|

Muslimah Reformis

Muslihat dan Siasat Toxic Masculinity

Ayu Alfiah Jonas

Benarkah bahwa laki-laki yang hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah, tidak boleh mengekspresikan kesedihan, tidak membutuhkan kehangatan atau kenyamanan dari orang lain, tidak perlu menerima bantuan, dan tidak boleh bergantung pada siapa pun, adalah ciri-ciri laki-laki tangguh? Atau, jangan-jangan, semua itu adalah akibat yang muncul dalam diri seseorang karena budaya patriarki yang mencengkaram hidupnya erat-erat?

Laki-laki adalah manusia biasa, dan karena ia adalah manusia biasa yang sama dengan perempuan, maka anggapan-anggapan tentang “si paling kuat” tersebut sebetulnya tidak muncul secara given dalam dirinya. Kesemuanya adalah konstruksi, anak kandung budaya patriarki. Tanpa sadar, laki-laki, bahkan perempuan, meyakini bahwa pandangan-pandangan tersebut adalah hal yang lumrah dan wajar dimiliki oleh laki-laki. Padahal, tidak demikian. Semua itu adalah sedikit contoh dari sekian banyak bentuk toxic masculinity dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh lainnya, kita bisa menemukan dengan mudah di sekitar kita. Ada laki-laki yang berpandangan bahwa dirinya mesti memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain, cenderung berperilaku kasar dan agresif dan mendominasi orang lain khususnya perempuan, memiliki tendensi untuk bersikap misoginis, cenderung melakukan aktivitas seksual dengan kasar, dan menganggap keren kebiasaan yang tidak sehat seperti merokok, minum minuman beralkohol, bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Kesemuanya adalah bentuk-bentuk  toxic masculinity.

Tentang Toxic Masculinity

Toxic masculinity adalah hasil dari pengajaran untuk anak laki-laki bahwa mereka tidak dapat mengekspresikan emosi secara terbuka, bahwa mereka harus “tangguh sepanjang waktu”, dan bahwa apa pun selain “menjadi tangguh” akan membuat mereka “feminin” atau lemah. Anggapan dan dasar ontologi bahwa yang maskulin kuat dan yang feminin lemah sangat perlu dipertanyakan kembali. Tentu saja pengajaran dengan cara ini adalah hal yang keliru. Sebab, toxic masculinity akan mengantarkan laki-laki pada berbagai macam masalah dalam hidupnya.

Andrea Waling, peneliti dari Australian Research Centre in Sex, Health & Society dalam tulisannya yang berjudul Problematising ‘Toxic’ and ‘Healthy’ Masculinity for Addressing Gender Inequalities (Australian Feminist Studies, 2019) menuliskan bahwa kata “toxic” adalah istilah negatif yang menggambarkan toksisitas biologis yang berkaitan dengan dampak jenis racun tertentu terhadap organisme hidup. Tidak jauh berbeda dengan makna tersebut, saat ini budaya kontemporer memunculkan kata toxic sebagai cara untuk menggambarkan interaksi sosial dan lingkungan sosial yang tidak sehat, seperti dalam makna toxic relationship.

Dalam framing tersebut, kata “toxic” digunakan untuk menggambarkan serangkaian karakteristik yang dapat berdampak negatif pada seseorang atau sekelompok orang. Misalnya, toxic relationship digambarkan sebagai hubungan di mana satu atau lebih banyak pasangan terlibat dalam serangkaian praktik psikologis, seksual, keuangan, dan/atau penyerangan fisik yang dapat menyebabkan sejumlah efek dan hasil negatif yang berbahaya bagi seseorang atau sekelompok orang.

Dalam diskursus akademik, toxic masculinity mengacu pada praktik maskulinitas yang mengakibatkan penindasan terhadap laki-laki, perempuan, dan pengalaman orang-orang trans dan beragam gender. Toxic masculinity diyakini bertanggung jawab atas perilaku agresif dan perilaku heteroseksual predator yang mengakibatkan kekerasan seksual dan domestik yang dilakukan oleh laki-laki.

Hal tersebut terjadi karena toxic masculinity menekan emosi laki-laki sehingga menyebabkan masalah kesehatan seperti depresi dan kecemasan. Tanpa disadari, kesehatan fisik laki-laki pun mengalami kemunduran. Dari sini, muncullah keterlibatan laki-laki dengan kekerasan fisik dan politik, praktik homofobik, dan maskulinisme.

