|

Muslimah Reformis

MEWASPADAI BAHAYA HIV/AIDS: MEMANUSIAKAN KELOMPOK ODHA

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang zalim saja diantara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.”  

(QS. al-Anfal [8]:25).

Membangun komitmen dari pengalaman nyata

Pengalaman saya berkaitan dengan HIV/Aids dan mereka yang terinfeksi virus HIV (ODHA) dimulai sejak  23 tahun lalu, persisnya tahun 1989 ketika saya masih aktif sebagai ketua Fatayat NU, sebuah organisasi perempuan Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama yang  memiliki cabang di seluruh Indonesia. Fatayat sangat intensif melakukan penguatan hak-hak perempuan dengan perspektif kesetaraan gender. Waktu itu Fatayat sedang mengelola program kelangsungan hidup ibu dan anak bekerjasama dengan UNICEF. Sasaran utama program ini adalah kaum perempuan yang berada dalam usia subur, dan karena tuntutan program saya berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia menjumpai kaum perempuan, terutama terdiri dari ibu-ibu muda untuk memberikan penyuluhan dan pemberdayaan.

Program ini menggunakan pendekatan keagamaan dalam mempromosikan pentingnya menjaga kelangsungan hidup ibu dan anak melalui kegiatan penyadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi, pentingnya imunisasi bagi ibu dan anak, serta pentingnya makanan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Melalui pendekatan agama, program ini diterima dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya di tingkat pedesaan di mana mayoritas anggota Fatayat berdomisili.

Dalam pelaksanaan program itulah, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan tiga orang  ibu yang terinfeksi virus HIV dan anehnya mereka sama sekali tidak tahu dan bahkan tidak pernah menyangka kalau dirinya telah terinfeksi. Ketika itu masih kuat anggapan bahwa penyakit HIV hanya menghinggapi mereka yang dikenal memiliki reputasi moral yang buruk dan sering berganti-ganti pasangan. Sementara ketiga ibu itu dikenal luas di masyarakat sebagai perempuan baik-baik. Perempuan yang sehari-harinya mengabdikan hidup untuk mengurus keluarga, melayani suami dan merawat anak-anak. Dari wawancara mendalam terhadap ketiganya, terungkap bahwa perempuan pertama terinfeksi HIV karena transfusi darah yang dijalaninya ketika melahirkan anak pertama; perempuan kedua terinfeksi karena tertular oleh suaminya yang suka ganti-ganti pasangan; dan yang ketiga terinfeksi karena perkosaan yang dilakukan oleh majikan dimana dia bekerja sebelum menikah.

Pertanyaan kritis muncul: Apakah ibu-ibu yang tidak bersalah itu harus menanggung resiko dipermalukan karena sesuatu yang terjadi di luar kemauan mereka? Apakah pantas ibu-ibu itu dicap sebagai pendosa? Kalaupun seseorang menderita HIV karena perbuatan dosa yang dilakukannya apakah akan kita biarkan? Apakah adil jika orang sakit (ODHA) masih harus menderita akibat stigma dan berbagai label negatif yang dilekatkan pada dirinya? Apakah manusiawi menghakimi orang sakit (ODHA)? Apakah manusiawi  mengucilkan mereka (ODHA) dari keluarga dan masyarakatnya?

Pengalaman nyata itu menyadarkan saya akan perlunya memahami secara holistik penyakit HIV; perlunya melakukan advokasi dan pendampingan terhadap mereka yang terinfeksi HIV (ODHA), termasuk anak-anak mereka yang pasti tidak bersalah. Sejak itu rasa empati terhadap kelompok ODHA tertanam kuat dalam diri saya dan juga komitmen kemanusiaan untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat agar semua stigma dan perlakuan negatif serta merugikan terhadap kelompok ODHA harus diakhiri.

Islam Memanusiakan Manusia

Hakikat Islam sesungguhnya terlihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya, dan salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, dan pada akhirnya pun akan kembali ke asal yang satu, yakni Tuhan. Dalam Islam diyakini bahwa yang membedakan manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semata  berhak melakukan penilaian, bukan manusia (QS. al-Hujurat, 13).

Bahkan, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada perbedaan antara manusia yang sehat dan sakit, termasuk mereka yang mengidap HIV/Aids. Sebab, yang membedakan hanyalah  prestasi takwa. Belum tentu penderita HIV/AIDS lebih rendah kualitas takwanya dari yang bukan penderita. Demikian pula sebaliknya. Untuk penilaian takwa, hanya Allah yang punya hak prerogatif. Sebagai manusia, kita hanya diperintahkan untuk berfastabiqul khairat (berkompetisi berbuat kebajikan) menuju ridha-Nya.

