|

Muslimah Reformis

Pandangan Islam tentang Keadilan dalam Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Pendahuluan

Keadilan adalah inti ajaran Islam. Islam memerintahkan setiap manusia agar berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan atau perbuatan Keadilan hakikatnya adalah memperlakukan seseorang sesuai hak dan kewajibannya. Untuk tujuan penegakan keadilan inilah para rasul diutus ke dunia (QS. al-Hadid, 57:25). Keadilan mencakup bidang kehidupan yang sangat luas, termasuk dalam relasi kemanusiaan dan relasi gender. Sebab, inti keadilan dan kesetaraan gender adalah penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, tanpa pembedaan sedikit pun. Islam mengecam semua bentuk ketidakadilan yang mengambil wujud dominasi, diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan sejenisnya. Penegakan keadilan berarti memenuhi hak-hak asasi semua manusia tanpa kecuali, termasuk hak-hak paling mendasar dalam kehidupan perempuan, yaitu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). 

Sangat disayangkan, ajaran Islam yang begitu menekankan keadilan dalam semua aspek kehidupan, sejauh ini belum terimplementasi dengan baik dalam kehidupan umat Islam. Sebab, ketika ajaran itu disampaikan ke masyarakat terjadi berbagai distorsi, antara lain akibat pengaruh budaya patriarki dan pandangan bias nilai-nilai gender yang masih sangat kuat di masyarakat. Pandangan tentang adanya distorsi dalam pemahaman keislaman dikemukakan secara lantang oleh para feminis Islam, seperti Fatima Mernissi (Mernissi, 1991), Valentine M. Moghadam (Moghadam, 1994), Afkhami Mahnaz (Mahnaz, 1994), Ziba Mir-Hosseini (Mir-Hosseini, 2003), Marcoes (2021), Musdah Mulia (Mulia, 2004). 

Tidak heran jika interpretasi keagamaan yang dianut mayoritas umat Islam, khususnya terkait HKSR, tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Bahkan, ada kecenderungan mereka menolak HKSR. Fatalnya lagi, pandangan keislaman yang menegasikan HKSR tersebut sering dijadikan referensi oleh pemerintah Indonesia dalam merumuskan peraturan dan kebijakan publik. 

Mengapa penting isu HKSR? Data-data mengenai HKSR masih menggambarkan kondisi memprihatinkan. Tercatat sekitar 1.600 perempuan mati setiap hari akibat komplikasi dalam kehamilan dan kelahiran, dan 99% berada di negara berkembang. Setiap tahun, terdapat sekitar dua juta gadis berada dalam bahaya mutilasi alat kelamin (sunat). Sekitar 70.000 perempuan mati setiap tahun akibat aborsi tidak aman. Perempuan lebih mudah tertular oleh HIV melalui hubungan seksual. Sekitar 51% dari perempuan hamil menderita kekurangan zat besi (iron-deficiency anemia). Sepertiga dari penyakit perempuan di negara-negara berkembang berhubungan erat dengan HKSR, seperti penyakit akibat kehamilan, kelahiran, aborsi, infeksi alat reproduksi, dan HIV/AIDS. Kanker mulut rahim (cancer of the cervix) adalah jenis kanker paling ganas di negara berkembang yang umumnya ditularkan melalui hubungan seksual Akar dari semua gambaran mencekam tersebut adalah ketidakadilan gender yang mendorong pelanggaran terhadap HKSR (World Report on Women’s Health, 2014). 

 

Diskursus mengenai Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi atau Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) sudah cukup lama, hampir tiga puluh tahun lalu sejak dibahas pada Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development disingkat ICPD) tahun 1994 di Kairo dan Konferensi Dunia tentang Perempuan yang Keempat (Fourth World Conference on Women) tahun 1995 di Beijing. HKSR mencakup hak semua individu untuk membuat keputusan mengenai aktivitas seksual dan reproduksi mereka; bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan. Secara khusus, akses atas HKSR memastikan individu dapat memilih apakah, kapan, dan dengan siapa terlibat dalam aktivitas seksual; untuk memilih apakah dan kapan mempunyai anak; dan untuk mengakses informasi dan sarana untuk melakukannya. 

HKSR merupakan bagian dari HAM, karena komponen HKSR berasal dari komponen-komponen HAM; seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak terbebas dari diskriminasi. Artinya, HKSR, sebagaimana HAM, bersifat mutlak dan universal. Seorang individu tidak perlu melakukan apapun untuk mendapatkan akses HKSR karena akses terhadap hak-hak asasi itu merupakan bagian integral dari keberadaannya sebagai manusia. Tidak terlalu berlebihan untuk menyimpulkan, HKSR adalah bagian integral HAM yang pemenuhannya merupakan kewajiban negara dan masyarakat. Bentuk implementasi HKSR dalam sebuah negara mengindikasikan tingkat demokrasi dan sekaligus level peradaban suatu bangsa. 

HKSR mencakup hak semua manusia untuk: mencari, menerima, dan mengkomunikasikan informasi terkait seksualitas; menerima pendidikan seksual; mendapatkan penghormatan atas integritas tubuhnya; memilih pasangan; memilih untuk aktif secara seksual atau tidak; melakukan hubungan seks konsensual; menikah secara konsensual; memutuskan untuk memiliki anak atau tidak, dan kapan waktu yang tepat untuk memiliki anak; dan memiliki kehidupan seksual yang memuaskan, aman, dan menyenangkan. Pemenuhan HKSR setidaknya harus memenuhi empat unsur utama, yaitu, integritas tubuh, kepribadian, kesetaraan, dan keragaman 

HKSR adalah syarat utama bagi perempuan dan anak perempuan mendapatkan kehidupan yang produktif, sehat dan sejahtera. HKSR mencakup sejumlah isu termasuk akses universal atas layanan kesehatan seksual dan reproduksi, pendidikan seksual komprehensif, dan penghapusan kekerasan berbasis gender serta praktik membahayakan, seperti pernikahan paksa, pernikahan anak serta sunat perempuan. HKSR juga memungkinkan perempuan dan anak perempuan  menyelesaikan pendidikan dan masuk ke dunia kerja yang pada gilirannya akan membantu perempuan menjadi lebih berdaya dan lebih sejahtera. Dengan ungkapan lain, akses atas HKSR akan mendorong keadilan dan kesetaraan gender. Sebaliknya, pengabaian terhadap HKSR dan kaitannya dengan isu lain, seperti penghapusan kemiskinan, kedaulatan pangan, hak asasi manusia, keadilan sosial, keadilan ekologi, bahkan perubahan iklim akan membuat pemerintah mengeluarkan biaya pemulihan yang sangat besar akibat ketidakadilan dan ketimpangan tersebut. Sebab, praktik ketidakadilan gender akan berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Tidak salah jika disimpulkan, HKSR merupakan isu kunci pembangunan (Dokumen Kairo, 1994).

