Puasa dan Perempuan
Mungkin ada yang bertanya apa hubungan antara perempuan dan puasa? Mengapa harus perempuan? Bukankah puasa itu ditujukan kepada semua manusia yang beriman, tanpa membedakan jenis kelamin dan jenis gendernya. Bahkan, Al-Qur`an dengan sangat liberal menginformasikan bahwa puasa itu bukan monopoli umat Nabi Muhammad saw., melainkan juga disyariatkan kepada umat para nabi sebelumnya (Q.S. al-Baqarah, 2:183).
Tahukah Anda bahwa salah satu ayat yang bicara soal puasa dalam Al-Qur’an adalah ayat yang bercerita tentang Maryam, ibunda Nabi Isa as. Tatkala dia difitnah oleh kaumnya karena hamil di luar nikah, maka Allah menyuruh dia berpuasa. Puasa dalam arti menahan diri untuk tidak berkata-kata sepatah kata pun, dan untuk menjelaskan siapa ayah bayi itu Allah membiarkan sang bayi menjelaskan identitas dirinya. Bahwa dirinya bukan lah manusia biasa dan kelahirannya pun berbeda dari manusia lain, tidak membutuhkan kehadiran laki-laki (Q.S. Maryam, 19:27-30).
Itulah kelebihan perempuan, bisa menjadi ibu dan memiliki anak tanpa bantuan laki-laki. Sebaliknya, dalam sejarah kemanusiaan belum dijumpai satu pun laki-laki bisa punya anak tanpa bantuan perempuan (mungkin teknik kloning?). Kenyataan ini seharusnya membawa kita kepada kesadaran kemanusiaan yang dalam tentang betapa pentingnya organ reproduksi perempuan, terutama rahimnya. Ingat kata silaturrahim, salah satu ajaran inti dalam Islam, mengacu kepada kata ini. Namun, kenyataan di masyarakat, hak-hak perempuan berkaitan dengan rahimnya atau yang populer dengan istilah hak-hak reproduksi itulah yang paling banyak diabaikan, bahkan dikebiri.
Puasa Menurut Al-Qur’an
Al-Qur`an menjelaskan makna puasa dalam berbagai bentuk kosa kata, dan menarik bahwa kesemuanya berasal dari akar kata sawama yang secara etimologis bermakna “menahan” atau “mengendalikan”. Kata sawama dan turunannya dijumpai sebanyak 13 kali (Q.S al-Baqarah, 2:183, 184, 185, 187, dan dalam ayat 196 disebutkan dua kali, Q.S. Maryam, 19:26, Q.S. an-Nisa`, 4:92, Q.S. al-Maidah, 5:89,95, Q.S. al-Mujadalah, 58:4, dan dalam Q.S. al-Ahzab, 33:35 disebutkan dua kali. Menarik dicatat bahwa kata yang paling banyak digunakan dalam Al-Qur`an adalah kata shiyam. Kata ini berulang sebanyak 8 kali dan kesemuanya bermakna puasa dalam pengertian hukum syariat, yakni menahan diri dari makan dan minum serta hubungan seksual selama tenggang waktu mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Kata lain yang menunjukkan arti puasa adalah shaum, tetapi puasa yang dimaksudkan dalam kata itu adalah “menahan diri untuk tidak berbicara.” Kata itu dijumpai dalam konteks pembicaraan mengenai Maryam, ibunda Nabi Isa as. yang diperintahkan Allah swt. melalui Jibril untuk tidak berbicara sepatah kata pun manakala orang-orang mempertanyakan soal bayinya itu. Analisis makna kata puasa tersebut membawa kepada kesimpulan bahwa esensi puasa adalah pengendalian diri (self control). Dua kata yang sangat mudah diucapkan, tetapi teramat sulit untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Hak-hak Reproduksi Perempuan
Hak reproduksi merupakan salah satu di antara 5 hak dasar individu yang harus ditegakkan oleh pemerintah dan semua elemen dalam masyarakat. Imam Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12, menulis dalam bukunya ihya` `Ulumuddin: di antara kewajiban negara terhadap warganya adalah memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar manusia, yaitu: 1) hak dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat, termasuk keselamatan fisik bagi perempuan dalam melaksanakan fungsi reproduksinya; 2) hak dasar akan kebebasan berkeyakinan (akidah); 3) hak dasar akan kesucian keluarga dan keselamatan dalam tugas luhur reproduksi; 4) hak dasar akan keselamatan milik pribadi (individual proverty); 5) hak dasar akan keselamatan profesi. Memenuhi kelima hak dasar tersebut merupakan prasyarat bagi terbentuknya suatu masyarakat madani yang berkeadilan.
Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di tingkat internasional pertama kali digelar di Kairo, yakni pada Konferensi Kependudukan se-Dunia di Kairo tahun 1994. Dokumen Kairo menyatakan: “Hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi tertentu yang telah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen hak asasi internasional dan dokumen kesepakatan PBB terkait lainnya. Hak-hak ini berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya, dan hak untuk memperoleh informasi tentang hal itu, serta hak untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi dan seksual. Mereka juga berhak untuk mengambil keputusan tentang reproduksinya yang bebas dari pembedaan, pemaksaan atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan untuk meningkatkan saling menghormati secara setara dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan akan pendidikan dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka akan mampu mengatasi masalah seksual secara positif dan bertanggung jawab”.
Salah satu alasan mengapa konferensi itu diadakan adalah meluasnya kecenderungan hak-hak reproduksi perempuan diabaikan serta masih kuatnya ketimpangan dalam memikul tanggung jawab proses reproduksi pada pundak perempuan. Hak-hak reproduksi yang dimaksudkan, antara lain hak untuk mengambil keputusan dalam reproduksi dan hak untuk hidup, yaitu setiap perempuan mempunyai hak untuk dibebaskan dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak untuk memilih bentuk keluarga, dan hak untuk membangun dan merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga.
Dengan demikian, berbicara tentang hak-hak reproduksi berarti berbicara tentang suatu spektrum yang luas, mencakup pembicaraan tentang relasi laki-laki dan perempuan; baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Namun, secara spesifik pembicaraan tentang hak-hak reproduksi mengarah kepada masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan dan pengasuhan anak. Termasuk juga di dalamnya perbincangan tentang aborsi, penyakit menular seksual dan HIV/Aids, keluarga berencana (KB) berikut alat-alat kontrasepsi dengan seluruh problemanya, serta masalah perilaku seksual.
Islam Mendorong Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Perempuan
Fungsi-fungsi reproduksi sejak awal telah mendapat perhatian yang sangat serius dari Islam. Terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang menyerukan kepada orang-orang beriman: laki-laki dan perempuan agar mereka menjaga organ-organ reproduksinya, antara lain dikemukakan dalam surat al-Nur, 30-31:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَز وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ .
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya (organ reproduksinya), yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang diperbuat oleh mereka. Katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya (organ reproduksinya)… “. Lalu pada ayat lain Allah swt. memuji mereka, baik laki-laki maupun perempuan yang memelihara alat-alat reproduksinya dan menggolongkan mereka kepada orang-orang yang beruntung: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu` dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan tak berguna, dan orang-orang yang mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas (Q.S. al Mukmin, 1-7).
Salah satu cara yang diajarkan agama dalam rangka menjaga dan mengontrol organ-organ reproduksi ini adalah melalui perkawinan. Perkawinan adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang laki-laki dan perempuan yang telah memenuhi persyaratan untuk menikah sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ini Wahbah al Zuhaili, pakar hukum Islam asal Siria menyatakan: “Akad nikah sebagaimana akad yang lain adalah perjanjian dua pihak dengan hak dan kewajiban yang sama, sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan (tawazun) kesepadanan (takafu) dan kesamaan (musawah).” Pandangan ulama besar ini sangat progres karena telah mengakomodasikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan sebagaimana termaktub pada ayat Al-Qur’an: “Walahunna mitslullazi ‘alaihinna bil ma’ruf” (Perempuan mempunyai hak atas laki-laki sebagaimana laki-laki mempunyai hak atas perempuan).