Islam mengajarkan bahwa keberagamaan seseorang mestinya berdampak positif bagi hubungan kemanusiaan. Karena itu, ajaran Islam sangat menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horisontal ini seringkali terabaikan dalam kehidupan beragama di masyarakat. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal kurang mendapat perhatian di kalangan umat beragama. Kebanyakan umat beragama lebih banyak mengurusi Tuhan dari pada mengurusi sesamanya manusia. Tidak heran jika kesalehan individu menjadi hal yang mengemuka. Sebaliknya, kesalehan sosial dikesampingkan.

Sumber ajaran Islam utama, yaitu Al-Qur`an dan hadis Nabi merupakan teks yang harus dibaca secara kontekstual, yaitu dengan memahami konteks sosio-historir dan sosio-politis masyarakat di mana Al-Qur`an dan hadis diturunkan. Membaca kedua sumber utama tersebut secara kontekstual akan menunjukkan bahwa Islam membawa pesan-pesan moral yang bersifat universal, seperti keadilan, kemaslahatan, kesamaan hak, kedamaian, penghormatan terhadap kemanusiaan, cinta kasih, dan kebebasan. Pesan-pesan hakiki dan inti inilah sesungguhnya benang merah yang menjadi penghubung eksistensi umat manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kurun waktu ke kurun berikutnya. Inilah ajaran yang disampaikan oleh Adam, diteruskan oleh para rasul dan nabi selanjutnya sampai kepada Muhammad saw., dengan perwujudan kontekstual yang berbeda-beda. Benang merah inilah yang seharusnya memberikan inspirasi bagi kita dalam memahami HIV/AIDS.

Ketika Islam diturunkan pada abad ke-7 di Jazirah Arab, isu HIV/AIDS belum dikenal. Tidak heran jika perbincangan soal isu ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam literatur keislaman klasik. Akan tetapi, sebagai agama Islam cukup kaya memberikan peringatan kepada umatnya tentang bahaya azab dan bencana yang akan membinasakan manusia dan kemanusiaan. Di antara bencana itu adalah epidemi HIV/AIDS. Islam secara tegas mengajarkan bagaimana seharusnya manusia menghadapi bahaya epidemi. Dalam banyak ajaran, baik dalam Al-Qur`an maupun hadis Nabi, dijelaskan bahwa tindakan atau upaya mencegah (preventif) jauh lebih efektif  dan lebih mudah ketimbang mengobati (kuratif). Sebab, realitas menunjukkan, dibandingkan dengan pengobatan, upaya-upaya pencegahan terhadap HIV/AIDS jauh lebih mudah dan murah. sehingga dengan demikian menjadi jauh lebih signifikan untuk dilakukan.

Oleh karena itu, para pemuka agama diharapkan dapat proaktif mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan terhadap kedua epidemi ini karena sebagaimana disinggung dalam ayat pembuka di atas, fitnah yang boleh jadi mengambil bentuk HIV/AIDS dan narkoba, bukan hanya menimpa mereka yang dzalim atau yang memiliki resiko tinggi untuk tertular, melainkan juga akan menimpa orang-orang di luar kelompok rentan tadi atau di masyarakat sering disebut sebagai “orang-orang  saleh”.  Bahkan, hadis Nabi berikut memberikan sinyal yang lebih kuat akan munculnya suatu fenomena yang sangat memprihatinkan itu. Diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa Nabi saw bersabda:

إِذَا ظَهَرَتْ الْمَعَاصِى فِى أُمَّتِىْ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْ عِنْدِهِ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ الله أَمَا فِيْهِمْ يَوْمَئِذٍ نَاسٌ صَالِحُوْنَ؟ قَالَ: بَلَى. قُلْتُ: كَيْفَ يَصْنَعُ بِهِمْ؟ قَالَ: يُعِيْبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ.

“Apabila kemaksiatan telah nampak di kalangan umatku, maka Allah swt. akan menurunkan bencana kepada masyarakat semua, tanpa pandang bulu. Saya (Ummi Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah apakah ketika itu masih ada juga orang-orang saleh?, Nabi menjawab: masih ada. Lalu saya bertanya: bagaimana nasib mereka?,  Nabi menjawab: Allah pun akan menimpakan bencana kepada mereka sebagaimana ditimpakan kepada pelaku-pelaku maksiat itu (HR. Imam Ahmad).