Tulisan ini merupakan pengalaman reflektif penulis, baik sebagai perempuan maupun sebagai intelektual Muslimah yang aktif melakukan kerja-kerja edukasi dan advokasi langsung di masyarakat. Pengalaman penulis mengungkapkan, implementasi HKSR berjalan sangat lambat, khususnya di lingkungan umat Islam sebagai kelompok keagamaan mayoritas. Kondisi memprihatinkan itu dipengaruhi banyak faktor dan sangat kompleks, antara lain faktor sosial, politik, budaya dan pemahaman agama. Di samping itu, dipengaruhi bukan saja oleh kualitas dan ketersediaan perawatan kesehatan, tetapi juga oleh tingkat perkembangan sosial-ekonomi, gaya hidup, dan posisi perempuan dalam masyarakat. Bahkan, IFGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics) menyatakan, rendahnya akses atas HKSR tidak hanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan medis, tetapi juga karena diabaikannya hak-hak asasi perempuan (World Report on Women’s Health, 1994). 

Penulis tidak akan mengulas semua faktor penghambat tersebut, melainkan terbatas pada hambatan teologis berupa tafsir keagamaan yang bias budaya patriarki dan bias nilai-nilai keadilan gender. Selanjutnya, sebagai respons terhadap tafsir misogini tersebut, penulis menawarkan interpretasi keagamaan humanis-feminis. Sebuah pandangan keagamaan yang mengedepankan prinsip keadilan dan empati kemanusiaan sehingga mendorong pemenuhan HKSR. Hal itu dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kemanusiaan semua pihak, terutama para pemuka agama, elite politik dan pengambil kebijakan agar berani mengimplementasikan pemenuhan HKSR. Membiarkan masyarakat tergerus oleh interpretasi keagamaan konservatif yang berseberangan dengan nilai keadilan dan prinsip maqashid syariah bukan hanya melemahkan HKSR dan menghambat pencapaian target SDG’s, namun juga menghalangi kemajuan demokrasi dan upaya pengembangan kualitas SDM Indonesia. Dan yang pasti, membahayakan masa depan kemajuan peradaban manusia.

Pesan keadilan Islam dalam HKSR

HKSR mencakup spektrum yang luas, termasuk hak-hak asasi manusia (laki-laki dan perempuan) untuk hidup layak. Secara khusus, HKSR menekankan pentingnya pemenuhan hak asasi perempuan dalam proses reproduksi. Setiap perempuan berhak hidup sehat (fisik dan psikis) terhindar dari risiko kesakitan dan kematian akibat organ seksual dan fungsi reproduksinya, seperti haid, hamil, dan melahirkan. Setiap perempuan berhak menikmati relasi seksual yang sehat, aman dan menyenangkan serta terhindar dari semua perlakuan diskriminatif dan juga berbagai penyakit menular, seperti HIV/Aids dan penyakit kelamin lainnya, setiap perempuan berhak memilih bentuk keluarga, membangun dan merencanakan keluarga, termasuk mengikuti program KB (keluarga berencana). Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan berupa hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. 

Meskipun isu HKSR belum dibicarakan pada masa awal Islam, namun perbincangan tentang organ-organ seksual dan fungsi-fungsi reproduksi sudah disinggung dalam Al-Qur’an. Di antaranya, ayat-ayat yang memerintahkan agar menjaga organ-organ reproduksi (Q.S. al-Nur, 30-31). Ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang senada mengingatkan semua manusia menjaga pandangan mata dan organ seksual mereka agar tidak menzalimi orang lain. Lalu pada ayat lain Allah swt. memuji mereka yang berhasil menjaga diri dan digolongkan kepada orang-orang yang beroleh keberuntungan (Q.S. al-Mukmin,1-7). Islam menghendaki semua manusia agar mengedepankan integritas moral (akhlak karimah) sebagai landasan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban (Mulia, 2005).

Islam menjamin pemenuhan HKSR, khususnya bagi perempuan. Jaminan Islam itu dimaksudkan merespons kondisi ketidakadilan yang sudah berlangsung lama dalam tradisi jahiliyah di kawasan Timur Tengah. Masyarakat Arab, seperti halnya masyarakat di belahan dunia lainnya ketika itu, menganggap reproduksi sebagai domain laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai the second creation yang harus diperlakukan sebagai the second sex. Mitologi tentang perempuan pra Islam di kawasan ini mempersepsikan perempuan sekadar obyek seksual dan bukan manusia utuh dan karenanya tidak layak menyejajarkan diri dengan laki-laki. Bagi mereka, hak reproduksi adalah hak prerogatif laki-laki dan menjadi kewajiban suci perempuan melayani kepuasan biologis laki-laki. Lalu, Islam datang menegaskan bahwa relasi seksual di luar perkawinan adalah perbuatan zina yang terkutuk bagi lelaki maupun perempuan. Inilah bentuk keadilan Islam (Mernissi, 1991).

Al-Qur’an dan Hadis sumber utama Islam hanya sedikit menjelaskan aturan hukum, sementara problem manusia begitu beragam dan sangat kompleks, yang kesemuanya memerlukan ketentuan hukum. Oleh karena itu, pembaruan penafsiran merupakan keniscayaan. Akan tetapi, pembaruan penafsiran harus tetap mengacu kepada sumber-sumber Islam utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Pembaruan atau reinterpretasi ajaran Islam dimaksudkan agar umat Islam lebih memahami tujuan hakiki syariat (maqashid al-syari`ah). Al-Syatibi (1975) menegaskan, tujuan dasar syariat adalah mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan (al-`adl), kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah) dan kasih sayang (al-rahmah).

Sebelumnya, Al-Ghazali telah merumuskan nilai-nilai yang terkandung pada maqashid al-syari`ah tersebut ke dalam lima prinsip dasar hak asasi manusia yang disebutnya al-huquq al-khamsah. Kelima hak asasi dimaksud adalah hak hidup, hak kebebasan beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak reproduksi. Jadi, seluruh ajaran Islam menjamin terpeliharanya lima hak asasi tersebut. Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Selanjutnya, Al-Jawziyah (T.th), ahli hukum Islam dari Mazhab Hanbali, merumuskan bahwa syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal. Menurut penulis, prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam. Pandangan demikian sudah dikembangkan oleh Ibn Rusyd beberapa abad yang lalu, bahwa kemashlahatan manusia merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan (Ibn Rusyd, 1999). Bahkan, Izzuddin Ibn Abdissalam (T.th) sampai pada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia. 

Pesan keadilan dan kemaslahatan dalam Islam terlihat dalam banyak ajaran. Penulis hanya mengambil hal-hal terkait HKSR, seperti himbauan sunat terhadap lelaki dan sebaliknya larangan sunat bagi perempuan; kecaman terhadap relasi seksual yang mengandung unsur diskriminasi, penindasan, pemaksaan dan kekerasan; perintah merencanakan kehidupan keluarga agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah; perintah menghormati perempuan yang sedang menjalani fungsi-fungsi reproduksi serta memperlakukan mereka dengan empati; perintah kepada anak untuk berbakti kepada ibunya tiga kali lebih banyak daripada kepada ayahnya; larangan poligami, perkawinan anak dan perkawinan paksa; serta kebolehan aborsi untuk tujuan kesehatan dan kemaslahatan ibu (Mulia, 2005). Jika pesan-pesan keadilan dan kemaslahatan tersebut diimplementasikan, bukankah itu juga bermakna pemenuhan HKSR?

