Perempuan Hamil Dilarang Pergi HajiBelakangan ini banyak kasus dimana perempuan hamil tidak dibolehkan pergi haji. Alasannya, perempuan hamil dianggap tidak memenuhi salah satu syarat dalam pelaksanaan ibadah haji yaitu istitha’ah (kemampuan) untuk menunaikan ibadah haji. Sejumlah pihak menyatakan keberatan dengan kebijakan ini. Bayangkan, seorang perempuan sudah mempersiapkan diri bertahun-tahun untuk pergi haji, tapi tiba-tiba pihak Kementerian Agama menolak kepergiannya. Alangkah tragisnya!
Ibadah haji bukan hanya diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya, tapi jauh sebelumnya telah dipraktekkan oleh umat Nabi Ibrahim as (QS. al-Hajj, 27). Berbeda dengan ibadah mahdlah lainnya, seperti salat, puasa, dan zakat, pelaksanaan ibadah haji mensyaratkan satu ketentuan khusus yang disebut istitha‘ah bagi pelakunya. Pensyaratan dimaksud berkenaan dengan beragamnya aktivitas, lokasi, dan waktu pelaksanaan ibadah haji, sehingga memerlukan tingkat kesehatan dan kekuatan fisik yang prima bagi pelakunya, baik laki-laki maupun perempuan.
Salah satu keistimewaan perempuan, mereka dipercaya oleh Sang Khaliq untuk mengemban fungsi-fungsi reproduksi, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Semua itu merupakan tugas kemanusiaan yang amat luhur demi melanjutkan keturunan umat manusia. Akan tetapi, dalam mengemban fungsi-fungsi reproduksi berkaitan dengan kehamilan, perempuan diharapkan melakukannya dengan penuh kesadaran, bukan karena dipaksa atau terpaksa. Sebab, perempuan punya hak memilih secara bebas apakah ia akan hamil atau tidak, kapan akan hamil, berapa jarak kehamilan yang dikehendaki dan yang terpenting berhak mendapatkan perlindungan dari kesakitan dan penderitaan akibat kehamilannya itu. Al-Qur’an mengapresiasi fungsi kemanusiaan yang sangat berat ini dengan redaksi yang sangat menyentuh seperti terbaca dalam surah al-Ahqaf, 46:15. Ayat ini secara tegas menjelaskan kepada segenap manusia tentang beratnya tugas-tugas reproduksi yang diemban perempuan, dan karenanya menuntut kita semua agar memperlakukan para ibu dengan penuh empati dan kasih sayang.
Dalam kaitan dengan ibadah haji, pertanyaan muncul: “Apakah seorang perempuan yang sedang mengemban tugas reproduksi itu memenuhi syarat istitha‘ah untuk menunaikan ibadah haji?” Bagaimana rumusan dan penerapan konsep istitha‘ah oleh para fuhaha? Lalu, bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah (Kementerian Agama) dalam memberikan pelayanan haji terhadap perempuan hamil? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam uraian berikut.
Konsep Istitha‘ah dalam Pandangan Fuqaha
Istilah istitha‘ah dalam haji bersumber dan terkait dengan istilah istitha‘ah dalam Al-Qur’an (Ali ‘Imran, 3: 97). Kata itu digunakan Al-Qur’an dalam rangka pembicaraan mengenai kewajiban menunaikan ibadah haji. istitha‘ah yang disebut dalam ayat ini dipahami oleh para mufasir dan ulama sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menunaikan ibadah haji.
Kata istitha‘ah menurut etimologi adalah bentuk masdar dari kata istatha‘a, yastathi‘u, yang berarti “mampu, sanggup, dan dapat”. Kata ini berakar dari kata atha’a yathi’u, yang juga berarti “tunduk, patuh, dan taat.”[1] Seseorang yang sanggup melakukan sesuatu disebut mustatha‘. al-Raghib al-Asfahani, salah seorang ulama bahasa dan pakar Al-Qur’an, ketika menguraikan pengertian kata ini, menjelaskan istitha‘ah adalah kata yang mengandung makna kemampuan dan kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang diinginkannya. istitha‘ah, menurutnya berkait dengan empat unsur penting, yaitu pelaku, aktivitas, sarana, dan produk yang dihasilkan. Apabila salah satu unsur itu hilang, maka tidak disebut lagi istitha‘ah (kemampuan), melainkan lebih tepat disebut ‘ajaz atau ketidakmampuan.[2] Dari sini dapat dipahami bahwa secara terminologi, kata istitha‘ah berarti kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu.
Para fuqaha sepakat menyatakan istitha‘ah sebagai salah satu dari 4 (empat) syarat umum wajibnya haji. Penetapan syarat ini ditetapkan berdasarkan firman Allah yang berbunyi “man istatha‘a ilaihi sabila” (من استطاع إليه سبيلا). Ini berarti, seseorang yang tidak memiliki istitha‘ah tidak dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji. Pada umumnya fuqaha memahami pengertian istitha‘ah sebagai kemampuan dan kesanggupan seseorang untuk sampai di Mekkah guna melaksanakan ibadah haji.
