|

Muslimah Reformis

Menulis untuk Bahagia

Saya ingin memulai orasi singkat ini dengan mengucap puji syukur ke hadirat Sang Pencipta. Allah SWT. Dia yang paling sering menyebut dirinya dengan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dua sifat yang seharusnya menghiasi diri setiap manusia. Lalu, sebagai penganut Islam tentu tak lupa mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Selanjutnya, saya patut menghaturkan terimakasih yang tulus kepada Persatuan Penulis Indonesia, Satupena di bawah kepemimpinan Denny Januar Ali. Selamat Ulang Tahun ke-60, semoga selalu sehat dan bahagia. Semoga organisasi Satupena berhasil menjelma menjadi cahaya yang mampu menerangi kegelapan dunia literasi di Tanah Air kita.

Saya mengapresiasi pilihan tempat Satupena Award di Galeri Cemara, sekaligus mengingatkan kita pada jasa-jasa almarhumah ibu Toeti Heraty. Beliau itu seperti ibu saya, sekaligus sahabat dalam berbagi gagasan dan tulisan.

Saya pun harus mengucapkan terima kasih kepada anggota Dewan Juri, terutama kepada Alm.

F.X. Purnama. Seharusnya beliau hadir bersama kita di sini sekarang, namun takdir berkata lain, Tuhan lebih sayang, lalu menjemputnya lebih cepat. Juri lainnya adalah Ibu Dhenok Kristianti, Anwar Putra Bayu, Mohammad Thobroni, Hamri Manoppo dan I Wayan Suyadnya. Para juri mewakili enam wilayah Satupena dari Aceh sampai Papua. Saya membayangkan betapa berat tugas para juri, mengingat cukup banyak penulis di Indonesia yang perlu diseleksi.

Sudah sepantasnya saya menghaturkan terimakasih kepada para tokoh yang menginspirasi dalam menulis. Di antaranya, Husain Haikal, Harun Nasution, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Fatima Mernisi, Saparinah Sadli, Djohan Effendi dan Ahmad Syafii Ma’arif.

Secara khusus saya berterimakasih kepada para penerbit, di antaranya Mizan, Gramedia, Serambi, Baca, Jurnal Perempuan, Naufan, Dian Rakyat, Paramadina, Tempo.

Lebih khusus lagi, saya menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada para pembaca tulisan saya, terutama para haters. Dibandingkan para lovers, saya justru mendapatkan lebih banyak berkah dari kemarahan dan caci-maki para haters. Mereka mendidik saya bagaimana bersikap bijak, mengendalikan emosi dan tidak membalas perlakuan mereka dengan cara serupa. Sebab, jika saya melakukannya, lalu apa bedanya saya dengan mereka? Alhamdulillah, pengalaman menghadapi para haters tersebut membuat saya lebih fokus dan bahkan lebih produktif menulis.

Terakhir tapi tidak kurang pentingnya adalah suami saya terkasih, Prof. Dr. K.H. Ahmad Thib Raya. Saya pikir tidak cukup banyak suami yang tahan hidup bersama penulis yang vokal dan selalu sibuk mendobrak bias dalam berbagai aspek kehidupan, dan tentu dengan penuh risiko. Meskipun kami sama-sama akademisi, kami sering berbeda pendapat. Tapi, kami sudah terbiasa menghadapi perbedaan dengan cara-cara bijak, tak perlu emosional, apalagi sampai bermusuhan.

Umumnya, orang mengenal saya sebagai aktivis perempuan atau aktivis HAM. Sebab, sejak tahun 90 an saya bersama almarhum Gus Dur dan Djohan Effendi serta sejumlah pemuka agama lainnya mendirikan ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace). Sebuah organisasi lintas agama, lintas iman dan lintas segalanya. Melalui ICRP, kami melakukan kerja-kerja advokasi di lapangan membela kelompok marjinal dan minoritas tertindas. Bagi saya, semua manusia berhak mendapatkan perlindungan dan penghargaan sebagai manusia merdeka. Sebab, semua manusia dilahirkan dengan martabat (dignity) atau karamatul insan.

Itulah mengapa saya lebih dikenal sebagai aktivis ketimbang penulis, meski telah mempublikasikan lebih dari 30 buku ilmiah dan puluhan artikel yang diterbitkan di berbagai Jurnal Ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri.

Buku pertama saya terbit tahun 1980 berjudul Mufradat Arab Populer. Waktu itu saya mahasiswa tingkat IV (belum sistem semester). Tak terduga buku ini menjadi panduan pengajaran Bahasa Arab di berbagai pesantren dan perguruan tinggi Islam di Indonesia Timur sampai sekarang.