Berikutnya, penulis ingin mengelaborasi tiga isu, yaitu perkawinan, relasi seksual dan aborsi. 

Isu Perkawinan 

Ketika membahas HKSR, isu paling relevan adalah perkawinan. Tiada lain karena hampir seluruh problem sosial akibat pengabaian dan pelanggaran HKSR terjadi dalam perkawinan. Dapat disebutkan antara lain, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, kematian ibu melahirkan, kesakitan dan kematian akibat kehamilan, kehamilan yang tak diinginkan,  aborsi yang membahayakan jiwa, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan punya banyak anak, pemaksaan poligami, stigma akibat kemandulan, terpapar HIV/Aids dan berbagai penyakit kelamin menular lainnya, dan masih banyak lagi (Katjasungkana, 2002). Ada banyak faktor berkelindan sebagai penyebab, seperti budaya, adat-istiadat, norma hukum dan interpretasi ajaran agama. Penulis membatasi diri mengulas isu interpretasi ajaran agama 

Sebelum Islam datang, perkawinan dalam masyarakat Arab sepenuhnya menjadi kewenangan laki-laki. Para lelaki itu, bahkan disebut wali mujbir (punya hak memaksa), seperti ayah, paman, saudara laki-laki, kakek dan seterusnya ke atas. Dalam konsep Arab Jahiliyah, wali dalam sebuah perkawinan adalah mutlak. Tanpa kehadirannya, akad perkawinan tidak sah (Abduh, 1881). 

Lalu, Islam datang mengubah secara radikal ketentuan yang sangat tidak adil tersebut. Perempuan diberikan hak menentukan perkawinannya sendiri, kapan dan dengan siapa akan menikah dengan tetap mengindahkan aturan agama. Sebab, pilihan menikah sangat terkait dengan kesiapan lahir batin, dan yang lebih mengetahui hal itu adalah diri perempuan itu sendiri. Walaupun wali tetap ada, namun tidak boleh memaksa anak di bawah perwaliannya menikah tanpa persetujuan anak tersebut (Al-Haddad, 1993).  

Sering muncul anggapan, wali diperlukan karena lebih bijak memilihkan calon untuk perempuan dalam perwaliannya. Mungkin ini ada betulnya, tapi faktanya tak sedikit wali menyalahgunakan kewenangannya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, demi mendapatkan harta, kedudukan, dan tujuan lain. Tidak heran terjadi kasus-kasus women and children trafficking (penjualan perempuan dan anak perempuan) dengan modus operandi perkawinan

Untuk menghindarkan berbagai kemungkinan yang membawa kepada ketidakadilan dalam perkawinan, Nabi menganjurkan agar calon suami dan istri saling mengenal dengan baik sebelum menikah. Tujuannya agar perkawinan mereka lebih berhasil. Di samping itu, perkawinan dilaksanakan berdasarkan persetujuan dari kedua calon mempelai. Persetujuan dari calon istri tidak boleh semata-mata digantikan oleh persetujuan walinya (Hassan, 1995). Menurut Riffat Hasan, sebagaimana dijelaskan Khoiruddin Nasution (2002), Q.S. al-Nisa,’ 3 dan 19 adalah dasar larangan perkawinan paksa. 

Islam menggariskan setidaknya lima prinsip dasar perkawinan (Mulia, 2011).  Pertama, prinsip mitsaqan ghaliza (komitmen suci dan kokoh). Islam memandang pernikahan itu sebuah amanah dan suami-isteri telah berjanji atas nama Tuhan untuk menjaga amanah tersebut. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan istilah mitsaqan ghaliza (Q.S. al-Baqarah, 21). Jadi, pernikahan bukan sekadar urusan cinta dan syahwat, melainkan melibatkan aspek psikis, sosial, dan spiritual manusia. Bagi orang beriman, yakin bahwa semua perilaku dalam perkawinan akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di dunia, melainkan sampai ke akhirat nanti. Prinsip ini menyadarkan suami-isteri untuk teguh memegang janji suci perkawinan, hidup bersama dengan penuh tanggung jawab, tidak menyakiti satu sama lain. Prinsip ini menunjukkan ketegasan Islam menolak perkawinan anak, perkawinan paksa dan semua bentuk perkawinan yang tidak dibangun atas komitmen bersama suami-isteri.

Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih-sayang tak bertepi). Mawaddah wa rahmah (Q.S. ar-Rum, 30: 21) terbentuk dari suasana hati penuh keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagiaan bersama. Perasaan mawaddah wa rahmah merupakan kondisi psikologis yang terbentuk karena cinta dan kasih-sayang tak bertepi terhadap pasangan. Karena itu, berbagai hal yang mungkin menimpa pasangan seperti sakit, mengalami kemandulan, mengalami musibah yang menyebabkan cacat dan sebagainya, kematian anak dan sebagainya tak akan mengubah komitmen untuk hidup bersama dengan bahagia. Kondisi ini tak mungkin muncul karena paksaan atau pura-pura melainkan tumbuh dari hati yang tulus penuh empati kemanusiaan serta didorong oleh keinginan berlaku adil terhadap pasangan. Implementasi prinsip ini menjadikan suami-isteri sulit mencari alasan untuk poligami, selingkuh dan menodai kesucian perkawinan.

Ketiga, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf, yakni perintah memperlakukan isteri dengan cara-cara terpuji dan beradab. Perintah ditujukan kepada suami karena pada masa itu, suami dianggap superior, sementara perempuan hanyalah obyek seksual. Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (Q.S an-Nisa 19) paling banyak dituntut dalam relasi seksual. Prinsip ini membawa suami-isteri merasakan kenikmatan seksual. Kenikmatan seksual lebih banyak ditentukan oleh suasana hati dan pikiran yang tenang. Prinsip ini mengeliminasi semua bentuk perilaku kekerasan dalam relasi seksual. Islam mengecam semua bentuk pemaksaan, penindasan, dan kekerasan dalam relasi seksual. Hal itu juga berimplikasi kepada larangan stigma, intimidasi, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hamil, perkosaan dan semacamnya yang sering berakibat pada gangguan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.

Keempat, prinsip musawah atau kesetaraan dan keadilan gender (Q.S. al-Baqarah, 2:187). Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan manakala suami isteri berada pada posisi setara dan sederajat. Kesetaraan di sini tidak berkonotasi kompetensi atau perlombaan di antara suami-isteri. Keduanya tetap dalam fungsi masing-masing, suami tetap sebagai suami demikian sebaliknya. Kesetaraan lebih mengarah kepada perlunya suami-isteri berbagi tugas secara adil, khususnya dalam urusan rumah tangga: mengasuh anak, membersihkan rumah dan sebagainya sehingga isteri tidak memikul beban multi-ganda (Istiadah, 1999). 

