|

Muslimah Reformis

Pekerjaan Rumah: Pendidikan Perdamaian belum Selesai.

Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28/03/21) menambah sejarah buruk pendidikan agama di tanah air. Apalagi aksi bom itu diungkapkan pelaku dalam surat wasiatnya sebagai bentuk jihad. Jihad yang dimaknai identik dengan kekerasan, ketakutan dan traumatik tidak dibenarkan oleh Islam. Disini kita sebagai muslim sedang dinotifikasi bahwa literasi agama Islam masih rendah sehingga harus senantiasa dilakukan terus menerus.

Salah fungsi rahim Muslimah reformis adalah menjadi agen untuk menyebarkan kedamaian kepada siapapun. Musdah Mulia sebagai ikon Muslimah Perdamaian sekaligus sosok profil Muslimah reformis yang memberikan teladan lewat pikiran, perkataan dan perbuataan di berbagai lintas ruang baik itu ruang muslim maupun non muslim. Baginya relasi bukan karena agama yang sama namun karena semangat sama-sama sebagai manusia. Beliau mengungkapkan dalam bukunya Muslimah Reformis jika seorang mengaku muslim tetapi ucapan dan tindakannya menyusahkan orang lain menimbulkan kegelisahan dan ketakutan apalagi bencana bagi orang lain tentu tidak layak digolongkan sebagai muslim. Menjadi Muslim tidak mudah dan bukan muslim KTP karena pengakuan sebagai seorang muslim harus diikuti dengan ucapan dan tindakan yang mendatangkan pada kedamaian, ketenangan, dan ketentraman bagi orang lain. Beliau mengatakan demikian berlandaskan hadis nabi : al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanih wa yadih yang artinya seorang muslim adalah orang yang ucapan dan perilakunya tidak menganggu orang lain. Tentu saja bom bunuh diri ini tidak mencirikan muslim sebagaimana yang disebutkan nabi karena menyebabkan ketakutan, trauma dan kerusuhan bagi orang lain dan lingkungan.

Melihat fenomena aksi bom bunuh diri ini jelas menjadi memberikan notifikasi  bahwa pekerjaan pendidikan damai masih harus terus digelorakan. Lantas darimana kita memulai pendidikan damai itu?  Muslimah reformis memiliki dua tempat untuk menyebarkan pendidikan damai yakni dalam rumah (private) dan di ranah publik. Di rumah bisa melalui  nilai-nilai pendidikan damai seperti toleransi bisa diajarkan kepada anak dan anggota keluarga melalui kegiatan bercerita maupun keteladanan dengan menjalin relasi kemanusiaan dengan tetangga maupun keluarga yang memiliki agama yang berbeda. Dari keluarga orang tua sebaiknya mampu menciptakan iklim bahwa kehidupan itu takdirnya adalah perbedaan maka harus ramah menyikapi perbedaan dimanapun dan kapanpun. Sebagai perempuan yang berstatus sebagai ibu memiliki kwajiban utama mendidik anak sebagaimana diungkapkan penyair terkenal Hafidz Ibrahim Al-Ummu madrasatul ula yang artinya ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Lantas apakah seorang laki-laki yang berstatus sebagai ayah tidak memiliki kewajiban mendidik? Jika seorang ibu adalah madrasah tentu saja ayah adalah kepala sekolahnya sehingga laki-laki yang berstatus sebagai ayah dan perempuan yang berstatus sebagai ibu berkolaborasi menciptakan iklim pendidikan damai dari rumah. Jika satu keluarga mampu menciptakan generasi yang damai maka Indonesia yang multikultural akan semakin menguat dalam perbedaan menuju Indonesia maju. Sedangkan pendidikan damai di publik dapat dilakukan melalui kampanye diberbagai platform media sosial. Di era industri 5.0 ruang publik tanpa batas seingga kampanye pendidikan damai akan lebih mudah dilakukan baik itu dilakukan secara personal maupun kelompok.

Muslimah reformis adalah agen of change atas isu-isu keagaman dan kebangsaan maka sudah menjadi keharusan berperan aktif mengurai baik itu tindakan preventif maupun kuratif diberbagai persoalan. Dengan memulai dari lingkungan terdekat sudah menjadi aksi nyata. Dalam menjalani peran di ruang private dan publik semangat sebagai Muslimah reformis seyogyanya senantiasa terintegrasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Dwi P Lestari

Alumni Muslimah Reformis Wilayah Jakarta

30 Maret 2021