Selain itu, tidak banyak yang tahu kalau saya ini ASN (Aparatur Sipil Negara). Saya ingat persis beberapa tahun lalu, Mas Gunawan Mohammad bertanya, Musdah benar ya ASN? Benar kataku. Kok bisa? Bukannya ASN dilarang mengkritik, apalagi mengkritik pemerintah. Saya belum pernah bertemu ASN yang kritis seperti Musdah ucapnya sambil tertawa lebar dan saya pun ikut tertawa.

Sebagai penulis, saya ingat karya pertama adalah tulisan fiksi, sebuah cerpen saya tulis mengikuti Lomba Menulis di SD. Lumayan dapat juara dua. Sejak itu, saya rajin menulis catatan harian dan cerpen, tidak untuk dipublikasikan, hanya untuk kepuasan sendiri. Minat menulis saya lalu berkembang ke arah tulisan non-fiksi karena tuntutan profesi sebagai dosen dan peneliti.

Kakek saya seorang ulama konservatif yang sangat keras. Saya hanya boleh melanjutkan studi di perguruan tinggi jika mengambil jurusan Bahasa dan Sastera Arab. Alasannya pun sangat irasional, yaitu Bahasa Arab adalah bahasa surga, dan hanya dengan itu saya akan mampu memahami agama dengan benar. Untunglah saya dibesarkan di pesantren yang mendalami Bahasa Arab sehingga memudahkan saya menyelesaikan studi S1.

Prestasi menulis berikutnya adalah ketika skripsi S1 berjudul Al-Qiyamu Al-Islamiyah fi Qisasi Titie Said (Nilai Islami dalam Novel Titie Said) mendapatkan penghargaan sebagai skripsi IAIN terbaik se-Indonesia Tahun 1982. Saya mendapatkan hadiah uang yang sangat besar untuk ukuran masa itu. Saya tetiba merasa menjadi konglomerat.

Skripsi tersebut membahas tentang novel-novel Titie Said, penulis senior yang menghasilkan lebih dari 25 novel. Pernah menjadi Ketua Badan Sensor Film Indonesia. Beliau juga pernah menjadi redaktur Majalah Kartini dan Majalah Famili. Untuk menulis skripsi itu, saya menyempatkan diri ke Jakarta mewawancarai beliau di kantor Majalah Kartini.

Nuansa kritis dan menggugat dalam tulisan saya mulai terlihat menonjol dalam tulisan untuk pengukuhan Profesor Riset tahun 1999 oleh LIPI, berjudul Potret Perempuan dalam Lektur Agama. Tak satu pun penerbit bersedia menerbitkan tulisan tersebut karena dianggap berbahaya, menguliti kesucian Islam.

Kemudian, tulisan-tulisan saya terkait pembaharuan hukum keluarga Islam sejak tahun 2004 mengejutkan banyak pihak dan menuai banyak kritik, bahkan makian dan kemarahan luar biasa. Tulisan itu merupakan bagian dari draft Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, sebuah laporan penelitian oleh Tim Pengarusutamaan Gender Kementerian Agama. Sebagai ketua tim, tentu fokus kemarahan tertuju kepada saya, itulah risiko pemimpin.

Belakangan saya baru sadar mengapa tulisan tersebut mendapatkan resistensi sangat besar. Bagi umat Islam, hukum keluarga atau dalam term Islam disebut al-Ahwal al-Syakhsiyyah dianggap sebagai inti syari’ah (the essence of shari’ah). Umumnya umat Islam memperlakukan hukum keluarga sebagai hukum mutlak, bahkan lebih mutlak dari Al-Qur’an, sumber hukum itu sendiri.

Pembaharuan hukum Islam mudah terlihat dalam berbagai isu publik, seperti politik, pemerintahan, perdagangan, ekonomi, pendidikan dan seterusnya, namun tidak pada isu domestik, khususnya terkait keluarga. Berbagai aturan menyangkut perkawinan dijaga ketat sedemikian rupa agar tidak berubah, dan itulah cara untuk melanggengkan tradisi Islam. Saya sadar bahwa saya telah menyentuh bagian paling sensitif dalam tubuh umat Islam. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu untuk dibahas, dan bahkan dianggap sudah final pembahasannya.

Selain itu, resistensi kuat terhadap tulisan-tulisan saya juga karena diproduksi pada masa-masa kejayaan kelompok fundamentalisme dan radikalisme di Indonesia. Ketika itu, masyarakat Indonesia baru saja lepas dari era Orde Baru yang represif sehingga kelompok islamis yang dulunya dibungkam, kini mereka mampu menyuarakan opininya dengan lantang. Tambahan lagi dukungan dari sebagian aparatur pemerintah dan juga tokoh-tokoh politik yang haus kekuasaan. Mereka menggunakan semua cara demi berkuasa, termasuk memanfaatkan dukungan kelompok anti demokrasi tersebut.

