Muslimah Reformis adalah muslimah yang menghayati dan mengamalkan secara kaffah esensi tauhid, inti ajaran Islam. Mereka adalah para perempuan yang berjihad menegakkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi esensi ajaran Islam sekaligus pilar demokrasi dan pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Di tengah himbauan #dirumah saja karena pandemi corona, akhirnya selesai juga membaca buku setebal 771 halaman. Saya mendapatkan buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini pertengahan Juli 2019. Namun, karena bukunya sangat tebal, membutuhkan niat yang kuat untuk membaca. Maka saat momen #dirumahsaja saya bertekad menuntaskannya.
Tak mau bosan dan cemas, saya meresensi sebuah buku yang sangat direkomendasikan oleh banyak teman. Buku Muslimah Reformis adalah sebuah buku yang ditulis Musdah Mulia dan diterbitkan oleh Dian Rakyat. Buku ensiklopedia ini memuat pokok-pokok pemikiran untuk reinterpretasi dan aksi, sehingga bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin mempelajarinya.
Buku ini dipublikasikan di tengah kegelisahan terhadap rendahnya literasi baca di Indonesia. Penelitian yang dilakukan badan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada tahun 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan bahwa kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi yang dipublikasikan oleh The World Most Literate Nations menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-60, hanya satu tingkat di atas Botswana.
Buku Muslimah Reformis ini lahir di era post truth, yakni di tengah menguatnya paham keagamaan yang literalistik,konservatif dan tidak rasional. Corak keberagamaan masyarakat yang seperti ini seringkali melahirkan sikap eksklusif, intoleran yang mengarah pada aksi kekerasan dan aksi-aksi teror.
Dalam berbagai forum kajian, banyak orang yang menyampaikan kerinduannya terhadap Islam yang ramah dan toleran. Karena bagaimana pun mereka lahir dan dibesarkan di kalangan Muslim. Namun seringkali yang didapat adalah wajah Islam yang intoleran, merendahkan perempuan dan menganggap kelompoknya yang paling benar sedangkan kelompok lain salah atau kafir. Pandangan keberagamaan seperti itulah yang seringkali menjauhkan Islam dari umatnya.Bahkan, tak sedikit yang menganggap Islam bukan lagi menjadi rumah yang dirindukan.
Menjawab problem tersebut, Musdah mengupasnya dalam tema Islam: Agama Cinta Damai. Bahwa kedamaian adalah nilai yang paling esensial dalam ajaran Islam. Nilai kedamaian tersebut sangat gamblang disimbolkan dari nama agamanya sendiri. Dari segi penamaan, Islam berbeda dengan agama-agama samawi lainnya yang namanya dinisbatkan kepada Nabi yang membawanya. Nama Islam berasal dari kata salam yang maknanya kedamaian.
Beranjak dari makna Islam tersebut maka tolak ukur seorang Muslim adalah seseorang yang mendatangkan kedamaian bagi orang lain. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw: al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihiwayadihi. Artinya: seorang muslim adalah orang yang ucapan dan perilakunya tidak mengganggu orang lain.
Demikianlah, agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati sesama manusia, serta pentingnya damai dan harmonis diantara sesama. Namun, ada 4 (empat) tantangan terberat dalam merajut perdamaian, yaitu: Pertama, minimnya pengetahuan dan wawasan pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Kedua,maraknya perilaku destruktif para penganutnya terkait moralitas. Ketiga, minimnya kesadaran akan pentingnya sikap pluralism dan inklusif. Keempat, kurangnya komitmen menegakkan keadilan.
Terkait pandangan agama yang merendahkan perempuan, Musdah mengajak perempuan untuk berani tampi lsebagai ulama. Selama ini mayoritas ulama adalah laki-laki sehingga merekalah yang lebih banyak memberi tafsir dan perempuan hanya menjadi pendengar. Perempuan harus berani tampil dan melakukan pembacaan ulang dan dekonstruksi atas teks-teks keagamaan lama yang bias gender. Misalnya: larangan perempuan menjadi pemimpin, kebolehan laki-laki memukul perempuan, kebolehan poligami bagi laki-laki, perempuan dikutuk sampai subuh jikamenolak ajakan suami berhubungan-badan, kebolehan menikah di usia anak, dan lain-lain.