Pelaku maksiat mendapatkan bencana akibat kejahatan mereka, sedangkan orang saleh juga mendapat bencana karena ketidakseriusan mereka memberikan pertolongan kepada yang teraniayaHadis tersebut secara jelas menggambarkan bahwa dampak epidemi itu tidak bersifat “lokal”, melainkan bersifat universal. Wabah epidemi dapat menjangkiti seluruh masyarakat, baik yang rentan dan beresiko maupun yang tidak. Orang  lain mendapat bencana karena ketidakpedulian mereka untuk mencegah meluasnya wabah tersebut.

Karena itu, dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi umat Islam, khususnya bagi para pemuka agama, untuk segera peduli dan dan berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS agar masyarakat terhindar dari bencana yang mungkin lebih dahsyat. Para pemuka agama perlu mensosialisasikan secara luas bahwa HIV/Aids adalah suatu penyakit yang bisa menimpa siapa saja, tanpa pandang bulu, tidak kenal umur, status sosial, jenis kelamin, ras, suku bangsa. Oleh karena itu, pandangan selama ini bahwa HIV/Aids hanya menulari mereka yang terlibat narkoba dan pergaulan bebas sama sekali tidak mendasar dan menyesatkan.

Sejauh ini hasil penelitian mengenai HIV/AIDS menyimpulkan  penularan virus HIV dapat terjadi melalui tiga cara. Pertama, melalui hubungan seksual; kedua,  melalui parental (alat tusuk atau suntikan); dan ketiga, melalui perinatal (penularan dari ibu hamil yang terinveksi HIV/AIDS kepada anak yang dikandungnya). Hasil penelitian juga menggarisbawahi bahwa penularan virus HIV lebih banyak terjadi melalui kontak seksual, sedang melalui parental dan perinatal sangat sedikit prosentasenya.  Karena itu, dapat dipahami jika hubungan seksual di luar nikah (baca: perzinahan) dan perilaku seksual yang menyimpang menjadi perhatian yang serius bagi langkah preventif terhadap menjalarnya virus tersebut di masyarakat. Akan tetapi, kemungkinan penularannya melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sah (suami atau isteri yang sudah tertular) juga perlu diwaspadai.

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, sementara syariat Islam secara kuat dan tegas melarang hubungan seksual di luar nikah (Q.S. Al-Isra`, 17:32). Demikian pula dengan segala bentuk perilaku seksual menyimpang. Upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Islam diharapkan akan lebih berhasil jika dilakukan secara sistematik, dengan bahasa dan pendekatan agamis.

Akan tetapi, meskipun diketahui virus HIV itu lebih banyak menular melalui kontak seksual, khususnya kontak seksual di luar perkawinan, namun tidak menutup kemungkinan adanya penularan melalui cara-cara selain itu. Penyakit itu juga dapat menjangkiti orang-orang yang dikenal saleh atau orang-orang yang tidak berdosa di antara kita. Misalnya bayi-bayi yang tertular melalui ibunya atau penularan dari suami atau isteri yang mengidap HIV/AIDS. Penularan juga terjadi melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril  dan sebagainya.  Oleh karena itu, adalah sikap yang sangat tidak etis memberi cap “pembuat dosa” kepada pengidap HIV/AIDS tanpa mempertimbangkan tekanan sosial yang dialami penderita.

Perlunya memahami HIV secara positif dan holistik

Menurut saya, persoalan HIV perlu dilihat sebagai persoalan penyakit. Seperti halnya penyakit lain yang menjangkit di masyarakat. Virus HIV dapat mengenai siapa saja dan di daerah mana saja. Virus ini tidak mengenal usia, agama, suku, jenis kelamin, orientasi seksual dan status sosial. Siapa pun dapat terinfeksi virus HIV, sebagaimana virus lainnya. Karena itu, yang harus dicari penyelesaiannya adalah mengobati penyakitnya, bukan menyalahkan orang yang terinfeksi penyakit itu. Sebab, boleh jadi mereka yang terinfeksi itu tidak menyadari kalau dirinya sudah terinfeksi sebagaimana orang sakit lainnya.

Hal lain yang harus dilakukan, mensosialisasikan seluas mungkin cara-cara yang benar untuk menghindari hal-hal atau perbuatan yang dapat menimbulkan atau menularkan penyakit itu. Dengan ungkapan lain, bagaimana mengajarkan masyarakat menghindari penyakit HIV, tanpa menghindari atau mengucilkan penderita HIV. Selain itu, masyarakat perlu digugah kepeduliannya agar tidak memberi stigma atau bersikap diskriminatif terhadap kelompok ODHA. Sebaliknya, masyarakat dituntut memberikan empati bahwa kelompok ODHA juga adalah manusia dan makhluk Tuhan yang memiliki hak-hak untuk dikasihi dan diberi perlindungan.