Prinsip-prinsip di atas juga harus menjadi dasar dari setiap perjanjian antara dua pihak. Perjanjian yang dilakukan tanpa merealisasikan prinsip-prinsip ini akan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Al-Qur’an dengan jelas mengemukakan “hunna libasun lakum wa antum libasun lahun” (“mereka, para isteri adalah pakaian kalian, para suami dan sebaliknya para suami juga merupakan pakaian bagi para isteri” (QS. al-Baqarah, 2:187). Ayat ini secara tegas menghimbau agar perkawinan dibangun atas dasar prinsip-prinsip kesetaraan, sekaligus juga menunjukkan ide dasar Islam tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan relasi seksual.
Dengan ungkapan lain, hak yang dimiliki perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya adalah setara dengan hak laki-laki atasnya. Ini berarti pula bahwa relasi seksual harus dilakukan berdasarkan atas asas kesamaan atau asas kesetaraan. Hak suami untuk relasi seksual menjadi kewajiban atas isteri, dan demikian pula sebaliknya. Dengan begitu tidak ada lagi praktek dominasi atau kekuasaan mutlak dalam kehidupan keluarga.
Lebih jauh lagi, dalam pembahasan tentang relasi seksual, pandangan fiqh Mazhab Hanafiyah, misalnya lebih transparan. Dikatakan bahwa perempuan berhak menuntut hubungan intim kepada suaminya, dan apabila isteri menghendaki, suami wajib mengabulkannya, demikian pula sebaliknya. Mazhab Malikiyah juga menyetujui pendapat ini. Mazhab ini menyatakan bahwa suami wajib mengabulkan permintaan atau keinginan seks isterinya selama suami mampu melakukannya. Di samping itu, hubungan seksual harus dilakukan secara sehat. Ini berarti relasi seksual, dan kesediaan kedua pihak untuk saling menerima dan memberi hendaknya dilakukan secara tulus, bukan paksaan. Akan tetapi, realitas yang dijumpai di masyarakat sangat berbeda jauh dari pandangan dan pemahaman ulama tadi. Pandangan keagamaan yang mayoritas dianut sangat bias nilai-nilai patriarkhi, yaitu bahwa kenikmatan seksual hanya menjadi milik laki-laki. Artinya, hanya para suami saja yang mempunyai hak monopoli seksual atas isterinya, sedangkan para istri harus menuruti keinginan suami. Isteri berkewajiban memenuhi permintaan seksual suami, tetapi tidak sebaliknya.
Pemahaman seperti ini sangat terasa dalam realitas sehari-hari kehidupan umat Islam. Tidaklah mengherankan jika kemudian ditemukan banyak kasus pemaksaan seksual, bahkan kekerasan seksual (sexual abuse) atau dalam bentuk yang lebih parah seperti perkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam wilayah domestiknya.
Di samping itu, semua bentuk kekerasan dan pemaksaan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perkawinan yang diajarkan Islam, seperti prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang), dan wa`asyiruhunna bil ma`ruf (pergaulan yang santun), bahkan juga tidak sejalan dengan penegasan Al-Qur’an tentang tujuan perkawinan, yakni mewujudkan keluarga sakinah (damai dan bahagia) (Q.S. ar-Ruum, 21). Bukankah Nabi saw. selalu menegaskan bahwa “laki-laki yang baik dan terhormat adalah mereka yang menghargai perempuan. Sebaliknya, laki-laki jahat adalah mereka yang menghina dan melecehkan perempuan” (HR. Ibnu Syakir). Nabi saw. juga telah memberikan tuntunan yang yang sangat bijak dalam hubungan suami-isteri melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal sebagai berikut: “Janganlah kalian menggauli istri seperti layaknya seekor binatang liar. Tetapi, hendaknya dalam hubungan intim kalian ada semacam prolog. Lalu para sahabat bertanya: apakah prolognya itu? Nabi menjawab: ciuman lembut dan kata-kata yang indah.” (HR. Ahmad ibn Hanbal).
