|

Muslimah Reformis

Pentingnya Penguatan Literasi Agama

Indonesia jelas bukan negara agama, meski mayoritas penduduknya mengaku beragama. Namun, pemerintah amat memperhatikan pembangunan bidang agama, antara lain dengan hadirnya kementerian agama dan sejumlah lembaga keagamaan lain. Pertanyaan kritis muncul, bagaimana menjadikan religiusitas penduduk ini sebagai modal sosial memajukan Indonesia? Bagi saya, tidak ada yang salah dengan pilihan masyarakat yang memandang penting agama dalam kehidupan. Tinggal bagaimana menjadikan masyarakat yang cinta agama ini lebih memahami agama dengan benar sehingga mengerti hakikat agama sebagai jalan pembebasan dari kehidupan jahiliyah menuju kehidupan yang lebih bermartabat, berbudaya dan berkeadaban.

Menurut hemat saya, hal paling mungkin dilakukan adalah penguatan literasi agama! Apa itu literasi agama? Seiring dengan perkembangan zaman, literasi bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti. Ada beragam literasi, salah satunya adalah literasi agama. Diane L More mendefinisikan literasi agama sebagai kemampuan untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang. Orang yang melek agama akan memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, historis, dan budaya tertentu.

Sejalan dengan Diane, Kenneth Primrose, ketua studi agama, moral dan filosofis pada Robert Gordon’s College di Skotlandia menekankan pentingnya peningkatan literasi agama agar masyarakat belajar hidup dengan pengamalan nilai-nilai luhur agama yang mengutamakan kasih sayang, penghorrmatan terhadap harkat dan martabat manusia, menghargai perbedaan dan cinta lingkungan.

Saya sependapat dengan kedua pemikir sebelumnya. Bagi saya, agama seharusnya menjadi inspirasi atau penggerak perubahan bagi manusia untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya, sekaligus kualitas spiritualitasnya agar mampu menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan, bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk sesama manusia, bahkan juga untuk semua makhluk di alam semesta (rahmatan lil alamin).

Oleh karena itu, langkah strategis dalam memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang amat religius ini harus dimulai dari penguatan literasi keagamaan. Setidaknya, melalui penguatan literasi agama, penganut agama memahami dan menghayati untuk selanjutnya mengamalkan nilai-nilai agama secara benar.

Paling tidak literasi agama memperkuat pemahaman dan penghayatan penganut agama pada lima isu berikut. Pertama, meyakini agama sangat mengedepankan cinta-kasih serta penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan (karamatul insan). Kedua, meyakini agama sungguh mengajarkan prinsip keadilan dan kesetaraan manusia, termasuk keadilan dan kesetaraan gender, bahkan dalam konteks Islam, Rasulullah saw adalah feminis pertama. Ketiga, meyakini agama mewajibkan sikap peduli terhadap sesama, khususnya kelompok rentan (al-mustadh’afin). Dalam konteks inilah, agama memotivasi manusia sedemikian rupa agar memanfaatkan kekuatan ekonomi, kemajuan sains dan teknologi, termasuk teknologi digital sehingga mampu memanfaatkan dunia maya (internet) sepenuhnya untuk kemaslahatan manusia. Agama sangat mengapresiasi manusia yang selalu mengedepankan daya inovasi dan kreativitasnya untuk tujuan kemaslahatan dan perdamaian. Keempat, meyakini agama mengajarkan kecintaan terhadap negara dan tanah air sehingga manusia terdorong aktif berkontribusi konstruktif bagi kemajuan negara dan pembangunan bangsanya. Kelima, meyakini agama mengajarkan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan sehingga aktif melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meyakini itu sebagai bagian dari ibadah.

Kelima isu utama dalam upaya penguatan literasi agama tersebut akan saya coba elaborasi secara singkat sebagai berikut.

Pertama, agama dan isu harkat dan martabat kemanusiaan (karamatul insan)

Alqur’an secara terang-benderang menjelaskan, manusia adalah makhluk mulia, diciptakan dengan harkat dan martabat (karamatul insan). Visi penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) adalah menjadi khalifah fil ardh. Adapun misi manusia adalah amar ma’ruf nahy munkar, melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi sehingga terwujud baldah thayyibah wa rabbun ghafur, negara yang maju, sejahtera, penuh kedamaian.