ODHA sebagaimana manusia lain, memiliki hak-hak kemanusiaan, seperti hak hidup, hak dihargai, hak bekerja, hak atas jaminan kesehatan, serta hak-hak lainnya sebagai manusia utuh. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mengucilkan, menyakiti atau merendahkan mereka dengan alasan apa pun. Bahkan, semakin kita mengucilkan, menstigmatisasi dan mendiskriminasi, malah justru akan semakin sulit bagi kita melakukan upaya-upaya penanggulangan HIV. Hal yang lebih parah dari itu dan semakin membahayakan lagi adalah kemungkinan mereka menularkan kepada orang lain dengan cara diam-diam atau dengan cara yang tidak kita ketahui.

Perempuan lebih rentan terinfeksi HIV

Para ahli menyebutkan bahwa dibanding laki-laki, risiko terkena HIV pada perempuan jauh lebih besar, terutama apabila berhubungan seks tanpa memakai kondom. Organ-organ reproduksi perempuan lebih rentan dibandingkan dengan organ reproduksi laki-laki. Kerentanan ini lebih tinggi terjadi pada perempuan remaja. Pada kehidupan sosial, kerentanan perempuan terhadap virus ini tampak dalam banyak aspek. Kaum perempuan dalam kehidupan sosial sering dinomorduakan dan didiskriminasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksinya. Akibat budaya yang menciptakan ketertutupan bagi perempuan untuk mengungkapkan fakta-fakta biologisnya, berbagai penyakit yang berkaitan dengan organ-organ reproduksinya sering tidak terdeteksi,

Di ruang domestik, perempuan rentan terhadap pemaksaan hubungan seks, termasuk oleh suaminya. Perempuan seringkali tidak bisa menolak keinginan seks suami, meski tahu suami telah terinfeksi HIV. Di ruang publik, perempuan juga seringkali mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Jika pola hubungan laki-laki dan perempuan masih seperti ini, maka masuk akal kalau banyak perempuan yang terkena virus HIV. Dan ini akan lebih membahayakan jika dia hamil. Virus yang ada dalam tubuhnya dapat menular kepada bayinya.

Isu HIV/Aids sangat dekat bersentuhan dengan fungsi  dan hak reproduksi perempuan. Perempuan harus mendapatkan informasi lengkap dan holistik tentang HIV/Aids. Hanya dengan membekali masyarakat, khususnya perempuan  akan informasi penting seputar HIV/Aids kita dapat berharap terjadi perubahan positif dan konstruktif  menuju terciptanya generasi yang sehat dan sejahtera di masa depan.

Peran strategis pemuka agama dalam penanggulangan HIV

Di masyarakat, peran pemuka agama sangat besar dan sangat signifikan. Hal itu disebabkan karena masyarakat Indonesia sejak dulu telah dikenal sebagai masyarakat religius, yakni masyarakat yang amat memperhatikan masalah keagamaan.  Hampir setiap masalah yang mereka temukan dalam kehidupan mereka dicarikan solusinya dari aspek agama. Meskipun dalam kenyataan sehari-hari para penganut agama tidak selamanya melaksanakan ajaran agama mereka secara taat dan konsisten, namun mereka tetap saja akan marah bila dikatakan tidak beragama.

Di antara peran mereka yang penting adalah menjadi konselor HIV.  Paling sedikit ada tiga alasan mengapa pemuka agama dapat menjadi konselor HIV yang baik:

Pertama, mereka sudah terbiasa sabar dan tekun menghadapi umat yang datang kepadanya dengan berbagai problema kehidupan. Bahkan, sebagian besar dari pemuka agama tersebut sangat dipercaya di lingkungan komunitasnya sehingga memiliki banyak pengikut.

Kedua, mereka sudah terbiasa ikhlas dan rela berkorban, serta tidak punya pamrih dan biasa bekerja keras. Jika sisi-sisi positif tersebut dikembangkan secara maksimal akan terbangun karakter yang sangat luhur sebagaimana  diharapkan pada diri seorang konselor.