Pelanggaran HKSR lebih banyak terjadi karena isteri memikul hampir semua beban kerja dalam rumah tangga. Beban berat tersebut pada gilirannya memengaruhi kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Kerja-kerja domestik jauh lebih berat dari kerja-kerja di area publik karena kerja domestik tidak mengenal jam kerja, volume pekerjaan, tidak ada deskripsi pekerjaan yang jelas, apalagi jika masih memiliki anak-anak balita. Selama ini para isteri diminta sabar dengan menghegemoni mereka dengan janji-janji surga dan ketaatan mutlak pada suami, tanpa batas. Islam mengecam perilaku suami yang egois, tak mau berbagi tanggungjawab di rumah tangga.

Terakhir, prinsip musyawarah atau komunikasi yang akrab, hangat dan intens (Q.S. at-Thalaq, 65:6). Dengan prinsip musyawarah, suami atau isteri tidak mengambil keputusan penting, secara sepihak, melainkan senantiasa dirundingkan atau dimusyawarahkan bersama. Tidak ada pihak yang mengelak dari tanggung jawab karena semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama demi kepentingan keluarga. Rasulullah saw. seringkali menyebutkan: bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Di balik sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan agar berusaha menjadikan rumah masing-masing seindah dan senyaman surga. Surga dalam kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu perlu kerjasama serius dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak mungkin terwujud jika hanya sepihak saja yang berusaha. 

Implementasi prinsip-prinsip dasar perkawinan tersebut akan menggiring suami-isteri merencanakan keluarga dengan baik, antara lain dengan mengikuti program keluarga berencana (KB). Secara umum, pandangan Islam terkait KB dapat dipolakan kepada dua pandangan. Pertama, menolak KB dan meyakini keharamannya. Pandangan tersebut biasanya merujuk pada hadis yang menghimbau lelaki menikahi perempuan subur agar memiliki banyak anak (H.R. Abu Daud). Kelompok yang mewakili pandangan ini memandang perkawinan sebagai media memperbanyak keturunan. Alasannya, Nabi saw memerintahkan umatnya agar memperbanyak keturunan untuk dibanggakan di hari kemudian. Kelompok yang mewakili pandangan ini umumnya juga memandang suami sebagai superior mutlak. Menurut penulis, pandangan keagamaan tersebut perlu diwaspasdai karena akan berujung pada perilaku diskriminatif dengan menjadikan perempuan sebagai mesin reproduksi. Selain itu, pandangan bahwa Nabi berbangga dengan jumlah umat sudah perlu dikritisi. Sebab, Nabi hanya bangga pada umat yang berkualitas, bukan sekadar kuantitas tanpa prestasi.

Kedua, pandangan yang setuju KB. Umumnya, kelompok ini mengacu pada prinsip maqashid syariah atau tujuan obyektif Islam. Intinya, Islam hadir untuk memenuhi lima hak dasar manusia, di antaranya hak hidup dan hak kesehatan reproduksi (HKSR). Menurut penulis, tujuan KB yang paling esensial adalah memenuhi hak hidup dan hak kesehatan reproduksi ibu dan anak. Tujuan ini sejalan dengan perintah agama (Q.S. an-Nisa, 9): ”Dan hendaklah takut kepada Allah, terutama para orang tua yang akan meninggalkan anak-anak (keturunan) yang lemah, yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Hendaklah mereka senantiasa bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan benar (Q.S. an-Nisa, 9). 

Jelas sekali bahwa ayat tersebut memperingatkan secara tegas kepada suami-isteri agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah. Lemah di sini dapat diartikan lemah fisik, mental, spiritual, ekonomi, pendidikan dan akidah. Peringatan itu harus direspons dengan membuat persiapan yang matang sebelum memutuskan untuk mempunyai anak. Dengan ungkapan lain, perlu merencanakan kehidupan keluarga dengan matang dan bijak. Terlihat betapa adilnya Al-Qur’an, peringatan itu ditujukan secara umum kepada manusia (lelaki dan perempuan). Artinya, urusan keluarga hendaknya dimusyawarahkan secara damai di antara suami-isteri, bahkan juga anggota keluarga lainnya. Masalahnya, pembahasan KB sering didominasi oleh perbincangan tentang penggunaan alat-alat kontrasepsi yang sering digambarkan bahayanya secara dramatis. Pemahaman keliru itu muncul akibat kesalahpahaman terhadap konsep keluarga berencana. 

Keberhasilan KB bukan semata karena keberhasilan penggunaan alat-alat kontrasepsi, melainkan pada paradigma dan mindset suami-isteri. Suami-isteri perlu memikirkan orientasi yang jelas dalam kehidupan keluarga. KB bukan hanya terbatas pada upaya-upaya mencegah kehamilan dan mengurangi jumlah anak, melainkan lebih luas dari itu. Di antaranya mencakup pembahasan tentang keadilan dalam relasi suami-isteri, dimulai dari kemerdekaan memilih pasangan, menikah, merencanakan kehamilan dan kelahiran anak. Memikirkan cara pengasuhan dan pendidikan yang optimal bagi anak serta menjalani kehidupan keluarga dengan penuh sakinah, mawaddah wa rahmah (Mulia, 2011). 

Mengatur kelahiran anak adalah penting agar setiap anak mendapatkan pengasuhan dan perhatian yang cukup dari kedua orang tua. Berdasarkan berbagai fakta medis dan sosial, sebaiknya penggunaan alat-alat kontrasepsi dilakukan oleh laki-laki atau suami karena posisi organ-organ reproduksi mereka berada di luar dan bentuknya pun tidak serumit organ reproduksi perempuan. Karena itu, penting mengubah paradigma keliru yang terlanjur berkembang di masyarakat bahwa pemakaian alat kontrasepsi adalah kewajiban perempuan. Pemakaian kontrasepsi oleh suami sangat sejalan dengan perintah Tuhan agar suami memperlakukan isterinya dengan cara-cara terpuji (mu`asyarah bil ma`ruf). Mengapa isteri harus menanggung semua risiko akibat relasi seksual bersama?

Isu relasi seksual 

Islam memiliki pandangan yang positif dan konstruktif terhadap seksualitas. Hak-hak kesehatan seksual adalah bagian integral dari hak hidup individu dan saling memengaruhi dengan aspek kehidupan yang lain, baik secara individual maupun sosial (Bouhdhiba, 1985). Islam menolak semua bentuk perilaku diskriminatif, seperti anggapan bahwa istri wajib melayani dan memenuhi kepuasan seksual suami dan tidak sebaliknya. Bahkan, Islam tegas mengajarkan, suami hanya taat kepada Tuhan, demikian pula isteri hanya taat kepada Tuhan, tidak ada ketaatan kepada sesama manusia. Indikasi ketaatan suami adalah memperlakukan isteri sebaik mungkin, penuh kasih sayang dan menghindari semua bentuk ketidakadilan termasuk dalam relasi seksual, demikian sebaliknya (Amin, 1984). 

Islam tegas mengajarkan, perempuan bukan budak seks. Perempuan adalah manusia utuh yang berharga dan bermartabat serta memiliki perasaan dan fantasi yang harus dipertimbangkan dan dihargai. Perempuan memiliki kemerdekaan untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual, meski itu dengan suami sendiri. Islam tidak membenarkan pemaksaan dalam hubungan seksual, termasuk marital rape untuk alasan apa pun. Sebaliknya, perempuan pun tak boleh memaksa lelaki untuk memuaskan birahi seksualnya (Hassan, 1995).