Semua manusia tanpa kecuali memiliki posisi dan tugas sangat spesifik dan terhormat, sebagai khalifah (al-Baqarah, 2:30). Dalam menjalankan tugas sebagai khalifah, ia harus mengedepankan cinta-kasih sebagai esensi Islam, baik untuk sesama manusia, maupun sesama makhluk di alam semesta (al-Anbiyâ, 21:107). Tujuan obyektif Islam adalah “rahmatan li al-‘âlamîn” menebarkan cinta dan kasih-sayang serta kebaikan kepada semua makhluk di alam semesta. Makna esensial ayat tersebut adalah Islam harus dirasakan manfaatnya, bukan hanya oleh mereka yang mengaku Muslim, melainkan juga semua manusia dimana pun mereka berada. Bahkan, juga untuk semua makhluk di alam semesta.

Manusia membangun budaya dan peradaban melalui upaya-upaya transformasi dan humanisasi, seperti peningkatan ilmu, teknologi dan penguatan ekonomi serta berbagai kegiatan positif, produktif, dan konstruktif lainnya dalam proses humanisasi, memanusiakan sesama, mencerahkan masyarakat atau membela kelompok-kelompok rentan yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak adil, seperti kelompok miskin, minoritas, perempuan dan anak, khususnya anak terlantar, kelompok difabilitas dan penderita HIV/Aids dan sebagainya.

Kedua, agama dan isu keadilan dan kesetaraan manusia (gender)

Alqur’an menegaskan kesetaraan semua manusia, termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Setidaknya ada enam alasan pentingnya kesetaraan manusia. Pertama, ajaran tauhid menegaskan, hanya satu yang patut disembah yaitu Allah (al-Dzâriyât, 51: 56.). Selain Dia, semuanya hanyalah makhluk. Implikasi dari tauhid adalah penghapusan semua betuk perbudakan, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis apa pun terhadap manusia, termasuk terhadap perempuan. Penghapusan semua sistem politik dan ekonomi yang mengandung unsur despotik, tiranik, eksploitatif dan manipulatif. Kedua, semua manusia diciptakan dari unsur yang satu, nafs wahidah (al-Nisa, 4:1). Ketiga, perempuan adalah mitra sejajar laki-laki (at-Taubah, 9:71). Keempat, perempuan dan laki-laki sama- sama dijanjikan pahala atas perbuatan baik mereka (Ali Imran, 3:195). Kelima, perempuan dan laki-laki dengan amal shalehnya akan dimasukkan ke surga dan tidak akan dizalimi sedikit pun (an-Nisa, 4:124). Keenam, perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling ta’aruf, saling mendalami karakter dan kebutuhan masing-masing agar dapat berkolaborasi dan bersinergi membangun budaya dan peradaban (at-Taubah, 9:71).

Islam hadir demi menentang budaya jahiliyah yang sarat dengan nilai-nilai patriarki yang merendahkan perempuan. Islam lalu memperkenalkan kepada masyarakat Arab dan juga masyarakat dunia tentang pentingnya memanusiakan perempuan, wajib mengangkat harkat dan martabat (dignity) perempuan sebagai manusia merdeka yang posisinya setara dengan saudara mereka para laki-laki, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan luas di masyarakat. Sepanjang hayatnya, Rasul berjuang mengembalikan hak-hak asasi perempuan sebagai manusia utuh dan merdeka. Tentu saja ada fungsi-fungsi yang berbeda di antara perempuan dan laki-laki akibat perbedaan fisik-biologis, namun perbedaan tersebut tidak harus menjadikan salah satu pihak, terutama perempuan mengalami ketimpangan dan ketidakadilan gender. Sebagai orang beragama, kita semua hendaknya berupaya melawan dan mengurangi semua bentuk diskriminasi, stereotip, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya dengan tetap menggunakan cara-cara santun dan beradab.

Ketiga, agama dan isu perlindungan hak kelompok rentan (al-mustadh’afin).

Imam Al-Ghazali merumuskan nilai-nilai yang terkandung pada maqashid al-syari`ah ke dalam lima prinsip dasar hak asasi manusia yang disebutnya al-huquq al-khamsah. Kelima hak asasi dimaksud adalah hak hidup, hak kebebasan beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak kesehatan reproduksi.

Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqh dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan- tujuan kemanusiaan universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan, dan ini harus diimplementasikan bagi semua manusia tanpa kecuali, bahkan harus memberikan prioritas pada kelompok rentan dan tertindas yang dalam Al-Qur’an disebut al-mustadh’afin.

Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri. Pernyataan yang tidak kurang tegasnya dilontarkan oleh Ibnu Rusyd: bahwa kemashlahatan merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan. Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.

Keempat, agama dan isu kebangsaan.

