|

Muslimah Reformis

Nikah Rasa Pacaran: Suami Tanpa Tanggungjawab

Cerita cinta memanglah indah, banyak orang akan tersenyum-senyum jika membaca cerita cinta, mungkin begitu juga dengan awal ceritaku. Beranjak usia remaja aku mulai bucin, ya generasiku menyebutnya bucin atau budak cinta. Sejak SMA aku mengenalnya, dia memang membuatku kagum, profesinya seorang seniman yang suka melukis bebas, hobinya bepergian untuk mencari inspirasi, walaupun hobi tersebut belum bisa menghasilkan banyak uang, tapi kalau sudah passion-nya apa boleh buat.

Tak jarang kami bermain bersama, walaupun usiaku dengannya berbeda 3 tahun, tapi ketika bersama seperti tidak ada jarak usia, terlebih dia berasal dari keluarga yang berbeda agama dengan ku, ya dia minoritas yang sering dibedakan. Terkadang aku heran kepada masyarakat yang katanya menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, tapi minoritas seperti mereka masih saja diperlakukan beda, namun itu tidak menghalangiku untuk berteman dengannya.

Lambat laun cerita ku dan dia berubah menjadi cerita cinta, ia memutuskan untuk pindah agama, karena selain jatuh cinta denganku, ia pun jatuh cinta dengan tuhan ku. Cerita kami berlanjut walaupun orang tuaku tidak merestui, sampai akhirnya aku harus berkuliah di Yogjakarta, kota pelajar yang banyak diimpikan oleh remaja usiaku. Meski jauh, dia selalu berjuang untuk bisa terus bersamaku, perjalanan Bandung-Yogjakarta hal yang biasa baginya, dengan begitu dia pun bisa bertemu banyak seniman dan melakukan hobinya, ibaratnya menyelam sambil minum air, licik tapi bagiku itu hal yang sweet, sekarang aku lebih menggilainya dibanding saat aku masih SMA.

Aku pun berjuang dengan sepenuh hati agar orang tuaku merestui kami, sampai akhirnya ketika liburan kuliah aku resmi menjadi istrinya. Teman kuliahku tidak ada yang tahu mengenai ini, hanya teman di lingkungan rumahku saja, aku sengaja menyembunyikan ini agar bisa berkuliah dengan tenang tanpa dihantui gosip, karena nyatanya hujatan atau cibiran pun masih bertebaran di lingkungan kampus.

Aku berasa menjadi istri paling bahagia karena mendapatkan imam yang sangat baik, pernikahan muda memang impian yang aku dambakan, tapi hal itu berubah ketika pandemi Covid-19 datang, sekolah dan kuliah diwajibkan belajar dari rumah dan tidak boleh banyak beraktifitas di luar rumah. Saat itu juga ternyata aku hamil, usia kandunganku baru beranjak dua bulan namun pikiranku sangat tertekan, harus menghadapi kuliah online dan suamiku yang jarang memberiku uang bulanan.

Aku harus berjualan online untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecil kami. Semua kulakukan serba digital, sampai suatu saat kepalaku pusing sekali dan darah mengalir melalui celah rokku, aku panik dan tidak tahu harus apa, di rumah tidak ada siapa pun, rumah keluargaku jauh begitu pula rumah mertuaku. Yang terpikirkan saat itu ialah berlari ke dalam toilet sampai akhirnya aku ketiduran di dalam sana, ketika bangun aku melihat banyak sekali darah di dalam kloset dan tentu hal itu membuatku lemas. Ketika yakin darah sudah mulai berhenti aku paksakan diri keluar untuk mencari obat penambah darah. Itulah saat menyakitkan yang harus kulalui sendirian, saat itu pula aku baru sadar bahwa aku keguguran. Suamiku bisa menerima keguguranku, namun sikapnya lambat laun semakin berubah.

Empat  bulan setelah keguguran, aku pun sudah hamil lagi, suamiku senang akan hal itu, aku juga bahagia karena bisa memberikan apa yang diinginkan suamiku. Ketika usia kandungan 5 bulan aku mendaki bukit bersama teman-temanku yang menghabiskan waktu sekitar satu jam, bagiku itu adalah hari paling bahagia di masa kehamilanku, meskipun teman-temanku sangat menghawatirkan kondisiku, tapi aku tetap bersikeras supaya menyelesaikan pendakian kecil ini. Mungkin teman-temanku heran kenapa aku sangat ingin mendaki bukit yang cukup melelahkan.