Bayangkan pada abad ke-7 M, Islam sudah mengajarkan tentang hak isteri menikmati hubungan seksual. Nabi bersabda: “Jika seorang suami bersetubuh dengan istrinya, maka hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bila ia sudah lebih dahulu mencapai orgasme sebelum istri merasakannya, hendaklah ia tidak terburu-buru (mengeluarkan penisnya) sampai istri terpenuhi hajatnya, dan memperoleh orgasme.” Hadis lainnya:“Sesungguhnya orang mukmin yang lebih sempurna keimanannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan sebaik-baik kamu ialah yang terbaik akhlaknya terhadap istri” (H.R. Tirmidzi).

Untuk mewujudkan relasi seksual yang berkeadilan dalam perkawinan, sejumlah hadis Nabi justru memerintahkan suami agar berupaya membangun gairah isteri sehingga dia bersemangat melakukan hubungan seksual (H.R. Ahmad ibn Hanbal). Jadi hubungan seksual dalam relasi suami-isteri bukan sekadar kewajiban bagi suami maupun isteri, melainkan sebuah upaya untuk mendapatkan kenikmatan, ketenangan dan juga keturunan. Keduanya boleh menolak jika tidak siap atau sedang tidak mood. Sebab, keterpaksaan dalam relasi seksual akan berakibat fatal bagi keduanya. Lagi pula, semua bentuk pemaksaan dalam relasi seksual dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual yang harus dihindari oleh semua manusia yang mengaku beradab. Bukankah beradab adalah ciri utama karakteristik takwa? 

Perlu dicatat, meskipun perkawinan menghalalkan terjadinya relasi seksual bagi suami-isteri, tetap saja relasi seksual tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan keadilan bagi kedua pihak, termasuk keadilan bagi isteri. Suami tidak boleh memaksa atau memperlakukan isteri sesukanya. Semua bentuk penyaluran dan pemenuhan naluri biologis yang dilakukan tidak dengan cara yang diridhai meskipun terhadap pasangan yang halal tetap dipandang sebagai perilaku terkutuk atau dalam term Al-Qur’an disebut fahisyah (Q.S. al-Isra, 32). Al-Qur’an dengan jelas mengajarkan suami wajib memperlakukan isteri dengan cara-cara santun dan terpuji (Q.S an-Nisa, 19). Segala bentuk kekerasan dan pemaksaan tidak sesuai dengan prinsip “mu’asyarah bil ma’ruf“. Nabi  menegaskan, “laki-laki terhormat adalah mereka yang menghargai perempuan. Sebaliknya, laki-laki jahat adalah mereka yang melecehkan perempuan” (H.R. Ibnu Syakir).

Meski secara normatif, ajaran Islam sudah sangat kuat menyuarakan keadilan dalam relasi seksual, namun, pandangan mayoritas umat Islam terkait relasi seksual masih sangat bias. Umumnya, masih menganggap kenikmatan seksual adalah monopoli laki-laki, perempuan tidak harus menikmati, cukup memenuhi keinginan suami (Al-Baghdadi, 1998). Biasanya, pandangan misogini itu mengacu pada pemahaman tekstual terhadap hadis. Di antaranya hadis berikut: “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia menolak dan (karena itu) suami menjadi marah, maka malaikat akan melaknat isteri tersebut sampai pagi” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Hadis lain:”Jika suami memanggil istri untuk menunaikan hajatnya, hendaklah isteri mendatanginya, meskipun suami sedang berada di atas punggung unta” (H.R Turmudzi). Hadis-hadis seperti itu populer dalam masyarakat karena selalu didakwahkan di pengajian, majelis taklim, khutbah Jum’at dan seterusnya.

Selain merujuk kepada hadis, pandangan keliru dan misoginis tersebut juga merujuk kepada pemahaman tekstual ayat-ayat Al-Qur’an, seperti ayat al-Baqarah, 223:”Istri-istri kamu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, datangilah tempat tersebut sekehendak hatimu.” Dari sini lalu dipahami secara keliru bahwa suami boleh menggauli isterinya sekehendak hati, termasuk memaksa isteri. 

Tentu saja, pandangan misogini tersebut kontradiksi dengan substansi ajaran Islam yang mengedepankan keadilan dan penghargaan terhadap sesama, apalagi pasangan dalam perkawinan. 

Memaksa istri melayani suami di atas punggung binatang adalah perilaku biadab, dan sangat jauh dari ajaran agama yang menekankan konsep cinta, kasih sayang, persahabatan, dan saling menghargai. Penting diingat bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, yakni keluarga yang diliputi damai dan penuh kasih sayang (Abou el-Fadl, 2003). 

Menurut penulis, hadis dan ayat-ayat Al-Qur’an perlu dibaca dengan memperhatikan kontekstualnya. Menggali latar belakang (asbab wurud) suatu hadis atau asbab nuzul suatu ayat sambil mengaitkannya dengan prinsip tauhid dan tujuan obyektif kehadiran Islam (maqashid syari’ah). Dengan cara itu akan ditemukan pesan-pesan moral keadilan yang wajib diimplementasikan dalam kehidupan keagamaan. 

Keindahan pesan keadilan dalam Al-Qur’an hanya dapat dimengerti oleh mereka yang menggunakan nalar kritis secara optimal. Itulah sebabnya mengapa sejumlah ayat Al-Qur’an mengingatkan manusia agar selalu menggunakan akal-budi secara maksimal. Itu pula sebabnya mengapa ayat pertama turun berupa perintah membaca (iqra’). Membaca di sini spektrumnya sangat luas, mencakup membaca fenomena kehidupan di alam semesta, artinya penting penguatan literasi keagamaan, kebudayaan dan kemanusiaan.

Saatnya seksualitas perempuan tidak lagi dikorbankan untuk kepentingan di luar dirinya. Karena pada prakteknya akan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang berakibat buruk pada semua masyarakat. Islam mengajarkan, semua keburukan dan kerusakan harus disingkirkan dan dilenyapkan (lâ dharara wa lâ dhirâr). Umumnya kondisi sosial yang misoginis merupakan bentuk otoriterianisme kekuasaan yang harus diruntuhkan. Itulah mengapa umat Islam perlu berjihad menegakkan kebenaran dan mengakhiri semua bentuk ketidakadilan, termasuk konstruksi sosial yang menegasikan HKSR perempuan. Sebuah hadis Nabi mengingatkan: “menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang otoriter adalah sebaik-baik jihad (afdhal al-jihâd al-qawl al-haqq amâm sulthân jâ’ir).” Intinya, perjuangkanlah kebenaran, meski penuh risiko dan tantangan karena itulah jihad sesungguhnya!