Islam sebagai agama tidak memberikan ketentuan yang rinci dan detail bagaimana seharusnya mengelola sebuah negara, tapi cukup menjelaskan prinsip-prinsip dasar yang harus diperpegangi dalam mengelola hidup berbangsa dan bernegara, yakni prinsip persaudaraan, prinsip kesetaraan dan keadilan serta prinsip kebebasan manusia. Terkait ini, agama memainkan fungsi ganda, yakni agama fungsi legitimasi dan sekaligus fungsi kritik. Yang pertama berupa pembenaran dari perspektif ajaran agama terhadap aktivitas kehidupan bernegara, terutama terhadap program pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah demi kesejahteraan seluruh bangsa. Sedangkan yang kedua adalah fungsi kritik dari agama. Melalui fungsi kritik inilah, peranan agama sebagai landasan moral, etik dan spiritual dalam pembangunan menjadi kenyataan. Namun, harus diwaspadai penggunaannya agar agama tidak dimanipulasi menjadi ideologi alternatif yang tidak kurang efek negatifnya dibanding manipulasi agama sebagai instrumen legitimatif. Sebab keduanya mensubordinasikan agama kepada kekuasaan yang tidak lepas dari berbagai kepentingan “politik” temporal dan agama hanya menjadi alat politik.

Islam datang membebaskan manusia dari semua sistem tiranik, despotik, dan totaliter. Islam datang untuk membangun masyarakat sipil yang berkeadaban (civic and civilized society), masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kemaslahatan, kesetaraan, dan kebersihan. Itulah tugas kenabian (prophetic task) yang diemban oleh Rasul. Tugas kenabian tersebut tidak berakhir dengan wafatnya Nabi saw, melainkan dibebankan ke pundak kita semua sebagai orang beriman, baik perempuan dan laki-laki. Untuk dapat melaksanakan tugas kenabian tersebut secara optimal, semua Muslim: laki-laki dan perempuan, perlu dibekali penguatan literasi agama.

Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing. Negara didasarkan pada kedaulatan yang memberi kewenangan untuk mengatur manusia yang hidup dalam wilayah tertentu, itulah mengapa ada tiga unsur utama negara: warga negara, wilayah dan kedaulatan.

Pedoman penyelenggaraan negara adalah falsafah negara (Pancasila), Konstitusi atau UUD, UU dan regulasi-regulasi turunan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat sesuai dengan kewenangan yang diatur UU. Kepentingan individu, walaupun dia seorang pejabat tidak dapat menjadi pedoman penyelenggaraan negara. Demikian juga, kepentingan atau kemauan kelompok, semisal jemaat agama, tidak boleh dijadikan pedoman. Selanjutnya, komunitas atau orang-orang yang membentuk negara disebut bangsa, yakni keseluruhan individu yang menjadi warga negara.

Masalahnya, sering muncul kesalahpahaman bahwa kesetiaan seseorang kepada agama akan terganggu manakala setia kepada negara, padahal tidak demikian! Agama mempunyai aturan-aturan mengenai bagaimana penganutnya menjalani kehidupan, sebagaimana negara mempunyai aturan-aturan yang mengatur kehidupan warganya. Hal ini terlihat di dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, tujuan negara Indonesia adalah: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah; Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebagai seorang Muslimah, saya tidak merasakan adanya kontradiksi antara ketaatan terhadap agama dan ketaatan terhadap negara. Saya yakin ajaran agama mengarah pada penegakan nilai-nilai kemanusiaan universal, terutama nilai keadilan dan ini selaras dengan tujuan berdirinya negara Indonesia, antara lain membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, agama dan isu lingkungan

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber utama ajaran Islam memuat sejumlah pedoman pemeliharaan lingkungan yang dapat dipolakan pada tiga hal: pedoman pemeliharaan lingkungan (al-A’raf, 7:55, al-Baqarah, 2: 205, al-Rum, 30:41, Saba, 34:27-28); pedoman pemanfaatan lingkungan (al-Baqarah, 2:22, al-Anbiyaa, 21:30); dan pedoman pencegahan bencana (al-Baqarah, 2:11-12 dan 195 dan Ali Imran, 3:190-191).

Lingkungan adalah suatu sistem yang terpadu. Artinya, lingkungan terdiri atas berbagai komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan atau suatu totalitas (Q.S. al- Hijr, 15:19-20). Lingkungan terdiri atas dua unsur penting: biotik dan abiotik. Unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, iklim dan lainnya). Jika satu komponennya dirusak atau dieksploitasi maka bagian lain akan mengalami kerusakan yang mengganggu stabilitas seluruh komponen lainnya.