Pada 2019, melalui artikel What Is Toxic Masculinity? yang ditulis oleh Maya Salam, The New York Times memberikan definisi pada toxic masculinity sebagai ideologi maskulinitas tradisional dengan seperangkat perilaku dan keyakinan yang mencakup beberapa hal. Di antara seperangkat perilaku dan keyakinan tersebut adalah menekan emosi atau menutupi kesulitan, mempertahankan kekerasan terjadi sebagai hal yang biasa, dan menjadikan kekerasan sebagai indikator kekuatan dalam kerangka berpikir yang menganggap bahwa perilaku laki-laki mestilah selalu tangguh.

Memeriksa Sebab-Akibat Toxic Masculinity

American Psychological Association telah memperingatkan bahwa ideologi maskulinitas tradisional akan berkaitan dengan efek negatif pada kesehatan mental dan fisik. Laki-laki yang menganut norma-norma budaya maskulin tradisional seperti pengambilan risiko, kekerasan, dominasi, keunggulan pekerjaan, kebutuhan akan kontrol emosi, keinginan untuk menang, dan pengejaran status sosial, akan cenderung lebih mungkin mengalami masalah psikologis seperti depresi, stres, masalah citra tubuh, penggunaan zat, dan fungsi sosial yang buruk.

Toxic masculinity membuat laki-laki terlibat dalam masalah kesehatan masyarakat seperti peningkatan tingkat alkoholisme dan perilaku seksual “berburu trofi” untuk mengobjektifikasi perempuan yang berpengaruh pada penularan penyakit infeksi menular. Psikiater Frank Pittman telah memperingatkan tentang bagaimana laki-laki dirugikan oleh norma-norma maskulin tradisional. Ia menyatakan bahwa toxic masculinity menyebabkan rentang hidup yang lebih pendek, insiden kematian kekerasan yang lebih besar, dan penyakit seperti kanker paru-paru dan sirosis hati.

Untuk memetakan sebab akibat dari toxic masculinity, buku Is Masculinity Toxic? A Primer for the 21st Century (2019) karya Andrew P. Smiler dapat menjadi pijakan kita. Andrew Smiler berangkat dari premis bahwa merumuskan makna toxic masculinity adalah sesuatu yang rumit. Cita-cita maskulin budaya yang dominan saat ini didominasi oleh laki-laki yang toxic. Sementara itu, laki-laki yang tidak toxic ternyata tidak cukup kuat untuk menghalau  toxic masculinity yang membelenggu.

Dalam lingkup laki-laki sebagai individu, toksisitas muncul terutama di antara mereka yang memiliki tingkat kepatuhan tinggi terhadap hegemoni maskulinitas. Ketaatan yang kaku pada definisi ini terjadi tanpa mengizinkan fleksibilitas. Hal inilah yang kemudian mencegah orang-orang beradaptasi dengan situasi individu dan perubahan budaya.

Bila kondisinya demikian, lalu laki-laki seperti apa yang kita inginkan? Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki aspek-aspek toxic masculinity? Ciri-ciri apa yang ingin kita lihat sebagai cita-cita maskulin baru?

Jawabannya adalah kita bisa berpartisipasi dalam meningkatkan kesadaran dan pemikiran setiap orang tentang maskulinitas. Kita semua dapat mendiskusikan aspek negatif dan positifnya, sifat-sifat yang kita suka dan tidak suka, dan menelaah unsur-unsur yang mendukung masyarakat patriarki untuk melakukan perlawanan. Kita juga harus membahas maskulinitas perempuan, maskulinitas queer, dan maskulinitas trans.

Upaya Mengikis Toxic Masculinity

Andrea Waling menyoroti bahwa penggunaan istilah toxic masculinity sesungguhnya tidak berhasil membongkar biner gender dan seksual. Penggunaan istilah tersebut justru akan terus-menerus mereproduksi biner tersebut. Jika kita ingin mengatasi bahaya ketidaksetaraan gender, maka kita harus lebih radikal pada diri kita sendiri. Lantas, apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengikis toxic masculinity dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender?

