily dkk tersebut merupakan kritik tajam dan sekaligus usaha melengkapi wacana utama tentang Jalur Rempah yang selama ini cenderung hanya berfokus pada komoditi rempah dengan perspektif arkeologis dan sejarah saja. Secara politis, kajian seperti ini juga lebih banyak membahas periode kolonialisme. Dalam narasi dominan seperti ini, Jalur Rempah seolah-olah tercipta karena penguasaan bangsa-bangsa Eropa akan alur maritim dari negara asal mereka ke pulau-pulau sentra produksi rempah dan monopoli perdagangannya.

Tulisan non-fiksi Lily tentang suku Aborigin mengungkapkan interaksi berbagai etnik maritim di Indonesia yang terlibat dalam penangkapan tripang. Sementara itu, di Benua Australia, Orang Aborigin masih mengingat dan bahkan menggunakan sejarah pertemuan mereka dengan nelayan tripang dari Indonesia untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang terisolasi total sebelum kedatangan orang kulit putih yang menguasai Australia saat ini.

Kesimpulan

Hasil penelitian Lily menjelaskan tentang dua hal pokok. Pertama, tentang peran-peran potensial para seniman dan pegiat seni-budaya dari Makassar dalam menceritakan sejarah pelayaran nelayan Indonesia ke Australia. Kedua, melihat perubahan pandangan para seniman dan penggiat seni dalam melihat hubungan Indonesia-Australia. Para seniman dan penggiat seni budaya yang fokus perhatian ini adalah mereka yang telah terlibat dalam proyek-proyek kebudayaan dan kesenian terkait industri teripang di masa lampau.

Pembacaan saya terhadap karya-karya sastra dan kerja-kerja kebudayaan Lily menyimpulkan bahwa Lily sangat serius ingin melakukan upaya-upaya penguatan literasi kemanusiaan.

Dunia literasi, adalah dunia yang pada umumnya digeluti oleh kelompok manusia yang memiliki kesadaran kritis dan kemampuan intelektual yang baik. Dunia literasi memaksa kita memperbanyak pengetahuan, dipaksa untuk memperbaiki pola pikir, serta memiliki sebuah sudut pandang yang lebih manusiawi.

Dunia literasi juga penting bagi seseorang untuk dapat menyuarakan segala macam yang menjadi kegelisahannya. Baik kegelisahan mengenai kondisi sosial, ekonomi, politik maupun agama. Biasanya, seseorang yang aktif dalam dunia literasi memiliki integritas yang baik, wawasan yang luas dan empati kemanusiaan yang membuatnya selalu rendah hati dan tidak pernah jemu melakukan upaya-upaya transformasi bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadaban.

Dunia literasi, adalah dunia yang pada umumnya digeluti oleh kelompok manusia yang memiliki kesadaran kritis dan kemampuan intelektual yang baik. Untuk dapat bergaul lebih jauh dengan literasi, kita dipaksa untuk memperbanyak pengetahuan, dipaksa untuk memperbaiki pola pikir, serta memiliki sebuah sudut pandang yang lebih manusiawi. Dunia literasi menjadi media penting bagi seseorang untuk dapat menyuarakan segala kegalauan, baik kegelisahan mengenai kondisi sosial, ekonomi, politik maupun agama. Biasanya, seseorang yang aktif dalam dunia literasi memiliki integritas yang baik, wawasan yang luas dan empati kemanusiaan yang membuatnya selalu rendah hati dan tidak pernah jemu melakukan upaya-upaya transformasi bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadaban.

Literasi saat ini tidak lagi berhubungan dengan aksi pemberantasan buta aksara, akan tetapi menjadi sebuah praktik sosial yang melibatkan kegiatan berbahasa dalam memproduksi ide dan mengkonstruksikannya ke dalam konteks budaya yang spesifik. Dengan kata lain, akhir dari sebuah proses literasi adalah menjadikan individu sebagai seorang yang literat karena dapat menggunakan potensinya untuk berpartisipasi secara optimal dalam komunitas sosialnya.

Dalam konteks literasi kemanusiaan, kemanusiaan dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, menghargai hak asasi manusia, serta memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mencapai potensi mereka. Dalam hal ini juga meliputi kemampuan untuk memahami dan menghargai keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat, serta hak-hak orang yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan demikian, literasi kemanusiaan dapat membantu seseorang untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih terbuka dan toleran terhadap orang lain. Literasi kemanusian terbilang penting karena membuat seseorang mampu memahami dan menghargai hak-hak asasi manusia, serta perbedaan-perbedaan yang ada di antara individu-individu dalam masyarakat sehingga diharapkan mampu berkontribusi membangun peradaban yang lebih baik.

Ayat pertama Al-quran menyerukan iqra (bacalah!), perintah memperkuat literasi! Itu merupakan pondasi awal bagi bangunan masyarakat yang berkeadaban yang dalam term Islam disebut baldah thayyibah wa rabun ghafur. Di sana lah manusia mencapai perannya yang paling krusial sebagai makhluk literat tingkat tinggi.

Demikian, semoga Lily merasa damai di alamnya yang sekarang dan kita pun semoga selalu terpanggil untuk tetap berkarya melestarikan nilai-nilai kemanusiaan universal.