|

Muslimah Reformis

Peran Media dalam Menumbuhkan Toleransi Agama

Pengalaman saya dalam mempromosikan religious freedom and peaceful coexistence di Indonesia menyimpulkan bahwa institusi media dan kelompok intelektual memiliki peran penting dan strategis dalam menyebarkan dan memperkuat nilai-nilai toleransi agama. Paling tidak ada empat peran yang harus dioptimalkan dari keduanya, yaitu:

Pertama, melakukan upaya-upaya konkret membangun budaya damai. Media harus selalu mampu menyampaikan berita dengan cara-cara damai, bukan malah memprovokasi masyarakat untuk marah dan bermusuhan. Meskipun media masih memegang prinsip bad news is good news, namun media hendaknya lebih mengedepankan tanggung jawab moral dan menjunjung nilai-nilai etik dalam memberitakan sesuatu, khususnya terkait konflik keagamaan.

Dalam banyak konflik agama, media cenderung bersikap tidak adil terhadap kelompok minoritas dalam pemberitaan. Media misalnya ikut menghakimi kelompok korban atau ikut memberi stigma terhadap kelompok yang berbeda dengan mayoritas sebagai kelompok sesat dan sebagainya. Media seringkali juga terlalu banyak mengungkap soal pandangan teologi, itupun dengan ulasan yang dangkal dan tidak berdasar, bahkan seringkali salah. Menurut saya sebaiknya media menghindari pemberitaan hal-hal yang mudah menimbulkan interpretasi keliru dan bias yang pada gilirannya akan menyulut kontroversi dan konflik.

Selanjutnya, kaum intelektual berupaya menanamkan budaya damai melalui institusi pendidikan di semua level, mulai dari TK sampai PT. Jika budaya damai ditanamkan secara sistematik dalam lingkungan keluarga, dan diajarkan di lingkungan sekolah formal dan non-formal dalam masyarakat luas maka budaya damai menjadi budaya sehari -hari dan ini merupakan basis utama membangun religious freedom and peaceful coexistence. Mengapa? Sebab, sejak dini anak-anak telah diajarkan respek pada sesama manusia, walaupun berbeda agama. Masyarakat terbiasa dengan keberagaman dan menghargai kebebasan individu dalam kehidupan agama. Religious freedom adalah gagasan kemanusiaan yang dirumuskan dunia International untuk suatu tujuan mulia yaitu membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Tentu tidak ada kebebasan agama yang bersifat mutlak karena kemutlakan hanyalah milik Tuhan. Setiap kebebasan agama ada batasnya dan batasnya itu diatur oleh undang-undang yang menjadi kesepakatan bersama dalam suatu masyarakat. Yang penting undang-undang tersebut tidak bersifat diskriminatif terhadap minoritas.

Kedua, melakukan upaya-upaya konkret mengubah semua peraturan dan kebijakan publik yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan tertindas. Selanjutnya, mengusung kebijakan publik yang menjamin kesetaraan dan kebebasan semua kelompok. Dan kondisi ini hanya dapat terbangun melalui sistem politik yang demokratis. Karena itu, media dan kaum intelektual harus mendorong upaya-upaya demokratisasi yang menjamin perlindungan, pengakuan, dan pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara tanpa kecuali. Sebab kunci demokrasi terletak pada prinsip persamaan dan pemenuhan hak asasi semua warga.

Ketiga, mendorong upaya-upaya reinterpretasi agama. Mengapa ini penting? Karena interpretasi yang berkembang di masyarakat adalah interpretasi yang tidak kondusif terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM serta tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bicara soal agama pasti ujungnya bicara soal interpretasi. Dan faktanya tidak ada interpretasi agama yang tunggal. Masalahnya, bagaimana memastikan agar interpretasi agama yang tumbuh dan berkembang di masyarakat adalah interpretasi agama yang kondusif bagi religious freedom and peaceful coexistence. Harus ada upaya serius dari kelompok media dan intelektual mendorong pemuka agama untuk menggali dan merumuskan interpretasi baru yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan lebih memihak kepada kelompok rentan dan tertindas. Sebab, agama datang untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan, perbudakan dan kezaliman. Agama datang untuk membuat hidup manusia menjadi lebih bermakna, bukan hanya bagi pemeluknya, melainkan juga bagi semua manusia, bahkan bagi seluruh jagat raya.

Keempat, ini yang paling penting. yakni mengubah pandangan tentang agama. Agama bukan lagi sesuatu yang hanya mengurusi soal akhirat semata. Kelompok media dan intelektual harus berani menyuarakan bahwa agama harus mampu merespon persoalan-persoalan kontemporer manusia dan memberikan solusi bagi manusia menuju terciptanya kesejahteraan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu, kelompok media dan kaum intelektual harus mnampu melakukan upaya-upaya transformasi masyarakat, aktif alam proses demokratisasi dan humanisasi yang bertujuan membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan dalam bentuk apa pun.

Pendidikan harus mampu melahirkan sikap pluralisme. Mengapa pluralisme itu penting? Sebab, pluralisme dapat mewujudkan keadilan, kemajuan dan kesejahteraan. Pluralisme dapat mencegah timbulnya pertikaian, konflik, kekerasan, dan peperangan. Pluralisme dapat menumbuhkan kepekaan untuk membela hak seseorang dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Selain itu, sikap pluralisme membuat orang tidak mudah menyalahkan atau menghakimi orang lain sebagai sesat, kafir dan murtad. Sikap pluralisme membuat orang tidak mudah terjebak dalam intimidasi dan konflik antar agama. Sebab, mereka memiliki keyakinan yang kuat dan komitmen yang penuh pada kebenaran agama masing-masing. Sikap pluralisme membuat orang memandang kebenaran tidaklah tunggal, dan meyakini keselamatan bukan hanya bagi kelompoknya. Sikap pluralisme membuat orang bersikap humanis, inklusif, terbuka, toleran dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Semua pihak harus menumbuhkan budaya dialog dalam masyarakat. Nilai nilai pluralisme hanya dapat terjaga secara optimal melalui aktivitas dialog yang produktif, baik di kalangan internal umat seagama, maupun di antara umat berbeda agama. Melalui dialog, khususnya dialog kehidupan, diharapkan lahir mutual understanding yang pada gilirannya menjadi landasan pijak bersama.

Dialog melatih penganut agama mampu melakukan kompromi dan konsensus dalam merespon berbagai persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang riil di wilayah masing-masing, seperti persoalan kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kekurangan air bersih, mahalnya pendidikan dan kesehatan. Dialog membawa para penganut agama menyadari dan menemukan siapa musuh agama sebenarnya. Ternyata musuh setiap agama tidak lain adalah kezaliman yang mengambil wujud diskriminasi dan eksploitasi serta kekerasan, ketidakadilan, keserakahan, korupsi, kebodohan dan kemiskinan.

Dialog agama harus mampu mentransformasi kebencian menjadi cinta, kekasaran menjadi kelembutan, dan kekerasan menjadi perdamaian. Dialog harus mengubah mereka yang semula saling membenci, mencurigai, memusuhi, dan antipati menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Dialog harus mengubah jalan kekerasan dan watak konservatisme menjadi jalan kedamaian dan persahabatan penuh empati.