Pertama, kita harus menjauhi kategori bawha toxic masculinity menjadi satu-satunya penjelasan untuk serangkaian masalah sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang dialami dalam kehidupan sosial. Maskulinitas memang berperan dalam melanggengkan kekerasan seksual terhadap perempuan dan keengganan laki-laki untuk terlibat dalam pencarian bantuan, tapi itu bukan menjadi satu-satunya alasan.

Kita mesti mengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan sangat didasari pada berbagai macam cara di mana perempuan ditetapkan sebagai manusia yang lebih rendah ketimbang laki-laki di masyarakat. Anggapan bahwa perempuan sebagai manusia yang lebih rendah hanyalah efek dari toxic masculinity yang justru akan menghilangkan (memisahkan) tubuh laki-laki dari tindakan mereka.

Anggapan tersebut menyangkal sejarah panjang di mana perempuan secara sadar, secara sistematis, dan secara institusional dipinggirkan dan ditindas oleh laki-laki, serta mengabaikan pengakuan bahwa maskulinitas dan maknanya telah berubah dari waktu ke waktu, dari ruang dan tempat yang berbeda-beda.

Demikian pula, keengganan laki-laki dalam mencari bantuan orang lain untuk memudahkan hidupnya diperparah oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah karakteristik demografis yang menimbulkan potensi pengalaman diskriminasi dalam sistem perawatan kesehatan dan trauma sejarah. Toxic masculinity menyiratkan bahwa apa yang terjadi tidak disadari atau di luar kesadaran, dan bahwa laki-laki dan struktur sosial yang lebih besar tidak bertanggungjawab.

Kedua, kita perlu mendorong feminitas sebagai ekspresi gender yang dihargai, terlepas dari identitas gender apa pun yang ditugaskan dalam tubuh bergender. Kita perlu menyadari bahwa keterlibatan laki-laki dewasa, laki-laki remaja, dan anak laki-laki dalam beberapa hal tidaklah efektif. Mereka tidak mendorong pengakuan terhadap feminitas. Sebaliknya, mereka terus terpaku pada laki-laki dengan maskulinitas yang justru membuat tipe baru, bukan mengatasi masalah inti yang dihadapi, yang merupakan devaluasi feminitas atau apa pun yang dianggap sebagai non-maskulin.

Alih-alih mendorong laki-laki mencari healthy masculinity (lawan dari toxic masculinity), kita justru perlu mendorong mereka untuk merangkul aspek-aspek dari apa yang secara konvensional berada di bawah rubrik feminitas, dan terus mengadvokasi kepribadian yang diakui bagi siapa saja yang bukan cisgender. Bersamaan dengan ini, kita perlu terus mengadvokasi untuk terus menolak biner gender, daripada terus mengasosiasikan sifat dan kualitas tertentu dengan jenis kelamin.

Ketiga, kita perlu menyadari bahwa maskulinitas adalah konsep dan cara yang tidak jelas yang memosisikan laki-laki sebagai korban dari kategori gender. Gender mungkin saja dikonstruksi secara kultural, tapi ingat bahwa gender adalah kategori kultural yang terus-menerus dinegosiasikan dan diintegrasikan pada tingkat psikis dan praktis individu.

Mari bekerja lebih keras untuk menginterogasi kompleksitas dan pengakuan bahwa jika maskulinitas tidak dipaksakan secara budaya dan dapat dinegosiasikan secara individual akan memungkinkan kita untuk mengatasi masalah yang lebih baik tentang hak pilihan dan subjektivitas laki-laki. Baru setelah itu, kita dapat benar-benar mulai melihat pergeseran dan perubahan ketidaksetaraan gender, karena dengan begitu kita telah aktif dalam meruntuhkan struktur biner gender yang saat ini masih kaku.

Terakhir, kita perlu terus merenungkan perbedaan antara teori akademik dan praktik. Keterlibat dalam publik sehari-hari sangat krusial untuk membangun diskursus publik. Cara-cara sederhana yang kita lakukan bisa diambil kembali dan dibedah dalam diskursus akademik, sehingga apa yang kita lakukan akan menciptakan efek melingkar. Teori dan konsep akademik tentang toxic masculinity adalah barang yang kompleks dan memang perlu disederhanakan untuk wacana publik sehari-hari. Karena itu, kita perlu menjadi pribadi yang lebih kritis dalam upaya mengikis toxic masculinity.