Meskipun secara biologis proses mengandung dan melahirkan merupakan fungsi reproduksi yang kodrati bagi perempuan, namun harus diingat bahwa kedua fungsi tersebut merupakan akibat dari relasi laki-laki dan perempuan. Konsekuensinya, segala resiko dan dampak yang muncul akibat pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut menjadi tanggung jawab bersama: laki-laki dan perempuan, bukan semata-mata dibebankan pada pundak perempuan sebagaimana dipahami dan dipraktekkan secara luas di masyarakat.
Al-Qur’an menggambarkan kehamilan sebagai sesuatu yang amat berat (wahnan ‘ala wahnin) (Q.S. Luqman, 14), atau sebagai “kurhun” (melelahkan) demikian pula dengan aktivitas melahirkan (Q.S. al Ahqaf, 15). Mengandung dan melahirkan merupakan tugas kemanusiaan yang sangat mulia dan tugas-tugas itu hanya mampu dilakukan oleh perempuan. Untuk alasan itulah perempuan wajib dihormati dan diberikan apresiasi yang tinggi karena telah bersedia menjalani tugas-tugas kemanusiaan yang sangat mulia, namun sangat berat, bahkan sangat beresiko membawa kepada kematian. Itulah sebabnya Allah swt. memerintahkan manusia memperlakukan perempuan hamil secara sangat bijaksana dan hati-hati.
Allah swt. juga memerintahkan manusia agar berbakti kepada orang tuanya, terlebih-lebih kepada ibunya. Bahkan, ditegaskan bahwa tingkat kebaktian pada ibu tiga kali lebih tinggi daripada kebaktian kepada ayah. Betapa besar pembelaan Allah kepada kaum ibu. Proses mengandung dan melahirkan demikian beratnya sehingga Al-Qur’an perlu memberikan petunjuk agar proses reproduksi dilakukan dalam jarak waktu yang cukup, yaitu dua tahun lebih (Q.S. Luqman, 14 dan al-Ahkaf, 15). Apa yang menjadi tujuan dibalik petunjuk Al-Qur’an tersebut adalah terpeliharanya hak dan kesehatan alat-alat reproduksi perempuan secara khusus dan kesehatan tubuh perempuan serta anaknya secara umum. Rasa sakit, penderitaan, dan kemungkinan mengalami kematian akibat kehamilan dan melahirkan hanya dirasakan oleh kaum perempuan. Ini seharusnya menyadarkan kaum laki-laki agar mempertimbangkan aspirasi dan pendapat kaum perempuan berkaitan dengan tugas reproduksi mereka, terutama berkaitan dengan soal kehamilan dan kelahiran.
Dengan ungkapan lain, sudah selayaknya kaum perempuan diberikan hak untuk mengambil keputusan berkaitan dengan organ-organ reproduksinya. Kaum perempuan hendaknya memiliki pilihan bebas untuk memilih hidup menikah atau tidak. Sebab, pernikahan adalah sebuah pilihan, bukan kewajiban. Selanjutnya, para istri juga memiliki kebebasan memilih apakah ia akan hamil atau tidak, apakah ia akan melahirkan atau tidak? Sebaliknya, adalah merupakan kewajiban suami mempertimbangkan dan mendengar aspirasi dan pendapat istrinya. Persoalan hamil dan melahirkan jangan semata-mata merupakan keinginan suami atau keluarga secara sepihak sehingga dirasakan sebagai beban oleh istri, melainkan harus pula menjadi keinginan dan kehendak sang isteri. Pendek kata, kehamilan, kelahiran, dan pelaksanaan fungsi-fungsi reproduksi lainnya haruslah merupakan keputusan bersama, suami-isteri.
Dan puasa sebagai bentuk pengendalian diri, termasuk pengendalian terhadap organ-organ reproduksi seharusnya dapat menjamin tidak ada lagi pelanggaran hak-hak reproduksi untuk alasan apa pun. Puasa hendaknya menjadi semacam alat kontrol yang efektif untuk memastikan tidak ada lagi perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan berkaitan dengan hak dan kesehatan reproduksi mereka. Selamat berpuasa!