Isu aborsi 

Aborsi di Indonesia masih dianggap tindakan ilegal sebagaimana diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 23 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Meskipun demikian, dalam ketentuan tersebut terdapat pengecualian berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Pandangan ulama klasik terkait aborsi tidak tunggal, tapi yang populer di masyarakat hanyalah keharamannya. Pandangan keharaman aborsi kebanyakan merujuk pada Imam Syafii (al-Ghazālī, t.th) dan imam Malik (al-Qurtûbi, 1988). Umumnya, pandangan tersebut didasarkan pada ayat al-Isra,’33:”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan (QS. al Isra’: 33). Berdasarkan ayat tersebut, aborsi dianalogikan dengan membunuh. Di sinilah letak kelemahan pendapat tentang keharaman aborsi.

Sebaliknya, pandangan membolehkan aborsi dinyatakan oleh imam Hanafi merujuk ayat al-Mu’minun, 12-14. Ayat ini menjelaskan tentang proses penciptaan manusia yang diinterpretasikan bahwa ruh manusia ditiupkan ketika usia kehamilan 120 hari. Mazhab Hanafi membolehkan aborsi dengan catatan jika dilakukan sebelum adanya tanda-tanda kehidupan, yaitu pada usia kandungan belum empat bulan atau 120 hari. Aborsi sebelum janin berusia 120 hari tidak dapat diartikan sebagai membunuh karena belum ada kehidupan (Ibn Abid, 2000).

Pandangan keislaman di Indonesia terkait aborsi mengalami kemajuan signifikan. Ormas Islam yang besar, seperti NU dan Muhammadiyah memiliki konsen menyuarakan pandangan keislaman moderat dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Lembaga Bahsul Masa’il NU misalnya menegaskan, aborsi haram hukumnya sejak terjadi implantasi blastosis (pelekatan embrio pada dinding rahim). Akan tetapi, aborsi tetap diperbolehkan dalam keadaan dan sebab tertentu (Keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, 2014).  

Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Muhammadiyah: aborsi yang terjadi karena tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis, dan tanpa memperhitungkan usia janin sejak terjadinya pembuahan hukumnya haram (Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-XXII, 2015). Artinya, aborsi dibolehkan sepanjang ada faktor yang melegalkan dan didasarkan pada kepentingan medis.

Sejalan dengan pandangan kedua ormas tersebut, MUI telah lebih dulu memfatwakan, aborsi haram hukumnya sejak terjadi implantasi blastosis pada dinding rahim ibu. Namun diperbolehkan jika terdapat uzur, baik bersifat darurat ataupun hajat tertentu (Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 4, Tahun 2005). Jelas bahwa MUI dan kedua ormas besar Islam tersebut memberikan celah bagi kebolehan aborsi, dan tidak mengharamkannya secara mutlak. Pandangan MUI sejalan dengan Wahbah al-Zuhaili, ulama ternama asal Syria. Menurutnya, aborsi dibolehkan dalam kondisi darurat yang mengancam nyawa ibu (al-Zuhaili, 2000).

Penulis setuju aborsi dengan alasan keadilan dan kemaslahatan manusia. Meski demikian, penulis tetap menggarisbawahi, aborsi hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis terampil dan profesional. Selain itu, harus dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan karena itu menyangkut tubuhnya. Sebaliknya, penulis tetap menentang aborsi jika dimanfaatkan untuk pembenaran melakukan hubungan seksual yang tidak humanis dan tidak bertanggungjawab. Sebab, hal itu bertentangan dengan agama serta upaya-upaya membangun kemajuan bangsa. 

Amat disayangkan, pandangan keagamaan yang ramah terhadap HKSR belum tersosialisasi secara luas dalam masyarakat Islam Indonesia. Tetap saja pandangan yang mengemuka adalah keharaman aborsi. Demikian pula, tidak banyak yang mengetahui adanya perbedaan pemahaman ulama terkait aborsi. Akibatnya, kebanyakan masyarakat hanya mengenal satu pandangan keislaman, dan itu biasanya bukan pandangan yang progresif dan humanis. Sebab, model pemahaman keislaman yang disebutkan terakhir itu hanya dapat diterima kalangan yang memiliki tingkat literasi keagamaan yang memadai.

Ke depan, sangat diperlukan upaya penguatan literasi kemanusiaan agar masyarakat mengerti bahwa aborsi dibutuhkan dalam sejumlah kasus, seperti perkosaan, incest, pedophilia, kondisi fisik dan mental yang sakit parah sehingga perempuan mustahil mampu menjalani kehamilan. Alasan lainnya adalah terkait kesehatan seksual dan reproduksi. Bukankah pemenuhan HKSR adalah integral dengan pemenuhan hak hidup seorang manusia? Dan itu merupakan salah satu tujuan obyektif dari kehadiran Islam.  

Narasi konservatisme agama menghambat implementasi HKSR 

Seperti disinggung di bagian awal tulisan, terdapat sejumlah faktor yang ditengarai sebagai hambatan dalam implementasi HKSR. Di antaranya, budaya patriarkhi, norma-norma hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan gender minoritas, kemiskinan, rendahnya tingkat literasi keagamaan masyarakat serta interpretasi keagamaan yang bias gender. Namun, tulisan ini hanya akan mengulas hambatan yang disebutkan terakhir. Secara singkat akan menjawab pertanyaan, mengapa interpretasi keagamaan yang dianut mayoritas masyarakat Islam cenderung tidak memihak pada pemenuhan HKSR? 

Penolakan terhadap HKSR umumnya bersumber dari pemahaman tekstualis terhadap teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan hadis). Pemahaman demikian sering diistilahkan dengan pemahaman keagamaan konservatif. Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin “conservāre” artinya melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan. Umumnya, kelompok konservatif berusaha melestarikan status quo dengan mempertahankan pendapat terdahulu. Pemahaman konservatif dalam Islam biasanya mengekalkan pandangan keislaman berdasarkan pemahaman tekstualis atau literalis. Umumnya, pandangan konservatif itu dirumuskan para ulama fiqh abad pertengahan. Jika diamati secara seksama, sebagian besar pandangan tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang karena mengabaikan prinsip maqasid syari’ah.

Bahaya konservatisme agama diutarakan secara jelas dalam hasil penelitian PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2020. Di sana, antara lain disebutkan, konservatisme agama merupakan narasi dominan di media televisi (46,3%), media sosial (67,20%) dan narasi yang berkembang di lingkungan milenial. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa narasi keagamaan yang berkeadilan gender belum menjadi narasi mainstream dalam masyarakat.   

Narasi agama di media sosial masih didominasi pemahaman konservatif terkait perempuan, mengukuhkan pandangan budaya patriarki yang sangat bias gender, mengekalkan subordinasi perempuan, menolak ide kesetaraan gender, apalagi ide feminisme. Narasi mengenai perempuan hanya berkutat pada ruang domestik, bahkan hanya berkutat di area kasur, sumur dan dapur serta pada perannya sebagai anak, ibu dan istri. Terdapat indikasi kuat bahwa perempuan lebih rentan terhadap paham keagamaan konservatif dibandingkan laki-laki. Dominasi narasi konservatif dalam isu gender dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan melahirkan transmisi konservatisme antar generasi, dan itu sangat membahayakan masa depan bangsa karena sungguh-sungguh menggerus kemanusiaan perempuan (Mulia, 2020). 

