|

Muslimah Reformis

Puasa Membangun Toleransi

Penghargaan Terhadap Manusia

Inti toleransi adalah respek atau penghargaan terhadap sesama. Semua agama mengajarkan pemeluknya keharusan menghargai dan menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk konflik, kekerasan, dan teror yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk ketidakmampuan manusia memahami ajaran agama secara utuh. Dalam realitas sosiologis di masyarakat seringkali semangat keberagamaan yang tinggi tidak dibarengi dengan pemahaman yang dalam dari dimensi esoterik agama. Hal inilah yang membawa kepada sikap fanatik sempit dan fundamentalisme, bahkan dalam beberapa kasus menggiring manusia menjadi pelaku terror yang sangat biadab.

Islam memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus yakni aspek vertikal dan horizontal. Aspek vertikal berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horizontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Puasa merupakan ibadah yang mengandung dua aspek sekaligus. Aspek vertikal puasa membawa seseorang menjadi lebih dekat kepada Tuhannya, dan refleksi kedekatan itu terbangun dalam aspek horizontal berupa rasa empati kepada sesama, khususnya para mustadh’afin (kelompok tertindas) dan juga memiliki kepedulian untuk melestarikan lingkungan  hidup. Sayangnya, aspek horizontal ini banyak diabaikan dalam beragama. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek vertikal dari ibadah puasa kurang mendapat perhatian di kalangan umat Islam. Kondisi inilah, antara lain  yang kemudian membawa kepada penampilan wajah Islam yang sangar dan tidak humanis, juga tidak ramah terhadap perempuan.

Mengatasi konflik dengan dialog.

Pada era globalisasi ini persoalan terbesar yang dihadapi umat beragama adalah konflik agama, baik dalam  intern pemeluk agama maupun antar agama, karena umat beragama tidak lagi hidup dalam sekat-sekat yang terisolasi dari pengaruh dunia luar. Konflik antaragama merupakan fenomena yang memprihatikan, baik yang terjadi di luar maupun di dalam negeri. Mencegah timbulnya berbagai konflik seperti di atas, sejumlah solusi ditawarkan, dan yang paling menjanjikan tampaknya adalah bagaimana menciptakan kondisi dan suasana yang memungkinkan terjadinya dialog di antara umat yang berbeda agama.

Melalui dialog mereka diharapkan dapat saling mengenal dan memahami agama mitra dialog mereka masing-masing yang pada gilirannya nanti akan mencari sisi-sisi yang sama di antara ajaran agama yang berbeda itu untuk dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Untuk itu, perlu ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa di antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog tersebut tidak akan saling mengintervensi atau saling mempengaruhi keyakinan masing-masing.

Puasa mengasah jiwa untuk menghargai sesama

Puasa bulan Ramadan adalah sebuah mekanisme kontrol diri agar manusia lebih mengenal jati dirinya sebagai manusia. Selama puasa diharapkan manusia lebih banyak berkontemplasi memikirkan kembali tujuan hidup mereka dan juga menghayati kembali ajaran terdalam dari agama mereka.  Setiap agama memiliki dasar teologisnya sendiri untuk mengklaim kebenaran dirinya. Akan tetapi, dalam waktu yang sama semua agama juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut.

Tugas manusia hanyalah  menyampaikan kebenaran dan membuat interpretasi atas kebenaran yang diyakininya itu. Karena itu, interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau  nisbi belaka sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia. Setiap agama diyakini mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan untuk keselamatan manusia, bukan hanya di dunia ini melainkan juga di hari kemudian. Ironisnya dalam fakta empirik agama ternyata tidak selamanya membawa manusia kepada keselamatan, melainkan manusialah yang senantiasa menjaga keselamatan agama yang dipeluknya itu.

Seharusnya klaim seseorang atas kebenaran agamanya tidaklah harus membuat orang bersangkutan kehilangan respeknya pada realitas yang ada di sekelilingnya. Adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa di sekeliling kita hidup beragam agama dan kepercayan. Keberagamaan kita hendaknya mengantarkan kita menjadi orang yang respek pada penganut agama lain atau kepercayaan lain dan selanjutnya memandang keragaman agama dan kepercayaan itu sebagai asset bangsa yang sangat berharga.

Sejarah agama  menuturkan bahwa agama selalu berkaitan dengan masalah sosial. Karena itu, agama dapat dilihat sebagai suatu sarana perubahan sosial. Konflik-konflik agama lebih sering merupakan  manifestasi dari konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam  hal nilai kemanusiaan dan sosial umumnya, banyak alasan bagi agama-agama untuk tidak saja hidup rukun dan bertoleransi positif, melainkan juga lebih jauh dari itu, yakni bekerjasama secara akrab dalam reformasi sosial, perubahan sosial atau transformasi sosial.

Sesungguhnya yang menjadikan masalah dalam setiap agama adalah bahwa di setiap agama sebagian besar penganutnya adalah awam dan hanya sedikit yang alim. Karena itu, peningkatan wawasan keagamaan di kalangan awam menjadi sangat relevan. Peningkatan wawasan umat yang awam itu bisa menjadikan iman dan takwanya berfungsi dengan baik yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan prestasi takwa mereka.

Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang dimaksudkan  kebenaran agama di sini adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umatnya yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama seperti ini, yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya satu, tentu saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafir-mengkafirkan yang berujung pada munculnya berbagai bentuk konflik dan diskriminasi agama di tanah air.

 

Dalam konteks Islam jelas sekali diajarkan bahwa keselamatan itu tidak hanya monopoli orang-orang Islam, melainkan juga milik orang lain. Surah al-Baqarah,2:62 secara tegas menyatakan: Sesungguhnya orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, serta beramal saleh, maka semua akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan kuatir, tidak pula akan bersedih. Sayangnya, manusia seringkali terlalu bersemangat untuk menyelamatkan sesamanya manusia dan lupa akan keterbatasan dan kelemahan dirinya  sehingga di antara mereka ada yang bersikap melebihi Tuhan, menginginkan agar seluruh manusia masuk ke dalam satu agama, bahkan satu aliran. Semangat yang menggebu-gebu itulah yang sering mengantarkan mereka memaksakan pandangannya dan keyakinannya pada orang lain, serta menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka sebagai kafir dan harus masuk neraka. Padahal Tuhan sendiri memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya, silahkan dan siapa yang menolak, terserah juga baginya (Al-Qur`an).

Setiap agama menjanjikan kemaslahatan bagi manusia. Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama itu adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan  yang tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya. Tuhan sedemikian besar sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh  seluruh makhlukNya.

Sedemikian agungnya Tuhan sehingga manusia tetap diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu pula Dia menuntut ketulusan dalam beragama dan tidak membenarkan paksaan dalam bentuk apa pun, baik nyata maupun terselubung. Jika Tuhan Yang Maha Segalanya tidak memaksa manusia, lalu mengapa manusia merasa berhak memaksa sesamanya? Di sinilah indahnya toleransi, toleransi membuat kita bisa menikmati hidup yang damai dan bahagia.

Wallahu a`lam bi al-shawab.

-Musdah Mulia-