Terhadap teks-teks keagamaan lama yang bias gender, Musdah menawarkan tafsir yang humanis-feminis untuk menemukan kembali pesan-pesan keagamaan yang universal seperti: persamaan, kesetaraan, keadilan dan perdamaian. Ciri penekanan tafsir humanis-feminis ini ada 3 (tiga), yakni: Pertama, mengidentifikasi teks-teks tentang perempuan dalam Islam yang misoginis dan menindas perempuan. Kedua,mengkaji teks-teks Al Qur’an dan hadis secara umum untuk membentuk perspektif teologis yang dapat mengkritisi nilai-nilai patriarki yang disebut perspektif pembebasan. Ketiga mengkaji teks tentang perempuan untuk belajar dari perjumpaan sejarah dan kisah-kisah perempuan di masa lalu dan modern di dalam kebudayaan patriarkal.
Konstruksi sosial yang merendahkan kaum perempuan tersebut ternyata banyak dipengaruhi oleh penafsiran agama yang dimonopoli laki-laki, yang sangat patriarkis dan bias gender. Akibat penafsiran agama yang misoginis tersebut menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Hal tersebut terlihat pada sejumlah indikasi, yaitu: rendahnya kualitas hidup masyarakat, rendahnya pendidikan, tingginya angka kekerasan, perkosaan dan perdagangan perempuan, tingginya angka perceraian dan poligami, serta pengabaian hak perempuan lanjut usia.
Untuk mengatasi problem sosial tersebut dibutuhkan upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) dalam pembangunan. Menurut Musdah, upaya peningkatan sumber daya manusia tersebut hanya bisa dilakukan melalui pendidikan yang memanusiakan manusia. Bukan pendidikan yang mengkerdilkan manusia. Mengapa pendidikan menjadi penting? Dijelaskan di bab I, bahwa knowledge is power (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Keberhasilan suatu bangsa atau Negara salah satu tolak ukurnya adalah tingkat keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu bangsa semakin tinggi pula kualitas hidup bangsa tersebut.
Kehidupan telah berubah. Kaum perempuan yang seringkali tersisih di dunia politik harus menjadi motor dalam membangun kekuasaan politik yang ramah kepada perempuan, kelompok minoritas, rentan dan marjinal yang dalam Islam disebut kaum mustadh’afin. Potensi perempuan yang melahirkan dan merawat kehidupan, tidak perlu menjadi batu sandungan. Justru seharusnya dikedepankan untuk membangun pilar demokrasi dan kehidupan yang lebih bermartabat.
Muslimah Reformis adalah muslimah yang menghayati dan mengamalkan secara kaffah esensi tauhid, inti ajaran Islam. Mereka adalah para perempuan yang berjihad menegakkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi esensi ajaran Islam sekaligus pilar demokrasi dan pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Menjadi muslimah tidak hanya patuh pada simbol-simbol keislaman dan aspek-aspek legal formal semata. Sehingga menjadi muslimah tidak semata Nampak dari busana atau jilbabnya, bukan pula pada aktivitas ritual keagamaan semata. Namun, lebih dari itu melalui buku ini Musdah mengajak perempuan bangkit melawan hegemoni tafsir yang selama ini dimonopoli kaum lelaki, tafsir yang ternoda oleh budaya patriarki dan bias gender. Selanjutnya, perempuan harus berani menjadi pembaru (reformis) keagamaan untuk mewujudkan Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dalam setiap kesempatan Musdah mengingatkan tentang visi penciptaan manusia yaitu sebagai khalifah fil ardh. Di mana manusia diberi amanat sebagai pemimpin atau pengelola yang bertanggung-jawab mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Ada pun misi yang diemban manusia adalah amar makruf nahi munkar, yaitu melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi, menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan beradab (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur).
Musdah Mulia menulis tidak semata berdasarkan referensi buku dan kepustakaan. Lebih dari itu, sumber keilmuannya mengalir deras dari pergulatan pemikirannya sebagai intelektual, aktivis dan ulama. Sehingga saat membaca karya-karyanya, kita disodori banyak rujukan literature mulai dari yang klasik sampai yang modern. Sekaligus dinamika pergumulan pergerakan dan perjuangan ulama perempuan dalam memperjuangkan hak asasi manusia serta kemanusiaan. (*)
Siti Rubaidah, (Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini)