Bersih-bersih itu perintah agama. Dan bersih itu bagian dari iman. Ketika kita mau sholat, maka didahului kewajiban bersih-bersih, yang disebut toharoh. Caranya bersih-bersih itu dengan wudhu, membersihkan diri dari najis, maupun dari hadits kecil. Medianya bisa dengan air, atau kalau tidak ada dengan debu, yang disebut tayamum. Barulah kemudian bisa melaksanakan sholat.Tapi tunggu dulu, ketika mau melaksanakan sholat, ruangan atau sekitar yang digunakan untuk aktivitas sholat pun harus bersih. Tidaklah mungkin setelah bersih dengan wudhu, tempatnya penuh dengan najis.
Bayangkan sholat sekeliling ada najis, meski tidak bersentuhan langsung, bisa jadi udara memindahkan najis itu ke tubuh kita. Yang akhirnya kita pun punya najis. Seperti virus covid-19, meski tidak bersentuhan langsung, ada kemungkinan berpindah ke tubuh kita dari orang lain lewat udara. Maka penting ketika kita bersih lingkungan sekeliling kita pun bersih. Maka tabiat bersih itu tidak hanya untuk diri (tubuh) sendiri. Lingkungan dimana kita ada dan beraktivitas juga harus bersih. Dan itu mencerminkan iman kita.
Dan baru beberapa hari ini kita kembali dikagetkan oleh berita korupsi. Sebelumnya dua menteri tercokok oleh KPK. Dua hari lalu seorang gubernur juga tertangkap. Seperti geledek di siang bolong. Yang ketiga ini seakan tidak pernah terbayangkan bisa terjadi pada tokoh yang dikenal bersih, dan peraih penghargaan Bung Hatta. Jika bener seperti diberitakan, sangat sangat disayangkan.
Para pejabat terutama di top level, sudah seharusnya mengamalkan filosofi wudhu, bersih diri, dan membersihkan lingkungannya, terutama bawahannya. Jika tidak dengan air, bisa dengan debu dalam keadaan darurat. Jika tidak dengan contoh diri dan kuasa yang dimiliki, dengan upaya lain yang dibutuhkan selain pengawasan yang ketat. Dan perlu kita ingat, mensucikan diri itu tidak hanya dengan wudhu. Tapi juga dengan makanan yang masuk ke perut kita. Makanan yang masuk ke perut dari hasil korupsi meski sejatinya makanan itu halal, tetapi tidak suci.
Seperti tertuang dalam surat al-Kahfi 19.
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
(Hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan membawanya makanan itu untuk kalian).
#KhazanahGNH
Komunitas Santri Gus Nadirsyah Hosen
Biografi Penulis
Nadirsyah Hosen merupakan seorang intelektual muslim yang lahir dan hidup di lingkungan Islam Nusantara. Ia juga mengenyam pendidikan intelektual ala Barat nan modern. Nadir, begitu nama kecilnya lebih dari 13 tahun berkarir di Australia. Pria kelahiran 8 Desember 1973 merupakan satu-satunya orang Indonesia yang menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum Monash University, Melbourne, Australia. Pada sisi lain, Nadir meraupakan salah satu tokoh Nadhatul Ulama, organisasi muslim tradisional dan terbesar di Indonesia. Sejak 2005, ia dipercaya sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang NU Australia-New Zealand.
Secara garis nasab ia menunjukkan kelahiran para pemikir Islam beda generasi. Kakeknya, K.H Hosen, ulama dan saudagar berdarah Bugis, merupakan pendiri Mu’awwanatul Khair Arabische School di Tnajung Karang, Lampung pada awal abad ke-20. Ayah Nadir, Prof. KH. Ibrahim seorang ahli fikih kenamaan dan pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1981-2000. Tokoh yang berpulang pada 2001 juga sempat menjadi rector IAIN Palembang dan menyandang gelar guru besar IAIN Syarif Hidayatullah. Pun, Ibrahim tercatat sebagai pendiri dua institusi agama di Jakarta Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ, 1971) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ, 1977). Institut yang disebutkan terakhir memiliki kenangan khusus bagi Nadir menyangkut sosok ayahnya.