Al-Quran menyatakan, manusia telah menerima amanah untuk menjadi pengelola alam setelah sebelumnya langit, bumi dan gunung-gunung telah menolak memikul tanggung jawab tersebut, sedangkan manusia menerimanya dengan sukarela (Q.S. al-Ahzab: 72). Al- Qur’an juga sejak awal sudah memberikan peringatan keras tentang bahayanya merusak dan mengeksploitasi alam (Q.S. Rum, 30:41). Ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang senada menyimpulkan, menjaga kelestarian lingkungan berarti menjaga kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan yang ada di planet bumi ini. Sebaliknya, merusak lingkungan berarti membunuh manusia dan semua makhluk hidup di sekitarnya. Pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Dengan ungkapan lain, memelihara kelestarian lingkungan adalah bagian penting dari amar ma’ruf nahy munkar, misi penting penciptaan manusia.

Salah satu konsep Islam dalam pemanfaatan alam adalah had al-kifayah (standar kebutuhan yang layak). Artinya, dalam memanfaatkan alam, manusia perlu menggunakan standar kelayakan, yakni gunakanlah atau manfaatkanlah alam dan isinya sekedar memenuhi kebutuhan yang layak. Jangan serakah dan egois dalam memanfaatkan alam. Jangan menggunakannya di luar standar yang digariskan. Sebab, hal itu bermakna mengeksploitasi atau menzalimi alam. Dengan ungkapan lain, perlu dibangun kesadaran akan pentingnya kelestarian alam, upaya-upaya inovatif mencegah kerusakannya dan aksi-aksi konkret menjaga kelestariannya.

Demikianlah paling tidak ada lima isu yang penting dijelaskan dalam penguatan literasi agama. Melalui penguatan literasi agama, diharapkan secara berangsur masyarakat memiliki kesadaran pentingnya mengamalkan agama sebagai jalan pembebasan dari berbagai krisis kemanusiaan.

Lalu bagaimana upaya penguatan literasi keagamaan itu diwujudkan? Saya masih percaya pada pembaga pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Saya ingin menitikberatkan pada pentingnya pendidikan dalam keluarga karena di sanalah seorang anak mulai belajar tentang agama. Selanjutnya, lembaga pendidikan formal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi hendaknya mengajarkan agama yang menekankan pada pentingnya berpikir kritis (critical thinking). Agama yang mengedepankan rasionalitas dan nalar kritis sangat sejalan dengan spirit agama mana pun, yang dilarang hayalah mendewakan akal dan memutlakkan sebuah pandangan.

Penting juga melibatkan institusi pendidikan non-formal di masyarakat. Mereka harus mampu mengedepankan ajaran agama yang kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti keadilan, kesetaraan, kebersihan, kejujuran, keindahan, kedamaian dan seterusnya. Saya sangat senang karena pemerintah dalam beberapa tahun ini gencar mengembangkan konsep moderasi beragama, terutama dalam konteks mengkonter isu-isu fundamentalisme, radikalisme dan terorisme yang semakin marak dan sangat intens menyasar kelompok milenial. Hanya saja, saya melihat berbagai program pemerintah yang amat potensial untuk penguatan literasi agama belum dikemas menjadi sebuah gerakan sosial yang masif sehingga mampu mengubah instalasi sosial kehidupan masyarakat luas.

Kesimpulan

Penguatan literasi agama dapat diwujudkan melalui upaya-upaya konkret rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya sehingga nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat lebih mengedepankan prinsip egalitarian, toleransi, kebhinekaan dan penghargaan terhadap perbedaan. Selain itu, upaya peningkatan ekonomi demi kesejahteraan semua, tanpa diskriminasi. Terakhir dan sangat penting adalah upaya reinterpretasi ajaran agama. Perlu interpretasi agama yang kritis, rasional, bersipat inklusif, humanis dan pluralis serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal menjadi mainstream di masyarakat. Sebab, pada ujungnya, agama semata untuk kemashlahatan manusia.

Penguatan literasi agama akan menyadarkan masyarakat tentang fungsi penting agama dalam membangun kebudayaan dan peradaban manusia. Setidaknya tiga fungsi penting agama, yakni humanisasi, yaitu memanusiakan manusia dengan mengangkat harkat- martabat manusia. Fungsi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari semua bentuk kejahiliyahan, ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan dan penindasan. Terakhir, fungsi transendensi, menguatkan spiritualitas manusia agar hidupnya lebih bermakna bagi sesama maupun seluruh makhluk di alam semesta. Itulah agama yang mampu mengantarkan manusia pada kedamaian dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.

