|

Muslimah Reformis

Perkuat Sensitivitas Untuk Indonesia yang Ramah Disabilitas

Ina Salmah Febriani

Apa yang teman-teman ketahui jika mendengar disabilitas? Keterbatasan fisik dan kemampuan? Demikian kita menerjemahkan disabilitas. Namun, tahukah teman-teman bahwa disabilitas sendiri memiliki jenis yang berbeda-beda? Meskipun ‘terbatas’, penyandang disabilitas tetap memiliki hak yang setara seperti manusia yang dititipkan Tuhan organ tubuh yang sempurna.

Penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Definisi lain menyebut bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya.

Sementara itu, menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu disabilitas fisik, disabilitas mental dan disabilitas fisik maupun mental.

Menurut Rahayu, dkk (2013:111), terdapat empat asas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas penyandang disabilitas yang mutlak harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut, pertama, asas kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Kedua, Asas kegunaan, yaitu semua orang dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Ketiga, asas keselamatan, yaitu setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk disabilitas. Keempat, asas kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai dan masuk untuk mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Keempat asas di atas tentu tidak bisa diperoleh secara mandiri oleh penyandang disabilitas, keluarga terdekat, masyarakat dan pemerintah juga harus terus memperjuangkan hak-hak mereka. Namun yang terjadi justeru sebaliknya. Betapa banyak penyandang disabilitas belum memiliki hak hidup aman dari kejahatan. Fenomena memprihatinkan dewasa ini di antaranya ialah beberapa penyandang disabilitas mendapat kekerasan seksual (diperkosa), seperti yang menimpa gadis usia 14 tahun di Yogyakarta ia diperkosa hingga pendarahan namun pelaku masih bisa hidup bebas. Sementara itu, di Blora Jawa Tengah, seorang anak perempuan penyandang disabilitas pun menanggung pedihnya perlakuan bejat dari orang terdekatnya sendiri. Ia diperkosa ayahnya hingga hamil sementara sang Ibu, diancam untuk tidak melaporkan siapapun. Nestapa lain menimpa penyandang disabilitas perempuan di Jambi, ia diperkosa lansia berulang kali hingga tak sadarkan diri.

Sudah jatuh tertimpa tangga, demikian definisi yang pas untuk menggambarkan nasib penyandang disabilitas di atas. Dengan keterbatasannya, masih ada saja oknum yang memanfaatkan untuk melukai fisik dan psikis mereka. Sungguh, jika kita merujuk pada kitab suci, al-Quran misalnya, perbuatan yang melukai kehormatan seseorang baik seagama, lintas agama apalagi mereka yang tak berdaya, adalah kejahatan kemanusiaan yang nyata. Relasi kuasa dalam hal ini memang sangat kentara. Kebanyakan, disabilitas dipandang sebagai orang yang tidak mampu menghindari situasi, penuh ketakutan bahkan mungkin bingung harus melapor siapa ketika ia mengalami tindak kekerasan. Bahkan, dari rilis berita di atas, disabilitas pun dilukai oleh ayah kandungnya sendiri. Anak yang lemah (dha’if), semakin menjadi orang yang dilemahkan (mustad’afin) oleh ayah yang semestinya melindungi dirinya.

Dalam konteks al-Quran, ada banyak ayat yang merujuk pada orang-orang yang dilemahkan (mustad’afin) ini. Beberapa kalangan mufassir (para ahli tafsir) telah mencoba menafsirkan kata-kata mustadh’afîn. Jika kita menggali dari peristilahan yang digunakan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dengan mengkaji akar katanya, maka yang dikatakan mustadh’afîn atau pihak lemah atau yang dilemahkan, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks kemerdekaan, dan juga dalam konteks fisik.

Berkenaan dengan mustadh’afin dalam konteks kelemahan ekonomi, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah berikut: fuqarâ (orang-orang fakir), masâkin (orang-orang  miskin), sâilîn, al-mahrûm (orang yang tidak mau meminta-minta walaupun dia papa, karena hendak menjaga kehormatan dan harga dirinya).

Sementara itu, dalam konteks sosial kemasyarakatan, kita masih melihat bahwa penyandang disabilitas di Indonesia adalah salah satu mustad’afin (orang-orang yang dilemahkan) dirinya baik oleh keluarga, masyarakat, regulasi pembuat kebijakan, jika ia sulit mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, perlindungan dan keselamatan.

Melihat fenomena demikian, perlu adanya penguatan sejak dini untuk mengasah kepekaan dan kesadaran diri (self awareness) yang akhirnya melahirkan rasa empati terhadap para penyandang disabilitas. Cara yang paling mudah dan sederhana untuk dimulai salah satunya melalui pendidikandengan membimbing anak-anak usia dini untuk mengenal fenomena disabilitas ini, memberikan pengertian yang mudah pada mereka soal bagaimana memperlakukan orang-orang yang ‘sempurna’ organ tubuhnya, sampai bagaimana semestinya ia bertindak ketika melihat kejahatan yang menimpa keluarga, saudara bahkan teman di sekolah ketika dirundung atau dibully oleh kawan lain.

Tentu, ini adalah PR besar bagi semua pihak. Oleh karena itu, inisiasi Muslimah Reformis untuk menyambut IWD bertema #EmbraceEquity patut diapresiasi. Dalam hari perempuan sedunia ini, mari kita bersama-sama memeluk perbedaan dan memperjuangkan hak dan kesetaraan untuk seluruh manusia apapun ras, suku, agama, budaya, bangsa dan bahasanya—terlebih mereka orang-orang yang lemah, penuh keterbatasan dan masih dilemahkan (mustad’afin) di mana saja mereka berdaya. Mari bergandengan tangan, mari bangun sensitivitas untuk Indonesia yang (lebih) ramah disabilitas!