Ketiga, mereka cukup dapat dipercaya dan dapat diandalkan untuk memberikan konseling HIV/Aids. Karena umumnya kelompok Odha sangat tidak suka keberadaan mereka diketahui banyak orang. Hal itu disebabkan karena sikap masyarakat yang belum ramah terhadap mereka. Mereka takut dikucilkan dari kehidupan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Melalui pemuka agama diharapkan para  Odha dapat bersikap terbuka dan jujur. Kedua sikap itu sangat diperlukan dalam memutus mata rantai penularan penyakit ini di masyarakat.

Pemuka agama dapat menjadi konselor yang handal, terutama jika mereka memiliki perspektif inklusif dalam arti bersikap terbuka dan toleran. Pemuka agama memiliki sejumlah sifat yang diperlukan untuk menjadi konselor yang baik. Sifat-sifat dimaksud adalah memiliki kepedulian kepada sesama manusia, kerelaan bekerja tanpa pamrih, keinginan yang kuat untuk mengajak manusia pada jalan kebenaran, dan berperilaku luhur dan mulia yang dalam ajaran Islam disebut akhlaqul karimah sehingga orang lain mudah percaya kepadanya; serta kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar berbuat kebajikan. Selain itu, pemuka agama sudah terbiasa dalam kerja-kerja sosial, memiliki empati terhadap sesama dan selalu ingin membantu orang lain.

Tinggal bagaimana mereka membekali diri dengan pengetahuan teknis tentang penyakit HIV/Aids, cara penularan dan upaya preventif penularannya. Juga diperlukan pengetahuan dasar tentang  relasi gender, hak dan kesehatan reproduksi; serta pengetahuan lain yang berhubungan dengan kegiatan konseling yang sifatnya mungkin sangat teknis.

Pemuka agama selama ini diakui memiliki peran yang sangat besar dalam komunitasnya. Mereka disegani, dipercaya dan dihormati. Ucapannya sering menjadi pegangan bagi umat atau jamaah yang dibimbingnya. Karena itu, mengajak pemuka agama menjadi konselor HIV/Aids dalam wacana pluralisme dengan menggunakan pendekatan dan bahasa agama merupakan keniscayaan.

Para pemuka agama dan pimpinan organisasi yang berbasis agama memegang peranan strategis dalam transformasi sosial, termasuk melahirkan interpretasi ajaran agama yang humanis, pluralis dan berwawasan gender menuju terbangunnya masyarakat agama yang menghormati kemanusiaan, keberagaman, dan kedamaian.

Karena sejak awal penyakit ini telah disalahpersepsikan sebagai penyakit moral, atau dikaitkan dengan masalah moralitas, maka perlu melakukan koreksi total terhadap salah persepsi tersebut, dan kelompok yang paling akurat untuk melakukan koreksi tersebut adalah para pemuka agama. Dalam pandangan agama, orang yang sedang ditimpa penyakit haruslah ditolong, dikasihi dan didoakan agar segera sembuh. Beranjak dari ajaran agama tersebut, para pemuka agama dapat menyerukan kepada umatnya masing-masing untuk menolong, mengasihi, dan mendoakan mereka yang terinfeksi HIV.

Para pemuka agama dapat merujuk pada temuan ahli medis bahwa walaupun HIV merupakan penyakit yang bisa menular, tetapi penularan HIV tidak terjadi melalui udara, tidak juga melalui sentuhan langsung, seperti jabatan tangan, berciuman, makan bersama dan saling berbicara. Bahkan, pemuka agama dianggap paling cocok dalam memberikan semangat hidup kepada mereka. Sebab, mereka seharusnya dimotivasi, diberikan dorongan dan semangat untuk sabar dan tabah menjalani kehidupan ini sambil terus berikhtiar dan berdoa agar diberikan kesembuhan. Tuhan adalah Maha Kuasa. Dia dapat saja menentukan lain dari apa yang diprediksi atau bahkan diyakini manusia.

Selain itu, para pemuka agama mudah menjelaskan bahwa usaha pencegahan HIV adalah lebih baik dan lebih mudah dari pada usaha pengobatan. Para pemuka agama perlu membuat pernyataan sikap bersama bahwa upaya penanggulangan dan pencegahan penyebaran virus HIV merupakan agenda bersama yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Seluruh elemen masyarakat, khususnya para pemuka agama diharapkan dapat bekerja sesuai dengan kapasitas dan profesi masing-masing. Tanpa upaya-upaya bersama ini dikuatirkan HIV akan semakin menyebar dan itu akan menjadi bencana bagi semua orang. Pemuka agama harus berdiri paling depan menyuarakan slogan: “Mari kita mengobati penyakit HIV dan tetap menyayangi penderitanya.”