Secara umum, narasi konservatif memang tidak bersifat politis, tidak melanggar aturan hukum dan juga tidak mengedepankan aksi kekerasan. Namun, perlu dicermati, pandangan keagamaan konservatif cenderung bersikap intoleran, tertutup dan eksklusif serta mengabaikan hak-hak asasi perempuan, khususnya HKSR (Marcoes, 2021). 

Penelitian Rumah KitaB tahun 2020 mendukung sepenuhnya temuan PPIM. Hasil penelitiannya menjelaskan adanya keterkaitan antara ajaran agama konservatif dan dampak kekerasan berbasis gender. Hanya saja, selama ini perhatian negara dan masyarakat sipil lebih banyak tertuju kepada bahaya ajaran keagamaan mereka terhadap ancaman keamanan negara berupa kekerasan ekstremisme dalam bentuk bom bunuh diri, penyerangan aparat, pencucian uang dan sebagainya. Sementara bahaya ajaran keagamaan tersebut yang mengancam keamanan insani, khususnya tubuh perempuan berupa kematian jiwa, kematian akal-sehat yang merampas kebebasan berpikir belum banyak diungkapkan. Itulah mengapa Rumah KitaB memfokuskan penelitian pada bahaya ajaran tersebut terhadap kehidupan perempuan. Penelitian ini mencatat bahwa ancaman terhadap keamanan insani perempuan juga mengancam pilar-pilar yang selama ini menjadi penyangga kekuatan Islam Indonesia sebagai agama toleran, moderat atau wasathiyyah, dan peduli pada keragaman (Marcoes, 2021). 

Secara ringkas, penelitian itu mengungkap upaya-upaya penghancuran eksistensi kemanusiaan perempuan melalui empat konsep ajaran. Pertama, konsep perempuan sebagai fitnah. Perempuan terus-menerus distigma dan diberi label negatif sebagai sumber fitnah  di dunia ini. Itulah sebabnya mengapa perempuan tidak boleh berada di ruang publik karena kehadirannya dapat mengguncangkan tatanan sosial, bahkan ekonomi. Anehnya, jika untuk kepentingan aksi-aksi kekerasan ekstremisme dan terorisme, perempuan justru didorong berada di ruang publik atas nama jihad. Kedua, konsep perempuan hanyalah subordinat lelaki. Allah sudah mengunci kepemimpinan hanyalah milik lelaki. Perempuan tak mungkin jadi imam karena ibadahnya tak sempurna akibat organ-organ reproduksinya yang mengakibatkan haid, hamil, nifas. Semua itu menghambat perempuan melakukan ibadah sehingga tidak heran jika iman mereka lemah. Terlihat jelas bahwa ajaran mereka menolak HKSR. Ketiga, konsep perempuan sebagai makhluk yang wajib taat dan patuh (sami’na wa atha’na). Perempuan harus taat sepenuhnya pada suami sebagai imam. Apa pun yang dilakukan suami, isteri harus pasrah. Tuntutan perempuan terkait UU KDRT dan UU TPKS dianggap absurd atau sesuatu yang mengada-ada. Kelompok konservatif Islam menganggap perempuan boleh dipukul demi mendidiknya menjadi perempuan shalihah. Ajaran mereka jelas menggerus kemanusiaan perempuan. Keempat, konsep tubuh perempuan adalah aurat. Perempuan harus menutup rapat tubuh mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan tempat terbaik perempuan adalah di rumah. Rumah di sini mengalami perluasan makna yakni berada di rumah kelompoknya. Akibatnya, sejumlah perempuan terputus dari akar budaya dan tradisinya. Mereka tak nyaman lagi pulang kampung mengunjungi sanak keluarganya karena pandangan dan kebiasaan hidup sehari-hari sudah berbeda jauh. 

Hambatan teologis dalam implementasi HKSR begitu kasat mata. Anehnya, tidak banyak yang dapat dilakukan negara dan pemerintah dalam mengurangi ancaman tersebut, bahkan terkesan membiarkan. Pembiaran yang berlarut-larut inilah menurut penulis akan menjadi ancaman bagi Indonesia dalam pemenuhan HKSR sekaligus mewujudkan capaian SDG’s. Ke depannya, juga akan menghalangi upaya-upaya membangun peradaban bangsa yang lebih maju.

Bagi mayoritas umat Islam, isu-isu terkait HKSR, hukum keluarga atau dalam term Islam disebut al-ahwal al-ayakhsiyyah dianggap sebagai inti syari’ah (the essence of shari’ah). Itulah mengapa sebagian umat Islam menganggap hukum keluarga dan perkawinan sebagai hukum mutlak, bahkan lebih mutlak dari Al-Qur’an, sumber hukum itu sendiri. Tidak heran jika upaya-upaya reformasi terhadap isu-isu tersebut berakhir dengan kegagalan. Pembaharuan hukum Islam mudah terlihat dalam berbagai isu publik, seperti politik, pemerintahan, perdagangan, ekonomi, pendidikan dan seterusnya, namun tidak demikian pada isu domestik, khususnya terkait keluarga dan perkawinan. 

Berbagai aturan menyangkut perkawinan dan seksualitas dijaga ketat sedemikian rupa agar tidak berubah, dan itulah strategi mereka melanggengkan tradisi konservatisme Islam. Jadi, upaya untuk reinterpretasi ajaran Islam terkait HKSA dianggap berbahaya. Sebab, upaya ini menyentuh bagian paling sensitif dalam tubuh umat Islam. Isu keluarga dan perkawinan selama ini dianggap tabu untuk dibahas, dan bahkan dianggap sudah final pembahasannya. 

Penting juga dipahami bahwa meskipun umat Islam Indonesia umumnya dikenal berpandangan Islam moderat. Akan tetapi, sifat partisipasinya yang cenderung diam, dan sering tidak peduli. Akibatnya, kelompok moderat jauh terkalahkan oleh kelompok konservatif yang lebih militan dan sangat aktif bersuara. Suara gaungnya lebih menggema di media sosial dan sangat mewarnai potret keagamaan masyarakat. Itulah mengapa pandangan keislaman konservatif masih menjadi pandangan mainstream di masyarakat.

Penutup 

Dokumen Kairo tegas mengingatkan peran tafsir atau interpretasi keagamaan dalam membentuk pemahaman mengenai HKSR. Hal itu, terutama karena peran dan relasi gender juga dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang punya daya paksa dalam membentuk kepatuhan masyarakat. Sikap negara dan pemerintah yang menarik jarak dari campur tangan terhadap perkembangan pandangan keagamaan ekstrem dan konservatif ini cukup mengkhawatirkan. Sebab, hal itu sangat potensial melanggengkan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. 

Pemerintah dan kelompok moderat Islam penting berkolaborasi menyebarluaskan interpretasi keagamaan yang humanis-feminis, yang mengedepankan nilai keadilan, termasuk keadilan gender. Bukan hanya menyebarluaskan, melainkan juga menjadikan tafsir keagamaan humanis-feminis menjadi mainstream dan rujukan hukum di masyarakat. Selain itu, mendorong reformasi UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 yang isinya mengandung unsur-unsur pelemahan terhadap HKSR.