Menarik dicatat, di era post truth tersebut, tulisan saya selalu viral, dipublikasikan secara luas oleh akun medsos yang menyebut dirinya sebagai pembela Islam dan pembela khilafah, terutama oleh Majalah Sabili. Sedihnya, tulisan viral itu bukan tulisan saya yang utuh melainkan telah diplintir dan direkayasa sedemikian rupa sehingga membuat pembacanya merasa geram dan murka. Sebuah sikap yang sangat tidak etis dalam dunia penulisan.

Umat Islam Indonesia umumnya dikenal berpaham moderat. Akan tetapi, sifat partisipasinya yang cenderung diam, dan sering tidak peduli, jauh terkalahkan oleh kelompok islamis yang jumlahnya lebih sedikit, tapi lebih militan dan sangat aktif bersuara. Mereka adalah noisy minority, gaungnya lebih menggema di media sosial dan sangat mewarnai potret keagamaan masyarakat. Wajarlah jika tulisan-tulisan saya yang menawarkan pandangan keislaman yang progresif, humanis dan pluralis serta akomodatif terhadap nilai-nilai luhur Pancasila mendapatkan respon negatif yang luar biasa.

Selain itu, perlu juga diketahui bahwa secara psikologis, otak manusia cenderung bias pada hal- hal yang bernuansa negatif. Semua berita negatif cepat menyebar karena selalu menarik perhatian. Itulah sebabnya dalam dunia jurnalistik dikenal istilah: bad news is good news. Agar supaya diri kita tidak terjebak dalam spiral pemikiran yang melulu negatif, hendaknya kita seimbangkan dengan mencari berita-berita bernuansa positif, harus ada upaya untuk selalu menjaga keseimbangan diri.

Suatu ketika saya merasa amat galau dan curhat kepada Gus Dur Allah yarham. Seperti biasa, beliau merespon dengan santai: “lho kamu gak usah pusing, mestinya senang karena publikasi mereka terhadap tulisanmu adalah iklan gratis. Bersyukurlah dan yakinlah, hanya mereka yang tidak waras, akan percaya pada tulisan kelompok intoleran tersebut.” Saya lalu menjawab lirih, tapi saya tidak ingin popularitas, bukan itu tujuan saya menulis.

Tak lama kemudian, ucapan Gus Dur menjadi kenyataan. Sejumlah organisasi dan perguruan tinggi di berbagai belahan bumi mengundang untuk mempresentasikan gagasan dan ide-ide pembaruan Islam seperti terekam dalam tulisan-tulisan saya. Siapa menduga bahwa sejumlah institusi yang mengundang tersebut membaca tulisan saya justru lewat media kelompok haters tadi. Sungguh suatu blessing in disguise.

Sejak itu, saya tak pernah gentar menyuarakan gagasan apa pun melalui tulisan. Saya menjadi orang merdeka sepenuhnya, hanya takluk kepada Sang Pencipta. Saya merdeka menulis apa pun yang saya anggap penting untuk saya sampaikan. Tentu saya tetap memegang teguh prinsip keadaban publik dengan penuh tanggung jawab. Saya menulis semata untuk kemanusiaan, demi membangun peradaban yang lebih baik di masa depan.

Saya bahagia menjadi penulis karena bisa menginspirasi banyak orang. Selain dapat menginspirasi orang lain, menulis juga bisa menjadi media penyembuhan diri. Saat dirundung kesedihan atau kegelisahan, saya senang menulis dan itu menjadi terapi diri untuk selalu sehat secara mental- spiritual. Fisik boleh saja sakit, tapi harus tetap waras! Saya merasakan setelah mengeluarkan uneg-uneg dalam pikiran, hati menjadi lebih lega. Selain itu, pikiran pun menjadi lebih enteng karena sebagian beban telah keluar menjadi tulisan.

Menulis juga mengajarkan saya menjadi seorang pembelajar. Ini adalah perintah agama untuk iqra sepanjang hayat demi memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada sesama manusia, bahkan juga sesama makhluk di alam semesta. Saya begitu yakin dengan ajaran Islam yang menggelorakan semangat berkarya dan beramal saleh. Saya selalu ingat hadis Nabi saw: sebaik- baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada sesama.

Saya sangat percaya, tulisan adalah karya yang membawa manfaat. Karya yang bisa membuat manusia bahagia. Intinya, tulisan adalah jalan menuju kebahagiaan. Menulislah untuk bahagia!