“Tujuh belas bab itu mencerminkan pokok-pokok pikiran saya selama ini, juga menyangkut isu-isu utama perjuangan saya sebagai pejuang kemanusiaan, pemerhati HAM dan penegak nilainilai keadilan dan kesetaraan gender,” kata Musdah Mulia dalam perjumpaan tertulis, pekan lalu.
Selain mengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten, memimpin lembaga Indonesian Conference on Religion and Peace yang mempromosikan dialog antaragama — didirikan bersama Gus Dur dan Djohan Effendi— hati dan kesibukan Musdah Mulia adalah pejuang HAM dan hak-hak perempuan (Hidup.com, 8/11). Hussein Muhammad ulama yang memimpin sekolah berasrama Islam Dar At-Tauhid Arjawinangun, Cirebon menyebut Musdah Mulia punya kontribusi besar dalam aspek legal dan formal gerakan feminisme di Indonesia (Jakarta Post, 19/10).
Sejak Pascasarjana
Berlatar belakang pendidikan pesantren tradisional di Sengkang, Sulsel, Musdah memiliki dasar keagamaan Islam yang kuat. Islam memiliki ajaran-ajaran luhur tentang kemanusiaan, tetapi ia heran mengapa tidak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat-Nya. Kesadaran kritisnya terbangun sejak di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, terutama karena pengaruh Harun Nasution. Di sana ia mulai belajar beragam interpretasi dalam Islam, dan di kemudian hari tercatat sebagai perempuan pertama dari universitas itu yang meraih gelar Doktor dalam bidang pemikiran politik Islam (1977).
Kata Musdah, “Akhirnya saya tahu dalam agama mana pun tidak ada interpretasi tunggal.” Masalahnya, meskipun ada beragam interpretasi, masyarakat cenderung hanya mengerti satu interpretasi, fatalnya interpretasi itulah yang sering dikleim sebagai mutlak dan satu-satunya kebenaran agama. Sementara interpretasi lain yang berbeda selalu dipandang sebagai salah, bahkan sesat.
Agama menjadi doktrin yang mutlak dan tidak tidak boleh dipertanyakan apalagi dikritisi. Tidak heran jika sejumlah interpretasi agama yang tidak lagi relevan dengan perkembangan sains dan teknologi dan tidak kondusif dengan perubahan masyarakat yang dinamis, tetap dipertahankan. Agama menjadi asing dalam kehidupan modern karena tidak mampu memberikan solusi baagi beragam problem yang dihadapi manusia. Misalnya perempuan dilarang bekerja, dilarang menjadi pemimpin, dilarang bepergian tanpa suami.
Menurut Musdah, sejumlah perempuan sering merasa bersalah. Di satu sisi keluarga dan masyarakat masih berpegang teguh pada interpretasi tradisional dan tidak kondusif tersebut, di sisi lain mereka dituntut berubah merespons perkembangan global dan nilai-nilai kontemporer yang berkembang. Kegalauan dan rasa bersalah membuat mereka stres, terlebih jika suami atau keluarga membatasi ruang lingkupnya untuk bekerja dan mengembangkan karier. “Kondisi ini harus diakhiri, itulah gunanya women empowerment.”
“Untung bagi saya, sebab pendidikan tinggi dan perjumpaan dengan banyak ilmuwan yang berpikiran maju serta pengalaman dalam berbagai aktivitias di masyarakat membawa saya menemukan berbagai realitas hidup yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya,” paparnya.
Muslimah Reformis
Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis hanya satu dari buku-buku Musdah Mulia yang ditulisnya dalam menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi, pluralisme dan kesetaraan gender. Judul ini diambil dari judul bukunya yang terbit tahun 2004, yang sudah dibaca luas sampai ke luar negeri karena diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Dan menurut beberapa kalangan meyakinkannya, gagasan Muslimah Reformis perlu dikembangkan secara luas, utamanya untuk mengantisipasi penolakan yang luas terhadap feminisme di Indonesia.
Apakah Muslimah Reformis itu, Musdah Mulia? Musdah tidak mau menjawab. Hanya menjelaskan, buku Muslimah Reformis adalah gagasan untuk membangun masyarakat yang demokratis, menghargai nilai-nilai universal kemanusiaan, penuh toleran dan peduli pada upaya perdamaian. Muslimah Reformis adalah gagasan tentang perempuan Muslim yang memiliki spiritualitas dan integritas moral, penegakan nilai-nilai kemanusiaan, terutama kesetaraan dan keadilan gender, cinta tanah air dan peduli pelestarian lingkungan. Merekalah perempuan Muslim yang menjadikan tauhid sebagai landasan berpikir dan bertindak berdasarkan prinsip Islam yang rahmatan lil alamin (menebar rahmat bagi semua mahkluk di alam semesta demi terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan).
Dalam suasana pandemi Covid-19, diingatkannya tentang peningkatan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dilansir media massa. Selain itu, tidak sedikit perempuan mengami stres dan depresi karena menanggung penambahan beban rumah tangga. Kondisi ini menurut Musdah Mulia, seharusnya menyadarkan kita, pemerintah dan masyarakat membuat langkah-langkah pencegahan sekaligus edukasi masyarakat tentang pentingnya isu kesetaraan gender.
Mengenai kecaman, stigma dan caci maki yang diterima akibat pemikiran dan aktivitasnya, Musdah Mulia merasa mendapatkan dukungan dari Gus Dur dan Djohan Effendi, bersama orang-orang yang prodemokrasi di negeri untuk tidak melayani kelompok tersebut. “Saya bisa mengatasi berbagai tantangan tersebut dengan baik. Saya tidak perlu membuang waktu dan energi melawan kelompok intoleran dan fundamentalis. Pada akhirnya sejarah yang akan menentukan apakah saya berada di jalur yang benar atau salah,” pungkasnya.
Prof. Dr. Musdah Mulia, MA
Lahir: Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1959
Suami: Prof. Dr. Ahmad Thib Raya MA
Anak: Albar dan Ilham
Pendidikan: – S1 Fakultas Adab IAIN Alaudin, Makassar 1982 – S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah 1992 – S3 Bidang Sejarah Pemikiran Politik Islam, UIN Syarif Hidayatllah 1997
Pekerjaan: – Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (1997 – sekarang) – Ketua Umum ICRP (2005- sekarang)
Penghargaan: – International Women of Courage Award dari pemerintah AS, 2007 – Yap Thiam Hien Human Rights Award, 2008 – International Woman of the Year dari Pemerintah Italia, 2009
Buku: – Perempuan dan Politik (2005), Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005), Islam dan Kesetaraan Gender (2007).
Sumber: HIDUP ED 47