Penjelasan istitha‘ah oleh para fuqaha secara umum dapat dikelompokkan atas dua kategori, yaitu istitha‘ah yang berkaitan dengan hal-hal di dalam diri calon haji, seperti kemampuan fisik atau kesehatan badan dan istitha‘ah yang berkaitan dengan hal-hal di luar diri calon haji, seperti kemampuan finansial, perbekalan, keamanan perjalanan, sarana transportasi dan sebagainya. Karena tulisan ini memfokuskan diri pada persoalan istitha‘ah perempuan hamil, maka uraian selanjutnya hanya dikaitkan pada istitha‘ah kategori pertama, yakni istitha‘ah badaniyah.
Yang dimaksud dengan istitha‘ah badaniyah dalam pandangan fuqaha Mazhab Hanafi adalah kesehatan dan kemampuan fisik untuk menunaikan ibadah haji. Orang-orang yang fisiknya tidak sehat, seperti orang sakit, lumpuh total, lumpuh sebagian, penderita penyakit kronis, orang buta (walaupun memiliki penuntun khusus), orang tua renta yang tidak sanggup lagi duduk sendiri di atas kendaraan, orang yang dipenjara, dan orang yang dicekal oleh penguasa yang despotik, tidak dikenakan kewajiban menunaikan ibadah haji.[3]
Pandangan fuqaha mengenai istitha‘ah di atas, khususnya istitha‘ah dalam pengertian kesehatan dan kekuatan fisik, tidak menyinggung soal kehamilan pada perempuan. Artinya, substansi istitha‘ah bagi perempuan tidak dikaitkan dengan persoalan kehamilan, melainkan difokuskan pada persoalan kesehatan dan kemampuan fisiknya. Perempuan hamil yang memiliki kesehatan dan kemampuan fisik memenuhi syarat istitha‘ah haji untuk kategori istitha‘ah badaniyah. Sebaliknya, meskipun tidak hamil tetapi memiliki kondisi kesehatan dan kemampuan fisik yang lemah berarti tidak memenuhi syarat istitha‘ah tadi.
Penjelasan fuqaha berkenaan dengan haji perempuan sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqih pada umumnya lebih banyak menyinggung soal busana, mahram, keamanan dalam perjalanan, dan hal-hal yang berhubungan dengan haid dan nifas. Karena ada cukup banyak penjelasan tentang nifas dalam kitab-kitab fiqih, maka bisa disimpulkan bahwa perempuan hamil dalam perspektif fiqih tidak terhalang untuk menunaikan ibadah haji.
Tawaran Solusi
Dalam perspektif fiqih, faktor kehamilan bagi seorang perempuan tidak mengurangi kadar istitha‘ah baginya untuk menunaikan ibadah haji selama kehamilan itu tidak mengganggu atau menyulitkan diri dan janinnya dalam pelaksanan aktifitas ibadah haji. Tidak disinggungnya faktor kehamilan dalam perbincangan mengenai istitha‘ah, boleh jadi karena kondisi fisik perempuan yang sedang hamil itu tidak sama, melainkan berbeda-beda satu sama lain; ada perempuan hamil yang merasa kondisi fisiknya tidak terganggu, tetap sehat dan kuat, bahkan mungkin lebih sehat daripada ketika tidak sedang hamil. Tetapi, tidak sedikit perempuan yang mengalami kondisi fisik yang lemah dan kurang sehat selama hamil. Dapat disimpulkan bahwa kadar istitha‘ah seorang perempuan untuk menunaikan ibadah haji tidak berkaitan dengan faktor kehamilan. Melainkan berkaitan dengan kemampuan dan kesehatan fisiknya. Kehamilan hanyalah salah satu faktor yang diduga kuat dapat memperlemah kondisi kesehatan dan kemampuan fisik seseorang.
Pertanyaannya, siapa yang berhak menentukan sehat-tidaknya atau mampu- tidaknya fisik seseorang yang sedang hamil untuk melaksanakan ibadah haji? Menurut hemat saya, yang paling berkompeten adalah dokter kandungan yang profesional. Dokter itulah (setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti) membuat keterangan yang benar mengenai kondisi kesehatan perempuan hamil. Jika menurut dokter, kehamilannya itu diprediksikan tidak mengurangi istitha‘ah haji, maka yang bersangkutan diizinkan untuk berangkat, demikian pula sebaliknya. Untuk itu perlu dibuat peraturan bagi calon haji perempuan hamil harus menunjukkan surat keterangan dari dokter kandungan. Dalam kaitan ini, fungsi Kementerian Agama adalah memfasilitasi dan menyediakan akses bagi mereka untuk mudah mendapatkan dokter kandungan yang profesional dengan biaya yang terjangkau.