Ke depan, diperlukan upaya-upaya konkret penguatan literasi agama dan kemanusiaan demi menyadarkan masyarakat tentang fungsi penting agama dalam membangun kebudayaan dan peradaban manusia. Setidaknya tiga fungsi penting agama. Pertama, humanisasi yaitu menghormati dan memanusiakan manusia dengan cara memenuhi hak-hak asasinya yang paling mendasar, terutama hak-hak perempuan sebagaimana tertuang dalam HKSR. Kedua, fungsi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari semua bentuk ketidakadilan. Termasuk di sini ketidakadilan yang dialami perempuan akibat pengabaian dan pelanggaran terhadap hak kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi mereka. Terakhir, fungsi transendensi, yaitu menguatkan spiritualitas manusia agar hidupnya lebih bermakna bagi sesama. Spiritualitas tercermin pada sikap dan perilaku manusia yang penuh empati, kasih-sayang, solidaritas dan tanggung jawab.  Dengan tiga fungsi tersebut, agama mendorong manusia selalu berjuang melawan ketidakadilan demi terwujudnya masyarakat yang adil, damai, sejahtera, dan berkeadaban. Tidak terbantahkan lagi, bahwa penegakan keadilan melalui pemenuhan HKSR adalah sebuah keniscayaan. Wa Allah a’lam bi al-shawab.

 

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad. 1881. Hukm al-Syari’ah fi Ta’addud al-Zawaj. al-Waqa’i al-Mishriyah: Kairo.

Abou El Fadl, Khaled M. 2003. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Serambi: Jakarta.

Afkhami, Mahnaz. 1994. Women in Exile. University Press of Virginia: London.  

Ahmed, Leila.1978. Women and Gender in Islam. Yale University Press: London.

Al-Baghdadi, Abdurrahman 1998, Emansipasi: Adakah Dalam Islam? Terjemah Muhammad Usman Hatim. Gema Insani Pers: Jakarta.

Al-Bukhari, Muhammad Ismail. T.Th. Shahih al-Bukhari. Dar wa Mahatabi al-Sya’b: Tanpa Tempat.

Al-Jawziyah, Ibn al-Qayyim. T.th.  I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin. Dar al-Jil: Beirut.

Al-Ghazālī, Abu Hamid ibn Muhammad. T.th. Ihya‘Ulūm al-Dīn. Dâr Ihyā’ al-Kutub al-Arabiyyah: Kairo.

Al-Haddad, Thahir. 1993. Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Terjemah Adib Bisri. Pustaka Firdaus: Jakarta. 

Ali Engineer, Asghar. 1992. The Rights of Women in Islam. C. Hurst: London.

Al-Laqqânî, Burhân al-Dîn. 2001. Matn Jauharah al-Tauhîd, Dâr al-Kutub: Beirut.

Al-Risûni, Ahmad. 2010. Madkhal Ilâ Maqâsid al-Syari`ah. Dâr al-Kalimah li al-Nasyr wa al-Tauzi’: Kairo. 

Al-Syâtibî, Abû Ishâq. 1975. al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syarîât, Dâr al-Ma’rifat: Beirut. 

Al-Tahtawi, Rifa’ah.1843. Takhlis al-Ibriz fi Talkhis Bariz. Matba’ah Syirkah ar-Ragaib: Kairo.

Amin, Qasim. 1998. al-A’mal al-Kamilah. Dar al-Syuruq: Kairo. 

—————-. 1984. Tahrir al-Mar’ah. Al-Markaz al-Arabi: Mesir.

Al-Qurtubi, Abu Abdillah. 1988. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut.

Astrina, A.R, dan Ulfa, N. 2020. Advokasi Perempuan Akar Rumput dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Perempuan. The University of Melbourne, Universitas Gadjah Mada dan MAMPU: Jakarta. 

Al-Zuhaili, Wahbah Ibn Mustafa. 2000. Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Dar al-Fikr: Damaskus.

Beck, Lois and Nikki Keddie (eds). 1978. Women in The Muslim World. Harvard University Press: London.

Bouhdhiba, Abdelwahab. 1985.  Sexuality in Islam. Routledge and Kegan Paul: London.

Ibn ‘Abid, Muhammad ‘Alauddîn. 2000. Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn ‘ala al-Durril al-Mukhtâr, Dâr al-Fikr: Beirut. 

Ibn Abdissalam, Izzuddin. T.th.  Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am. Dar al-Jil: Kairo.

Ibn Hanbal, Ahmad. T.th. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Dar al-Fikr: Beirut. 

Ibn Katsir, Abu al-Fida’ Ismail. 1986.  Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I. Dar al-Fikr: Beirut. 

Ibn Rusyd. 1999. Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal al- Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil. Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah: Beirut.

Istiadah.1999. Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam. Lembaga Kajian Agama dan Jender: Jakarta.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality: an Introduction. Pantheon: New York. 

Hassan, Riffat. 1995, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam, LSPPA-Yayasan Prakarsa: Yogyakarta. 

Khaled M. Abou El Fadl. 2003. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Serambi: Jakarta.

Khallaf, Abdul Wahab. 1956. ‘Ilm Ushu Al-Fiqh, cet. VII. Tanpa penerbit: Kairo.

Katjasungkana, Nursyahbani. 2002. Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan, LBH APIK: Jakarta. 

Laporan World Report on Women’s Health tahun 1994.

Mahmood, Tahir. 1987. Personal Law in Islamic Countries, Time Press: New Delhi.

Marcoes, Lies. 2021. Merebut Tafsir, Amongkarta: Yogyakarta

Mernissi, Fatima, 1994. Al-Shultanat: Nisa Raisat Dawlah fi al-Islam. Dar al-Hasad wa alTauzi: Damaskus.

———————,1999. Pemberontakan Perempuan (Peran Intelektual kaum Perempuan dalam sejarah Muslim). Mizan: Bandung.

Moghadam, Valentine M.1994.  Modernizing Women, Gender and Social Change in the Middle East. The American University Press: Kairo.

Mulia, Musdah. 2005. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan: Bandung.

——————- with Mark E. Cammack. 2007. Toward a Just Marriage Law: Empowering Indonesian Women through a Counter Legal Draft to the Indonesian Islamic Judiciary in R. Michael Feener (eds). Islamic Law in Contemporary Indonesia. Harvard University Press: Cambridge, Massachusetts.

——————-. 2011. Membangun Surga di Bumi: Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam. Gramedia: Jakarta.

——————-. 2020. Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi. Penerbit BACA: Jakarta.

Mir-Hosseini, Ziba (et al). 2003. Gender and Equality in Muslim Family Law. I.B. Tauris: London.

Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. INIS: Jakarta.

 

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Women/WRGS/ Pages/HealthRights. aspx.

http://www.unfoundation.org/what-we-do/campaigns-and-initiatives/universal-access-project/briefing-cards-srhr.pdf. 

https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/55808/105636/F2072161365/IDN55808%20IDN.pdf

https://www.unfpa.org/resources/human-rights-principles

http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/inz.pdf 

http://www.unfoundation.org/what-we-do/campaigns-and-initiatives/universal-access-project/briefing-cards-srhr.pdf

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Women/WRGS/Pages/HealthRights.aspx