 

DAFTAR PUSTAKA

 Ackermann, Robert John: Religion as Critique, The University Massachusetts Press, Massachusetts, 1985

Alisjahbana, S. Takdir, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Manusia, Dian Rakyat, Jakarta, 1992.

Bahma, Archie J: The World’s Living Religions, Dell Publishing Co., Inc, New York, 1964

Banejee, Nikija Vihara: Concernig Human Understanding George Allen & Unwin Ltd.

London, 1958

Barnsley, John H: Sosial Reality of Ethics, A Comparative Analysis of Moral Codes,

Routledge Kegan Paul, London, 1972

Bose, K.S.: A Theory of Religious Thought, Sterling Publishers Private Ltd, New Delhi, 1991

Bouque, A.C.: Comparative Religion, A Pelican Book, London, 1953

Bryant, M. Darrol & Mataragnon, Rita H: The Many Faces of Religion and Society, Paragon House Publishers, New York, 1985

Brownli, Ian, (ed.), Basic Documents on Human Rights, Oxford, Clarendon Press, 1971. Burgess, Paul Wehr and Burgess, Guy, Justice Without Violence, Boulder & London,

Lynne Roenner Publisher, 1994.

Chander, Jagdish: Human Values, Moral Values and Spiritual Prajapita B. K. Ishwariya Vishwa-Vidyalaya, New Delhi, 1990

Cohen, Jean L. and Arato, Andrew, Civil Society and Political Theory, Cambridge & London, The MIT Press, 1994.

Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Right Terminology, Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999.

Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama RI. Mozaik Moderasi Beragama dalam Perspektif Kristen. Gunung Mulia, Jakarta, 2019.

Fauzi, Ihsan Ali dan Dyah Ayu Kartika, Keluar dari Ekstremisme: Delapan Kisah “Hijrah” dari Kekerasan Menuju Binadamai. Jakarta: PUSAD Paramadina, Jakarta, 2008.

Hanafi, Muchlis (ed), Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jakarta, 2019.

Hospers, John: An Introduction to Philosophy Analysis, Unwin Brothers Ltd. London, 1973

Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T.

Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al- Arabiyah, Beirut, 1999.

Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T.

James, William: The Varieties of Religious Experience, David McKay Co., London, 1902 Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama RI, Jakarta, 2019.

 

Little David & Twiss, Summer B.: Comparative Religious Ethics, Harper 7 Row Publishers, New York, 1978

Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan, “Meneguhkan Komitmen Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama”. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Jakarta, 2016.

Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Jakarta, 2017.

Mulia, Musdah, Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Press, Yogyakarta, 2010.

—————–, Islamic Marriage Law Reform in Indonesia, in Iola Lenzi (Editor), Stiching The Wound, The Art Center at The Jim Thompson House, Bangkok, 2006.

——————,The Importance of Inter-Religious Dialogue, in Dr. Gesine V. Kloeden- Freudenberg, Creating Peace In Diversity, United Evangelical Mission (UEM), Wuppertal, Germany, 2007.

——————,Toward a Just Marriage Law in R. Michael Feener (Ed.), Islamic Law in Contemporary Indonesia, Massachusetts: Harvard University Press, 2007.

——————– , Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar, Yogyakarta, 2008.

——————, Karakter Manusia Indonesia, Nuansa Cendekia, Bandung, 2013.

——————, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, Kibar Press, Yogyakarta, 2008.

——————–, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, Gramedia, Jakarta, 2014.

——————–, Ensiklopedia Muslimah Reformis, BACA, Jakarta, 2020. Mohapatra, A.R.: The Philosophy of Religion, Sterling Publishers Private Ltd. New

Delhi, 1990

Rahman, Fazlur. “The Status of Women in Islam: A Modernist Interpretation,” dalam Hanna Papanek dan Gail Minaul (eds.), The Saparate Worlds: Studies of Purdah in South Asia, Delhi: Chanakya Publication, 1982

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,

Chicago: The University of Chicago Press, 1982.

Razi, Fakhruddin. Tafsir al-Kabir, Juz V, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Roberston, Roland: The Sociological Interpretion of Religion, Oxford Basil blackwell, london, 1970

Ropi, Ismatu, Religion and Regulation in Indonesia. London: Palgrave Macmilan. 2017. Shihab, M. Quraish, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Lentera

Hati, Jakarta, 2017.

Smith, Wilfred Cantwell: The Meaning and End of Religion, A Mentor Book, New York, 1963

Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta, 2002.

Strunk Jr, Orlo: Religion A psychological Interpretation, Abingdon Press, New York, 1962