Sebagaimana tercermin dalam perdebatan dan diskusi-diskusi Kongres Umat Islam Indonesia ke-2 tentang kepemimpinan perempuan, perbincangan tentang hak-hak politik perempuan setidaknya memunculkan dua pandangan kontroversial. Pertama, pandangan yang mengklaim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua, pandangan yang menyatakan Islam mengakui hak-hak politik perempuan sama dengan yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan, termasuk hak menjadi pemimpin negara.
Paling tidak, terdapat tiga alasan atau dalil yang sering dikemukakan oleh aliran pertama. Dalil pertama adalah Q.S. al-Ahzab, 33:33: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Ayat ini menegaskan bahwa tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah di rumah. Pandangan ini diperkuat oleh hadis yang menyebutkan bahwa Allah Swt. yang telah menetapkan empat rumah bagi seorang perempuan: rahim ibu-nya, rumah orang tua-nya yang menjadi tempat tinggalnya sampai ia menikah, rumah suami-nya yang tak boleh ia tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan, dan terakhir adalah makam atau kuburannya. Dengan hadis ini, ruang publik praktis sudah “ditetapkan” sebagai wilayah yang asing bagi perempuan.
Dalil kedua, adalah Q.S. al-Nisa’, 4:34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Selain itu, Al-Qur’an juga mengajak manusia (laki-laki dan perempuan) agar bermusyawarah (Q.S.al-Syura, 42:38). Syura (musyawarah) menurut Al-Qur’an, mestinya dijadikan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik. Allah Swt. memuji orang-orang yang senang melakukan musyawarah. Karena itulah, ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak politik bagi setiap laki-laki dan perempuan.
Argumen lain yang mendukung kepemimpinan perempuan adalah soal bai’at. Al-Qur’an menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan bai’at atau sumpah-janji setia kepada Nabi dan ajarannya, dan Allah Swt. memerintahkan Rasul-Nya untuk menerima bai’at mereka (seperti dinyatakan dalam Q.S. al-Mumtahanah, 60:12).
Bai’at para perempuan pada masa-masa awal Islam merupakan bukti kebebasan bagi perempuan untuk menentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan lainnya dalam masyarakat. Bahkan, terkadang berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri. Sejarah pun menunjukkan, menjelang hijrah Nabi Saw. ke Madinah, delegasi kalangan Anshar dari Madinah pernah melakukan baiat kepada Nabi dalam kesempatan yang kemudian dikenal dengan “Baiah Aqabah Ke-2”.
Dalam baiat ini tercatat sejumlah nama perempuan. Mereka bersumpah untuk membela dan melindungi Islam. Ini menunjukkan adanya kontribusi perempuan dalam kegiatan politik. Bahkan, lebih dari itu, Rasulullah Saw. membolehkan perempuan mewakili kaum Muslim, berbicara mewakili mereka dan memberikan jaminan atas nama mereka.Hal itu terlihat dalam kasus Ummu Hani di masa penaklukan kota Mekah atau yang dikenal dalam sejarah dengan “Fath Makkah”. Rasulullah Saw. telah menerima permintaan Ummu Hani untuk memberikan perlindungan terhadap seorang penduduk Quraisy pada hari penaklukan kota Mekah. Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Kami melindungi orang yang dilindungi Ummu Hani”.
Membandingkan argumen-argumen dari kelompok yang anti ataupun yang pro terhadap kepemimpinan perempuan di atas, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya hanyalah terletak pada soal penafsiran atau interpretasi.Dalam konteks ini, satu asumsi dasar perlu diperhatikan, yaitu bahwa teks-teks agama, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul enggak selamanya mempunyai satu penafsiran tunggal dan standar yang dapat diterima oleh semua pihak. Lagi pula, saat seseorang mencari rujukan pada teks-teks agama, sebenarnya ia tengah melakukan penafsiran atas teks-teks tersebut.
Tafsir atau penafsiran harus dibedakan dari agama. Agama bersifat mutlak dan absolut, sedang penafsiran terhadap agama itu bersifat relatif dan bisa berubah. Di sinilah letak pentingnya manusia, atau dalam konteks pembahasan kita, kaum muslim. Mereka dituntut untuk berusaha terus-menerus menafsirkan ajaran Islam agar senantiasa relevan dengan situasi masyarakat yang dinamis dan senantiasa berubah ini.Hal lain yang patut diperhatikan adalah bahwa selain menekankan aspek ibadah yakni hubungan manusia dengan Tuhan, Islam juga memberi penekanan yang kuat pada aspek muamalat yakni hubungan antar umat manusia.
Sayangnya, justru pada aspek yang terakhir inilah, pada kebanyakan masyarakat muslim, perempuan kerap diperlakukan tidak adil. Atas nama agama, hak-hak ekonomi dan politik mereka dipasung. Penyebabnya, seperti diungkap di atas, adalah soal penafsiran yang tidak mengindahkan semangat moral Al-Qur’an, serta tidak memperhatikan bias-bias patriarkal yang sering tidak disadari, yang terlanjur mengakar dalam sebagian besar masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam.
Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa tak satu pun ketentuan agama yang bisa dipahami sebagai larangan bagi keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Sebaliknya, cukup banyak ayat dan hadis yang bisa dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak politik perempuan.
Musdah Mulia