Hidupku penuh dengan kepedihan, terkadang suamiku tidak pulang dan juga tidak memberikan uang kepadaku, sehari-hari aku hanya bisa membeli tempe dan tahu, bahkan ngidam pun tak ada dalam kamusku. Entah karena bayi di dalam perutku yang mengerti akan kondisiku atau karena pikiranku yang kacau. Aku sangat tertekan dengan kondisi ini, tidak ada yang menemaniku di saat seperti ini, tak ada peran suami untuk istrinya yang sedang hamil, itu semua mustahil aku dapatkan. Sampai akhirnya aku kembali merasakan kesakitan yang luar biasa melebihi saat aku keguguran, aku hanya bisa menjerit kesakitan. Tubuhku yang penuh dengan lumuran darah hanya bisa pasrah ketika dibawa oleh suamiku dengan sepeda motor ke Bidan terdekat, namun Bidan tersebut menolaknya karena usia kandunganku baru 7 bulan., bahkan dua RS besar juga tidak sanggup untuk menolongku dan bayiku. Setelah pergi ke RS sana dan sini, akhirnya ada satu RS yang siap menangani namun dengan perjanjian tertulis, karena ini berkaitan dengan hidup dan mati.

Ketika ruang operasi siap aku di bawa untuk melakukan operasi caesar, menurut dokter aku berbeda dengan pasien caesar lainnya, aku harus menghabiskan 8 kantong darah untuk transfusi darah, biaya RS ku menghabiskan puluhan juta karena RS ini tidak menerima BPJS yang aku miliki dan mirisnya ketika aku sedang berjuang mati-matian di ruang operasi, suamiku ternyata sedang asik bermain kartu dengan teman-temannya, tertawa haha hihi tanpa rasa beban.

Teman-temanku yang menungguku di luar RS sangat kecewa dengan sikap suamiku, aku pun tak habis pikir dengan sikapnya, belum lagi ia tidak bertanggung jawab terhadap biaya RS. Orang tuaku marah ketika mengetahui bahwa ternyata aku diperlakukan seperti ini olehnya, bahkan biaya RS ditanggung semua oleh orang tuaku. Aku kecewa, sedih dan menahan rasa sakit yang ada di hatiku dan tubuhku.

Setelah operasi aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku lumpuh beberapa hari, aku harus berjuang sendirian agar aku bisa berjalan normal lagi, pengunjung memang dibatasi karena pandemi, namun suamiku seharusnya bisa menemaniku, tapi itu semua nihil. Keadaanku melahiran anak pertama membuatku trauma, aku merasakan nyeri dada yang teramat sakit dan rasanya tak ingin ku alami lagi.

Sebulan aku tinggal bersama mertuaku, beliau sangat perhatian denganku namun tidak dengan suamiku. Setelah aku pulih dan ASI ku tidak bisa keluar lagi, aku memutuskan untuk tinggal bersama kedua orang tuaku, namun ketika anakku berusia 3 bulan orangtuaku menyuruhku untuk menyerahkannya ke keluarga suamiku, agar suamiku sadar dan tahu akan letak kesalahannya. Aku diungsikan ke pesantren agar bisa menyembuhkan luka batin, sembari berharap suamiku sadar dan cepat menjemputku untuk pulang kembali bersamanya. Namun harapan itu pupus, setelah aku berada selama dua bulan di pesantren tidak ada satupun kabar yang memintanya untuk aku pulang, aku hanya mengetahui kabar tentang anakku di sosial media suamiku atau terkadang mertuaku memberikan foto lucu anakku yang sangat ingin aku gendong, peluk dan cium. Hati ibu mana yang tak hancur melihat anaknya dibesarkan oleh selain dirinya? pasti tidak ada.

Setelah itu aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat cuti, kusibukkan diri dengan berpindah apartemen, tempat yang tidak terlalu jauh dari kampusku, sampai suatu ketika aku sedang mengerjakan tugas praktek bersama teman kampusku, tiba-tiba seorang teman datang menemuiku dan ternyata temanku itu bersama suamiku, ia datang menyampaikan hal yang sangat menyakiti hatiku, “mamah mau membaptis anak kita, kamu gak papakan?” jelasnya. Hatiku seketika hancur, rasanya ingin sekali memukul tubuhnya, namun aku bisa apa, hubunganku dengan dia masih berstatus suami dan istri.

Aku tidak bisa berbuat banyak karena orang tuaku sudah melarangku untuk mengambil anakku, mamah selalu mengatakan bahwa aku harus mengikhlaskan anakku, ikhlaskan suami yang tidak bertanggung jawab dan kembali menata hidup. Kini kisahku dengannya diambang kehancuran, kami belum berpisah namun sudah 2 bulan aku tidak tinggal bersamanya. Pernikahanku bukan layaknya pernikahan pada umumnya, terkadang bagiku itu bukan pernikahan namun sama halnya dengan pacaran, hanya saja kami sudah memiliki anak. Pernikahan kami ibarat mainan yang bisa seenaknya pergi tanpa harus memikirkan status pernikahan. Kami sama-sama belum siap untuk berkomitmen.

Pernikahan seperti ini semoga tidak terjadi pada perempuan lain, itulah doaku selalu, bukan hanya berdoa, aku pun kini aktif mengkampanyekan  pentingnya milenial menata diri sebelum memutuskan menikah. Ketahuilah, pernikahan itu bukan hanya bermodalkan cinta, jadi bucin saja tidak cukup ya,  melainkan  butuh komitmen, tanggungjawab dan kesiapan fisik, psikis, finasial dan spiritual.

 

 

Editor: Wiwit Musaadah