Yang penting perempuan hamil hendaknya mendapatkan akses informasi dan penjelasan yang cukup terkait seluruh aspek yang berkenaan dengan pelaksanaan haji, terutama aspek kesehatan, ibadah, akidah, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Dari segi kesehatan, misalnya, perlu diberikan penjelasan yang lengkap, terutama tentang vaksinasi meningitis dengan segala dampak positif dan negatifnya, khususnya berkaitan dengan kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya.
Dalam aspek ibadah perlu dijelaskan tentang tujuan, manfaat, dan rahasia haji dalam Islam. Tidak kurang pentingnya penjelasan yang obyektif dalam aspek keamanan. Bahwa pelaksanaan haji dilakukan secara serentak oleh berjuta-juta umat Islam dari berbagai penjuru dunia dalam radius wilayah teritorial yang sangat terbatas dan dalam tenggang waktu yang relatif pendek sehingga sangat berpotensi menimbulkan berbagai kesemrawutan yang seringkali membahayakan jiwa jamaah. Banyaknya jumlah jemaah haji dan terbatasnya fasilitas proteksi dan pengamanan memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Di samping itu, perlu juga dijelaskan bahwa kehamilan itu pada esensinya adalah amanah dari Allah swt. yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dalam fiqih dikenal kaidah “la dharar wa la dhirar” yang menekankan pentingnya menghindari kesulitan dan mencegah hal-hal yang akan menimbulkan kesulitan. Berdasarkan kaidah ini, perempuan hamil yang meyakini bahwa keberangkatannya untuk menunaikan haji itu akan membawa pengaruh buruk bagi diri dan janinnya, maka sebaiknya menunda pelaksanaan ibadah hajinya itu.
Berdasarkan informasi dan penjelasan yang menyeluruh itu, diharapkan seorang perempuan hamil dapat dengan sadar dan penuh tanggung jawab mengambil keputusan sendiri apakah ia akan berangkat haji atau tidak. Kalaupun ia memutuskan untuk berangkat tentunya ia sadar dengan segala resiko yang bakal dihadapinya dan dengan demikian ia akan mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi resiko itu. Sebesar apapun suatu bahaya atau resiko jika dihadapi dengan penuh kesadaran dan kesiapan tentu tidak sefatal jika tanpa persiapan sama sekali.
Mengingat terbatasnya fasilitas pemerintah dalam memberikan pelayanan haji, khususnya berkenaan dengan fasilitas pemberian pertolongan medis kepada perempuan hamil yang mendadak mengalami masalah dengan kehamilannya itu, maka disarankan agar setiap calon haji perempuan hamil untuk membayar jaminan kesehatan berupa sejumlah uang kepada pemerintah sebagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan yang terjadi dengan kehamilannya itu, dengan catatan jika tidak digunakan, uang jaminan itu akan dikembalikan setelah kembali ke tanah air. Bagi calon haji yang menunda keberangkatan karena alasan kehamilan, pemerintah hendaknya memberikan jaminan prioritas untuk berangkat pada musim haji berikutnya.
Perempuan hamil hendaknya diperlakukan sebagai subyek yang dimintai penjelasan dan keterangan mengenai kondisi diri dan janin yang dikandungnya. Berdasarkan penjelasan dan informasinya itulah, ahli medis melakukan diagnosa untuk menetapkan kondisi kesehatan dan kemampuan fisiknya. Sayangnya, dalam realitas tidak semua perempuan punya akses terhadap informasi dan penjelasan yang benar dan komprehensif mengenai pelaksanaan ibadah ini sehingga seringkali keputusannya untuk menunaikan ibadah haji bukan didasarkan pada pemahaman yang benar mengenai syariat, melainkan cenderung didasarkan pada pertimbangan emosional dan bahkan, sering tidak rasional.
Untuk itu, pemerintah dan masyarakat, terutama pemuka agama, bertanggung jawab membuka akses seluas-luasnya kepada kaum perempuan di semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan ibadah haji. Diharapkan dengan bekal informasi yang luas dan mendalam itu mereka terlindungi dari hal-hal yang menyesatkan, sebaliknya menjadikan mereka berdaya dan mampu mengambil keputusan sendiri secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Jadi, penekanannya adalah pada bagaimana memberdayakan perempuan melalui peningkatan ilmu dan takwa sehingga mereka menjadi muslimah yang kuat, mandiri, arif-bijaksana, dan bertanggung jawab. Bukankah al-muslim al-qawiyyu khair min al-muslim al-dha’if (muslim yang kuat lebih baik dari muslim yang lemah)?[]
[1] Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984, h. 934-935
[2] Ar-Raghib Al-Asfahani, Mufradat Alf±© Al-Qur’±n, h. 530-531.
[3] Lihat uraian Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, Jilid 3, h. 26.
Musdah Mulia.